Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sutrisno Gunawan
"Menelaah efek dari premedikasi ketamin rektal dalam memfasilitasi pemisahan dari orang tua dan pemasangan kateter intravena pada anak-anak , 66 orang anak berumur 3,4 + 1,8 ( mean + SD ) tahun secara acak dibagi dalam 2 kelompok sama banyak. Grup pertama mendapat ketamin per rektal ( 8 mg/kg ) dikombinasi dengan atropin rektal ( 0,02 mg/kg ) dan sebagai kelompok kontrol menerima diazepam per oral dengan dosis 0,4 mg/kg. Lebih dari setengah dari anak-anak pada kelompok ketamin (57,6%) dapat dipisahkan dari orang tua dengan mudah tanpa gelisah, memberontak ataupun menangis, dibandingkan dengan kelompok kontrol diazepam (42,4%; P>0,05). Akan tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak berbeda secara signifikan. Ada sekitar 78,8% dari anak-anak pada kelompok ketarnin yang menangis pada saat pemasangan kateter intravena, yang secara bermakna lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok kontrol (97,0%). Efek samping dan komplikasi tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Tidak ada satupun anak pada kelompok ketamin yang mengalami desaturasi oksigen (SP02<90%) atau mengalami hipersalivasi. Ketamin 8mg/kg per rektal yang dikombinasikan dengan atropin 0,02 mg/kg per rektal tidak cukup efektif untuk premedikasi anak sebelum induksi meskipun dari segi keamanan tidak berbeda dengan diazepam oral.

Background: Good premedication in pediatric anesthesia have always been a problem in providing good anesthesia services. Many choices of-drugs prevail with their advantages and shortcomings.
Objective: To evaluate the effect of rectal ketamine preoperatively in facilitating parental separation and intravenous cannulation in young children.
Design: A randomized, double-blinded clinical trial.
Methods: 66 children 3.4 ± 1.8 ( mean ± SD) year of age were randomly assign to two equal groups. One group received rectal ketamine ( 8 mg/kg }combine with rectal atropine (0,02 mg/kg) and for control sedation group received oral diazepam 0.4 mg/kg.
Result : Many children in ketamine group (57,6%) are separated easily from their parents without struggling, crying or restlessness, however not significantly more than in diazepam control group (42,4%; P<0.05). However the effectiveness of ketamine to provide adequate analgesia during intravenous cannulation is poor, which is shown by the evidence about 78,8 % of children in ketamine group cried during intravenous catheter insertion. Nevertheless it is significantly less than control group (97,0%). Complication was not significantly different between groups. None of the children in ketamine group had SPO2 < 90% or hyper salivated.
Conclusion: Rectal ketamine 8 mg/kg combine with atropine 0.02 mg/kg rectally are unreliable as premedication and when intravenous catheter cannulation is desired before induction of anesthesia is desired."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyadh Firdaus
"Studi ini bertujuan untuk mengetahui keefeletifan parecoxib 40 mg intravena dibandingkan dengan morfin 5 mg intravena sebagai analgesik pada 24 jam pertama pascalaparotomi ginekologi. Enampuluh empat pasien laparotomi ginekologi mendapatkan intervensi parecoxib 40 mg iv atau morfin 5 mg iv pascabedah. Nilai VAS, waktu untuk kebutuhan petidin pertama, jumlah kebutuhan petidin dan efek samping opioid dicatat sampai 24 jam setelah intervensi.
Didapatkan nilai rerata penurunan intensitas nyeri (PID) antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0,05), dengan rerata PID 0-6 jam sebesar 33,3 (SE 3,3) untuk? kelompok parecoxib dan 38,4 (SE 4,2) untuk kelompok morfin. Rerata waktu pemberian petidin pertama tidak berbeda bermakna yaitu 2 jam 53 menit (parecoxib) dan 1 jam 44 menit (morfin); p>0,05). Rerata kebutuhan petidin 24 jam juga tidak berbeda bermakna yaitu 51,6 mg (SE 5,8) dan 55,5 mg (SE 4,6); p>0,05. Efek samping opioid berupa sedasi lebih banyak pada kelompok morfin yaitu 21 pasien (65,6%) vs 12 (37,5%); p=0,024. Efek samping opioid berupa mual, muntah dan pusing tidak berbeda bermakna.
