Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marlan Parakas
Abstrak :
Organisasi Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) merupakan salah satu Unit Pelaksana Tekhnis (UPT) yang berada dibawah naungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Departemen Hukum dan HAM RI. Keberadaannya memang kurang populer dibandingkan UPT lain dibawah naungan Ditjenpas. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa peran Rupbasan dalam pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan tidak berjalan secara optimal. Kendala-kendala yang dihadapi dalam rangka pelaksanaan peran Rupbasan antara lain kendala sumber daya manusia petugas maupun sarana dan prasarana, dan kendala anggaran yang minim yang dialokasikan untuk Rupbasan. Strategi yang dilakukan dalam rangka peningkatan peran Rupbasan dalam pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan antara lain memaksimalkan gudang penyimpanan yang ada, melakukan diklat-diklat tekhnis bagi petugas Rupbasan, meminta alokasi tambahan personel khususnya tenaga ahli dan sosialisasi peran Rupbasan ke pihak-pihak terkait, sosialisasi oleh pihak Ditjenpas Departemen Hukum dan HAM RI, pengadaan struktur tertinggi yang menaungi Rupbasan dalam bentuk Direktur Rupbasan. Berdasarkan analisis teori Organization Development (OD) ditemukan bahwa upaya pengembangan organisasi yang dilakukan baik oleh Rupbasan maupun pihak Ditjenpas masih pada tahap Joint Diagnosis of Problem. Kondisi ini mengakibatkan tiga tahapan berikutnya masih jauh dari pelaksanaan sehingga bisa disimpulkan bahwa Organization Development (OD) organisasi Rupbasan masih sebatas riset dan belum menyentuh substansi organisasinya secara langsung.
The organisation of the Storage House of the Object Seizure the Country (Rupbasan) was one of the technical executive units (UPT) that was supervised by the protection of Correctional General Directorate (Ditjenpas) the Department of the Law and human rights of RI. His Existence was indeed more unpopular compared with UPT other was supervised by the Ditjenpas protection. Was based on results of the research was found that the role of the Rupbasan in the object seizure the country management and the Thing of loot did not go optimally. Hindrances that were dealt with in the implementation of the Rupbasan role including the hindrance and means of the official's human resources and the infrastructure, and the minimal budgetary constraint that were allocated for Rupbasan. The strategy that was carried out in the increase in the Rupbasan role in the object seizure the country management and the loot thing in part maximised the available storage warehouse, carried out technical educations and trainings for the official Rupbasan, asked for the allocation of the addition of the personnel especially the expert and the socialisation of the Rupbasan role to related sides, the socialisation by the side of Ditjenpas of the Department of the Law and RI human rights, the procurement of the highest structure that protected Rupbasan in the form of Director Rupbasan. Was based on the analysis of the Organization Development theory (OD) was found that development efforts of the organisation that was carried out both by Rupbasan and the side of Ditjenpas still in the stage of Joint Diagnosis of the Problem. This condition resulted in three following stages still far from the implementation so as to be able to be concluded that Organization Development (OD) the organisation of the Rupbasan still was limited by the research and did not yet touch his organisation substance directly.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T 24913
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adam Ridwansah
Abstrak :
Beragamnya latar belakang kehidupan narapidana, baik itu latar belakang kasus, suku/etnis, agama dan lainnya merupakan faktor nyata dari keberadaan Lembaga Pemasyarakatan sebagai minatur masyarakat. Disana juga terdapat berbagai kebutuhan dan kepentingan narapidana dalam rangka mempertahankan hidupnya selama dalam lapas. Dalam rangka hal tersebut narapidana akan menjaga hubungannya dengan petugas dan aturan yang berlaku dalam lapas sehingga baik petugas maupun aturan mampu mengakomodir ataz dilemahkan oleh kepentingan narapidana, termasuk kepentingan menambah fasilitas kamar hunian sesuai keinginan narapidana. Akibat adanya penambahan fasilitas-fasilitas pada kamar hunian pada narapidana tertentu akan berakibat adanya kecemburuan sosial di kalangan narapidana, pemborosan anggaran karena umumnya penambahan fasilitas berupa alat-alat elektronik yang menggunakan listrik, dan yang terpenting adalah narapidana tersebut umumnya tidak tersentuhk program pembinaan. Dalam penelitian ini ada dua pertanyaan penelitian yang hendak dijawab yaitu bagaimana kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana di Rumah Tahanan negara dan Lembaga Pemasyarakatan di Jakarta seria kendala-kendala yang dihadapi dalam kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian tersebut. