Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jihan Ghina Sabillah
Abstrak :
Tugas karya akhir ini membahas mengenai peran modal sosial bagi keberlangsungan UMKM di masa pandemi Covid-19 dilihat dari disiplin Ilmu Kesejahteraan Sosial. Adapun hal ini memiliki latar belakang oleh sebuah kondisi pandemi Covid-19 yang berdampak kepada menurunnya tingkat daya beli masyarakat akibat kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat. Para pelaku UMKM kemudian mengalami penurunan omzet karena tingginya kerentanan dan minimnya ketahanan terhadap sumber daya yang tersedia. Sebagaimana kondisi tersebut mengakibatkan perekonomian Indonesia memburuk. Untuk itu, berbagai pengembangan perlu kembali ditingkatkan dan hambatan-hambatan yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19 perlu segera diatasi dalam membantu kesejahteraan para pelaku UMKM. Penelitian ini mendeskripsikan peran modal sosial dalam Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang berperan penting ditengah keterbatasan modal finansial dan modal manusia di masa pandemi Covid-19. Penelitian ini menggunakan metode tinjauan pustaka, dimana peneliti memperoleh data melalui berbagai sumber literatur, seperti jurnal, buku, laporan terkait, kutipan artikel, dan lain sebagainya. Hal ini ditujukan agar peneliti dapat menjangkau berbagai data dan kasus secara lebih luas. Hasil kajian yang didapatkan peneliti menunjukan bahwa para pelaku UMKM memiliki modal sosial yang terbangun dalam jaringan dengan keluarga, tetangga, pegawai, pemasok, antar pedagang, warga sekitar, dan kelompok RT/RW. Jaringan tersebut kemudian dilandasi dengan adanya rasa saling percaya yang ditopang oleh norma-norma. Unsur modal sosial yang dimiliki pelaku UMKM mendorong mereka dalam mempertahankan keberlangsungan usaha karena dapat meningkatkan kerjasama dengan memanfaatkan relasi sosial yang telah mereka bangun sebelumnya sehingga dapat meningkatkan kemampuan ekonomi dari pelaku usaha. Penelitian ini juga menemukan tiga bentuk modal sosial, yakni bonding, bridging, dan linking yang menjadi bentuk kekuatan modal sosial yang mereka miliki. Dengan begitu, modal sosial mampu membantu para pelaku UMKM untuk bangkit dari keterpurukan akibat dampak yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19. ......This research aims to identified and analyzed the role of social capital for MSME continuity in the Covid-19 era seen from social welfare disciplines. This is motivated by a condition of the Covid-19 pandemic which has an effect of reduced purchasing power of the people due to the policy of restricting human mobility. Then, MSME actors have experienced a decline in turnover because pandemic situations create increased vulnerability and a lack of resilience to the absence of resources. It is encouraging, that Covid-19 has caused the Indonesian economy to deteriorate. Therefore, several developments need to be improved and the obstacles caused by the Covid-19 pandemic need to be addressed immediately that can be used to help improve the welfare of the MSME actors. This study describes the role of social capital in Micro, Small, and Medium Enterprises during the Covid-19 pandemic, in which social capital plays an important role in the middle of limited financial and human capital. This research is based on the literature review method, where the researchers get data through various literature, such as journals, books, related reports, article citations, etc. It is aimed that researchers be able to obtain various data and cases on a wider scale. The results of the study show that MSME actors have social capital that it can extend from families, neighbors, employees, suppliers, other vendors, local residents, and RT/RW groups. The network is based on mutual trust which is supported by norms. The element of social capital owned by MSME actors encourages them to maintain business continuity because it be able to increase cooperation by utilizing the social relations they have built before. This study also found three forms of social capital, namely bonding, bridging, and linking which became a form of the strength of their social capital. Accordingly, keeping their social capital made by MSME to rise from adversity.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Kartika Nursyahbani