Disimpulkan bahwa parecoxib 40 mg iv tidak lebih baik(daripada morfin 5 mg iv dalam memberikan efek analgesia untuk nyeri pasacalaparotorni ginekologi.

Objective: The purpose of this study was to compare the analgesic activity of parecoxib 40 mg iv and morphine 5 mg iv in 24 hours after gynecologic surgery that requires laparotomy.
Study design: In a randomized, controlled, double-blind, 64 patiets after gynecoloogic laparotomy surgery received single-dose intravenous parecoxib 40 mg or morphine .5 mg followed by repeated 25 mg iv pethidine as analgesic rescue drugs.Primary efficacy variables were pain intensity difference (PID), time to first recue/remedication, total pethidin dose over 24 hours, and opioid-sparring side effects were recorded.
Results: Parecoxib 40 mg iv did not provide better pain responses than morphine 5 mg iv. Zero to 6 hours PID between parecoxib group and morphine grows were 33.3 (SE 3,3) versus 38,4 (SE 4,2; p>0,05). Mean time to first recuelremedication were 2h53min (parecoxib group) versus lh44min (morphine graup); p>0,05. Mean total pethidine dose in 24 hours were 51.6 mg (SE 5,8) versus 55,5 mg (SE 4,6) for parecoxib group and morphine group respectively; p>0,05. Morphine group showed more sedation parecoxib group; 21 pis (65,6%) versus 12 (37.5%); p-0,024. Other opioid-sparring side effects were comparable between both groups.
Conclusion: Parecoxib 40 mg iv did not provide better analgesic activity than morphine 5 mg iv in 24 hours after gynecologic surgery that requires laparotomy.
"
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18001
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nismaya Sari Dewi
"Tujuan : Dilakukan penelitian untuk membandingkan keefektifan dan derajat pruritus morfin 0,05 mg intratekal dengan morfin 0,1 mg intratekal untuk mencegah nyeri pasca ortopedi ortopedi dengan analgesia spinal bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg.
Disain : Uji klinis acak tersamar ganda
Metoda : 32 pasien yang menjalani operasi ortopedi tungkai bawah di bagi kedalam dua kelompok Kelompok A sebanyak 16 orang mendapat morfin 0,1 mg pada suntikan bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg dan kelompok B sebanyak 16 orang mendapat morfin 0,05 mg pada suntikan bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg. Selanjutnya dilakukan pemantauan nyeri dan derajat pruritus menggunakan VAS pada jam ke 2, 4,6,8,12 dan 24 jam pasca operasi dan ada tidaknya mual dan muntah 24 jam pasca operasi.
Hasil : KeIompok yang mendapat morfin 0,1 memberikan analgesia yang lebih baik daripada yang mendapat. morfin 0,05 mg intratekal dengan efek samping pruritus yang ditimbulkan tidak berbeda pada kedua kelompok tersebut. Kekerapan mual dan muntah tidak berbeda pada kedua kelompok
Kesimputan : Morfin intratekal 0,1 mg menghasilkan analgesia yang lebih baik dengan efek samping yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan morfin intratekal 0,05 mg.

Objective : This study was conducted to compare the effectiveness of 0,1 mg intrathecal morphine with 0,05 mg intrathecal morphine for postoperative pain control after lower extremity orthopedic operations with 15 mg of hyperbaric bupivacain 0,5%
Design : Double blind, randomized clinical study.
Methods : 32 pollens who underwent lower extremity orthopedic operations were divided into two groups. 16 Patients got 0,1 mg intratechal morphine at injection of] 5 mg hyperbolic bupivacain 0,5%. Another 16 patients got 0,05 mg mg intratechal morphine at injection of 15 mg hypebarik bupivacain 0,5%. All patients were observed and evaluated for the first 24 hours: The effectiveness of analgesia and level ofpruritus raring VAS.
