Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anastasia Pudjitriherwanti
Abstrak :
Keberadaan idiom dalam suatu bahasa memiliki arti penting. Idiom digunakan sehari-hari baik dalam percakapan maupun dalam tulisan. Dalam tulisan idiom digunakan baik dalam karya ilmiah maupun karya sastra. Karena sifatnya, idiom hampir tidak dapat diterjemahkan secara harfiah kata per kata. Dalam mewujudkan terjemahan idiom yang sepadan, yaitu terjemahan yang dipahami oleh pembaca BSa (Target Language reader) seperti pembaca BSu (Source Language reader) memahami idiom dalam TSu (Source Language text), dapat dimanfaatkan berbagai bentuk yang mungkin dijadikan padanan idiom, diantaranya bentuk idiom juga, bukan idiom atau ungkapan bukan idiom. Selain itu juga dapat digunakan berbagai prosedur penerjemahan, diantaranya transposisi (transposition), modulasi (modulation) pemadanan berkonteks (contextual conditioning) dan transferensi (transference). Dengan memperhatikan hal-hal di atas, dalam penelitian ini ingin diketahui (I) bagaimanakah bentuk terjemahan idiom bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia: berupa idiom pula atau bukan idiom? (2) prosedur penerjemahan apakah yang ditempuh pada penerjemahan idiom bahasa Prancis ke bahasa Indonesia? (3) sepadankah pesan yang terkandung dalam penerjemahan dengan idiom dalam TSu? (4) faktor-faktor apa yang menyebabkan tidak tercapainya kesepadanan dalam penerjemahan idiom? Dengan menggunakan 55 data yang berasal dari 4 buah cerita fiksi remaja, dan satu majalah berita ilmiah serta terjemahannya dalam BSa dilakukan analisis terhadap idiom tersebut. Analisis meliputi 2 tahap. Tahap pertama disebut tahap penentuan idiom Ada 2 hal yang dilakukan, yaitu: (1) pengenalan langsung tanpa memperhatikan konteks yang menyertainya. Hal itu dilakukan, bila ditemukan frasa yang tidak berterima secara harfiah, (2) pemahaman konteks di mana frasa itu berada. Hal itu dilakukan, bila ditemukan frasa yang frasa yang berterima secara harfiah. Langkah selanjutnya adalah mencatat secara terpisah, frasa yang dicurigai sebagai idiom itu, untuk selanjutnya dikonsultasikan pada kamus baik bentuk maupun maknanya. Frasa yang bentuk dan maknanya terdapat dalam kamus digolongkan sebagai idiom yang lazim digunakan dalam BSu, sedangkan frasa yang bentuk dan maknanya tidak terdapat dalam kamus, dikonsultasikan pada informan BSu. Kemudian untuk menguji apakah bentukan yang ditemukan itu idiom atau bukan, diuji dengan alat uji penentu idiom. Alat uji penentu idiom itu didasarkan pada kontinum (continuum), kenonkomposisionalan (noncornposisionality), kenonproduktifan (nonpraductivity). Tahap kedua adalah analisis penerjemahan idiom. Dari hasil pengujian tersebut ditemukan 55 idiom yang lazim digunakan dalam BSu dan ditemukan pula bentukan yang memenuhi kriteria keidioman. Menurut informan BSu bentukan tersebut merupakan idiom baru. Dalam membentuk hasil terjemahan idiom yang sepadan, yaitu hasil terjemahan yang dapat dipahami pembaca BSa seperti pembaca BSu memahaminya, menurut Nida dan Taber (1969:106) ada 3 kemungkinan terjemahan, yaitu: (1) dari idiom ke idiom, (2) dari idiom ke bukan idiom dan (3) dari bukan idiom ke idiom. Namun dalam penelitian ini yang diteliti hanya butir (1) dan (2). Dalam analisis penerjemahan, idiom dikelompokkan berdasarkan Cara penerjemahannya, yaitu: (1) idiom menjadi idiom, baik idiom yang sepadan dengan unsur pembentuk yang secara semantis sama maupun idiom yang sepadan dengan unsur pembentuk yang secara semantis berbeda, (2) dari idiom ke bukan idiom dalam BSa, (3) dari idiom ke ungkapan bukan idiom. Untuk mengetahui kesepadanan idiom BSu den terjemahannya dalam BSa, digunakan satu orang informan BSu, dan satu orang informan BSa. Pemahaman informan terhadap idiom yang diteliti diketahui dari angket yang diberikan kepada informan. Selain untuk mengetahui pesan yang terdapat dalam sebuah idiom peneliti juga menggunakan cara-cara lain yaitu menggunakan referensi berupa kamus dan bahan-bahan tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan idiom yang diteliti. Dari hasil analisis terhadap penerjemahan idiom diperoleh temuan sebagai berikut, dilihat dari kesepadanannya, hampir semua idiom BSu memperoleh terjemahan yang sepadan. Terjemahan yang sepadan itu berasal dari kedua bentuk terjemahan yaitu: bentuk idiom baik idiom yang dibentuk dengan unsur pembentuk yang sama maupun berbeda secara semantis sebanyak 8 data dan bentuk bukan idiom sebanyak 46 data. Dari analisis ditemukan juga bentukan yang memenuhi syarat sebagai idiom bahasa Prancis yang diterjemahkan dengan idiom yang tidak sepadan sebanyak 1 data. Prosedur penerjemahan yang ditemukan pada penerjemahan idiom menjadi idiom yang sepadan adalah transposisi dan modulasi. Transposisi tersebut meliputi geseran tataran (level shift), yaitu geseran dari tataran gramatikal ke tataran leksikal dan geseran kategori meliputi penggeseran struktur, unit dan kelas (structure, unit, class shift) dan intrasistem (intrasystem shift). Geseran ini merupakan geseran wajib dan otomatis yang disebabkan karena sistem dan kaidah dalam BSa. Modulasi yang ditemukan adalah modulasi bebas yang berupa eksplisitasi dan implisitasi yang berusaha menciptakan kesetalian dan kewajaran ungkapan BSa. Modulasi lainnya adalah geseran sudut Pandang. Prosedur penerjemahan yang ditemukan dalam penerjemahan dari idiom BSu ke bukan idiom dalam BSa adalah prosedur modulasi bebas. Modulasi bebas tersebut merupakan proses eksplitasi, karena dalam penerjemahan, dieksplisitasikan makna idiom tersebut. Dari fakta-fakta di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar idiom BSu diterjemahkan ke BSa menjadi bentuk bukan idiom. Namun semuanya merupakan terjemahan yang sepadan. Pesan yang terdapat dalam idiom BSu, disampaikan dalam bentuk bukan idiom dalam BSa, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memahami ungkapan tersebut.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T5719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melliana Yachya Abbas
Abstrak :
Penerjemahan bukan semata-mata masalah kebahasaan, tetapi juga kegiatan lintas budaya. Karena itu penerjemahan tidak hanya mengalami hambatan dari segi bahasa, tetapi juga dari segi kebudayaan, antara lain dalam penerjemahan kata bermuatan budaya (Kbb). Karena sifatnya Kbb hampir tidak dapat diterjemahkan secara harfiah, atau kata demi kata. Dalam mewujudkan terjemahan yang sepadan yaitu terjemahan yang dipahami oleh pembaca biasa seperti pembaca Hsu memahami Kbb dalam Tsu dapat diterapkan berbagai prosedur yaitu transposisi, modulasi, pemadanan fungsional, pemadanan berkonteks, pemadanan budaya, transferensi dan pemberian catatan. Dengan memperhatikan hal-hal yang telah diuraikan di atas, melalui penelitian ini ingin diketahui (1) prosedur penerjemahan apa yang ditempuh dalam menerjemahkan Kbb bahasa Jepang ke Bahasa Indonesia. (2) Apa unsur bahasa Indonesia yang digunakan oleh penerjemah sebagai padanan bagi suatu Kbb Tsu di dalam Tsa (berupa kata, frasa, klausa atau kalimat). (3) Geseran (shift) apa yang terjadi pada penerjemahan Kbb Tsu ke Tsa. (4) Dengan mengecek melalui informan dan menggunakan prinsip kesepadanan dinamis (Nida dan Taber 1974) ingin diketahui apakah terjemahan suatu Kbb Tsa selalu sepadan dengan aslinya di dalam Tsu. (5) Faktor-faktor apa yang menyebabkan tercapai dan tidaknya kesepadanan di antara Kbb Tsu dan terjemahannya di dalam Tsa. Dari sumber data berupa buku cerita berjudul Madogiwa No Tottochan dan terjemahnnya Tottochan Si Gadis Kecil Di Tepi Jendela dalarn bahasa Indonesia, diperoleh 49 butir Kbb yang meliputi Kbb yang mengungkapkan faktor religi, kebudayaan materiil, dan kebudayaan sosial. Dari jumlah data tersebut dipilih 40 butir data yang dianggap dapat mewakili untuk dianalisis. Analisis terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah analisis semantis yang dimulai dengan mengidentifikasi unsur bahasa dalam Tsu yang diduga sebagai Kbb. Identifkasi dilakukan dengan berpedoman kepada pendapat Nida (1996), Newmark (1988) dan Matsui (1997), dilanjutkan dengan analisis komponen makna untuk mengetahui perbedaan dan persamaan komponen makna Kbb dalam Tsu dan terjemahannya di dalam Tsa. Tahap berikutnya adalah analisis terjemahan. Dengan berpedoman kepada keserupaan atau ketidakserupaan pemahaman informan Bsu dan Bsa, masing- masing terjemahan tersebut dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu terjemahan yang sepadan dan yang tidak sepadan. Untuk mengetahui kesepadanan Kbb Bsu dan terjemahannya di dalam Bsa, masing-masing digunakan, satu orang informan Bsu, dan satu orang informan Bsa. Dari analisis terhadap terjemahan Kbb di ketahui hal-hal berikut: Prosedur penerjemahan yang ditemukan adalah modulasi, transposisi, pemadanan fungsional, pemadanan berkonteks, pemadanan budaya, tranferensi dan pemadanan bercatatan. Unsur bahasa Indonesia yang digunakan sebagai terjemahan di dalam Tsa adalah kata, frasa, klausa, dan kalimat. Prosedur yang diterapkan mengakibatkan adanya geseran struktural maupun geseran semantis. Geseran struktural meliputi geseran unit dan geseran struktur, sedangkan geseran semantis yang ada adalah geseran sudut pandang dan geseran cakupan luasan makna. Dari 40 butir data terjemahan yang dianalisis, 32 data mencapai kesepadanan dinamis dan 8 butir data tidak. Kesepadanan dapat tercapai karena informan Bsa dapat memahami terjemahan Kbb dalam Tsa sama seperti informan Bsu memahami Kbb dalam Tsu nya. Tidak tercapainya kesepadanan pada terjemahan Kbb disebabkan terjemahan Kbb dalam teks sasaran tidak dapat dipahami oleh pembaca Bsa seperti pembaca Bsu memahami Kbb dalam Tsu nya. Hal ini dikarenakan oleh : - Konsep, objek, benda atau referen yang dimaksud tidak dikenal dalam kebudayaan Bsa. - Penggunaan prosedur penerjemahan yang kurang tepat. - Ada kesalahan linguistis, yaitu pemilihan kata termasuk penerjemahan Kbb secara harfiah.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T10941
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Izu Yusnida Eka Puteri
Abstrak :
Penggunaan pronomina persona tidak pernah lepas dari komunikasi bahasa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam percakapan biasa, misalnya antara orang tua dan anak; dalam percakapan resmi, misalnya di forum-forum diskusi atau ilmiah; dan bahkan dalam cerita, misalnya fiksi dan nonfiksi, keberadaannya tidak dapat diabaikan. Singkatnya, kata yang berfungsi untuk menggantikan orang itu selalu ada dalam setiap interaksi yang di dalamnya dapat meliputi orang pertama, kedua, atau ketiga. Orang pertama adalah orang yang berperan sebagai pembicara, orang kedua adalah lawan bicara, dan orang ketiga adalah orang yang dibicarakan, di mana orang ketiga tersebut bisa hadir atau tidak hadir dalam sebuah interaksi. Setiap bahasa memiliki sistem pronomina persona, dan bentuknya sangat bervariasi antara satu bahasa dengan bahasa yang lain. Begitu pula dengan bahasa Jepang dan bahasa Indonesia yang menjadi objek dalam penelitian ini. Namun, setiap bahasa memiliki kategori yang paling mendasar untuk pronomina persona, yaitu persona (orang pertama, kedua, dan ketiga) dan jumlah (tunggal, jamak, dan sebagainya). Selanjutnya, ada pula kategori-kategori yang sering ditemukan pada bahasa lain, seperti perbedaan antara bernyawa dan tidak bernyawa, jenis kelamin bentuk inklusif dan eksklusif, dan bentuk hormat. Adanya perbedaan-perbedaan dalam sistem pronomina persona bahasa Jepang, serta kehidupan sosial budaya yang berbeda, menimbulkan pertanyaan bagaimana padanan pronomina persona Bahasa Jepang di dalam bahasa Indonesia. Melalui sebuah cerita pendek (cerpen) berikut terjemahannya sebagai sumber data primer, dilakukan penelitian atas pronomina persona bahasa Jepang dan padanannya dalam bahasa Indonesia. Pertama dilakukan klasif ikasi atas pronomina persona bahasa Jepang dan padanannya. Ditemukan 221 data objek berikut padanannya. Cuplikan kaiimat-kalirnat yang mengandung pronomina persona bahasa Jepang tersebut disesuaikan dengan padanannya. Untuk mengetahui