Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Umasih
Abstrak :
Tesis ini sebuah telaah atas perubahan kurikulum sejarah di Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1975 sampai dengan 1994. Dalam mengkaji kebijakan nasional bidang pendidikan, menunjukan bahwa ternyata kebijakan tersebut sangat mempengaruhi kurikulum persekolahan baik yang nampak dalam struktur kurikulum maupun materi pelajaran, khususnya pada mata pelajaran Sejarah Indonesia dan Pendidikan Pancasila. Studi ini juga mengkaji proses perubahan kurikulum sejarah SMA tahun 1975, 1984 dan 1994 serta mendeskripsikan berbagai temuan yang menggambarkan hasil implementasi kurikulum tersebut. Berbagai data yang diperoleh dari penelitian ini mengungkapkan adanya berbagai variabel yang mempengaruhi pelaksanaan kurikulum, salah satunya terkait dengan kebijakan nasional dalam aspek politik, sosial, ekonomi dan budaya. Pengaruh dari kebijakan nasional membawa konsekuensi bagi pendidikan sejarah pada struktur kurikulum 1975 tidak ada lagi. Hal ini disebabkan mata pelajaran sejarah merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Para pengembang kurikulum ingin menerapkan model pendidikan di Amerika yang dianggapnya berhasil membawa kemajuan bagi negara tersebut. IPS merupakan terjemahan yang keliru dari social studies. Sebagai bagian dari IPS, sejarah Indonesia diajarkan kepada siswa SMA jurusan IPA hanya pada semester pertama, selebihnya di jurusan IPS dan Budaya yang mendapatkan Sejarah Indonesia dan Sejarah Kebudayan. Kurikulum 1975, merupakan peletak dasar pertama dalam perkembangan sejarah penyusunan kurikulum Indonesia yang menggunakan teori pendidikan dengan pendekatan sistem. Melalui pendekatan tersebut keterkaitan antara tujuan, materi, strategi pembelajaran dan evaluasi pendidikan sangat jelas. Sejarah sebagai bagian dari IPS, menuntut kreativitas guru dalam mengemas materi sejarah yang berwawasan IPS (Geografi, Ekonomi, Kewargaan Negara) dengan pendekatan sistem tersebut. Namun masuknya sejarah dalam bidang studi IPS membawa akibat yang tidak menguntungkan pada pengajaran sejarah. Pengajaran sejarah dianggap gagal dalam menumbuhkan kesadaran sejarah, memupuk sikap patriotisme dan nasionalisme siswa serta generasi muda, karena pads kurikulum 1975 tujuan pendidikan sejarah semata-mata membentuk visi keilmuan dan kurang memperhatikan tujuan untuk pembentukan nilai yang tercakup dalam mata pelajaran Sejarah dan Kewargaan Negara. Sejak diberlakukannya kurikulum 1975 berkembang wacana untuk menelaah kembali pelajaran sejarah. Sejarah harus dikeluarkan dari kelompok IPS, sebab sejarah merupakan bagian dari Pendidikan Humaniora. Berkembangnya dinamika sosial politik masyarakat ikut mempengaruhi terhadap konstelasi politik nasional saat itu, sebagai akibatnya kebijakan pendidikan yang dimunculkan berkaitan erat untuk memperkokoh ideologi politik dan hegemoni kekuasaan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengintervensi kebijakan pendidikan. Dalam perkembangan berikutnya (kurikulum 1984) posisi sejarah dalam struktur kurikulum memunculkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), yang tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1981 Meskipun PSPB bagian dari Pendidikan Pancasila yang berarti bukan pendidikan sejarah, tetapi kebijakan memberikan mata pelajaran tersebut kepada siswa dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, menjadi polemik dan wacana perdebatan di antara para sejarawan dan pendidik sejarah. Menurut para pakar sejarah yang berorientasi akademik (Sartono, Taufik Abdullah, Harsja W. Bachtiar) meniiai nuansa "pendidikan politik" dalam mata pelajaran tersebut begitu besar. Dalam penentuan materi nampak ada usaha untuk membuat "babad" baru, Sepeninggal Nugroho, Menteri (a.i.) J. B. Sumarlin mengambil kebijakan yang lebih fleksibel dalam penerapan mata pelajaran PSPB, tidak lagi secara formal terstruktur. Pada akhir tahun 1980-an pemerintah Indonesia berhasil membuat Undang - undang No. 2 Tabun 1989 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional. Atas dasar undang-undang tersebut, persiapan penyempumaan kurikulum persekolahan dimulai. Kurikulum baru tahun 1994 disusun tanpa mata pelajaran PSPB dan Sejarah Indonesia diajarkan kepada siswa SMU selama 9 catur wulan untuk semua jurusan. Pengembangan kurikulum tidak lagi berdasarkan teori pendidikan dengan pendekatan sistemnya, kurikulum 1994 dikembangkan dengan menggunakan teori kurikulum. Berdasarkan teori tersebut, hubungan antara tujuan, materi, strategi pembelajaran dan evaluasi tidak merupakan sesuatu yang mutlak, tetapi ada fleksibilitas dalam pencapaian tujuan. Satu tujuan dapat dicapai oleh beberapa pokok bahasan atau beberapa sub pokok bahasan. Filosofi pengembangan kurikulum 1994 adalah dalam rangka memberikan kebebasan kepada guru untuk mengembangkan kreativitasnya dan memberi penghargaan yang tinggi terhadap profesionalisme guru. Kondisi yang terjadi di lapangan (sekolah) tidak seperti apa yang diharapkan, karena berdasarkan hasil penelitian para pakar, ide pengembangan kurikulum 1994 tidak banyak dimengerti oleh guru karena kurang disosialisasikan. Sebagian besar guru masih pada poly lama, mengajar dengan cara konvensional. Hal ini bertambah rumit dengan adanya kebijakan Kanwil, dan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) produk MGMP wilayah ikut memberi andil menghambat kreativitas guru. Sejarah sebagai ilmu dan alat pendidikan belum memperoieh titik temu pada tatanan kebijakan pendidikan pemerintah. Sejarah sebagai mata pelajaran yang merangsang kreativitas berfikir dan proses sosialisasi bagi siswa belum dapat terpenuhi. Sejarah tidak hanya mengajarkan fakta, tapi bagaimana guru dapat mengajak siswa berfikir kritis dan rasional, sehingga pelajaran sejarah tetap menarik bagi siswa SMA.