Result : The group who got 0,1 mg intrathecal morphine had better analgesia compared with group who got 0,05 mg morphine_ There is no difference in level of pruritus, the incidence of nausea and vomiting, between the two groups. There is no patients suffer from respiratory depression.
Conclusion : Intratechal morphine 0,I mg provides a better analgesia compare to intrathecal morphine 0,05 mg, with the same quality ofpruritus.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18166
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rebecca Sidhapramudita Mangastuti
"Tujuan: Mengetahul efek induksi etomidat 0,2 mg/kgBB iv dibandingkan etomidat 0,3 mg/kgBB iv dalam menurunkan kekerapan mioklonus.
Metode : Uji Minis tersamar gander Penelilian dilakukan di ruang Instalasi Bedah Pusat dan Bedah Rawat Jalan RSCM, pada pasien yang akan menjalani operasi berencana dengan anestesi umum, ASA I-II, umur 16-65 tahun, tidak memiliki riwayat kelainan neurologis dan neuromuskular dan tidak memiliki riwayat alergi terhadap etomidat, midazolam dan fentanil. 56 pasien mendapat induksi etomidat 0,2 mg/kgBB iv dan 56 pasien mendapat induksi etomidat 0,3 mg/kgBB iv. Premedikasi yang digunakan pada kedua kelompok: midazolam 0,02 mgfkgBB iv dan fentanil 1 ugfkgBB iv. Dinilai kekerapan mioklonus serta derajat mioklonus pada kedua kelompok. Analisis siatistik dengan uji t bila mengikuti distribusi normal. Sedangkan perbedaan pada kedua kelompok data kategori diuji dengan uji chi-square. Nilai signifkansi p< 0,05 dengan interval kepercayaan 95%.
Hasil: Kelompok etomidat 0,2 mg/kgBB iv, miokionus ringan a orang (1,8 %) mioklonus sedang dan berat tidak ada (0 %). Kelompok etomidat 0,3 mg/kgBB iv, mioklonus ringan 2 orang (3,6 %), mioklonus sedang 2 orang (3,6 %) dan mioklonus berat 1 orang (1,8 %).
Kesimpulan : Etomidat 0,2 mgfkgBB iv dibandingkan etornidat 0,3 mg/kgBB iv dalam menurunkan kekerapan mioklonus serta perbandingan derajat mioklonus, secara statistik tidak bermakna, namun ada kecenderungan angka keberhasilan pada penggunaan etomidat 0,2 mglkgBB.

Purpose: To know comparison induction elect of etomidate 0,2 mglkg iv and etomidate 0,3 mglkg iv to decrease frequently of myoclonus.
Methods: Double-blind randomized controlled trial. Trial had done at Centre Surgery Unit (IBP) and One Day Care RSCM. Patient were undergoing elective surgery with general anesthesia, ASA I-II 16-65 years old, didn't have history of neurologic and neuromuscular diseases, didn't have hypersensitive with etomidate, midazolam and fentanyl. 56 patients had etomidate 0,2 mg/kg iv and 56 patient had 0,3 mg/kg. Premedication with midazolam 0,2 mglkg iv and fentanyl 1 ug/kg iv. Measured myoclonus and grade of myoclonus. Analysis with t test for normal distribution and chi-square test for categorial. Significancy if p value < 0,05 with confidence interval 95%.
Result: Group of etomidate 0,2 mg/kg iv, one patient had mild myoclonus (1,8%), no patient had moderate and severe myoclonus (0%). Group of etomidate 0,3 mg/kg iv, two patients had mild myoclonus (3:.6%), two patients had moderate myoclonus (3,6%) and one patient had severe myoclonus.
Conclution: Comparison etomidate 0,2 mg/kg iv and etomidate 0,3 mg/kg iv to decrease frequently of myoclonus and the grade of myoclonus, no significantly in statistic analysis, but had disposed successful in etomidate 0,2 mg/kg iv.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18173
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risal Heru Nurcahyo
"Latar belakang : Penelitian ini membandingkan mula kerja analgesia epidural pada teknik "Loss of Resistance" antara NaCl0,9 % dengan lidokain 1 %.
