Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Dwi Susanto
Abstrak :
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai set infla nasi. Proses inflamasi ini menyebabkan peningkatan kepekaan (hipereaktiviti) saluran napas terhadap berbagai rangsangan sehingga timbul gejala-gejala pernapasan akibat penyempitan saluran napas difus dengan derajat bervariasi yang dapat membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Gejala asma dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsangan termasuk refluks gastroesofagus. Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) didefinisikan sebagai gejala dan atau kerusakan mukosa esofagus (esofagitis) akibat refluks abnormal isi lanibung ke dalam esofagus. Refluks gastroesofagus berhubungan erat dengan berbagai gejala dan kelainan saluran napas termasuk batuk kronik serta asma. Hubungan penyakit refluks gastroesofagus dan asma dipikirkan oleh William Oster pertama kali pada tahun 1912. Oster memperkirakan bahwa serangan asma mungkin disebabkan oleh iritasi langsung mukosa bronkus atau tidak langsung oleh pengaruh refleks lambung. Kekerapan penyakit refluks gastroesofagus pada asma secara pasti tidak diketahui, diperkirakan antara 34-89%. Penelitian menunjukkan sekitar 55-82% pasien asma mempunyai gejala PRGE. Hasil pemeriksaan endoskopi pasien asma menunjukkan kekerapan esofagitis antara 27-43%. Peran pengobatan PRGE terhadap kontrol asma masih belum jelas. Pengobatan dengan antirefluks tidak konsisten dalam memperbaiki faal paru, gejala asma, asma ma'am ataupun penggunaan obat asma pada pasien asma tanpa reflux associated respiratory symptoms (RARS). Rangkuman berbagai penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa terapi dengan obat-obat antirefluks mengurangi gejala asma, mengurangi penggunaan obat-obat asma tetapi mempunyai efek minimal atau bahkan tidak ada pada faal paru. Penghambat pampa proton (PPP) telah dikenal sebagai obat terbaik untuk tatalaksana PRGE. Penggunaan PPP pada pasien asma dengan PRGE terlihat penurunan gejala asma 43% setelah 2 bulan pengobatan serta 57% setelah 3 bulan pengobatan.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadi Iwan Guntoro
Abstrak :
Pembedahan di daerah toraks dan abdomen sering menimbulkan komplikasi pascabedah terutama mempengaruhi sistem pernapasan yang mempunyai risiko besar terjadi penyulit pascabedah. Kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran yang meliputi kemajuan teknik pembedahan, obat-obatan dan cara anestesi memungkinkan untuk melakukan tindakan bedah pada kasus-kasus dengan kelainan kardiopulmoner yang sebelumnya tidak dapat dioperasi sehingga konsekuensinya angka morbiditi dan mortaliti pascabedah dapat meningkat. Untuk mengurangi kekerapan komplikasi pare pascabedah dan menurunkan morbiditi dan morta.liti serta masa penyembuhan yang lebih cepat maka diperlukan persiapan prabedah yang baik. Persiapan prabedah ini diperlukan untuk dapat : 1. Mengidentif kasi faktor risiko yang berhubungan dengan penderita dan operasinya. 2. Memisahkan penderita termasuk dalam kelompok risiko rendah atau tinggi. Pilihan jenis pembedahan misalnya segmentektomi, lobektomi, pneumonektomi dan lain-lain didasarkan pada ukuran lesi, letak lesi, faal pant dan penyakit yang mendasari tetapi penentuan terakhir dilakukan pada saat pembedahan. Pemeriksaan faal paru selain berguna untuk pemeriksaan penunjang diagnostik penyakit part juga untuk menilai perkembangan perjalanan penyakit paru tertentu, efek pemberian pengobatan, deteksi dini penyakit paru tertentu, menilai prognosis penyakit dan mengetahui toleransi operasi. Pemeriksaan ini dapat memperoleh prediksi faal pant penderita pascabedah paru serta risiko selama dan sesudah pembedahan sehingga dapat diambil tindakan penanggulangan menjelang pembedahan. Salah sate cara untuk mengetahui faal part adalah pemeriksaan dengan menggunakan spirometri. Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan faal paru sederhana yang paling sering dilakukan karena murah, praktis dan mudah digunakan tetapi cukup memberi informasi yang diperlukan. Sampai saat ini belum ditemukan penelitian untuk mendeteksi pengaruh berbagai faktor risiko yang hares diperhatikan sebelum dilakukan bedah toraks terhadap faal paru penderita setelah pelaksanaan bedah toraks. Peneliti ingin melihat apakah faktor-faktor risiko tersebut mempengaruhi faal paru penderita pascabedah toraks. Penelitian serupa belum pernah dilaksanakan.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koko Harnoko