This thesis is a study of the change of histori's curriculum in Senior High School from the year 1975 until 1994. In studying the national policy on educational field, it apparently indicates that the policy greatly influences school curriculum 6081 in the structure of curriculum and in subject matter, especially the subject of Sejarah Indonesia and Pendidikan Pancasila. This study also investigates the process of the change of sejarah curriculum in senior high school year 1975, 1984 and 1994 and also explains various findings describing the result of that curriculum implementation. Various data which were obtained from this investigation reveals a lot of existing variables which influenced the implementation of curriculum, one of which is concerning with national policy on political, social, economical and cultural aspect. The influence of national policy brings about consequences that there is no education of history on the strcture curriculum 1975. It is because the subject of history forms a part of social studies (IPS). The curriculum designers want to apply American education model which is considered succesfull in bringing abouth progress for the country. IPS is mistaken translation from social studies. As a part of IPS, Sejarah Indonesia is taught to high school students who take the department of IPA only at the first semester, the rest is in the department of [PS and Budaya which constitute Sejarah Indonesia and Sejarah Kebudayaan. Curriculum 1975 from the first founder within the history development of Indonesia's curriculum arrangement which is using educational theory by sisthemic approach. By using this approach, the connection between objective, material, learning strategy and evaluation becomes very clear. History as a part of 1PS demands teacher's creativity in conveying history substances which are IPS --oriented (geography, economy, civics) by using that systemic approach. But the disadvantage result on the teaching of history. The teaching of history is considered fail to generate historical awareness, to foter student's as will as young generation patriotic and nationalistic attitude. Since curriculum 1975 is put into effect, there is a discourse to review the subject of Sejarah that must be excluded from IPS, because history is a part of Humaniora Education, The development of society's social political dynamic takes part in influencing constellation of national politis at the time, as a result, the emerged educational policy is greatly related with the strengthening of political ideology and power hegemony. It can be done by interferring educational policy. In the next development of curriculum 1984, the position of history in the curriculum structure brings up Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) which is included in Garis-Garis Besar Haluan Negara 1983. Although PSPB is a part of Pendidikan Pancasila which means it is not educational of history, but it becomes polemic and discourse argument among historists and historist education if that subject-matter is given to kindergarten student tell university student. According to academic-oriented history experts (Sartono, Taufik Abdullah, Harsjah W. Bachtiar), the "political education " nuance within thay subject matter is profound. In determining the material, it appears that there is an effort to make new " history". After the death of Nugroho, the minister (a.i) J.B. Sumarlin made the more flexible policy on applying the subject of PSPB, not in structurally formal way. At the end of 1980s, the Indonesian government succeeded in making laws no.2 year 1989 on the principal of national education system. On the basis of the laws, preparation on the completion of school curriculum began. The new curriculum 1994 is composed without inserting the subject of PSPB, and then Sejarah Indonesia is taught to high school student for 9 Quarter month for all departments. The philosophy of develoving curriculum 1994 is to give teachers freedom to develop their creativity and give them high reward for their professionalism. What happened in the (school) is not likely to be as expected, since according to the research of the experts, the idea of the development of curriculum 1994 is not well-understood by teachers because it is less-socialized. Most teachers are still using the old pattern by teaching conventionally. It is getting more difficult with the presence of Kanwil policy and the product of MGMP which take part in hamperring teachers'creativity. Sejarah as a science and educational tool didn't obtain a point on the order of government educational policy. History as a subject matter which stimulates thinking creativity and socialization process for students hasn't been an end meets. History not only teaches facts but also encourage teachers to how they can make students think critically and rationally, so that the lesson of history keep exciting for high school student.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T9580
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Najib Jauhari
Abstrak :
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 menjadi tonggak sejarah baru dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Kemerdekaan telah diraih, bukan berarti perjuangan telah selesai, bahkan jika lengah, kemerdekaan itu bisa hilang dan bangsa Indonesia kembali mengalami masa penjajahan. Kemerdekaan harus dipertahankan dan diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Masa awal kemerdekaan, banyak ditandai oleh perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan cara perang atau konfrontasi, diberbagai daerah Indonesia. Hingga masa ini (1945-1949) kita kenal dengan istilah Masa Perang Kemerdekaan. Perang ini terjadi karena adanya ancaman dan serangan terhadap kedaulatan Bangsa Indonesia, yang dilakukan oleh Belanda yang dibantu Sekutu (Inggris). Perjuangan yang dilakukan bangsa Indonesia, ternyata sering mengalami kendala terutama berkaitan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri. Rakyat yang tergabung dalam berbagai organisasi perjuangan, tanpa koordinasi, tidak akan kuat. Bahkan sebaliknya bisa saling melemahkan jika terjadi konflik diantara organisasi. Salah satu organisasi perjuangan yang lahir pada masa tersebut adalah Persatuan Perjuangan. Studi ini berusaha mencari jawab atas masalah mengapa organisasi ini muncul, bagaimana keorganisasian dan aktivitasnya, serta mengapa sampai bubar. Persatuan Perjuangan dapat dikategorikan sebagai organisasi (organization) yang bertujuan Aksi Massa (collective action), dalam kegiatannya berdasar Program (Interest) dan taktik (mobilization) tertentu. Aktivitas penelitian disesuaikan dengan langkah-langkah yang terdapat dalam metode sejarah. Meliputi heuristik, Wilk, hiterpretasi dan historiografi. Sumber data berupa arsip, arsip yang telah terbit, rekaman wawancara, surat kabar, majalah, artikel dan buku-buku yang relevan. Persatuan Perjuangan dideklarasikan di Surakarta pada tanggal 15 Januari 1946, mempunyai berbagai faktor pendorong. Situasi dan kondisi perjuangan yang rawan, karena kedudukan musuh semakin kuat, sementara bangsa Indonesia terpecah dalam berbagai golongan, dengan program perjuangan yang berbeda-beda. Ide persatuan untuk perjuangan, ternyata mendapat antusias dari berbagai golongan masyarakat. Pemerintah dalam perjuangannya memiliki taktik perjuangan berbeda dengan rakyat yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan, tidak tinggal diam terhadap aktivitas Persatuan Perjuangan. Perubahan susunan kabinet dan program kerja kabinet diharapkan dapat lebih menyerap aspirasi perjuangan rakyat. Usaha pemerintah untuk lebih memperlancar usaha perjuangannya dalam bidang diplomasi, dilakukan dengan cara penghancuran terhadap organisasi Persatuan Perjuangan. Persatuan Perjuangan, sebagai pusat organisasi yang mengutamakan konfrontasi dalam mempertahankan kemerdekaan, memang dapat dihancurkan. Tapi program menuntut kemerdekaan 100%, menolak diplomasi yang merugikan, terus dijalankan.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11338