Abstrak :
Latar belakang: Pemeriksaan Subjective Visual Vertical (SVV) dan Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP) adalah pemeriksaan fungsi organ otolith yang dinilai cukup nyaman bagi usia lanjut karena dilakukan dalam posisi duduk. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi antara nilai rerata SVV metode bucket dengan oVEMP dan cVEMP. Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada 41 subyek geriatri tanpa keluhan gangguan keseimbangan di poliklinik geriatri dan neurotologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subyek menjalani pemeriksaan SVV metode bucket dan VEMP dengan stimulus tone burst pada intensitas 95 dB dan 100 dB. Hasil penelitian: Nilai median SVV adalah 1,8° (0,8°–3,8°). Rerata masa laten awal dan akhir oVEMP adalah 11,7±2,6 ms dan 16,5±3,8 ms. Rerata masa laten awal dan akhir cVEMP adalah 16,4±3,9 ms dan 25,0±4,2 ms. Terdapat korelasi antara pemeriksaan SVV dengan asimetri cVEMP pada intensitas 95 dB (r = 0,310; p = 0,049) dan 100 dB (r = 0,586; p = 0,001). Tidak ditemukan korelasi SVV dengan pemeriksaan oVEMP. Kesimpulan: Terdapat korelasi antara rerata SVV dengan cVEMP pada subyek geriatri tanpa keluhan gangguan keseimbangan. ......Introduction: Subjective Visual Vertical (SVV) and Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP) examinations evaluated otolith organ function which were considered comfortable for the elderly because they were carried out in a sitting position. This research aims to determine the correlation between the SVV value of the bucket method with oVEMP and cVEMP. Methods: A cross-sectional study on 41 geriatric subjects without complaints of balance disorders at the geriatrics and neurotology clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects underwent bucket method SVV and VEMP examinations with tone burst stimuli at 95 dB and 100 dB intensity. Results: The median SVV value was 1,8° (0,8°–3,8°). The mean n1 and p1 of oVEMP were 11,7 ± 2,6 ms and 16,5 ± 3,8 ms. The mean p1 and n1 of cVEMP were 16,4 ± 3,9 ms and 25,0 ± 4,2 ms. There was a correlation between SVV and cVEMP asymmetry at intensities of 95 dB (r = 0,310; p = 0,049) and 100 dB (r = 0,586; p = 0,001). No correlation was found between SVV and oVEMP examination. Conclusion: There was a correlation between the mean SVV value and cVEMP in geriatric subjects without complaints of balance disorders.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tissa Indriaty
Abstrak :
ABSTRAK
Diagnosis gangguan penghidu memerlukan pemeriksaan yang akurat. Saat ini Departemen THT-KL RSUPN Cipto Mangunkusumo menggunakan Sniffin? Sticks sebagai pemeriksaan rutin. Uji penghidu intravena (UPI) merupakan pemeriksaan penghidu sederhana yang dapat melengkapi pemeriksaan Sniffin? Sticks dalam menilai jalur retronasal dan prognosis. Tujuan: Mengetahui sebaran nilai normal ambang penghidu berdasarkan UPI pada subjek dewasa tanpa gangguan penghidu. Metode: Penelitian potong lintang deskriptif yang dilakukan di Unit Rawat Jalan Terpadu THT-KL RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari-Februari 2016 dengan melibatkan 55 subjek normosmia. Hasil: Rerata (± simpang baku) nilai normal ambang berdasarkan UPI adalah 16,29 ± 5,52 detik dengan persentil 5 pada 9,46 detik dan persentil 90 pada 22,99 detik. Tidak terdapat korelasi antara hasil pemeriksaan ambang penghidu berdasarkan UPI dengan ambang penghidu maupun skor total pemeriksaan Sniffin? Sticks. Kesimpulan: Uji penghidu intravena dapat diaplikasikan dalam evaluasi fungsi penghidu sebagai pelengkap Sniffin? Sticks.