Abstrak :
Jumlah penderita kanker paru di dunia terus meningkat dan menjadi masalah kesehatan yang penting. Menurut International Journal of Cancer 1999, terdapat 8,1 juta penderita seluruh jenis kanker di dunia dan lebih dari separuhnya berada di negara berkembang. Kanker paru adalah jenis kanker yang paling sering ditemukan, yaitu 18% dari seluruh kanker di negara maju dan 21% dari seluruh kanker di negara berkembang. Di Indonesia, kanker paru menduduki peringkat ketiga di antara tumor ganas yang paling sering ditemukan. Data dari Rumah Sakit Persahabatan Jakarta menunjukkan peningkatan jumlah penderita kanker paru setiap tahunnya. Tabun 1970-1976 ada 382 kasus, tahun 1984-1988 ada 666 kasus dan tahun 1993-1998 didapatkan 1285 kasus. Anoreksia pada penderita kanker seringkali merupakan proses awal dalam suatu tahapan menuju berkurangnya asupan makanan yang kronik, malnutrisi dan akhirnya kakeksia. Kakeksia atau penurunan berat badan pada beberapa penelitian klinis berhubungan dengan berkurangnya angka tahan hidup, menurunnya respons terhadap kemoterapi dan penurunan tampilan klinis. Di antara faktor-faktor prognostik utama penderita kanker yaitu jenis tumor, stage, tampilan klinis dan penurunan berat badan, yang secara potensial paling respons terhadap intervensi pengobatan adalah penurunan berat badan. Dampak panting anoreksia dan penurunan berat badan ini biasanya tampak pada bentuk fisik dan konsekuensi psikososial. Anoreksia dapat mempengaruhi kondisi klinis dan emosional penderita seperti bentuk badan, massa lemak tubuh, energi, status fungsional, kemampuan bersosialisasi dan perasaan. Sitokin mempunyai peranan kunci sebagai faktor humoral utama pada kakeksia akibat kanker. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sitokin dapat menginduksi penurunan berat badan. Sitokin dapat mengatur ambilan energi (nafsu makan) dan pengeluaran energi (metabolic rate). Pemberian tumor necrosis factor (TNF) pada tikus dan manusia akan menurunkan asupan makanan, tetapi efeknya hanya terlihat jangka pendek. Darling dkk. membuktikan bahwa jika TNF diberikan melalui infus terus menerus akan menimbulkan efek anoreksik, sedangkan efek anoreksik tidak terjadi dengan pemberian secara bolus. TNF jugs berperan pada katabolisme protein dan mekanisme proteolitik dan apoptosis otot. Tidak ada pengobatan efektif yang telah terbukti sebelumnya untuk menyembuhkan anoreksia dan penurunan berat badan pada penderita kanker stage lanjut. Beberapa obat (kortikosteroid, siproheptadin, hidralazin sulfat dan dronabinol) yang telah diuji untuk mengatasi anoreksia ternyata kurang berhasil. Pemberian nutrisi enteral dan parenteral akan meningkatkan asupan kalori, tetapi cara ini dinilai tidak praktis, mahal dan tidak nyaman. Suatu obat praktis yang nontoksik untuk mengatasi anoreksia dan kakeksia akan lebih menguntungkan dalam penatalaksanaan simtomatik dan suportif penderita kanker.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58466
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadlun Bukayer
Abstrak :
Pasien KPKBSK mengalami progresifitas penyakit 8-12 minggu setelah pemberian kemoterapi lini kedua sehingga pemberian kemoterapi lini kedua dapat digunakan untuk meningkatkan ketahanan hidup pasien. Dosetaksel dapat digunakan sebagai kemoterapi lini kedua pada pasien yang mengalami perburukan setelah kemoterapi lini pertama. Namun penelitian pemberian dosetaksel sebagai kemoterapi lini kedua belum ada di Indonesia. Sampai saat ini, kami belum mendapatkan data mengenai efikasi dosetaksel seperti ketahanan hidup toksistitas pada orang Indonesia. Objektif : Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai ketahanan hidup pasien KPKBSK yang diberikan dosetaksel sebagai kemoterapi lini kedua di RS Persahabatan. Metode : Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif. Kami mengumpulkan catatan rekam medis pasien yang mendapatkan dosetaksel sebagai kemoterapi lini kedua di RS Persahabatan sejak bulan Januari 2011 hingga Februari 2014. Kami melakukan kunjungan rumah atau komunikasi via telepon apabila informasi dalam rekam medis tidak lengkap. Kami melakukan analisis Kaplan-Meier