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salmah Gosse
Abstrak :
Tesis ini berjudul "Opu Daeng Risaju dari Bangsawan Sampai Tokoh Pergerakan (1930-1950)". Masalah dalam penulisan tesis ini yaitu pertama, apa yang melatarbelakangi Opu Daeng Risaju aktif di PSII walaupun dia mendapat tekanan, baik dari kalangan bangsawan di kerajaan Luwu dan pemerintah kolonial Belanda karena status Opu Daeng Risaju sebagai keturunan bangsawan. Kedua sebagai seorang wanita pada masa itu, Opu Daeng Risaju memberikan gambaran yang unik, dalam arti apakah kegiatan Opu Daeng Risaju tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya Bugis terutama berkaitan dengan nilai martabat sebagai wanita, Kedua permasalahan tersebut dapat dijelaskan pertama yaitu kedudukan Opu Daeng Risaju di PSII dapat dinilai memiliki rasa pesse/pacce yaitu membangun nilai solidaritas karena pada saat itu rakyat menderita akibat penjajahan. Sementara itu tekanan baik dari kalangan bangsawan maupun Belanda terhadap Opu Daeng Risaju dapat dinilai siri', karena sudah menyangkut kehormatan diri Opu Daeng Risaju. Akibatnya Opu Daeng Risaju melakukan pemberontakan dalam bentuk kegiatan di PSII. Secara teoretis pemberontakan Opu Daeng Risaju terjadi karena tekanan sehingga menimbulkan sikap frustasi. Menurut teori deprivasi relatif (relative deprivation), suatu pemberontakan timbul karena adanya dorongan psikologis yang bersifat agresif yaitu frustasi. Jawaban masalah kedua dapat dijelaskan dengan hubungan antara Opu Daeng Risaju dengan Andi Djemma (Datu Luwu), yang kemudian membuat Opu Daeng Risaju semakin intensif dalam kegiatan politik. Dalam budaya Bugis hubungan tersebut akan membangun konsep budaya masseddi siri'. Konsep ini dapat ditafsirkan adanya kewajiban rakyat untuk mengabdikan dirinya untuk membela kehormatan negara dan bangsa, tanpa melihat jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan. Apabila ada orang yang keluar dari komitmen ini, maka orang tersebut dianggap melawan nilai budaya atau dapat dianggap sebagai pengkhianat. Orang ini dianggap tidak konsisten. Opu Daeng Risaju sebagai seorang wanita, dilihat dari nilai-nilai budaya Bugis tidak dapat dianggap sebagai penyimpangan terhadap adat. Kegiatan politik Opu Daeng Risaju sesungguhnya sebagai implementasi dari siri' itu sendiri. Sedangkan siri' merupakan inti utama dari kebudayaan masyarakat Bugis.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T1528
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imas Emalia
Abstrak :
Awal abad ke-20 adalah masa yang penuh dengan gejolak perjuangan rakyat. Semua penderitaan yang dialami masyarakat Indonesia memunculkan berbagai protes sosial hampir di setiap pelosok Nusantara. Di Keresidenan Cirebon akibat adanya Landreform 1918 ternyata lebih banyak merugikan masyarakat petani dibandingkan dengan keuntungannya yang diambil pihak perkebunan swasta. Bencana kelaparan terjadi hampir di setiap daerah Keresidenan Cirebon. Banyak penduduk yang mengalami perpindahan ke daerah-daerah pegunungan untuk sekedar sekedar mencari makanan sebagai penyambung kehidupan. Hal semacam ini yang memicu masyarakat untuk mendukung berbagai gerakan politik, termasuk gerakan politik keagamaan islam yang marak saat itu. Melalui para ulama yang pulang dari berhaji dan membawa budaya baru yang dipengaruhi gerakan Wahabbiyah di sana, mereka terorganisasikan dalam menuntut hak dan kebebasan. Seperti kemunculan Sarekat Islam (SI) di Surakarta dan Muhammadiyah di Yogyakarta yang dipelopori kaum santri dan pedagang yang datang dari berhaji, adalah awal dari kebangkitan Islam di Indonesia. Di Keresidenan Cirebon ini pengaruh kraton juga sangat kuat di hati masyarakat. Campur tangan pemerintah kolonial dalam kraton sangat dirasakan sebagai momok dalam kehidupan. Akan tetapi kenyataan itu selalu mewarnai kehidupan. Akibat hal itu para penghulu kraton menjauhkan diri dari kehidupannya di kraton Kasepuhan dan Kanoman. Pendirian tarekat merupakan cara untuk menggalang umat dalam membela hak dan kebebasannya menjalankan peribadatan dan membebaskan dari keterkungkungan penderitaan yang dialaminya. Dukungan gerakan tarekat terhadap SI dan PO di Keresidenan Cirebon semakin memperkuat perjuangan masyarakat Keresidenan cirebon. Bahkan pusat kegiatan tarekat ini selain di pesantren-pesantren juga di kraton. Konsep gerakan tarekat ini adalah selain menjalankan ajaran Islam yang sebenar-benarnya juga adalah nonkooperatif dengan kolonialisme. Dukungan kraton terhadap gerakan tarekat ini juga menunjukkan kraton bersifat antikolonialisme. Kraton juga mendukung terhadap berbagai kegiatan SI dan PO dalam memprotes dan mengkritik sistem sewa tanah dan perpajakan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda, Kraton juga mendukung berlakunya sistem pendidikan yang berdasarkan al Qur'an yang diterapkan oleh SI dan PO. Keberhasilan organisasi ini adalah merupakan suatu cara untuk menyuarakan persatuan di antara organisasi-organisasi Islam. Selain itu juga dalam rangka membebaskan umat Islam dari keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, dan ketertindasan dari kolonialisme. Usahausaha ini ditempuh juga dengan diselenggarakannya kongres Al Islam I yang mula pertama diprakarsai oleh Central Sarekat Islam (CSI) dan disambut baik oleh seluruh organisasi Islam Indonesia, dan SI Cirebon yang akhirnya menerima kepercayaan sebagai tuan rumah penyelenggara. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika pergerakan di Keresidenan Cirebon sangat berarti dalam jajaran sejarah pergeran.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T11614
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Imam Eka Respati Sabirin
Abstrak :
Penelitian ini berjudul Lajur Kanan Sebuah Jalan: Dinamika Pemikiran dan Aksi Bintang Bulan, Studi Kasus Gerakan Darul Islam [940 - 1962, yang berusaha menjelaskan dan merekonstruksi benang merah pemikiran dan aksi S.M. Kartosoewirjo, pada kurun pra-kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan. Fokus utama dari kajian ini terletak pemikiran Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan aksi-aksinya yang melahirkan KPK PSII, Institut Suffah dan Konferensi Cisayong 1945, yang merupakan tonggak-tonggak melahirkan Negara Islam Indonesia. Sejauh mana signifikansi peristiwa tersebut dalam pengertian agama, ideologis, politik, maupun budaya. Ruang lingkup penelitian meliputi Jawa Barat diprioritaskan di daerah Priangan Timur, dan pada kurun pra kemerdekaan maupun pasca kemrdekaan dari 1940 sampai dengan 1962. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan strukturis dengan teori collective action untuk membedakan penelitian yang pernah dilakukan selama ini menggunakan pendekatan politik. Sumber penelitian yang digunakan baik dari sumber primer maupun sekunder dan dimungkinkan dengan menggunakan metode wawancara (oral history). Sebagai seorang prinsipalis semenjak Pra-Kemerdekaan Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo menyebut dirinya sebagai keluarga "Bintang Bulan" untuk membedakan dirinya dengan kelompok Nasionalis Islami (Bulan Bintang). Tujuan penelitian ini untuk menguji sejauh mana pengaruh Pemikiran Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mentransformasi dalam gerakan Darul Islam dalam hubungannya dengan tesis collective action. Dan manfaatnya memberikan konstribusi dalam dunia akademis dalam merekonstruksi dinamika pemikiran dan aksi yang begitu lama dan luas pengaruhnya.