ABSTRACT
Background: The diagnosis of olfactory loss needs accurate examinations. At this moment, Department of Otolaryngology Head and Neck Surgery (ORL-HNS) has used Sniffin? Sticks as a routine examination. Intravenous olfaction test (IOT) is a simple examination to complement the Sniffin? Sticks examination( due to its ability to evaluate retronasal pathway and prognosis. Objective: To investigate the normative value of olfactory threshold using the IOT in adult subjects without olfactory loss. Method: This research is a cross sectional, descriptive study took place at ORL-HNS Outpatient Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital included 55 normosmia subjects in January-February 2016. Results: Normative value of olfactory threshold using IOT was 16,29 ± 5,52 seconds (mean ± standard deviation) with the 5th percentile on 9,46 seconds and 90th percentile on 22,99 seconds. There was no correlation between the olfactory threshold results based on IOT with the olfactory threshold or the overall score of Sniffin? Sticks. Conclusion: Intravenous olfactory test is applicable for the evaluation of olfactory function, complementing the Sniffin? Sticks examination.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Michael
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas NNP dan Mini FESS sebagai modalitas terapi pasien hidung tersumbat dengan SDB. Digunakan rancangan pre eksperimental sebelum dan sesudah NNP dan Mini FESS dengan menilai perubahan pemeriksaan kualitatif menggunakan Epworth Sleepiness Scale (ESS), Skor Analog Visual (SAV), Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF), nasoendoskopi dan Polisomnografi (PSG). Pengambilan subyek penelitian secara berurutan (consecutive sampling) selama 6 bulan di poli THT-RSCM. Sebanyak 7 pasien dengan keluhan hidung tersumbat disertai sleep disordered breathing menunjukkan perbaikan pasca operasi berdasarkan ESS dengan delta 48,28±1,99% nilai p=0,017, SAV median delta 100%(80% - 100%) nilai p=0,018, PNIF delta 52,03±2,69% p=0.017 dan 85,71% (6 dari 7) perbaikan ukuran konka inferior menjadi normal. Seluruh parameter PSG tidak didapatkan adanya perubahan yang bermakna dengan p>0,05. NNP dan mini FESS efektif untuk mengatasi hidung tersumbat yang disertai SDB berdasarkan perbaikan parameter pemeriksaan kualitatif. Hipereaktifitas parasimpatis yang mengakibatkan hipertrofi konka inferior merupakan hipotesis yang dapat dibuktikan pada penelitian ini dan memperkaya kerangka teori pada patofisiologi obstruksi nasal sebagai penyebab SDB.
This study aims to determine the effectiveness of PNN and Mini FESS as a therapeutic modality for patients with nasal congestion and SDB. This pre- experimental study evaluated the efficacy of PNN and mini FESS in management of nasal obstruction with SDB subjects. The evaluation performed by assessing changes in qualitative examination using Epworth Sleepiness Scale (ESS), Visual Analog Score (VAS) of nasal obstruction symptom Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF), nasoendoscopic examination. and Polysomnography (PSG). The subjects were included consecutively for 6 months at ENT clinic-Cipto Mangunkusumo Hospital. A total of 7 patients with nasal obstruction and sleep disordered breathing showed post-operative improvement in evaluations by using ESS (delta 48.28 ± 1.99% p-value = 0.017), VAS of nasal obstruction with median delta of 100 % ( 80 % - 100 % ) and p-value = 0.018, PNIF (delta 52.03 ± 2.69% p-value = 0.017) and regaining normal size of inferior turbinate in 85,71% (6 of 7) subjects. While all of the PSG parameters did not had any significant changes with p > 0.05. PNN and mini FESS is effective to overcome nasal obstruction with SDB based on an improvement in the qualitative evaluations. Parasympathetic hyperreactivity resulting in inferior turbinate hypertrophy is a proven hypothesis; thus may enrich the theoretical framework on the pathophysiology of nasal obstruction in SDB.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58744
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jarot Kunto Wibowo