dan uji Log Rank untuk menilai faktor yang mempunyai korelasi terhadap ketahanan hidup pasien. Hasil : Subjek terbanyak yang dijumpai adalah laki-laki (72,7%) dengan kelompok usia >50 tahun sebanyak (79,5%) serta rerata usia 57,00±SD 10,00 dengan rentang 30?74 tahun. Angka tahan hidup 1 tahun yang kami temukan adalah 70,5% dengan masa tengah tahan hidup16,18 bulan. Toksisitas hematologi anemia grade 1 sebanyak (40,9%), anemia grade 2 sebanyak (2,3%), anemia grade 3 sebanyak (2,3%). Toksisitas hematologi leukopenia grade 1 sebanyak (4,5%) dan leukosit grade 1 sebanyak (2,3%) serta toksisitas hematologi neutropenia grade 1 sebanyak (2,3%). Toksisitas nonhematologi yang ditemukan adalah mual-muntah (84,1%), mialgia (90,9%) serta neuropati (97,7%). Tampilan status dan modalitas selain kemoterapi merupakan faktor prognostik yang baik. Berdasarkan uji Cox Regression, tampilan status berperan dalam ketahanan hidup Exp(B) 0,109(95%CI 0,015-0,816; p= 0,031). Kesimpulan : Dosetaksel dapat digunakan sebagai kemoterapi lini kedua karena ketahanan hidup yang didapatkan cukup baik dengan toksisitas ringan. Tampilan status dan pemberian modalitas terapi lain merupakan faktor prognostik yang baik. ......Since NSCLC patients had disease progression after 8-12 weeks after first line chemotherapy so that second line chemotherapy could be applied to prolong survival. Docetaxel could be applied for NSCLC patient who had disease progression. However, research on Docetaxel application as second line chemotherapy had not yet conducted in Indonesia. So far, we had not data on docetaxel efficacy such as its survival rate and its toxicity on Indonesian subjects. Purpose : The objective of the study to evaluate the survival rate of docetaxel as second line chemotherapy for NSCLC patients in Persahabatan Hospital. Methode : This study used the cohort retrospective method. We collected the data from medical records of NSCLC patients who had docetaxel as second line chemotherapy in Persabatan Hospital, within Januari 2011 until February 2014. If the medical record didn?t give the information that was needed, we did the phone callor home visit. The Kaplan-Meier analysis was done and continued with Log Rank test to evaluate factors that correlate with patients survival rate. Result : Subjects in this study were mostly male (72,7%) with predominant age group of over 50 years old (79,5%) and mean age were 57,00±SD 10,00 within range 30?74 years old. Predominant histopathologic type of NSCLC was adenocarcinoma(91%). This study found that 1-year survival rate of patients after docetaxel chemotherapy was 70,5% amd median survival time of 16,18 month. hematological toxicity found were anemia grade 1 (40,9%), grade (2,3%), grade 3 (2,3%), also leucopenia grade 1 (4,5%) grade 2 (2,3%) and neutropenia grade 1 (2,3%). Nonhematological toxicity found were nausea (84,1%), myalgia (90,9%) and neuropathy (97,7%). We found that performance status and additional treatment modality were good prognostic factors on bivariate analysis. Furthermore, only performance status was found as prognostic factors on Cox Regression Exp(B) 0,109 (95%CI 0,015-0,816; p= 0,031). Conclusion : Docetaxel could be applied as second line chemotherapy since its survival rate was good while its toxicity found was mild. Performance status and additional treatment modality were good prognostic factor.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Rogayah
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh penyuluhan dan Senam Asma edonesia terhadap pengetahuan, sikap, perilaku dan gejala klinik penderit asma. Jumlah subiek penelitian ini sebanyak 40 orang yang terdiri dari 20 orang kelompok kasus dan 20 orang kelompok kontrol. Penderita berusia 15-55 tahun dengan umur rata-rata pada kelompok kasus 46 ±11,71 tahun dan kelompok kontrol 37 ±8,99 tahun. Pada kelompok kasus penderita mengikuti penyuluhan dan melakukan Senam Asma Indonenesia 77,3% selama 6 bulan, sedangkan kelompok kontrol adalah penderita yang tidak mengikuti penyuluhan dan Senam Asma Indonesia. Dari penelitian didapatkan pada kelompok kasus peningkatan pengetahuan 12,5%, sikap 53,9% dan perilaku 53,5% sedangkan pada kelompok kontrol peningkatan pengetahuan 5,6%, sikap 9,1% dan tidak ada perubahan terhadap perilaku. Pada kelompok kasus terdapat