This title in this writing is The Right Way of Street: The Dynamic of Thinking and Action of Bintang Bulan, The Case Study of The Darul Islam Movement 1940 -1942 which tried to clarify and reconstruct the link of idea and the action of Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, in the era of pre independent and after that, This is focused on the study of KPK-PSII, Instititut Suffah and Cisayong Conference 1948. In order to find significant of the event which deals with the religion, ideology, politics and culture. This research was including West Java especially at the resort of east Priangan, in National Revolution 1940 until 1962. This research method used structures approach by using theory of collective action to make differentiate of the research used both primer and secondary sources and could use the oral history. As a principal, at the independent, Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo called himself the family of "Bintang Bulan". This is just to make the differentiate between the Islamic Nationalism family (Bulan Bintang). The purpose of this research to find of the way Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo thinking when he transformed it into The Darul Islam movement in the relationship of collective action thesis. The Benefit of it gives contribution in the academic field to reconstruct the dynamic thinking and action that was take long time and the influences extended widely.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T11610
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mashuri
Abstrak :
Berbagai daerah di Indonesia dalam periode 1947-1949 terlibat dalam perlawanan bersenjata dalam rangka menegakkan kedaulatan Indonesia yang terancam oleh kehadiran Belanda yang berkeinginan menguasai kembali Indonesia. Daerah Malang Selatan menjadi salah satu basis perjuangan sebagai akibat keputusan perjuangan diplomasi dalam bentuk Persetujuan Renville, namun yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana para pejuang dan rakyat menjalankan strategi untuk melawan Belanda, tanpa mengabaikan kebijakan yang digariskan oleh pemerintahan pusat dan Masrkas Besar Komando Djawa (MBKD). Kegiatan penelitian disesuaikan dengan langkah-langkah yang terdapat dalam metode sejarah. Langkah yang dimaksud meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan penyajian. Data yang terkumpul berupa data deskriptif. Sumber data berupa arsip, arsip yang diterbitkan, catatan kenang-kenangan yang tidak diterbitkan, hasil wawancara, surat kabar, majalah dan buku. Agresi Militer Belanda tanggal 21 Juli 1947 membawa perubahan terhadap tatanan politik. Belanda yang menggunakan strategi pendadakan dan pemusnahan (annihililation) menyulitkan posisi tentara Indonesia yang menggunakan sistem Linier mengakibatkan jatuhnya Kota Malang dan sekitarnya. Aparat pemerintahan mengundurkan diri ke daerah Malang Selatan. Jumlah aparat pemerintahan dan rakyat serta tentara yang menuju ke Malang Selatan semakin bertambah setelah disepakatinya Persetujuan Renville yang memisahkan wilayah Republik dengan daerah pendudukan Belanda. Menjelang berakhirnya tahun 1948 MBKD menetapkan pemilihan sistem wehrkreise sebagai upaya melanjutkan perjuangan. Sistem itu merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Perintah Siasat Nomor 1 dari MBKD. Wehrkreise hakekatnya adalah upaya memobilisasi rakyat demi kepentingan perjuangan. Mobilisasi dana dan tenaga dilakukan dalam bentuk dukungan yang bervariasi. Kebutuhan logistik gerilyawan diperoleh berkat partisipasi rakyat dalam bentuk sumbangan wajib, sistem maro penggarapan tanah milik negara (PPN) yang terlantar. Partisipasi rakyat dalam perjuangan juga berupa terbentuknya Pasukan Gerilya Desa yang koordinasinya dibawah Komando Militer Karesidenan Malang. Penyempurnaan organisasi perjuangan yang dilakukan secara terus menerus bersamaan dengan upaya pemberdayaan seluruh lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam, mampu meningkatkan operasi gerilya kedaerah pendudukan Belanda. Tekanan seperti itu membawa korban yang besar terhadap Belanda, lebih-lebih ketika dalam waktu yang sama mendapat tekanan diplomatik dari PBB. Perjuangan dalam diplomatik dan militer itu mampu memaksa Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Di Malang hal itu ditandai dengan kembalinya Walikota dan Bupati ke Kota Malang.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11794
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hidayati
Abstrak :
ABSTRAK Tidak lama setelah diproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, muncullah berbagai pergolakan yang datangnya dari Sekutu. Pergolakan itu disebabkan oleh kedatangan Sekutu yang pada mulanya hanya bertujuan menjaga keamanan, melucuti tentara Jepang dan sekaligus memulangkan kembali ke negaranya. Namun ternyata kedatangan Sekutu disertai orang-orang Belanda (MICA) yang dipersenjatai sehingga rakyat Indonesia merasa curiga bahwa sebenarnya kedatangan Sekutu itu sebenarnya mempunyai maksud untuk menanamkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa ternyata Sekutu sudah tidak mau lagi mengindahkan kedaulatan bangsa Indonesia, Akibatnya meletuslah pergolakan atau pertempuran besar di Jakarta, Surabaya, Magelang, Ambarawa, Semarang, Bandung untuk melawan Sekutu. Demikian di Yogyakarta saat itu juga terjadi pergolakan melawan Jepang, para pemuda dengan semangat tinggi dan penuh keberanian berhasil mendobrak dan membuka segel percetakan Surat Kabar Sinar Matahari. Selanjutnya para pemuda di bawah pimpinan Sumarmadi berhasil pula mengambil alih radio Jepang Hosokyoku. Suasana menjadi panas setelah para pemuda bersama rakyat dan Polisi Istimewa berhasil menurunkan bendera Jepang Hinomaru di Gedung Agung dan digantikan dengan bendera Merah Putih. Puncaknya adalah massa rakyat dapat menguasai markas Jepang di Kota Baru pada tanggal 7 Oktober 1945. Pada saat situasi dan kondisi yang tidak terkendali tersebut, tampillah Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk melindungi rakyatnya, dengan cara mengeluarkan beberapa maklumat. Adapun maksud beliau adalah untuk menampung para pemuda yang sedang bergelora, di pihak lain pemerintah sudah tidak mampu lagi menjamin keselamatan individu. Maka