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Keganasan merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di dunia maupun di Indonesia. Salah satu modalitas pengobatan kasus keganasanadalah kemoterapi. Carboplatin cis-diammine-cyclobutanedicarboxylato platinum adalah senyawa platinum generasi kedua yang sering digunakan dalam tata laksana kasus keganasan seperti neuroblastoma, retinoblastoma, hepatoblastoma, tumor otak dan tumor sel germ. Efek samping pemberian obat sitotoksik perlu dipertimbangkan, khususnya ototoksik, yaitu gangguan fungsi dan kerusakan struktur telinga dalam yang dapat disebabkan oleh obat atau bahan kimia tertentu. Tujuan: Menilai efek ototoksisitas akibat pengaruh Carboplatin pada anak dengan kasus keganasan. Metode: Penelitian ini menggunakan desain serial cross sectional untuk mengetahui perubahan signal to noise ratio SNR pada OAE sebagai akibat efek ototoksik dan faktor-faktor risiko yang ikut berperan pada kejadian ototoksik akibat pemakaian Carboplatin di Divisi Hematologi Onkologi IKA FKUI-RSCM. Hasil: terdapat dua dari 52 subyek penelitian yang mengalami kejadian ototoksik. Kesimpulan: didapatkan dua 5 dari 40 subyek mengalami kejadian ototoksik pada kelompok yang mendapat kemoterapi, sedangkan pada kelompok yang belum mendapat terapi tidak ditemukan adanya nilai SNR kurang dari enam. Faktor risiko berupa jenis kelamin, usia, siklus kemoterapi dan dosis Carboplatin tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik p>0,05 . Kata kunci: Carboplatin, ototoksik, otoacoustic emission OAE
ABSTRACT
Background Malignancy is one of the non contagious diseases are a public health problem, both globally and Indonesia. Chemotherapy is one of modality in malignancy cases. Carboplatin cis platinum diammine cyclobutanedicarboxylato is a second generation platinum compound that is often used in the management of cases of malignancies such as neuroblastoma, retinoblastoma, hepatoblastoma, brain tumors and germ cell tumors. Side effects of cytotoxic drugs need to be considered, especially ototoxic. Ototoxic is disfunction and damage to the structure of the inner ear that can be caused by drugs or other certain chemicals. Objective Assess the effects of ototoxicity due to the influence of Carboplatin in children with malignancy cases. Methods This study uses a serial cross sectional design to assess changes in signal to noise ratio SNR at the OAE as a result of ototoxic effects and risk factors that come into play in the event due to the use of ototoxic Carboplatin in the Hematology Oncology of pediatric Department Cipto Mangunkusumo General Hospital. Results There are two of 52 study subjects, who experienced ototoxic. Conclusion we obtained two 5 of the 40 subjects experienced ototoxic events in the group receiving chemotherapy, whereas in the group that had not received therapy was not found SNR value less than six. The risk factors such as gender, age, Carboplatin dose cycles of chemotherapy and did not have a statistically significant relationship p 0.05 .
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58713
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Pradana Maryadi
Abstrak :
Anak sindrom Down memiliki risiko komorbiditas yang tinggi akibat silent aspiration yang persisten. Hingga saat ini, belum ada data secara khusus mengenai gambaran disfagia pada anak sindrom Down dengan menggunakan instrumen FEES. Tujuan penelitian: Mengetahui gambaran disfagia pada anak sindrom Down dengan melihat prevalensi, karakteristik subjek dan gambaran disfagia berdasarkan parameter FEES. Metode: Penelitian cross-sectional yang bersifat deskriptif terhadap 43 anak sindrom Down dengan kecurigaan disfagia di RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan pemeriksaan FEES periode November 2019–Januari 2020. Hasil: Prevalensi disfagia didapatkan 13 dari 43 subjek (30,2%). Gejala disfagia pada anak ≤6 bulan adalah apnea saat menyusu (2/2), pada anak >6 bulan adalah hanya makan makanan tertentu atau lebih menyukai cairan kental (8/11). Komorbid yang paling banyak menyertai adalah kelainan jantung dan tiroid (6/13). Komplikasi yang sering terjadi adalah pneumonia aspirasi (4/13). Pada pemeriksaan awal FEES didapatkan lip seal lemah (12/13). Pada pemeriksaan FEES, Preswallowing leakage, residu, penetrasi dan aspirasi paling sering terjadi pada konsistensi air dan susu. Standing secretion (6/13) dan silent aspiration (1/13). Kesimpulan: Prevalensi disfagia sebesar 30,2% dan pada pemeriksaan FEES penetrasi dan aspirasi pada konsistensi cair terutama terjadi pada usia ≤24 bulan. ......Background: Persistent silentaspiration is an often unrecognized comorbidity in children with Down syndrome. However, there is still limited study