penurunan skor gejala klinik yaitu jumlah batuk 71,33%, gangguan tidur 75,4%, gangguan aktivitas 80,5%, napas berbunyi 84,6%. Pada kelompok kontrol terdapat penurunan skor gejala klinik yaitu jumlah batuk 43,6% gangguan tidur 40,9%, gangguan aktivitas 35,8% dan napas berbunyi 40,6%. Peningkatan faal paru KVP,VEP dan APE pada kelompok kasus yaitu KVP dari 1733 ± 231,06 ml menjadi 1842 ± 300,03 ml, VEP dari 1349,5 ± 169,94 ml menjadi 1469,2 ± 190,19 ml dan APE dari 325,9 ± 45,89 Vmnt menjadi 352,6 ± 64,73 l/mnt. Peningkatan faal paru KVP, VEP, dan APE pada kelompok kontrol yaitu KVP dari 1762 ± 307,59 ml menjadi 1840 ± 332,79 ml, VEP, dari 1389,5 ± 214,36 ml menjadi 1482 ± 252,59 ml dan APE dari 323,65 ± 53.51 V/mnt menjadi 348,5 ± 58,23 l/mnt.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57312
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Siska Anggreni
Abstrak :
Diskusi pertama kelompok tutorial merupakan sesi paling penting yang menentukan pola dan dinamika kelompok dalam berdiskusi. Pada sesi ini dibutuhkan partisipasi aktif dan kemampuan kepemimpinan (leadership) dari fasilitator dalam memfasilitasi proses tutorial, maka perlu dilakukan penelitian untuk menyelidiki preferensi mahasiswa dan pemahaman fasilitator mengenai tipe kepemimpinan fasilitator dalam diskusi kelompok tutorial PBL di FK Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Metode : Penelitian ini dilakukan di FK UISU pada bukan juni 2013. Kuesioner tipe kepemimpinan fasilitator dan kuesioner peran tanggung jawab fasilitator versi bahasa Indonesia yang telah divalidasi, dibagikan kepada 850 orang mahasiswa dan 50 orang fasilitator tahap prekilinik FK UISU tahun ajaran 2012-2013. Hasil: Dalam penelitian ini dijumpai hubungan bermakna antara tipe kepemimpinan fasilitator menurut preferensi mahasiswa dengan pemahaman fasilitator tentang tipe kepemimpinan yang diperlukan dalam diskusi kelompok tutorial PBL. Mahasiswa lebih menginginkan tipe kepemimpinan demokratis yang harus dimiliki fasilitator, tetapi fasilitator lebih memahami tipe non demokratis sebagai fasilitator. Penelitian ini juga menunjukkan mahasiswa dan fasilitator mengetahui dengan baik tentang semua peran dan tanggung jawab fasilitator kecuali peran fasilitatif. Kesimpulan: Tipe kepemimpinan demokratis merupakan tipe kepemimpinan yang diinginkan mahasiswa dalam diskusi kelompok tutorial PBL FK UISU. ......The first discussion group tutorial sessions are most crucial in determining the pattern and dynamics of the group in discussion. At this session it takes active participation and leadership skills (leadership) of the fascilitator in fascilitating the tutorial, it is necessary to study to investigate: type of fascilitator leadership in tutorial group discussion PBL: student preference and fascilitator understanding at Islamic of North Sumatra University (UISU) medical school Methode : The research was conducted in June instead of UISU medical school in 2013. Questionnaires leadership type and questionnaires role fascilitator responsible Indonesian version that has been validated and distributed to 850 students and 50 fascilitators preclinic stage UISU medical school 2012-2013 school year. Result: In the present study found a significant relationship between the type of leadership fascilitator preference about the student with an understanding of the type of leadership fascilitator required in tutorial group discussion PBL. Students prefer more democratic type of leadership that should be owned by the fascilitator, but fascilitators understand more non-democratic type of facilitator. This study also shows students and fascilitators know well about all the roles and responsibilities of a facilitator than a fascilitative role. Conclusion: Democratic type of leadership is the type of leadership in the student preference tutorial group discussion PBL UISU medical school.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Iswati Raharjani