Metode : Dilakukan uji secara acak tersamar ganda.Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat dan Instalasi Gawat Darurat RSL PN-Cipto Mangunkusumo pada bulan Agustus -November 2005.Hipotesis yang dibuat adalah penggunaan Lidokain 1 % pada epidural analgesia dengan teknik "LOR" memiliki mula kerja analgesi yang lebih cepat dibandingkan menggunakan NaCl 0,9 %.Sebanyak 92 pasien yang masuk kriteria inklusi dilakukan randomisasi dalam dua kelompok. Satu kelompok diberikan Lidokain 1 % sebanyak 5 ml dan kelompok lain diberikan NaCl 0,9 % sebanyak 5 ml dengan teknik "LOR" pada ruang epidural. Perubahan hambatan sensorik diukur dengan tes pinprick/skala Holmenss 3, perubahan hambatan motorik diukur dengan modifkasi skala bromage 2.
Hasil : Tidak ada perbedaan bermakna pada data demografi,hemodinamik,status ASA dan jenis operasi pada kedua kelompok.Kelompok Lidokain 1 % mempunyai mula kerja hambatan sensorik lebih cepat (rerata ) : 9,35 rnnt ± 3,9 vs 16,24 mnt t 4,8 , mula kerja hambatan motorik juga lebih cepat (med.) : 15,18 mnt (4,25-55,0) vs 24,20 mnt (8,18-75,00).
Simpulan : Pemakaian lidokain 1 % sebanyak 5 ml pada teknik "LOR" untuk analgesi epidural dapat mempercepat mula kerja sensorik dan motorik dari analgesi epidural.

Background : This study was designed to evaluate and compare the onset of epidural analgesia in "Loss Of Resistance " technique using Saline and Lidocaine I %
Methods : This was a prospective,randomized,doubleblinded study.This study was did in central operating room theatre and emergency unit RSUPN-CM at August - November 2005.We Hypothesized that using Lidocaine 1 % at epidural analgesia with "LOR" technique,has onset analgesia faster than using Saline. Ninety two patient was enrolled according to criteria of inclusion and randomized into 2 groups. One group received epidural analgesia with Lidocaine 1 % 5 mI and the other received Saline 5 ml with "LOR" technique in epidural space,before injection bupivacaine 0,5 % 15 ml via catheter epidural.Changing of sensory block was assessed by pinprick testlHolmenns scale 3, and motoric block was assessed by bromage score 2.
Result : There were no significant differences in demographic data,hemodynamic status,ASA status and type of procedure between groups.Lidocaine 1 % had faster onset (mean ) : 9,35 mnt ± 3,9 vs I 6,24 mnt ± 4,8. The onset of motoric block was faster too (med) : 15,18 mnt (4,25 - 55,0) vs 24,20 mnt (8,18 - 75,00)
Conclusion: Using Lidocaine 1 % 5 ml in epidural analgesia with "LOR" technique could accelerate the time onset on sensoric and motoric blockade of epidural analgesia.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Martira Syafii
"Latar belakang : MenggigiI pasca anestesia merupakan suatu pengalaman yang tidak menyenangkan, yang biasa terjadi dengan insidens mencapai 60% pasca anestesia umum. Meperidin merupakan obat yang paling sering direkomendasikan untuk menghentikan menggigil pasca anestesia. Tramadol memiliki mekanisme kerja yang mirip dengan meperidin untuk menghentikan menggigil pasca anestesia umum. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan keefektifan tramadol 1 mg/kgBB dengan meperidin 0,4 mg/kgBB untuk menghentikan menggigil pasca anestesia umum.
Metode : Penelitian eksperimental acak tesamar ganda ini menggunakan 118 pasien, Iaki-laki dan perempuan, yang menjalani pembedahan elektif dalam anestesia umum dan mengalami menggigil pada masa pemulihan. Pasien dibagi menjadi dua kelompok : kelompok tramadol dan kelompok meperidin, masing-masing terdiri dari 59 pasien. Kelompok tramadol mendapatkan 1 mg/kgBB dan kelompok meperidin 0,4 mg/kgBB. Dilakukan pencatatan proporsi pasien yang tidak menggigil pasca pemberian obat mulai menit pertama hingga menit ketiga puluh pengamatan. Kejadian mual, muntah, sakit kepala, reaksi alergi tingkat sedasi, fungsi hemodinamik dan respirasi diobservasi dan dicatat selama 30 menit pengamatan pasca pemberian obat.