on the characteristic of dysphagia in children with Down syndrome using FEES. Aim : To find the prevalence and the characteristics of the subjects and dysphagia in children with Down syndrome using FEES’ parameters. Methods: This is a descriptive cross-sectional study involving 43 Down syndrome children with dysphagia suspicion in Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital from November 2019–January 2020. Results: The prevalence of dysphagia was 13 out of 43 subjects (30,2%). Dysphagia symptom in children ≤ 6 months was apnoea while bottle/breast feeding (2/2). Meanwhile, in children > 6 months was food texture selectivity or liquid consistency food preferred (8/11). The comorbidities found mostly were heart anomaly and congenital hypothyroid (6/13). The complication mostly was aspiration pneumonia (4/13). In pre-FESS examination, poor lip sealed was dominant (12/13). In FEES examination, pre-swallowing leakage, residue, penetration, and aspiration were more common in thin and thick liquid. Standing secretion (6/13) and silent aspiration (1/13). Conclusion: The prevalence of dysphagia was 30,2% and in FEES examination, penetration and aspiration were found mostly in thin liquid, ≤24 months of age predominantly.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rangga Rayendra Saleh
Abstrak :
Surgical site infection is a harmful problem both for the operator or the patient. Commonly, antibiotics is used irrationally to prevent surgical site infection. In the other hand, irrational use of antibiotics might lead to microbial resistency. Plastic reconstructive surgeryof the ears and nose is classified into clean or clean contaminated surgery which only requires prophylactic antibiotics. The aim of this study is to acquire supporting data for a rational use of antibiotics in plastic reconstructive surgery in ENT-HNS Department FMUI - CMH. This study is a pilot study with negative trial design which includes 12 subjects. Subjects are randomly divided into prophylaxis antibiotic only and combination of prophylaxis antibiotic and post operative antibiotic. This study found 1 subject form the prophylaxis antibiotic only group with surgical site infection. There was no surgical site infection in the control group. There is no significant difference between the two groups. The use of post surgery antibiotic is not neccesary in plastic reconstructive surgery to prevent surgical site infection. Further study is required to support findings of this study.
Infeksi luka operasi adalah suatu masalah yang sangat merugikan baik bagi operator maupun pasien. Seringkali antibiotika digunakan secara tidak rasional untuk mencegah terjadinya infeksi luka operasi. Di lain pihak, penggunaan antibiotika secara tidak rasional dapat meningkatkan resistensi mikroba. Operasi plastik rekonstruksi telinga dan hidung adalah operasi bersih atau bersih terkontaminasi yang hanya membutuhkan antibiotika profilaksis. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dukung ilmiah untuk penggunaan antibiotika yang rasional dalam tatalaksana operasi rekonstruksi telinga dan hidung di Departemen THT-KL FKUI - RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini merupakan suatu penelitian pendahuluan dengan desain uji klinis negatif dengan melibatkan 12 subyek. Subyek penelitian dibagi secara acak menjadi kelompok antibiotika profilaksis saja dan kombinasi antibiotika profilaksis - pasca operasi. Terdapat 1 subyek pada kelompok antibiotika profilaksis yang mengalami infeksi luka operasi. Pada kelompok kombinasi antibiotika profilaksis - pasca operasi tidak terdapat infeksi luka operasi. Tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi angka kejadian infeksi luka operasi pada kedua kelompok. Pemberian antibiotika pasca operasi tidak diperlukan dalam operasi plastik rekonstruksi telinga dan hidung untuk mencegah infeksi luka operasi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mendukung hubungan yang tidak bermakna antara kedua kelompok.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adisti Mega Rinindra
Abstrak :
ABSTRAK