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Distribusi histologis kanker paru berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perempuan perokok lebih sering terkena adenokarsinoma sedangkan laki-laki perokok lebih sering terkena karsinoma sel skuamosa. Insidens kanker paru perempuan di Asia Timur dinyatakan 2-3 kali lebih banyak dibandingkan perempuan negara barat dan sekitar 70% bukan perokok. Tujuan: Mengetahui angka tahan hidup pasien kanker paru pada perempuan, karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan hidupnya. Metode: Penelitian dilakukan dengan metode cohort retrospektif dari rekam medis pasien kanker paru yang dirawat dan meninggal di RS Persahabatan dalam kurun waktu Januari 2008-Desember 2012. Hasil: Subjek dalam penelitian ini diperoleh 83 orang dengan rata-rata usia 53 tahun, pendidikan SLTA 49,4%, 86,7% bukan perokok, 71,1% belum pernah pengobatan tuberkulosis, keluhan utama terbanyak nyeri dada 28,9%, dan 57,8% tampilan pasien baik (PS≤2). Karakteristik tumor 81,9% adenokarsinoma, 100% stage IV, 71,1% metastasis di pleura dan masalah pasien terbanyak efusi pleura ganas 42,2%. Lima puluh tiga persen pasien tidak mendapatkan terapi tumor. Masa tengah tahan hidup pasien kanker paru perempuan 42 hari, dan angka tahan hidup (ATH) 1 bulan 59%, 6 bulan 18,1%, 1 tahun 6%, 2 tahun 1,2%. Faktor yang dianggap mempengaruhi ketahanan hidup pasien kanker paru perempuan adalah tampilan pasien dan pemberian terapi. Kesimpulan: Angka tahan hidup pasien kanker perempuan di RS Persahabatan lebih rendah daripada penelitian lain, hal ini dikarenakan semua subjek merupakan stage IV dan sebagian tampilannya buruk. Faktor tampilan yang bagus dan pemberian terapi dianggap meningkatkan ketahanan hidup pasien kanker paru perempuan.
ABSTRACT
Introduction:Histological distribution of lung cancer is different between man and woman. Women smokers are more often exposed to adenocarsinoma, but men smokers are more often get squamous cell carsinoma. Incidence of lung cancer in East Asian women expressed 2-3 times more than the western countries and about 70% are non-smokers. Objective: To know the survival rate of lung cancer in women, the characteristics factors that’s influence the survival. Method: The study was conducted using a retrospective cohort of medical records of patients treated for lung cancer and died at RSUP Persahabatan during the period January 2008-December 2012. Results: Subjects in this study were obtained 83 men with an average age of 53 years, 49.4% high school education, 86.7% non-smokers, 71.1% had never been the treatment of tuberculosis, most major complaint of chest pain 28.9%, and 57 , 8% of patients look good (PS ≤ 2). Tumor characteristics adenocarcinoma 81.9%, 100% stage IV, 71.1% and pleural metastasis in most patients the problem 42.2% of malignant pleural effusions. Fifty-three percent of patients did not receive tumor therapy. Median survival of lung cancer in women 42 days, and the survival rate (SR) of 1 month 59%, 6 months 18.1%, 1-year 6%, 2 years 1.2%. Factors considered to affect the survival of lung cancer in this study are performance status and therapy. Conclusion: Therapy in patients with lung cancer can improve survival of lung cancer in women even though had advanced stage, especially if it has a good performance status.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktavinda Safitry
Abstrak :
Latar Belakang: Kompetensi "mengambil keputusan terhadap dilema etika yang terjadi pada pelayanan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat" tercantum dalam SKDI 2005 sehingga harus ada dalam kurikulum dan dilaksanakan di dalam modul. Penerapan proses pengambilan keputusan etis (PKE) berkaitan dengan manajemen pasien, karena itu pembelajaran pada tahap klinis pendidikan kedokteran menjadi keharusan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses pembelajaran pengambilan keputusan etis di tahap klinispendidikan kedokteran di FKUI. Metode: Penelitian merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan mengidentifikasi komponen Buku Kurikulum, Buku Rancangan Pengajaran modul praktik klinik, dan dokumen lain; wawancara mendalam pengelola program studi, pengelola modul, staf pengajar; serta Focus Group Discussion (FGD) pada mahasiswa. Hasil: Tidak ada modul praktik klinik yang lengkap mencantumkan PKE dalam dokumen. Pengelola modul kurang memahami kompetensi PKE SKDI 2006. Sebagai klinisi, staf pengajar mampu mengidentifikasi dan mengambil keputusan penyelesaian dilema etika. Mahasiswa memahami PKE dan menemukan kasus berdilema etika dalam proses pembelajaran tahap klinik. Mahasiswa mendiskusikan dilema etika yang ditemui dengan residen dan/atau