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, teknik pengumpulan data dilakukan..dengan wawancara terhadap informan penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara. Wiforiiai penelitian terdiri dari informan petugas dan informan. Lokasi penelitian adalah lima Unit Pelaksana Teknis (UPT) di DKI Jakarta, yaitu Lapas Klas I Cipinang, Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta, Lapas Klas IIA Salemba, Rutan Klas I Jakarta Pusat dan Rutan Klas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana pada lima (5) lokasi penelitian belum terlaksana dengan baik. Hal ini disebabkan perbedaan persepsi dan cara pandang terhadap aturan yang ada yang berbeda-beda sehingga penerapannya pada masing-masing lapas/rutanpun berbeda. Kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana di lapas/rutan masih mementingkan unsur keamanan dan keiertiban. Penyimpangan terhadap pemenuhan fasilitas kamar hunian narapidana adalah adanya fasilitas-fasilitas tambahan yang tidak sesuai aturan seperti TV, AC, Kompor Listrik hingga pencurian listrik untuk kepentingan fasilitas lainnya. sementara dalam rangka mensiasati kondisi kelebihan daya tampung (over kapasitas) pada masing-masing l!okasi penelitian dilakukan alih fungsi atau pemanfataan ruang yang bukan kamar hunian menjadi kamar hunian bagi narapidana. Sementara faktor kendala dalam kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana terdiri dari empat faktor utama yaitu kendala komunikasi, kendala sumber daya, kendala sikap implementator dan kendala struktur birokrasi ......Diverse backgrounds inmate's life, whether it is the case background, tribe / ethnicity, religion and the other is a real factor of the exisience of correctional institulions as minatur community.There alsa have various needs and interests of prisoners in order to survive as long in prison. In order to convict it will maintain relationships with officers and rules that apply in the prison so that both workers and able io accommodate the rulés or attenuated by the interests of prisoners, including facilities to add interest as you wish inmate occupancy rooms. Due to the exiztence of additional facilities in room occupancy on a particular inmate will result in the social jealously among the inmates, waste budget because generally in the form of additional facilities for electrical appliances that use electricity, and most importantly the inmates were mostly uniouched by development programs. In this research, there are two research questions to be answered is how the Juifiliment of the policy room occupancy facility for inmates at the Detention Center and state correctional institutions in Jakarta and the constraints faced in julfilling the policy facilities such occupancy rooms, The method used is qualitative method of data collection techniques againts the informant interview conducted with the study using the interview guide Informants consisted of officers and informants informants. Location of the study are five Technical Executive Unit (UPT) in Jakarta, namely Class I Cipinang Prison, Jakarta Narcotic Prison Class HA, Class 14 Salemba prison, Central Jakarta Rutan Class I and Class ITA Rutan Pondok Bambu, East Jakarta. Based on this research found that the policy of fulfiliment of room occupancy facility for inmates at five (3) the location of the research has not been performing well. This is due to differences in perception and outlook of the existing rules are different so that its application in each prison / rutanpun different. Compliance policies occupancy room facilities for inmates in the prison / detention center is still concerned with the elements of security and order. Deviation toward the Julfiilment facility inmate occupancy room is the presence of additional facilities that are not in accordance with regulations such as TV, air conditioning, Electric Stove to theft of electricity for the benefit of other facilities, while in order to anticipate the conditions of excess capacity fover capaciiy) at each study site conducted over the function or utilization of space that is not a room occupancy room occupancy for the inmates. While the constraint factor in fulfilling the policy for inmate occupancy room facilities consist of four main factors namely the communication constraints, resource constraints, barriers and constraints implementer attitudes bureaucratic structure.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2010
T33545
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diapari Sibatangkayu
Abstrak :