kemudian didirikanlah badan-badan perjuangan dengan berbagai nama dan semangat revolusi. Salah satu badan perjuangan yang muncul di Yogyakarta adalah BPRI Mataram yang tidak lain merupakan cikal Bakal terbentuknya TRM. Adapun aktivitas laskar TRM semata-mata berdasar suatu sikap anti penjajahan. Pada prinsipnya keberadaan TRM di Front adalah membantu tentara reguler dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Keberadaan TRM didukung oleh beberapa faktor diantaranya munculnya kelompok-kelompok laskar lain, sehubungan dengan dikeluarkannya plakat amanat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX; didapatkannya senjata dari Jepang: dikeluarkannya beberapa maklumat dukungan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX; adanya figur pemimpin yaitu Soetardjo sebagai koordinator laskar di garis depan maupun di garis belakang. Aktivitas TRM meliputi bidang politik (pertahanan) dan social . Dalam bidang politik, TRM baik ketika masih merupakan kelompok laskar maupun setelah menjadi batalyon reguler selalu aktif di berbagai Front. Diantaranya Front Magelang, Ambarawa, Semarang, Ujung Bening, Majalengka, Ciranji, Mangkang dan sepanjang medan Kediri Utara serta Jawa Timur pada waktu Agresi Belanda I. Sedang di bidang sosial, TRM menyelengarakan dapur umum dan Palang Merah, aktivitas ini ditangani oleh anggota TRM-Putri (PRIP) dibawah pimpinan Widayati. Karena kegigihan, keuletan dan keberaniannya di medan pertempuran, maka para perwira Markas Besar Tentara (MBT) memasukkan laskar TRM ke dalam Divisi ketentaraan resmi. Maka pada tanggal 15 Maret 1945 berubah nama menjadi Batalyon XXII Istimewa di bawah Resimen II Divisi IX dengan pimpinan Batalyon I dengan pimpinan Jenderal Mayor RP. Sudarsono. Namun pada tanggal 10 Juli 1946, Batalyon XXII tersebut dirubah lagi menjadi Mobile Batalyon I dengan komandannya tetap Soetardjo. Adapun alasannya adalah agar ruang lingkup dan aktivitas operasionalnya lebih luas. Setelah periode Mangkang, pasukan Mobile Batalyon I banyak yang meninggalkan kesatuannya, sehingga pasukan Bung Tardjo tersebut tinggal satu kompi. Meskipun demikian sisa pasukan Bung Tardjo ini tetap meneruskan perjuangannya di bawah koordinasi Divisi III/Diponegoro. Pada tahun 1948 aktivitas TRM telah berakhir, berkaitan dengan rekontruksi dan rasionalisasi ketentaraan di Indonesia, maka Mobile Batalyon I kemudian ada yang meneruskan kariernya dalam militer dengan menjadi tentara, ada yang kembali ke masyarakat dengan menjadi wiraswasta dan sebagian lagi melanjutkan ke bangku sekolah.
ABSTRACT Not long after the proclamation of the Indonesia Independent on August seventeen one thousand nine hundred forty five (17-8-1945), various developments, originating from the allied forces. Said developments were caused by the arrival of the allied forces which in the beginning only at the objective to maintain security, to'-disarm the Japanese and at the same time to return them to their country. Nevertheless it turns out that the arrival of the allied forces was accompanied by Dutch people (NIKA) who were armed so that the Indonesian people feel distracting that impact the aarival of the allied forces had the intention to replant Dutch authority in Indonesia. This trough that the allied forces did no longer care for the sovereignty of the Indonesian Nation. As the result various development occurred or large ware fare in Jakarta, Surabaya, Magelang, Ambarawa, Semarang, Bandung to fight against the allied forces. Thus in Yogyakarta at the time also happened events against the Japanese. The young people with high spirit and whole of courage succeeded to open the seal of the printing house of the daily Sinar Matahari. Further young people under the leadership of Sumardi succeeded to take over the Japanese radio Hosokyoku. The situation became very hot after the young people together with the general public and the mobile brigade succeeded to put-down the Japanese flag Hinomaru at Gedung Agung and substituted with the red and white flag. The top development was the great masses could control the Japanese headquotres in Kota Baru on October 7,1945. At the time when uncontrollable situation and condition were everywhere, appeared Sri Sultan Hamengku Buwono IX to protect this people by issuing a couple announcements. His purpose was to accommodate the young people who were being in great courage, on the other side the government is no longer able to guarantee individual safety. Thus struggle organization were established with various names and the spirit of revolution. One of the struggle organizations that appeared in Yogyakarta is BPRI--Mataram which was no other organization than that which eventually became the seed of TRM. The activities of the semi military TRM was singly on the basis of an anti colonial attitude. In principle the presence of TRM at the Front was to help the regular units in defending the independence of Indonesia. The presence of TRM was supported by various factors among others the appearing of other semi military groups, in relation to the issuing of placates on the-massage of Sri Sultan Hamengku Bowono IX, the obtaining of weapon from the Japanese, the issues of various support declarations by Sri Sultan Hamengku Buwono IX;the presence of the leader figure i.e Soetardjo as coordinator of semi military units at the Front line as well as at the back line. Activities of TRM included the field of politics (defense) and social. In the field of politics, TRM, both when both still forming a group of semi military as well as after becoming a regular battalion was invariably active in various Front lines. Among others at Front Magelang, Ambarawa, Semarang, Ujung Berung, Majalengka, Ciranji, Mangkan, and along the Front line Kedu Utara and East Java during the first Dutch agression. While in the social field TRM organized public kitchen and Red Cross, this activities was handled by lady members of TRM (PRIP) under leadership of Widayati. Thanks to their courage, their perseverance, and courage on Front line, the officers of the Head quarters (MBT) included laskar TRM into the official army unit. Thus on March 15,1945 its name was changed to become battalion 22 istimewa under regiment II Divisi IX which