dokter penanggungjawab kasus. Mahasiswa memiliki prior knowledge yang didapat pada tahap preklinik. Kesimpulan: Proses pembelajaran pengambilan keputusan etis di tahap klinis merupakan hidden curriculum.Perlu dilakukan peningkatan kapasitas staf pengajar di bidang teori etika kedokteran dan penyusunan modul agar PKE menjadi komponen tertulis dalam kurikulum. ......Background: Ethical Reasoning is one of competency component stated in the ?2006 Indonesian Medical Doctor Competencies Standard? therefor it has to be taught in medical faculties. The competency should be stated in all documents related to the curriculum. The learning of ethical reasoning should be done in clinical years since it is related to patient's managements. This research was done to evaluate the ethical reasoning learning process in the clinical stage medical education in Faculty of Medicine University of Indonesia. Method: This is a descriptive qualitative research which identifies the component of curriculum inside the curriculum documents; indepth interview to the module developer, module organizer, and teachers; and focus group discussion with clinical year medical students. Result: Ethical Reasoning Competency was not written as the aim of any module, as seen in the Instructional Design of all documents. The module developer did not recognize this competency despite their daily practice of ethical reasoning. The students learnt ethical reasoning in clinical stage by observing the medical staff during their interaction with patient with ethical dilemma. The student were able to identify the cases based on their prior knowledge from previous stage. Conclusion: Ethical reasoning learning process in clinical stage is part of hidden curriculum.Capacity building for faculty members in medical ethics theory and module development for the faculty member are needed to make the ethical reasoning process as a part of the curriculum.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktafany
Abstrak :
Latar Belakang: Problem-based learning dalam pendidikan kedokteran di Indonesia menuntut lulusannya untuk memiliki mutu yang baik. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (UNILA) telah mulai menerapkan strategi pembelajaran PBL pada tahun ajaran 2008. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan kinerja tutor dan kinerja belajar mandiri dan pelaporan hasil belajar mandiri dalam diskusi problem-based learning pada mahasiswa FK UNILA Provinsi Lampung. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif cross sectional. Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan alat bantu kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Sampel merupakan total sampling dari mahasiswa kedokteran FK Unila semester 3 dan 7 sebanyak 375 sampel. Hasil: Terdapat hubungan bermakna antara kinerja tutor dengan kegiatan belajar mandiri dan pelaporan hasil belajar mandiri oleh mahasiswa FK Unila. Analisis chi square nilai p < 0,001. Pada uji statistik didapati nilai OR =4,88 yang berarti bahwa responden yang menyatakan kinerja tutor baik berpeluang sebesar 4,88 kali untuk memiliki kinerja belajar mandiri dan pelaporan hasil belajar mandiri yang baik dibandingkan dengan responden yang menyatakan kinerja tutor kurang. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara kinerja tutor dengan kinerja belajar mandiri dan pelaporan hasil belajar mandiri. ......Background: Problem-based learning of medical education in Indonesia requires graduates to have a good quality. Faculty of Medicine, University of Lampung (UNILA) have started implementing PBL learning strategies in the academic year 2008. The aim of this study is to find the relationship tutor's performance and the performance of self-directed learning activity and reporting process of medical students Unila Lampung Province. Methods: This study is a quantitative cross sectional. Data was collected using a questionnaire that has been tested for validity and reliability. The sample is a 3rd and 7th semester medical student of FK UNILA (375 samples). Results: There was a significant relationship between the performance of tutors with self-directed learning activities and the self study report of 3rd and 7th UNILA medical school (p value <0.001). From statistical analysis, we found OR = 4.88, which means that the respondents who perceived to have a good tutor performance were 4.88 times to have a good self-directed learning performance and their sel-study reporting results that compared the performance of tutors respondents who expressed less. Conclusion: There is a relationship between the tutor's performance with student self-directed learning performance and self-study reporting results.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rose Feri