kebenarannya, maka cuplikan data dan padanannya dikonsultasikan kepada dua orang informan. Informan pertama adalah penutur asli bahasa Jepang yang memahami bahasa Indonesia dengan baik, sedangkan informan kedua adalah penutur asli bahasa Indonesia yang memahami bahasa Jepang dengan baik Langkah terakhir merupakan penghitungan atas temuan pronomina persona dan padanannya. Penerjemahan pronomina persona antara dua bahasa tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kehidupan sosial budaya para pemakainya. Karena, cara pemakaian. pronomina persona juga terkait dengan kebudayaan masing-masing masyarakatnya. Pronomina yang digunakan oleh penguasa terhadap rakyat atau bawahannaya tidak akan sama dengan yang digunakan rakyat terhadap penguasa. Brown dan Gilman menegaskan hal itu di dalam bukunya The Power of Pronouns and Solidarity. Secara gamblang Hymes menuturkan komponen komponen. komunikasi yang menjadi acuan dalam menentukan tingkat kesopanan sebuah bahasa, dengan istilah SPEAKING. Dari analisis yang dilakukan didapatkan kesimpulan, bahwa sekitar 95,02% padanan dari pronomina di dalam bahasa Indonesia adalah pronomina persona juga. Sisanya sebanyak 4,98% berupa padanan yang bukan pronomina persona. Pemadanan pronomina persona dengan yang bukan pronomina persona dilakukan penerjemah untuk mengantisipasi distorsi beberapa makna tertentu, seperti komponen jenis kelamin yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Dalam penerjemahan sistem pronomina persona, penerjemah menerapkan prosedur transposisi (pergeseran bentuk) dan modulasi (pergeseran makna). Transposisi meliputi pergeseran tataran, dari tataran gramatikal ke tataran leksikal, dan pergeseran kategori meliputi pergeseran struktur, unit, kelas kata, dan intrasistem. Modulasi yang terjadi adalah pergeseran luasan cakupan makna serta modulasi bebas yang berupa implisitasi, karena pronomina persona bahasa Jepang sering diresapkan, sedangkan pronomina bahasa Indonesia cendrung eksplisit. Akibatnya, ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia jumlah pronomina tersebut menjadi banyak atau frekuensi kemunculannya tinggi.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11924
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ermitati
Abstrak :
ABSTRAK
Ada dua jenis kalimat yang dihasilkan dalam penggunaan bahasa, yakni kalimat sistem (system-sentence) dan kalimat teks (text-sentence). Menurut Lyons (1981; 1995), kalimat yang dituturkan oleh pembicara mengandung makna proposisional dan makna nonproposisional. Makna proposisional bertalian dengan makna yang tersandi dalam ungkapan alami, yang dapat benar atau takbenar bergantung pada kebenaran atau ketakbenaran proposisi yang dinyatakan, sedangkan makna nonproposisional bertalian dengan pengungkapan sikap, keyakinan, atau perasaan pembicara, yang tersandi dalam unsur leksikal atau unsur gramatikal kalimat yang dituturkannya.

Objek penelitian ini adalah kalimat sistem bahasa Indonesia ragam lisan informal, yang dipakai di Jakarta. Dengan menggunakan- metode penelitian deskriptif kualitatif, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan makna nonproposisional yang tersandi dalam unsur leksikal dan unsur gramatikal suatu kalimat. Penelitian ini menggunakan teori makna kalimat Lyons (1995), yang menggabungkan teori makna kalimat Katz-Fodor (1963) dengan teori tindak ujar Austin (1962) dan implikatur konvensiona! Grice (1975).

Dalam penelitian ini saya menemukan bahwa penutur bahasa Indonesia dapat menggramatikalkan keyakinannya terhadap kebenaran suatu proposisi dengan menuturkan kalimat deklaratif berupa komitmen epistemik dan kalimat tak langsung, serta penuturan kalimat interogatif. Sikap pembicara terhadap peristiwa dapat digramatikalkan dengan penuturan kalimat imperatif, sedangkan rasa kagum pembicara terhadap sesuatu dapat digramatikalkan dengan penuturan kalimat eksklamatif. Sikap pembicara terhadap proposisi dan sikap pembicara terhadap peristiwa itu disebut oleh Lyons (1995) sebagai makna subjektif.