as leader of battalion I with as. leading Batalyion I, with as commander Jendral Major RP.Sudarsono. Nevertheless on July 10,1946, said Batalyion XXII was changed to become mobile battalion I with as commander always Soetardjo. The reason was in order that the scope and its cooperation avtivities would become proader. After the period of Mangkang, the mobile Batalyion I unit were many leaving their unit, so that the units of Bung Tardjo remained only one company. Nevertheless this remaining unit of Bung Tardjo continued its struggle under coordination of divisi III/Diponegoro. In ninety forty eight activities of TRM have ended, in relation to reconstruction and rationalization in the army in Indonesia, thus mobile batalyion I eventually there were those to continue their career in the military by becoming regular soldiers, part of them returned to the public community by becoming self employed people and part continued their study.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pono Fadlullah
Abstrak :
ABSTRAK Kepolisian Indonesia, khususnya kepolisian Jakarta pada masa mempertahankan Kemerdekaan RI, mengalami_ perkembangan sejarah yang menarik tentang peranannya dalam mempertahankan kemerdekaan itu. Polisi sebagai Social Action mempunyai tujuan, motivasi, dan aktifitas dalam berbagai tindakan dalam masyarakat untuk keamanan dan ketertiban serta menyelesaikan beberapa permasalahan dalam masyarakat. Penelitian tentang peranan polisi pada masa perang kemerdekaan mempunyai. ciri khusus yang harus kita telusuri, bagaimana peranan polisi Jakarta ini, serta bagaimana bentuk perjuangannya ? Penelitian ini berusaha untuk memberikan jawaban dan mengumpu].kan bukti-bukti bahwa apakah benar polisi Jakarta mempunyai peranan dan mempunyai bentuk perjuangan dalam Social Action (Parson C., 1951). Analisa data penelitian menerangkan bahwa terdapat berbagai bentuk kegiatan atau tindakan kepolisian Jakarta sesuai dengan organisasinya maupun dengan pembagian tugas mereka masing-masing. Langkah demi langkah perkembangan kepolisian yang sangat kompleks itu dapat pula ditelusuri dengan berbagai fakta yang menggambarkan perjuangan, pertumbuhan dan perkembangan kepolisian. Perubahan tipe kepolisian Belanda, tipe kepolisian Jepang, tipe kepolisian campuran, dan akhirnya muncul tipe kepolisian Indonesia, sebagai latar belakang perubahan bentuk kepolisian ini_merupakan perkembangan historic polisi Indonesia dan khususnya polisi Jakarta. Deskripsi data penelitian menunjukan bahwa Polisi Jakarta mempunyai peran serta nyata dalam perkembangan kemerdekaan RI 1945-1950. Sistem organisasi kepolisian yang masih harus ditumbuh-kembangkan pada waktu itu penuh permasalahan karena campur tangan Belanda dengan tentara Sekutu yang jelas sengaja ingin merebut kembali tanah jajahan ini ke pangkuannya. Oleh karena itu Polisi Jakarta dengan kesederhanaanya ikut membentuk CV (Civil. Police) berdampi_ngan dengan CV Belanda dan Sekutu. Kerusuhan dan pertikaian antara Civil Police Pribumi dengan Sekutu-Belanda, dalam usaha itu polisi Jakarta melakukan tindakan social (social action), membentuk bermacam-macam seksi dari seksi I dampai dengan seksi VII untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tindakan kepolisian Jakarta pada masa 1945-1950 didukung oleh masyarakat khususnya pemuda pejuang di Jakarta, yang terpadu dengan polisi Jakarta itu antara lain masyarakat Senen, Matraman, Mester, Kramat Jati, Tanjung Priuk, Pasar Ikan, Grogol dan berbagai tempat di luar Jakarta seperti Depok, Tangerang, Rengas Dekiok dan sebagainya. Bentuk kerjasama tindakan atau usaha menghadapi lawan maka polisi Jakarta bersama masyarakat tetap i.ngin diikuti keberadaannya sehingga kegiatan i.ni merupakan collective action. Sesuai dengan kesederhanaan perlengkapan kepolisian sebagai atribut atau seragam yang dipakai. oleh polisi Jakarta maka tindakan yang dilakukan selalu diusahakan untuk melindungi masyarakat dan pengamanan masyarakat. Demikianlah gambar.an singkat tentang peranan polisi Jakarta 1945-1950 yang diiaporkan sebagai hasil. penelitian ini dapat dapat berguna baqi masyar.akat kepolisian Jakarta khususnya dan masyarakat. Indonesia pada umumnya.
ABSTRACT Jakarta Metropolitan Police's Role in Defending Indonesian Indefendence (1945-1950)Indonesian Police, Jakarta Metrpolitan Police in particular, exprimenced an interesting historical development in its role of defending Indonesian independence, in the era of revulation for fredoom. As a Social Action Agency the police has its aims, motivatiob, and activities in various societal acts for security and order, and in seetling some problems in the society. Research on police's role in the are of Revolution for independence has special characteristics to be traced up, What and how was the role of the Jakarta Metropolitan Police and what was the structure of its struggle. This research endevaours to provide answers and to collect prooofs and evidences, whether it is true that the Jakarta Police has the role and has its own form of struggle in the Social Action (Parson, C.,1985). Research data analysis indicates that there existed various forms of activities and performances done by the Jakarta Police, in accordance with its organization and its division of tasks respectively. Step by step of the very complex Police development can be traced by various facts, illustrating stuggle, growth and development of the police. The change of Dutch Police type, Indonesian Police, as the bacground of the police modification, constituted the Indonesian Police history, the Jakarta Police in particular. The desciption of research analysis indicates that the Jakarta Police has an obvious participative role in the development of the struggle for Indonesian Independence (1945-1950). Police organizational system, which was still to be developed an the time. Was fully problematic, on acount of the Dutch interference along with the Allied Forces, that clearly and deliberately wishing to recapture this colonial archipelago into their hands. Therefore the Jakarta Police by its simplicity, joined to establish the Civil Policecontiguously side by side with the Ducth and the Allied Forces. Riots and conflicts betweem indigenous and the Ducth and