Hasil : Tidak terdapat perbedaan bermakna antara proporsi pasien yang tidak menggigil pada menit kelima pasca pemberian obat; 83,1% pada kelompok tramadol dan 86,4% pada kelompok meperidin (p 0,386 IK 95% -0,163; 0,097). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada kejadian mual (p 1,00 IK 95% -0,069; 0,103), muntah (p 0,48 IK 95% - 0,158; 0,022) sakit kepala (p 1,00 IK 95% -0,047; 0,046). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada tingkat sedasi, laju nafas dan saturasi oksigen. Terdapat perbedaan bermakna pada tekanan diastolik dan laju nadi pada menit pertama pengamatan antara kedua kelompok.
Kesimpulan : Trainadol 1 mg/kgbb and meperidine 0,4 mg/kgbb efektif untuk menghentikan menggigil pasta anestesia umum.

Background : Post anesthetic shivering is an unpleasant experience which usually happens and has an incidence until 60% post general anesthesia. Meperidine is often recommended for the treatment of post anesthetic shivering. Tramadol has a similar mechanism of action with meperidine for treating post anesthetic shivering. The purpose of this study is to compare the effectiveness between tramadol 1 mg/kg body weight and meperidine 0,4 mg/kgbw for treating post general anesthetic shivering.
Methods : This double blind randomized experimental study involved 118 patients, female and male, undergoing elective operation under general anesthesia and complaining of shivering during recovery time. The patients were randomly divided into two groups : tramadol group and meperidine group, each groups contains 59 patients. The tramadol group received lmglkgbw and meperidine group received 0,4 mg/kgbw. Proportion of patient, which the shivering already arrested after injection of the drug, recorded in the recovery room from first minute until 30 minutes of observation. Incidence of nausea, vomiting, headache, allergic reaction, level of sedation, hemodynamics and respiratory function were observed and recorded also until 30 minutes after injection of the drug.
Results : No statistically difference between the proportion of patient which shivering already arrested in fifth minutes observation after injection of the drugs; 83,1% in tramadol group and 86,4% in meperidine group (p 0,386 CI 95% - 0,163; 0,097). No statistically difference in incidence of nausea (p 1,00 CI 95% -0,069 ; 0,103), vomiting (p 0,48 CI 95% -0,158; 0,022) , headache (p 1,00 CI 95% -0,04T; 0,046). There were also no statistically difference in the level of sedation, respiratory rate and oxygen saturation. We found that there were statistically difference in diastolic pressure and heart rate in first minute of observation.
Conclusion : Tramadol 1 mg/kgbw and meperidine 0,4 mg/kgbw effective in treating post general anesthesia shivering.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58457
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rahayu K
"Ansietas prabedah ("fear of pain") hampir selalu dialami individu yang menghadapi pembedahan ualau yang sederhana sekalipun. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek ansiolitik benzodiazepin terbaru yaitu midaznlam dalam tehnik sedasi sadar pad: prosedur ndontektomi dengan anestesi lokal. Delapan belas kasus impaksi molar ketiga rahang hauah diberikan midaznlam 0.05 mg/kg bb i.v. secara bolus, dibandingkan dengan tujuh belas kasus tanpa sedasi. Penilaian terhadap perubahan tinqkat ansietas dilakukan pada saat diberikan stimuli eksternal berupa penyuntikan anestesi lokal, pengeburan tulang dan pengungkitan gigi- Juga turut dinilai tingkat sedasi, amnesia anterograd dan perubahan tanda-tanda vital yang terjadi, untuk mengetahui efek farmakosedatif obat tersebut.