Makna subjektif yang tersandi dalam unsur leksikal dapat diklasifikasi menjadi (a) keyakinan pembicara terhadap kebenaran proposisi, (b) keyakinan pembicara terhadap ketakbenaran proposisi, (c) kekurangyakinan pembicara terhadap kebenaran proposisi, dan (d) sikap pembicara terhadap peristiwa. Makna social yang tersandi dalam unsur leksikal dapat diklasifikasi berdasarkan penggunaan (a) pronomina persona kedua, (b) leksem kekerabatan, dan (c) penggunaan eufemisme.

Keyakinan pembicara terhadap kebenaran proposisi disebut praanggapan: Praanggapan berbeda dari perikutan karena perikutan merupakan makna proposisional yang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam suatu proposisi. Perikutan dapatdiungkapkan melalui relasi makna antarunsur leksikal pengisis gatra kalimat. Berdasarkan relasi makna antarunsur leksikal, perikutan dapat diklasifikasi menjadi empat, yakni (a) perikutan sepihak, (b) perikutan pertentangan, (c) perikutan timbal balik, dan (d) perikutan kebalikan. Praanggapan dalam bahasa Indonesia diklasifikasi berdasarkan pemicu praanggapan menjadi (a) pemicu praanggapan verba, (b) pemicu praanggapan adverbia, (c) pemicu praanggapan konjungtor, (d) pemicu praanggapan pronomina, dan (e) pemicu praanggapan partikel.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Muhadjir
Abstrak :
ABSTRAK Tesis ini bertujuan memberikan gambaran tentang pemarkah prominensi--salah satu segi bahasa, yaitu seorang penulis berupaya menarik kesadaran pembaca terhadap beberapa ciri yang saling berlawanan--tematis tindakan baik dalam teks naratif bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa prorninensi tematis tindakan adalah istilah lain dari pelatardepanan--prominensi relatif dalam wacana yang menyimpang dari norma kebahasaan dan berlawanan dengan pelatarbelakangan, peristiwa yang termasuk dalam garis utama cerita adalah latar depan--dalam hal keduanya memfokuskan verba atau peristiwa utama yang berfungsi sebagai tulang punggung cerita. Tesis ini juga bertujuan menganalisis realisasi kesepadanan terjemahan antara pemarkahan prorninensi tematis tindakan dalam teks naratif bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, karena kedua bahasa tersebut memiliki struktur dan sistem yang berbeda. Peneliti tesis ini ingin sekali mengetahui jenis kerespondensi formal dan pergeseran dalam terjemahan menurut kriteria gramatikal dan semantis. Dengan kata lain, apakah pergeseran terjadi secara gramatikal, semantis atau kedua-duanya. Tesis ini, akhirnya, menyimpulkan bahwa kesepadanan terjemahan terjadi baik secara gramatikal maupun semantis; dan ternyata, pergeseran gramatikal lebih dominan daripada pergeseran semantis. Pada korespondensi formal terdapat korespondensi antara kata dengan kata, frasa dengan frasa, sementara itu, dalam pergeseran struktural atau gramatikal terdapat pergeseran unit, struktur, kelas, dan intra sistem. Disimpulkan juga, bahwa pergeseran terjemahan pominensi tematis tindakan disebabkan oleh kenyataan bahwa bahasa Indonesia tidak memiliki sistem kala; tetapi sebaliknya, bahasa Indonesia memiliki baik sistem dan pemarkah keergartifan maupun ketransitifan.