Allied Forces Civil Police rose everywhere, and this case the Jakarta Police afforded to perform its social action, by establishing various sections from section I up to section VII covering Jakarta Territory and its environments. Jakarta Police action in the era 1945 - 1950 was supported by the community people, especially the struggling youth in Jakarta, itegrated with the Jakarta Police, a.o The Senen, Matraman, Mester, Kramat Jati, Tanjung Priok, Pasar Ikan, Grogol Comminities, along with the ones beyond Jakarta, as those of. Depok, Tangerang, Rengas nengklok and others. Cooperative action and effort in facing/confronting the enemy by the Jakarta Police and the communities, were constantly endeavoured and desired to be done collectively. Adapting to the police equipment mediocrity as atribute and uniform worn by the Jakarta Police, action performed was always afforded at least to protect and secure the community. This is juts a brief illustration cvoncerning the Jakarta Police's Role in 1.945 - 1.950, reported as research outcome, hoping that it will benefit the Jakarta Police society in general.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurakhman
Abstrak :
Tesis ini membahas proses interaksi kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekuler di Indonesia pada tahun 1908 hingga 1959. Pertumbuhan nasionalisme mengawali penulisan ini dan diakhiri dengan diberlakukannya sistem demokrasi terpimpin. Sebuah bangsa dalam proses menuju terbentuknya sebuah negara diawali dengan tumbuhnya rasa nasionalisme. Proses tumbuhnya rasa nasionalisme di Indonesia diawali dengan munculnya organisasi kemasyarakatan yang modern. Organisasi tersebut merupakan wadah bagi semua tokoh pergerakan nasional berinteraksi dan menyalurkan aspirasi mereka dalam melakukan perlawanan terhadap kekuatan kolonial. Perjuangan pergerakan ini ditandai dengan pencarian ideologi bagi perjuangan mereka. Hal tersebut memunculkan dua kekuatan dalam pergerakan nasional, yaitu nasionlis Islam dan nasionalis sekuler. Adanya dua kekuatan ini memunculkan persaingan dalam meraih pengaruh dari masyarakat. Sehingga pembentukan wadah persatuan lewat konfederasi pun, interaksi mereka tidak dapat muncul sebagai sebuah kekuatan yang mampu menekan kolonialisme Belanda untuk mewujudkan citacita kebangsaan Indonesia, Indonesia Merdeka. Persaingan ini terus berkembang dalam kehidupan politik Indonesia hingga Indonesia merdeka. Sehingga dalam kehidupan politik Indonesia selalu ditandai dengan singgungan dua kelompok tersebut. Melihat hal di atas persatuan bukan satu hal yang mudah dan banyak tantangan yang muncul dalam mewujudkannya. Kecurigaan di antara sesama menyebabkan ketidakpercayaan diantara mereka. Ketidakpercayaan membawa mereka kepada kebencian tehadap kelompok lain yang akhirnya kebencian itu membawa perpecahan dikalangan tokoh pergerakan. Hal tersebut menjadi suatu hambatan dalam mencapai persatuan Indonesia. Perbedaan pendapat ini bukan semata oleh karena perbedaan ideology antara Islam dan sekuler namun lebih pada adanya kepentingan pribdai atau golongan tertentu. Hal inilah yang menjadi kelemahan dalam persatuan bangsa kita dalam menuju Indonesia yang adil dan sejahtera.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T14842
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsudi
Abstrak :
Pembentukan Negara Federal di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks revolusi nasional Indonesia Sejak tercapainya pemetujuan Linggaljaii Negara Kesauian Republik Indonesia diubah menjadi Negara Federal dengan nama Negara Indonesia Serikat. Negara bagian yang tergabung dalam Negara Indonesia Serikat terdiri dari Republik Indonesia, Kalimantan dan Timur Besar.

Berdasarkan persetujuan tersebut Jawa Timur sama sekali tidak disebut untuk dipersiapkan menjadi Negara bagian dari Negara Indonesia Serikat. Berdasaikan uraian tersebut masaiah yang dikaji dalam tulisan ini meliputi kepentingan-kepentingan yang mendorong pembentukan Negara Jawa Timur, susunan ketatanegaraan Negara Jawa Timur dan pembubaran Negara Jawa Timur.

Dari sudut kepentingan Belanda pembentukan Negara Jawa Timur setidaknya merniiiki dua sasaran Pertama, secara ekonomi pembentukan Negara Jawa Timur diharapkan dapat menjamjn kepentingun ekonomi Belanda. Seperti diketahui wilayah Negara Jawa Timur merupakan daerah-daerah yang potensial karena merupakan sumber penyediaan bahan pangan, memiliki banyak perkebunan dan pabrik Kedua, secara politis dengan membentuk Negara Jawa Timur Belanda bermaksud mengepung Republik Indonesia dari dalam. Dengan demikian Republik Indonesia akan semakin lemah, selain itu pembentukan Negara Jawa Timur akan mampu membantu diplomasi Internasional Belanda karena Beianda dapat menunjukkan bahwa tidak seluruh masyarakat Indonesia mendukung Republik Indonesia. Dari sudut pendulnmg Negara Jawa Timur yang terdiri dari Aristokrasi lokal dan Aponturir politik pembentukan Negara Jawa Timur diharapkan dapat tatap menjamin dan meningkatkan status sosial ekonomi mereka.

Pembentukan Negara Jawa Timur dipelopori oleh Recomba Jawa Timur Ch.O. van der Plass. Hampir seiuruh inisiaiip pembentukan Negara Jawa Timur berasal dari Belanda walaupun menggunakan orang-orang Indonesia Pembentukan Negara Jawa Timur mengalami berbagai rintangan karena besarnya perlawanan dari masyarakai. Beberapa Iaugkall yang ditempuh Van der Plass dalam membentuk Negara Djawa Timur antura lain rnendukung Partai Rakyat Djawa Timur, mendukung Partai Kebangsaan Madura, membentuk dawan Islam Djawa Timur, membentuk Organisasi Rahasia di bawah Gajado Neiis, membenlnk Perkumpulan-Perkumpulan Wanita untuk melemahkan semangat perjuangan, membentuk Persatuan Rakyat Djawa Timur, membentuk Gerakan Rakyat Djawa Timur, membentuk Dewan Kabupaten/Kota dan mengadakan Muktamar Jawa Timur di Bondowoso. Melalui Muktamar Jawa Timur di Bondowoso imlah Negara Jawa Timur terbentuk. Kendatipun para utusan Muktamar yang hadir di Bondowoso tersebut diberi kebebasan imtuk menyampaikan pendapat, tetapi dilihat dari proses pemiiihnn Dewan Kabupaten/Kota yang diaertai ancaman dan penangkapan terhadap orang-orang yang tidak dikehendaki Belanda, dapat dikatakan bahwa proses pembentukan Negara Jawa Timur masih jauh dad Demokralis.