Dengan uji Fisher, uji tanda dan uji t tampak bahwa midaznlam dosis rendah mampu menurunkan tingkat ansietas, menimbulkan amnesia anterugrad dan memberikan tingkat sedasi yang bermakna pada saat penyuntikan anestesi lokal, dibandingkan dengan kelumpok tanpa sedasi. Akan tetapi pada tahap pengeburan dan pengungkitan, ansietas menghilang pula secara bermakna pada kedua kelompok.
Ditarik kesimpulan hahwa dengan penghilangan rasa nyeri oleh anestesi lokal saja sudah cukup menghilangkanl menurunkan ansietas pembedahan. Tehnik sedasi sadar tidak harus diberikan secara rutin pada pasien dengan ansietas ringan sampai sedang. Pada pasien dengan ansietas berat dapat diberikan tehnik sedasi dengan dosis individual sesuai kebutuhan, secara titrasi."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apriliana Ratnaningrum
"LATAR BELAKANG: Di Indonesia, pembedahan koreksi bibir sumbing sering dilakukan sebagai aksi sosial di wilayah terpencil dengan sumber daya operasional alat dan obat-obatan yang terbatas. Ketamin merupakan obat yang murah dan mudah tersedia. Penelitian ini adalah untuk menilai penggunaan ketamin sebagai analgetik lokal dalam blok infraorbital dibandingkan bupivakain, untuk mengetahui apakah ketamin dapat menjadi alternatif sebagai analgetik lokal perioperatif. Yang dimaksud perioperatif dalam penelitian ini adalah periode intraoperatif dan pascaoperasi.
METODE: Penelitian ini bersifat eksperimental dengan uji klinis tersamar tunggal pada anak dengan kelainan bibir sumbing berusia 2 bulan - 5 tahun yang akan menjalani operasi koreksi bibir sumbing di RSCM pada bulan Maret sampai Juli 2014. Anak dibagi menjadi kelompok ketamin dan bupivakain menurut randomisasi blok. Tiap-tiap kelompok dilakukan anestesia umum, induksi dengan inhalasi sevoflurane dan intubasi. Selanjutnya dilakukan blok infraorbital sesuai randomisasi. Intraoperatif dicatat jumlah penggunaan analgetik tambahan. Pascaoperasi dicatat skor nyeri FLACC selama di ruang pulih serta dilakukan wawancara per-telepon untuk mengetahui durasi analgesia pascaoperasi.
HASIL: Sebanyak 36 subjek diikutsertakan dalam penelitian, 18 pada kelompok ketamin dan 18 pada kelompok bupivakain. Tidak terdapat perbedaan bermakna terhadap penambahan fentanyl intraoperatif dan skala nyeri FLACC pascaoperasi. Dengan skala nyeri FLACC di kelompok ketamin berada kategori nyeri ringan (<4). Rerata durasi analgesia pascaoperasi pada kelompok ketamin lebih lama (15 jam) sementara pada kelompok bupivakain 13,49 jam. Dan perbedaan ini secara statistik bermakna (P=0,031).
SIMPULAN: Blok infraorbital dengan ketamin 1% 0,5 mg/kg tidak lebih efektif dibandingkan bupivakain 0,25% 0,5 ml sebagai analgetik perioperatif operasi ambulatori koreksi bibir sumbing.

BACKGROUND: In Indonesia, cleft lip correction surgery is often done as a social action in remote areas with limited drugs and operational resources. Ketamine is a readily available and inexpensive drug. The objectives of this study is to asses the effectiveness of ketamine as a local analgetic in infraorbital block compare with bupivacaine, to determine whether ketamine can be an alternative local analgetic for perioperative. The definition of perioperative in this study were intraoperative and postoperative period.
METHODS: This is a randomized controlled trial in 2 months - 5 years children with cleft lip who underwent cleft lip correction surgery at RSCM from March until July 2014. Children were divided into ketamine group and bupivacaine group based on randomization. In each group we performed general anesthesia , induction with sevoflurane, intubation and infraorbital block according to the randomization. We recorded total amount rescue analgetic added intraoperative. Postoperatively we recorded pain scores based on FLACC scale and follow up by telephone to find out the duration of analgesia.