This thesis aims at giving the description about the marker of the thematic prominence-aspects of language by which the writer chooses to draw the consciousness of the reader to some features in contrast to others-of events both in English and Indonesian narrative texts. This study will show that the thematic prominence of events is another terms of foregrounding-relative prominence in a discourse which deviates from a linguistics norm apposite of backgrounding, events belonging to the story line are foregrounded-, in that both focus on the verbs or main events which function as the backbone of the story. This study also aims at analyzing the realization of the translation equivalent of the thematic prominence of events marking in English and Indonesian narrative text, since both languages have different structure and system. It is desirable to know the kinds of formal correspondences and tsranslation shifts in terms of grammatical and semantic criteria. In another word, whether the shift occurs grammatically or semantically or both of them. This thesis, finally, concludes that translation equivalent occurs grammatically as well as semantically; however, the grammatical shifts are more dominant than the semantic ones. In the formal correspondence, there are equivalences between words and words as well as phrases and phrases, while in the structural or grammatical shifts there are shifts in unit, structure, class, and intra-system. To sum up, translation shifts are caused by the fact that Indonesian does not have the tense system; however, it has the ergative and the transitive markers.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusi Asnidar
Abstrak :
Majas personifikasi merupakan salah satu bentuk kiasan yang melekatkan sifat insani pada benda tak ternyawa dan ide abstrak. Majas personifikasi sering menimbulkan masalah dalam penerjemahan karena bersifat khas pada bahasa. Berdasarkan bentuknya, majas personifikasi dapat diterjemahkan dengan menggunakan bentuk figuratif dan bentuk nonfiguratif. Penerjemahan majas personifikasi BSu ke BSa berbentuk: 1) penerjemahan majas personifikasi BSu menjadi majas personifikasi BSa, 2) penerjemahan majas personifikasi BSu ke majas personifikasi BSa, 3) penerjemahan majas personifikasi BSu ke metafora BSa yang sepadan, 4) penerjemahan majas personifikasi BSu ke simile BSa yang sepadan, 5) penerjemahan majas personifikasi BSu ke idiom BSa yang sepadan, 6) penerjemahan majas personifikasi BSu menjadi bentuk nonfiguratif BSa. Prosedur yang ditemukan dalam penerjemahan data meliputi transposisi dan modulasi. Transposisi berupa geseran tataran gramatikal ke tataran kata, dan geseran kategori yang meliputi geseran struktur, unit, kelas kata dan intrasistem. Geseran bentuk disebabkan perbedaan sistem dan kaidah bahasa Prancis sebagai BSu dan bahasa Indonesia sebagai BSa. Geseran ini juga dilakukan untuk mengisi kesenjangan leksikal dalam BSa. Modulasi yang ditemukan meliputi geseran sudut pandang, cakupan makna, dan modulasi bebas berupa eksplisitasi dan implisitasi. Modulasi bebas lain yang ditemukan adalah pemadanan bentuk negatif ganda yang menjadi bentuk positif dalam BSu. Geseran makna dalam penerjemahan data ini dilakukan untuk menciptakan keberterjemahan, yakni kewajaran dan kesetalian makna dalam BSa. Berdasarkan kesepadanannya dari 136 data majas personifikasi BSu yang diterjemahkan ke BSa terdapat 135 data terjemahan yang sepadan dan hanya 1 data terjemahan yang tidak sepadan. Ketidaksepadanan dalam penerjemahan data terjadi karena penerjemah ingin mempertahankan bentuk BSu dan unsur estetis kebahasaan.
Personification is one of figures of speech which renders the inanimate and abstract ideas animate or human, As a figurative item, it's hard to be translated literally, There are two forms of personification translation, figurative and nonfigurative form. This research aimed at investigating: 1) the forms of the translation, 2) the procedures used in translating SL personification into TL personification, and 3) the factors causing both equivalence and nonequivalence between SL personifications and their translation in Indonesian. One hundred and thirty six data were collected from Le Noeud de Viperes, a French Novel from Francois Mauriac and their translation in Indonesian from Jalinan War Berbisa, translated by Ida Sundari Husen. Based on form and equivalence, the findings of this research are: 1) Translation of SL personification in equivalent TL personification, 2) Translation of SL personification in nonequivalent TL personification, 3) Translation of SL personification in equivalent TL metaphor, 4) Translation of SL personification in equivalent TL simile, 5) Translation of SL personification in equivalent TL idiom, 6) Translation of SL personification in equivalent TL nonfigurative form. Based on procedure translation analysis, the findings are: 1) transposition that included: level shill (from grammar to lexis), unit, structure, class, and intra-system shift, 2) Modulation that included: free modulation, Point of view shift, and lexical field shift. Procedures play an important role in creating translation equivalence. The translation nonequivalence is caused by formal correspondence and Language esthetics factors.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15347
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bondan Widita Tunggadewi
Abstrak :
Tesis yang berjudul Interpretasi Iklan oleh Pemirsa: Analisis Iklan Rokok A Mild ini adalah kajian analisis wacana yang mengacu kepada paradigma kritis Fairclough dan kajian iklan sebagai wacana Cook yang didukung oleh teori semiotik Barthes. Objek penelitian ini adalah sejumlah empat buah iklan iklan rokok A Mild. Iklan-iklan itu dikaji dari segi maksud pengiklan dan dari segi pemaknaan dan penafsirannya oleh pemirsa, yang dalam hal ini diwakili oleh sejumlah empat informan. Penelitian dalam tesis ini bertujuan untuk: 1. Menjelaskan maksud dari pengiklan akan iklannya beserta citra yang dibangunnya. 2. Menjelaskan interpretasi publik terhadap iklan. 3. Menjelaskan pemahanlan publik terhadap iklan pada tataran ideologi. Cakupan penelitian ini dibatasi pada data iklan A Mild yang berupa iklan yang pernah disiarkan di televisi pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai interpretasi yang dihasilkan oleh pemirsa sesuai dengan rentang pilihan interpretasi yang ditentukan pihak pengiklan. Hal ini menunjukkan bahwa ideologi pengiklan ditafsirkan sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pengiklan, sehingga disimpulkan bahwa komunikasi yang dilakukan pihak A Mild melalui iklannya kepada publik berhasil menyampaikan pesan yang terkandung dalam iklan yang diteliti.