Mengenai susunan Ketatanegaraan Negara Jawa Timur diatur daiam suatu Undang-Undang Dasar yang disebut Peraturan Hukum Tata Negara Negara Jawa Timur. Peraturan itu terdiri dari 17 Bab, 144 Pasal dan 11 Pasal Aturan Peralihan Sistem pemerintahan Negara Jawa Timur dapal dikatakan sederhana karena hanya terdiri dari 7 Departemen yaitu, Departemen Dalam Negeri, Seketaris Umum, Depariemen Pengajaran dan Lalu Lintas, Departemen Pengajaran, Kesenian dan Keilmuan, Departemen Urusan Ekonomi, Departemen Keuangan dan Departemen Pengacara Umum. Di Negara Jawa Timur ada 4 jabatan strategis yang diduduki Belanda, yailu, Mr. CC, de Rooy sebagaj Sekretaris Umum Mr. CCd.W. Uffelle sebagai Kepaln Departemen Keuangan, Mr. AF. Van Grambhel sebagai Kepala Departemen Pengacara Umum dan Mr. Baiietta sebagai Sekretaris Kabinet. Kenyaiaan ini menunjukkan bahwa Belanda memiiiki kepentingan besar lerhadap Negara Jawa Timur. Dengan demikian pembentukan Negara Jawa Timur yang didirikan untuk mentukan nnsib rakyat Jawa Timur hanyalah kedok semata. Ha] ini diperkual dengan adanya kenyataan bahwa ada sejumlah kekuasaan yang tidak diserahkan kepada Negara Jawa Timur.

Negara Jawa Timur hanya berkuasa sekitar empat bulan saja, mulai bulan Oktober 194 9-Januari 1950. Dalam jangka walctu yang sangat singkat itu Negara Jawa Timur beium dapat berbuat banyak karena sebelulnya sejak berkuasa tems menerus mendapat gangguan keamanan di wilayalmya Para gerilyawan lerus melakukan sabotase dan ganggnan keamanan. Disisi lain berbagai Resolusi muncul unlnk menuntut pembubaran Negara Jawa Timur. .Iika dicermati pembubamn Negara Jawa Timur disebabakan oleh 3 hal yailu karena tuntutan masyarakat melalui aksi demo dan pengiriman Resolusi karena adanya kesetian rakyat terhadap Republik Indonesia dan persepsi bahwa Negara federal henlul-can penjajah dan ketiga katena desakan tentara. Negara Jawa Timur tidak meiniliki tentnra sendiri, mereka mengandalkan tentara. Belunda Ketika tentara Belanda meninggalkan Indonesia setelah penyerakan kedaulatan (Konfereusi Menja Bandar), Negara Jawa Timur Lidak memiliki pelindung. Karena pos-pos tentara Belanda yang ditinggalkan diisi oleh tentara Nasional Indonesia.
Abstract
The formation of Federal States in Indonesia may not be separated with the context of national revolution of Indonesia. After accepting Linggarjati agreement, Republic of Indonesia was changed into Federal States called Negara Indonesia Serikat (United States of Indonesia). The states included into United States of Indonesia are Republic of Indonesia, Kalimantan, and Timur Besar.

Based on the agreement, East Java was not prepared at all as a state of United Stated of Indonesia. Deal'ing with the description above, the problem studied in this study includes the interest supporting the formation of East Java Country, the arrangement of nationality of East Java County and the dismissal of East Java Country.

From the interest of Netherlands, the formation of East Java Country had two target. First, from economical side, the formation of East Java Country is expected to grant economical demand of Netherlands. As we know, East Java Country comprised potential areas possessing the source of food material, farms and factories. Second, from political point, with the formation of East Java Country, Netherlands tried to encircle Republic of Indonesia from inside. Therefore Republic of Indonesia will be weaker, besides the formation of East Java Country will support international diplomatic of Netherlands for Netherlands may show that not all Indonesian support Republic of Indonesia. From the point of view East Java Country proponents comprising local aristocracy and politic adventurer, the formation of East Java Country was expected to grant and improve their social economy status.

The formation of East Java Country was lead by East Java Recomba Ch.O. van der Plass. Almost all of the initiatives in the formation of East Java Country came from Netherlands although using Indonesian persons. The formation of East Java Country encountered various obstacles because of the struggle of the people. Many steps taken by Van der Plass in forming East Java County was by supporting Partai Rakyat Djawa Timur, Partai Kebangsaan Madura, forming Dewan Islam Djawa Timur, fonning Clandestine Organization under Gajado Nefis, forming Woman Organizations to weaken struggle spirit, forming Persatuan Rakyat Djawa Timur, Gerakan Rakyat Djawa Timur, Dewan KabupatenfKota, and conducting Muktamar Jawa Timur in Bondowoso, During Muktamar Jawa Timur in Bondowoso, East Java Country was formed. Although the representatives of the conference in Bondowoso were free to present their opinion, but noticed Hom the process of the selection of Dewan Kabupaten/Kota incorporated with the intimidation and arrest toward the people not preferred by Netherlands, it may be said that the formation process of East Java Country was far from democratic.

The arrangement of national administrative of East Java Country determined in a Constitution called The Rule of National Administrative of East Java Country. This rule comprised I7 chapters, 144 paragraphs, and I1 sections of alternation rule. The governmental system of East Java may be considered simple since it consisted only 7 Departments, namely Domestic Affairs Department, Secretary General, Irrigation and Traffic Department, Department of Education, Art and Science, Economic Affairs Department, Financial Department and Department of General Attorney. In East Java Country, there are 4 strategic position hold by Netherlands, namely Mr. CC de Rooy as Secretary General, Mr. CCd. W Uffelle as Director of Financial Department, Mr. AF Van Grambhel as Director of Department of General Attomey and Mr. Bajjetta as Cabinet Secretary. This fact indicated that Netherlands has big interest toward East Java Country. Therefore the formation of East Java Country to determine the fate of East Java people was only a mask This was strongly indicated that in fact there were authorities not submitted to East Java Country.

East Java Country run only four months, from October 1949 to January 1950. In this very short time, East Java Country couldn?t do more since it underwent stability msturbance in its area. The underground fighter kept on sabotaging and disturbing the stability. Besides, various resolution emerges demanding the dismissal of east Java Country. The dismissal of East Java Country is caused by 3 things, namely the demand of people through demonstration, in resolution proposal because of the loyalty of people toward Republic of Indonesia, and the perception that Federal Sates formed by Netherlands; and the agitation of the army- East Java Country had no its ovm army, but depended on Netherlands army. When leaving Indonesia after submitting the sovereignty (Konferensi Meja Bundar), East Java Country didn?t have the protector, for the abandoned post of Netherlands army is occupied by Indonesian army.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T4854
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>