Abstrak :
Latar belakang: Pergeseran teori motivasi kuantitas menjadi kualitas, yaitu self-determination theory (SDT) telah merubah paradigma staf pengajar pendidikan kedokteran tentang motivasi. Menurut SDT, motivasi otonomi (MO) merupakan variabel penting dalam meningkatkan prestasi akademik mahasiswa kedokteran dan MO sangat berpotensi untuk ditingkatkan atau dilemahkan oleh hubungan interpersonal antara tutor dengan mahasiswa selama proses pembelajaran. Tujuan penelitian untuk merumuskan hubungan motivasi otonomi dan dukungan otonomi tutor dengan prestasi akademik mahasiswa kedokteran. Metode: Penelitian cross-sectional dilaksanakan di FK-UPH pada bulan Januari-Maret 2016 dan melibatkan seluruh angkatan 2015 (total sampling) yang mengikuti diskusi tutorial problem-based learning Blok Fundamental Medical Science (FMS). Data motivasi otonomi dan dukungan otonomi tutor diperoleh dari Learning Self-Regulation Questionnaire dan Learning Climate Questionnaire. Data prestasi akademik mahasiswa didapat dari nilai ujian FMS (multiple choice questions). Hasil: Data yang diperoleh secara lengkap sejumlah 199 orang. Penelitian menunjukkan 79,4% mahasiswa memiliki MO dan mendapat dukungan otonomi tutor yang tinggi, yaitu sebesar 5,22 dari total skor 7. Hasil analisis regresi linier multipel menunjukkan peningkatan MO mahasiswa sejalan dengan peningkatan prestasi akademik mahasiswa. Kedua, prestasi akademik mahasiswa akan menurun jika mendapat peningkatan dukungan otonomi tutor. Ketiga, terdapat hubungan MO dan dukungan otonomi tutor secara bersamaan terhadap prestasi akademik. Kesimpulan: Motivasi otonomi dan dukungan otonomi tutor berperan menentukan prestasi akademik mahasiswa. Namun, dukungan otonomi tutor tanpa disertai structure kepada mahasiswa dengan latar belakang pendidikan teacher-centered dan keterampilan belajar mandiri yang rendah dapat menurunkan prestasi akademik mahasiswa. ......Background: A transformation in motivation theory from quantity to quality, such as self-determination theory (SDT) has changed the paradigm of medical educators. In accordance with SDT, autonomous motivation (AM) is an important variable in improving medical students? academic achievement and AM has a possibility to be augmented or diminished by interpersonal relationships between tutors and students during learning activities. This study is aimed to assess the relationship between AM and tutors? autonomy support with students? academic achievement. Methods: This study was conducted between January 2016 and March 2016 at the UPH medical school; and all medical students from 2015 class (total sampling) participated in problem-based learning tutorial discussion for Fundamental Medical Science (FMS) Block. Learning Self-Regulation Questionnaire and Learning Climate Questionnaire were distributed to assess students? AM and tutors? autonomy support. Students? academic achievement data was obtained from the score of FMS assessment (multiple choice questions). Results: The final data was completed by 199 students. About 79,4% of the students were autonomously motivated and the score of perceived tutors? autonomy support was high (5.22 out of 7). The results of multiple regression analysis indicated that first, AM was consistent with students? academic achievement. Second, the augmentation of tutors? autonomy support resulted in the diminished students? academic achievement. Third, there was a concurrent association between AM and tutors? autonomy support with academic achievement. Conclusion: Students? autonomous motivation and tutors? autonomy support are necessary for academic achievement. However, tutors? autonomy support itself without structure will diminish students? academic achievement especially in students with teacher-centered educational background and poor self-regulated learning skills.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>