RESULTS: A total of 36 subjects enrolled in this study , with 18 subjects in ketamine group and 18 subjects in bupivacaine group . There were no significant difference of total amount fentanyl intraoperative addition and postoperative FLACC pain scale between two groups. The FLACC pain scale in ketamine group was categorized “mild pain” ( < 4 ). The mean duration of postoperative analgesia in ketamine group was longer (15 hours) than bupivacaine group (13.49 hours). And this difference was statistically significant (P = 0.031).
CONCLUSION: Infraorbital block with 1 % ketamine 0.5 mg / kg was not more effective than 0.25% bupivacaine 0,5 ml for perioperative analgesia in ambulatory cleft lip correction.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Raden Nur Sudarmi Wiratanoeningrat
"ABSTRAK
Latar Belakang: Manajemen nyeri pascabedah yang efektif dapat memberikan pemulihan cepat, mengurangi biaya perawatan dan tercapainya kenyamanan serta kepuasan pasien. Pemberian analgesia epidural dapat digunakan secara Continuous Epidural Infusion/ CEI. Epidural kontinu memberikan  derajat analgesia yang stabil, mencegah fluktuasi dalam meredakan nyeri dengan gangguan kardiovaskular minimal. Saat dilakukan chest physiotherapy pascabedah dengan pemberian CEI, pasien lebih kooperatif sehingga meningkatkan kepuasan pasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam.
Metode: Penelitian uji klinik acak tidak tersamar ini melibatkan 36 subjek pascabedah abdomen bawah, urologi dan ginekologi  dari Januari sampai Maret 2018. Dilakukan consecutive sampling kemudian dibagi melalui  randomisasi menjadi 2 kelompok CEI dan IEB. Pada kelompok CEI mendapatkan morfin 4 mg + bupivakain 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) kecepatan 2 ml/jam drip selama 24 jam, tanpa inisial bolus. Kelompok IEB, mendapatkan morfin 2 mg + bupivakain 0,125% 5 mg (total volume 4 ml) tiap 12 jam. Penelitian ini Membandingkan derajat nyeri istirahat dan bergerak pada menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24, saat pertama kali pasien membutuhkan analgesik tambahan  dan jumlah pemberian ketorolak dan efek samping analgesia epidural pada kedua grup dalam 24 jam pertama.
Hasil: Kedua kelompok sama efektif dalam  mengontrol nyeri pascabedah secara klinis. Saat menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24 berdasarkan rentang NPS termasuk nyeri ringan-sedang, dengan nilai median derajat nyeri bergerak 2-3 dan derajat nyeri istirahat 1-2, meski tidak  ada perbedaan bermakna secara statistik.
Simpulan : Tidak ada perbedaan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam.

ABSTRACT
Background: An Effective post-operative pain management can improve recovery period, reduce cost, and give comfort and satisfaction to the patient. Epidural analgesia can be given continuously (Continuous Epidural Infusion/ CEI) or intermittently (Intermittent Epidural Bolus/IEB). However, continuous epidural analgesia provides stable analgesia level. It prevents fluctuation in pain with minimal cardiovascular disruption. Patient with CEI is more cooperative in the effectiveness chest physiotherapy hence improve patient satisfaction. This study aims to compare the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours.
Methode: This study was a randomized control trial. 36 Subjects were taken from January to March 2018. Were selected consecutively randomized into two groups: In CEI group, morphine 4 mg + bupivacaine 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) with speed 2 ml/hour in 24 hour) was given post-operatively, without initial boluses. In IEB group, morphine 2 mg + bupivacaine 0.125% 5 mg (total volume 4 ml)  was give every 12 hours. This study evaluate the degree of pain (rest and active condition) in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour post-operative, rescue analgesia time (ketorolac iv), and side effect of epidural analgesia in two groups within first 24 hour.
Result: The effectiveness in controlling post-operative pain between two groups was similar. Clinically, pain in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour in two groups according to NPS range were classified as mild-moderate pain, with median value of pain degree (active condition) was 2-3 and pain degree (rest) was 1-2, although not statistically significant.
Conclusion: There is no difference the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>