Sistem kepenjaraan sudah lama terkubur sejak Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, SH pada tahun 1963 mendeklarasikan sistem emasyarakatan meski baru diformulasikan ke dalam bentuk Undang-Undang 31 tahun kemudian. Bahkan setelah 13 tahun UU No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan diiplementasikan, kondisi lembaga pemasyarakatan belum banyak berubah. Overcrowding tetap menjadi masalah serius yang belum dapat diatasi dengan alasan keterbatasan anggaran dan SDM. Overcrowding membawa dampak ikutan yang cukup panjang mulai dari tingkat pelarian yang tinggi, petugas menggunakan kekerasan, pemicu perkelahian dan kerusuhan, LP menjadi sekolah kejahatan dan sarang narkoba, stigmatisasi sampai prisonisasi. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan bukan hanya gagal namun cenderung melanggar undang-undang. Penelitian ini mencoba mencari solusi melalui privatisasi karena penjara yang dikelola swasta di beberapa negara jauh lebih baik dibanding ketika dikelola oleh pemerintah. Metode penelitian tesis ini menggunakan pendekatan kualitatif analitis melalui observasi, studi literatur, wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan serta melakukan Focused Group Discussion dengan praktisi dan tokoh kompeten. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana kelayakan privatisasi LP di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa privatisasi LP sangat layak dilakukan di Indonesia. Argumentasinya, UU No 12 Tahun 1995 sangat akomodatif dengan privatisasi dimana pada pasal (2) digariskan bahwa napi berhak aktif secara produktif dalam pembangunan bangsa dan pasal (14) secara eksplisit menegaskan seorang napi berhak mendapatkan upah atas pekerjaan yang mereka lakukan. Agar privatisasi LP terealisasi, Ditjen Pemasyarakatan disarankan segera membentuk tim kerja dan merumuskan landasan hukumnya. Karena masih dalam rentang kendali Ditjen Pemasyarakatan, privatisasi diharapkan dapat terlaksana dalam jangka maksimal 5 tahun ke depan sehingga menjadi terobosan besar dalam sejarah pemasyarakatan Indonesia. Ditjen Pemasyarakatan ditutntut memiliki strategi kehumasan yang andal untuk membentuk opini publik sekaligus menjadi alat penekan bagi pemerintah. Sebab, tanpa political will dari pemerintah, privatisasi LP tidak akan pernah ada di republik ini.
The convicts system as a prison had became very old stories since the former Minister of Judicial Affairs Dr. Sahardjo, SH declared the correction system in 1963, in spite of its ordinance 31 years later. In fact that after 13 years, UU No. 12/1995 regarding that system has been implemented, the condition of many prison not had been changed yet. Overcrowding is solemn complication that has not been overcome with some reason such as financial and human resources things. Overcrowding bring length multiplier impact for its high escaping, official violence, quarrel and chaosity, prison became school of crime and drugs web, stigmatization and prisonization. The system not only failed implementated but also broken the law as well. These research try to find solution by privatization for the reason that prison which is run by private in many country more manageable than the government do. The methode in tesis researching is using analytical qualitative approach by observation, literature study, deepth interviews with the stakeholders and done some focused group discussion to practitioner and compatent person. The aim is to ascertain how properness of prison privatization in Indonesia. The research shows that prison privatization is very like fairness and proper do in Indonesia. For argumentation, UU No. 12/1995 is compatible with privatization. In (act. 2) the guidelines that convict or prisoner have right to active in nation building productively and (act. 4), in explicite they refers to get wages for their works. In order that prison privatization will become realization, the Directorate General of Correction in the ministry should form a task force and make the base law. Only in this division, privatization can be implemented in 5 years ahead. If so, it become a breaktrhrough, the big one in Indonesian prison history. Directorate General of Correction Department of Law and Human Right required to have a great public relation strategy not only in making opinion but also pushing the government. For its reason, if there is no authority political will, no prison privatization in these Republic either.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T25149
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Awaludin
Abstrak :
Pemeliharaan ketertiban dalam Lembaga Pemasyarakatan ditujukan untuk mengurangi kekerasan, meningkatkan keamanan penghuni dan petugas, dan meningkatkan keberbasilan program pembinaan. Cam terlmik untuk menjaga ketertiban di lapas dituntut adanya kernampuan petugas dalam menggunakan jenis­-jenis kekuasaan terbadap narapidana yang dapat mempengaruhi cara pandang narapidana nntuk mematubi petugas dan peraturan serta tata tertib di dalam lapas. Dengan menggnnakan contoh narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Salemba studi ini menggali mengapa narapidana bekerja sama dengan petugas dan selanjutnya menunjukan kepatuhannya selama berada dalam Lapas. Temuan menunjukkan bnhwa walaupnn tidak terlalu tinggi, kebanyakau narapidana melihat petugas mempunyai kekuasaan hadiah, kekuasaan syah, kekuasaan pemaksa, kekuasaan nhli, dan kekuasaan rujnkan serta memiliki kepatuhan terbadap petugas baik kepatuhan paksaan, kepatuhan kalkulatif, maupun kepatnhau normatif. Akan tetapi pada saat yang sama, sebagian mnepidana melihat mereka akan bekerjasama apabila dilakukan dengan melalui pemaksaan. Penemuan juga menunjukan bnhwa