Tumor di Cerebellopontine Angle CPA terjadi sekitar 5-10 dari seluruh tumor intrakranial. Gejala yang muncul bervariasi sesuai ukuran dan lokasi lesi. Keluhan yang paling sering terjadi adalah ganggguan pendengaran dan tinitus. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data gambaran gangguan pendengaran sensorineural pada pasien tumor CPA di poli THT RSCM berdasarkan audiometri nada murni dan Brainstem Evoked Response Audiometry BERA serta mengetahui gambaran tumor CPA pada MRI di RSCM. Penelitian ini merupakan suatu penelitian dengan studi potong lintang cross sectional yang bersifat deskriptif analitik. Subjek penelitian diambil semua total sampling yaitu sebanyak 104 pasien, berasal dari data sekunder pada periode Juli 2012 hingga November 2016 dan 30 pasien di antaranya memenuhi kriteria penerimaan. Karakteristik pasien tumor CPA di poli THT FKUI RSCM sebagian besar berjenis kelamin perempuan, dengan usia rerata dewasa tua 41-60 tahun dan keluhan paling banyak berupa tinitus dan gangguan pendengaran asimetri berupa gangguan pendengaran sensorineural sangat berat pada 10 subjek. Hasil BERA ipsilateral terganggu pada 29 subjek dan BERA kontralateral terganggu pada 17 subjek. Terdapat 24 dari 30 subjek memberi gambaran tumor berukuran besar, dan lokasi tumor telah meluas di intrakanal hingga ekstrakanal pada 19 subjek.Kata kunci: audiometri nada murni, Brainstem Evoked Response Audiometry BERA , gangguan pendengaran sensorineural, tumor cerebellopontine angle CPA , Magnetic Resonance Imaging MRI "hr>" "b>ABSTRACT
" Tumors in cerebellopontine angle CPA occurs approximately about 5 10 of all intracranial tumors. Symptoms are varies according to the size and location of the lesion. Unilateral hearing loss and tinnitus are the most frequent symptoms. The aim of the is study is to obtain data of sensorineural hearing loss in CPA tumor patients in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital CMH using pure tone audiometry and BERA, also to obtain data of tumor imaging in MRI. This is a cross sectional study descriptive analytic. Subjects of this study was collected using total sampling method from secondary data from July 2012 to November 2016. Thirty patient from 104 patients met the inclusion criteria. Characteristics of the CPA tumor patients in the ENT CMH outpatients clinic mostly female, with a mean age of middle age patients 41 60 years and most clinical presentation is tinnitus and severe assymmetry sensorineural hearing loss in 10 subjects. From 30 subjects, 29 subjects had impaired BERA in ipsilateral and contralateral BERA impaired in 17 subjects. There are 24 from 30 subjects had a large sized tumor and location of the tumor has spread in intracanal until extracanal in 19 subjects.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zuki Saputra
Abstrak :
Latar belakang: Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan sebuah masalah kesehatan global. Berdasarkan keberadaan polip hidung, RSK dikategorikan menjadi RSK dengan dan tanpa polip hidung. Rinosinusitis yang memiliki gejala persisten walaupun mendapatkan tata laksana yang tepat disebut sebagai rinosinusitis refrakter. Kondisi ini dapat menyebabkan tatalaksana berlebih terkait kegagalan dalam tindakan pembedahan. Terdapat banyak faktor yang berperan dalam patogenesis RSK refrakter, seperti infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma. Tujuan penelitian: Mengetahui pengaruh infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma terhadap RSK dengan polip hidung bilateral refrakter. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan melibatkan 37 pasien RSK dengan polip hidung bilateral di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Data diambil dari rekam medis (jenis kelamin, usia, atopi, dan asma) dan hasil pemeriksaan preparat blok paraffin polip hidung (infiltrasi eosinofil dan biofilm). Analisis data dilakukan menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) for Windows versi 20. Hasil: Kejadian refrakter ditemukan pada 29 subjek (78,4%). Berdasarkan analisis bivariat, tidak terdapat asosiasi yang bermakna antara infiltrasi eosinofil, biofilm, asma, atopi, usia, dan jenis kelamin dengan kejadian RSK dengan polip hidung bilateral refrakter (p>0,05). Kesimpulan: Tidak terdapat pengaruh signifikan dari infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma terhadap RSK dengan polip hidung bilateral refrakter. ......Background: Chronic rhinosinusitis (CRS) is a global health issue. Based on the existence of nasal polyps, CRS is further categorized into CRS with and without nasal polyps. Rhinosinusitis that show persistent symptoms despite suitable treatment is referred to as refractory rhinosinusitis. This condition could cause over-treatment