The Interpretation of Viewers: An Analysis of A Mild Cigarette's Commercials is a theses of discourse analysis which based on Fairclough's critical paradigm and Cook's discourse of advertising that using Barthes' semiotics theory. The prime objects of this research are four A Mild television commercials. Those commercials studied by the point of advertiser's intention and viewers' interpretations. In this case. The viewers were represented by four informants. The objectives of this research are: 1. To give explanation of the core message that advertiser try to communicate and the brand image they try to build. 2. To give explanation of the public's interpretation ofthe commercial. 3. To give explanation, whether the ideology that has been set by the advertiser is well communicated to the public or not. This research bounds on A Mild's television commercials that have been released between year 1995 to 2004. The result of the research shows that the viewers' interpretations vary within the range of interpretation choices that is set by the advertiser. This shows that public's interpretation is parallel to advertiser's ideology. This led to conclusion, the communication through commercials which advertiser conduct is carrying out the messages ofthe studied commercials to the public.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
T17216
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Ida Savitri
Abstrak :
Penelitian ini mengkaji enam seri strip komik Peanuts (STP) menggunakan teori pragmatik berupa kajian implikatur percakapan dari Sperber dan Wilson (1986;1996) dengan menganalisis basil pengungkapan implikatur percakapan dari dua puluh enam ujaran yang terdapat di dalam enam seri STP oleh empat orang informan; dan teori semiotik berupa signifikasi kultural dari Danesi dan Perron (1999) dengan menganalisis hasil interpretasi dari empat orang informan atas enam seri STP. Informan dikelompokkan menjadi dua. Kelompok pertama terdiri atas dua orang Indonesia yang merayakan atau memperingati peristiwa budaya Amerika di Indonesia, sedangkan kelompok kedua terdiri atas dua orang Indonesia yang merayakan atau memperingati peristiwa budaya Amerika di Amerika Serikat. Analisis tersebut ditujukan untuk mengetahui makna peristiwa budaya Amerika bagi informan sebagai orang Indonesia, bagaimana makna tersebut direpresentasikan di dalam STP, dan mengapa informan memaknainya demikian. Hasil pemaknaan informan menunjukkan bahwa mereka memandang STP sebagai wadah peristiwa budaya Amerika yang direpresentasikan oleh tokoh dan peristiwa yang terdapat di dalamnya, di mana informan memandang Amerika Serikat sebagai negara yang memandang rendah negara lain karena memiliki kekuatan yang jauh melampaui kekuatan negara lain tersebut. Hal tersebut diperoleh informan berdasarkan pengetahuan mereka tentang Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adikuasa di dunia setelah Uni Soviet hancur. Hasil interpretasi informan tersebut menunjukkan konotasi, mitos, dan ideologi tentang Amerika Serikat di dalam benak informan. Selain itu, hal tersebut menunjukkan adanya pertentangan ideologi yang terdapat di dalam STP, yaitu pertentangan antara yang kuat dan yang lemah yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat sebagai yang kuat dan negara lain sebagai yang lemah ......This research is aimed to point out the interpretation of six series of Peanuts comic strip in the eye of the reader by using semiotic and pragmatic theories as a tool to analyze the data. The analysis is divided into microsemiotic and macrosemiotic. At the first step, the informants reveal the conversational implicature of twenty six utterances in each series of Peanuts comic strip. The result is analysed by using the conversational implicature theory from Sperber and Wilson (1986;1996) to describe the utterances meaning, how they get it, and why they get it like that. At the second step, those informants interpret the whole series of Peanuts comic strip. The result is analysed by using the signifying order theory from Danesi dan Perron (1999) to describe the whole strips meaning, how they get it, and why they get it like that. Informants are divided into two groups. The first group consist of two Indonesian people who experience American cultural event in Indonesia, while the second group consist of two Indonesian people who experience American Cultural events in Unites States of America. The analysis is aimed to describe the meaning of American cultural events contained in the strips