bagaimanapun kekuasaan petugas apabila digunakan secara bersama-sama dapat mempengaruhi kepatuhan narapidana sebesar 51,55%, akan tetapi apabila diuji secara parsial maka masing-masing variabel memiliki pengaruh yang sangat kecil, pengaruhnya terhadap kepatuban untuk kekuasaan hadiah 4,45%, kekuasaan syah 8,82%. kekuasaan pemaksa 0,0036%, kekuasaan nhli 0,36% dan kekuasaan rujukan 5,42%. Selain itu, pemahaman narapidana dan pandangannya terbadap penggunaan jenis-jenis kekuasaan yang dilakukan petugas: memberikan pemahaman mengenai prediksi tinggi rendahnya kepatuban narapidana. Meskipun penelitian memberikan gambaran awal dalam menjelaskan baguimana sikap-sikap narapidana dapat bekerjasama dengan petugas dan dampaknya terbadap perilaku narapidana yang lebih adaftif, penelitian masa depan diperlukan untuk memperbaiki langkah-langknh, menjelajahi distribusi kekuasaan dan kepatuhan di Lapas, dan baguimana jika sikap­ sikap inl diterjemahkan dalam perilaku tertentu. ......Maintaining order in correctional institutions aimed at reducing violence, improving occupant safety and workers, and increase the success of coaching programs. The best way to maintain order in prisons sued the ability of officers in using the kinds of powers to the inmates that could affect how inmates view officers to comply with rules and regulations as well as in prison. By using the example of inmates in Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Salemba, study explores why prisoners cooperate with officers and then show its compliance during their slay in prison. Findings indicate that although not very high. most prisoners view officers have reward power legitimate power, coercive power expert power and referent power. and having a compliance to officer. But at the same time, some inmates seeing them would cooperate if done through coercion. Although partial, each bas a small effect. reward power 4,45%, legitimate power 8 82%, power 0.36%, and referent power 5,42% the findings also indicate that somehow the power of officers when used together can affect the compliance of prisoners in the amount of 51,55%. In addition, understanding of inmates and their view to the bases of power usage by officers provide a high predictive understanding of the compliance of prisoners. Although the study provides preliminary description in explaining how the attitudes of inmates to be working with officers and their impact on inmate behavior more adaptability, future research is needed to repair the steps, explore the distribution of power and obedience in prisoned how, if these attitudes translated into specific behavior.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T21043
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Putu Ari Sulatri
Abstrak :
Tesis ini menelaah mengenai kepercayaan orang Jepang yang tinggal di Bali terbadap Bari Nihonjinkai sebagai institusi yang mensosialisaslkan nilai-nilai budaya Jepang. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancan. Analisis yang dilakukan bertumpu pada teori pertukaran (exchange theory) yang dikemukan oleh J.W. Thibaut dan H.H. Kelly. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui hal-hal herikut ini. Yang pertama adalah Bari Nihonjinkni memiliki daya tarik sehingga orang Jepang memiliki kepercayaan untuk bergabung sebagai anggota. Daya tarik tersebut adalah I) daya tarik interpersonal; 2) kegiatan kelompok; 3) tujuan kelompok; dan 4) keanggotaan di dalam kelompok. Yang kedua adalah dengan menjadi anggota Bari Nihonjinkni orang Jepang yang tinggal di Bali mendapatkan beragam manfaat sehingga mereka mempercayai keberadaan perkumpulan ini. Manfaatnya antara lain I) memperluas pertemanan dan menjalin hubungan dengan sesama orang Jepang; 2) mengikuti beragam kegiatan; 3) memperoleh informasi; 4) mendapatkan fasilitas sebagai anggota. Yang ketiga adalah Bari Nihonjinkai menjalankan berbagai macam peranan bagi anggota. Peranan tersebut diantaranya adalah I) sebagai sarana pertukaran informasi dan komunikasi; 2) sebagai sarana menjalin persahabatan; 3) sebagai sarana saling membantu; 4) memberikan sokongan secara psikologis; dan 5) memberikan rasa aman.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33544
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Budi
Abstrak :
Anak adalah tunas harapan bangsa dan sebagai penerus bangsa maka anak-anak harus dibekali dengan pendidikan formal. Namun pada kenyataannya tidak semua anak berada dalam kondisi yang beruntung, mereka adalah anak-anak yang termarjinalisasi oleh lingkungan. Salah satu anak yang kurang beruntung ini adalah anak yang berkonflik dengan hukum dalam hal ini anak didik pemasyarakatan yang menurut Undang-undang No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Untuk menunjukkan suatu bangsa banyak aspek yang harus dipenuhi dan dibenahi, di antaranya adalah masalah pendidikan. Setiap anak pada dasarnya mempunyai hak-hak untuk mendapatkan pendidikan. Pasal 60 Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia menyatakan : bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya. Selanjutnya dalam Undang-undang