due to failed surgery. There are a lot of factors that contribute towards the pathogenesis of refractory CRS, such as eosinophil infiltration, biofilm, and asthma Aim: To assess the impact of eosinophil infiltration, biofilm, and asthma towards refractory CRS with bilateral nasal polyps. Methods: This is a cross-sectional study involving 37 CRS with bilateral polyp nasal patients at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Data were obtained from medical records (sex, age, atopy, and asthma) and nasal polyp paraffin block examination (eosinophil infiltration and biofilm). Data analysis was performed using Statistical Program for Social Science (SPSS) for Windows version 20. Results: 29 subjects (78,4%) had refractory CRS with bilateral nasal polyps. Based on bivariate analysis, no significant association was shown between eosinophil infiltration, biofilm, and asthma, age, and sex and refractory CRS with bilateral nasal polyps.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arsi Shabrina
Abstrak :
Latar belakang: : Refluks laringofaring merupakan keluhan yang sering ditemui pada poli rawat jalan THT RSCM.. Kuesioner yang selama ini sering digunakan di Poli THT RSCM adalah kuesioner Skor Gejala Refluks (SGR). Kuesioner memiliki kekurangan berupa banyak gejala-gejala terkait refluks laringofaring yang tidak termasuk dalam kuesioner ini. Saat ini terdapat suatu kuesioner yang dianggap lebih signifikan dalam menilai refluks laringofaring dibandingkan SGR yaitu Reflux Symptom Score (RSS) yang belum diadaptasi ke bahasa Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dari penelitian terapi proton pump inhibitor untuk pasien OMSK aman aktif dengan refluks laringofaring Metode: Pasien-pasien curiga refluks laringofaring dan pasien yang sudah didiagnosis refluks laringofaring yang datang ke Poli THT RSCM dilakukan anamnesis, dan diminta untuk mengisi kuesioner SGR dan RSS yang sudah diadaptasi lintas budaya ke Bahasa Indonesia sesuai dengan metode WHO. Pasien juga dilakukan pemeriksaan rinofaringolaringoskopi serat optik lentur untuk melihat kriteria objektif refluks laringofaring yaitu skor temuan refluks (STR). Hasil: Penelitian melibatkan 44 subjek yang memenuhi kriteria penerimaan. Kuesioner RSS ini memiliki nilai p dan korelasi yang signifikan untuk setiap item pada penilaian frekuensi dan keparahan kecuali satu item yaitu diare. Kuesioner ini juga memiliki Cronbach Alpha di atas 0,6 untuk masing-masing bagian pada penilaian frekuensi dan keparahan. Kesimpulan: Instrumen RSS versi Bahasa Indonesia telah diadaptasi lintas budaya (transcultural), valid dan reliabel sebagai instrumen untuk menilai gejala pada RLF. ......Introduction: Laryngopharyngeal reflux is frequently found in the ENT outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital in Jakarta. Laryngopharyngeal reflux is also a risk factor for Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM). The questionnaire that has been frequently used in the ENT outpatient clinic is the Reflux Symptom Index (RSI) questionnaire. However, this questionnaire doesn’t include many symptoms related to laryngopharyngeal reflux. Currently, there is a questionnaire that is considered more significant in assessing laryngopharyngeal reflux than RSI, the Reflux Symptom Score (RSS). This questionnaire has not been adapted to Indonesian yet. This study is a preliminary study of a proton pump inhibitor therapy study for CSOM patients with laryngopharyngeal reflux Methods: Method: Suspected laryngopharyngeal reflux patient or patient that already been diagnosed as reflux laryngopharyngeal reflux that came to Cipto Mangunkusumo general hospital ENT outpatient clinic were interviewed and asked to fill RSI and transcultural adapted RSS. Patients were also examined using flexible rinopharyngolaryngoscopy flexible to assess reflux finding score. Results: This study involved 44 subjects who met the inclusion criteria. This RSS questionnaire has a p-value and significant correlation for each item on the assessment of frequency and severity except for one item diarrhea. This questionnaire also has Alpha Cronbach above 0.6 for each section on the assessment of frequency and severity. Conclusion: RSS Indonesian version has been transculturally adapted also valid dan reliable as an instrument to asses symptoms in laryngopharyngeal reflux.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library