in for the informant as Indonesia people, who experience it, directly or indirectly; how the meaning is represented in the strips; and why they put the meaning like that. The result shows that the informant consider the strip as a container of American cultural events represented by character and topic contained in the strips. Based on the myth that 'America' is the one and only superpower country in the world, they look at it as a country that under estimate other countries that considered inferior. That point of view reflects the ideology contradiction in the strip between 'the strong' and 'the weak' represented by America as 'the strong' and other countries with incomparable power with Unites Stated of America as "the weak"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T38851
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inne Kasuargi
Abstrak :
Dalam skripsi ini dibahas penterjernahan kata ganti penghubung qui dan que yang berpadanan zero dalam bahasa Indonesia. Mungkin perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang padanan zero tersebut. Kata ganti penghubung qui dan que mempunyai kesejajaran formal dalam bahasa Indonesia ialah 'yang' dan memang sebagian besar dari kata ganti penghubung yang kami temukan dalam korpus berpadanan 'yang' dalam bahasa Indonesia. Probabilitas perpadanan yang kami peroleh: qui = yang .74 dan que = yang .77. Tetapi dalam hal-hal tertentu padanan kata ganti penghubung tersebut tidak muncul secara eksplisit dalam BI. Inilah yang disebut padanan zero. Probabilitas perpadanannya : gui = 26 dan que = 23. Selanjutnya kami meneliti bagaimanakah bentuk padanan zero itu sebenarnya, hanya memiliki satu bentuk atau bermacam-macam perwujudannya dalam bahasa Indonesia. Untuk penelitian ini digunakan korpus yang berupa dua buah buku cerita anak-anak, yakni Quatre Chats et le Diable dan Le Jongleur A 1'Etoile karangan Paul-Jacques Bonzon yang diterjemahkan oleh Sundari Hoesen masing-masing dengan judul Kucing dan Hantu dan Pemain Mandolin Berbintang Emas. Di sini dipergunakan teori terjemahan dari Nida&Taber dan Catford, dan teori.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1979
S14374
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Dwi Madyani
Abstrak :
Skripsi ini merupakan kajian awal linguistik dan semiotik mengenai interjeksi di dalam komik berbahasa Prancis. Interjeksi merupakan salah satu alat untuk me-nyampaikan gagasan, keinginan, dan perasaan di dalam peristiwa komunikasi. Di dalam penggunaannya, satu interjeksi memiliki banyak makna sehingga cenderung tidak memiliki keterbatasan makna. Penentuan makna interjeksi didasarkan pada konteks dan situasinya. Konteks yang merupakan unsur bahasa dinyatakan dengan ujaran yang melingkupi interjeksi. Sementara itu, situasi dinyatakan dengan gambar (tanda ikonis) yang merupakan tiruan situasi komunikasi. Dengan menggunakan dasar-dasar teoretis mengenai interjeksi, komik, semantik, dan semiotik, diharapkan penelitian ini dapat menjawab masalah yang diajukan dalam skripsi ini, yaitu jenis interjeksi apa saja yang ditemukan di dalam sumber data berdasarkan tujuan penggunaannya dan apa maknanya berdasarkan konteks dan situasinya, dan dengan demikian, bagaimana penggolongan maknanya. Analisis data diklasifikasikan berdasarkan tujuan penggunaan interjeksi dan penggolongan maknanya yang di-dasarkan pada konteks dan situasinya. Dari 343 interjeksi yang ditemukan di dalam tiga komik sari 1es Aventures de Tintin yang dijadikan sumber data, interjeksi yang bertujuan emotif memiliki jumlah terbanyak, yaitu 199 bush (58,02%). Jenis interjeksi lain yang juga ditemukan adalah perintah (53 buah/15,45%), intelektif (51 buah/14,87%), panggilan (33 buah/9,62%), sensitif (4 buah/1,17%), kesopanan (2 buah/0,58%), dan representatif atau imitatif (1 buah/0,29%). Berdasarkan penggolongan maknanya, interjeksi yang ditemukan dapat digolongkan menjadi 17 golongan makna, yaitu 'ungkapan emosi' (146 buah/42,57%), 'perintah' (52 buah/15,16%), 'permintaan' (43 buah/12,54%), 'heran' (34 buah/9,91%), 'lega' (33 buah/3,79%), 'berpikir' (9 buah/ 2,62%), 'ragu' (8 buah/2,3376), 'ingin tabu' (7 buah/ 2,04%), 'penegasan' dan 'mengetahui sesuatu' berjumlah 6 buah (1,75%), 'tidak ada harapan' dan 'mendapat ide' berjumlah 5 buah (1,46%), 'tidak peduli' dan 'tidak percaya' berjumlah 3 buah (0,88%), 'tiruan bunyi', 'berharap', dan 'menduga' berjumlah 1 buah (0,29%).
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S15596
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>