ini dinyatakan : bahwa "perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah" (Ps.8 UU No.39 th.1999). Ketentuan tersebut menegaskan bahwa pemenuhan hak sebagaimana tercantum dalam pasal 60 Undang-undang No.39 tahun 1999 adalah menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemenuhan hak ini tentunya harus diberlakukan secara universal, sehingga perhatian terhadap hak-hak anak didik pemasyarakatan yang sedang menjalani masa pidananya di rumah tahanan tidak terabaikan. Untuk mengetahui bagaimana pemenuhan hak anak yang berkonflik dengan hukum khususnya anak didik pemasyarakatan, dari penelitian tentang pemenuhan hak untuk mendapatkan pendidikan bagi anak didik pemasyarakatan di rumah tahanan mengemukakan tingkat pemenuhan hak-bak anak khususnya anak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 Undang-undang No.39 tahun 1999. selain itu, juga mengungkapkan faktor-faktor yang menjadi penghambat serta peran negara dalam hal ini pemerintah dalam pemenuhan hak-hak anak tersebut.
Children are the buds of hope as the successor of the nation and the nation's children must be provided with formal education. But in reality, not all children are in the fortunate circumstances, they are children of the marginalized by the environment. One of these disadvantaged children are children in conflict with the law in this case which, according to correctional students act No.12 of 1995 on the penitentiary. To show that a nation many aspects that must be met and addressed, among them the issue of education. Every child basically has the rights to an education. Article 60 of law No.39 of 1999 on human rights states: that every child has the right to education in the context of personal development in accordance with the interests, talents and intelligence levels. Furthermore, in this act stated: that "the protection, promotion, enforcement and fulfillment of human rights is primarily the responsibility of state government" (Law No.39 Ps.8 th.1999). This provision is confirmed that the fulfillment of rights as contained in article 60 of law No.39 year 1999 is the responsibility of the government. The fulfillment of these rights must be universally applied, so that attention to the rights of students who are undergoing correctional criminal at the detention period is not neglected. To find out how the fulfillment of the rights of children in conflict with the law, especially correctional protege, from research about the fulfillment of the right to get education for their students at the detention correctional proposed level of fulfillment of child rights, especially child offenses referred to in article 60 of law No.39/1999 in addition, also reveals the factors that become barriers as well as the state's role in this regard the government in fulfilling the rights of the child. Finally the results of this study is able to contribute in the context of fulfilling the rights of children, particularly for children in conflict with the law however, legislation is formulated and any measures taken, all should be based on one principle contained in the convention on the rights of the child, which is "The best interest of the child".
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33353
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Windarto
Abstrak :
ABSTRAK Tesis ini membahas keberhasilan serta kegagalan pembebasan bersyarat di Bapas Semarang. Penelitian tesis ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan disain diskriptif dan prediktif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa keberhasilan pembebasan bersyarat di Bapas Semarang dari tahun 1998 s/d 2008 mencapai 80.9 %, yang masih dalam proses bimbingan 16.3 % dan kegagalannya mencapai 2,8 %. Dalam prediksi keberhasilan pembebasan bersyarat, bahwa klien pembebasan bersyarat dengan jenis pekerjaan yang produktif ada hubungan yang signifikan dengan keberhasilan pembebasan bersyarat. Hasil penelitian menyarankan bahwa dalam menentukan disposisi pembebasan bersyarat dan pelaksanaan pembimbingan klien pembebasan bersyarat, perlu mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pembebasan bersyarat.
ABSTRACT This thesis discuss about success and failure on parole of Semarang Community Correction (Bapas). This Study employs quantitative approach with descriptive and predictive design. The result of this study reveals that the average of the success on parole of Semarang Community Correction from 1998 to 2008 indicates around 80%. In comparison, the failure on parole shows low around 2, 8%. Moreover, the study indicates prisoners on supervision process of parole as big as 16.3%. Furthermore, this study highlights a prediction of successful on parole. The prediction shows client who has stable and productive job / occupation tend to be successful on their parole. Furthermore, this study advice to authority in charge in deciding disposition of parole and implementation of client supervision on parole should consider some factors which affect success on parole.
2009
T26730
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library