Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Meliana Siswanto
"Latar Belakang: Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan salah satu komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang serius dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Salah satu terapi yang penting pada KAD ialah resusitasi cairan. Protokol KAD yang ada selama ini menggunakan parameter makrosirkulasi, sedangkan pada KAD juga dapat terjadi disfungsi mikrosirkulasi. Protokol Early Goal Directed Therapy (EGDT) menggunakan parameter mikrosirkulasi untuk menggambarkan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen jaringan. Penelitian kali ini bertujuan untuk membandingkan keberhasilan resusitasi cairan antara kelompok KAD yang menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT dengan skor MSOFA sebagai parameter keberhasilan tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis tersamar tunggal dengan randomisasi pada pasien KAD di IGD RSCM pada bulan Desember 2013 sampai Maret 2014. Pasien dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok EGDT berdasarkan tabel randomisasi, kemudian masing-masing kelompok diresusitasi cairan menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT. Kedua kelompok mendapatkan terapi KAD lainnya yang sama. Skor MSOFA dihitung pada jam ke-0, jam ke-6 dan jam ke-72 perawatan.
Hasil: Sebanyak 26 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini, dengan 13 subjek di masing-masing kelompok. Tidak didapatkan perbedaan skor MSOFA yang bermakna diantara kedua kelompok pada jam ke-6 dan jam ke-72, namun berdasarkan sebarannya, skor MSOFA di kelompok EGDT lebih menurun dibandingkan kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan tingkat mortalitas selama 28 hari di kedua kelompok (RR 0,333; IK 95% 0,04-2,801; p = 0,593).

Background: Diabetic ketoacidosis (DKA) is one of the serious complication of diabetes mellitus (DM) with high mortality rate . One important therapy in DKA is fluid resuscitation. DKA protocol that recently used, is guided by macrocirculation parameters, whereas microcirculation dysfunction can occur in DKA. Early Goal Directed Therapy Protocol (EGDT) uses microcirculation parameters to describe the balance of tissue oxygen supply and demand. The aim of this study aimed to compare the success of DKA fluid resuscitation between the groups using conventional protocols and EGDT protocol with MSOFA score as the parameter.
Methods: This study was a single-blind randomized clinical trial of DKA patients in the Emergency Room of Ciptomangunkusumo Hospital from December 2013 to March 2014. Patients were divided into control and EGDT group based on computerized randomization, then each group was resuscitated using a conventional and EGDT protocol. Both groups received the same other DKA treatment. MSOFA score is calculated at the beginning of this study, 6th hour and 72nd hour.
Results: A total of 26 subjects enrolled in this study, with 13 subjects in each group. There were no significant differences between the two groups in the 6th and 72nd hour, but based on the distribution, MSOFA score in EGDT group was more decreased compared to the control group. There were no significant differences of the mortality within 28 days between two groups (RR 0.333; 95 % CI 0.04- 2.801, p = 0.593).
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Farina
"Latar Belakang: Peningkatan volume residu lambung merupakan salah satu tanda intoleransi makan enteral. Intoleransi makan enteral adalah salah satu bentuk gangguan fungsi gastrointestinal. Ganguan fungsi gastrointestinal sering terjadi pada pasien dengan sakit kritis. Sistem skoring MSOFA adalah salah satu sistem skoring untuk menilai keparahan penyakit pada pasien kritis. Sistem skoring yang ada belum memasukkan gangguan fungsi gastrointestinal pada salah satu parameternya. Penelitian ini untuk mengetahui korelasi volume residu lambung dengan keparahan penyakit berdasarkan skor MSOFA, dan apakah volume residu lambung dapat menjadi parameter pelengkap sistem skoring MSOFA.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif. Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari - April 2014 di ICU RSCM. Total volume residu lambung diukur dari 24 jam pertama dan kedua. Skor MSOFA diukur pada hari I dan II. Data dikumpulkan menggunakan formulir penelitian. Data yang didapat dilakukan uji analisis statistik.
Hasil: Sebanyak 72 subjek diikut sertakan dalam penelitian ini. Didapatkan perbedaan volume residu lambung yang bermakna pada 24 jam I dan II. Terdapat korelasi antara volume residu lambung 24 jam II dengan skor MSOFA hari II (p <0,001; r 0,544). Penambahan skor volume residu lambung pada skor MSOFA tidak menambah sensitivitas dan spesifisitas prediksi mortalitas pasien kritis.
Kesimpulan: Terdapat korelasi antara volume residu lambung dengan keparahan penyakit yang dihitung berdasarkan skor MSOFA pada pasien yang dirawat d ICU RSCM. Penambahan skor volume residu lambung pada skor MSOFA tidak menambah sensitivitas dan spesifisitas prediksi mortalitas pasien kritis.

Background: Increased gastric residual volume is a sign of food intolerance. Food intolerance is one form of gastrointestinal disorder. Gastrointestinal disorder often occurs in critically ill patients. MSOFA is one of the scoring system to assess disease severity in critically ill patients. Gastrointestinal system hasn't included in any scoring system. This study was to determine the correlation of gastric residual volume with disease severity based on MSOFA, and whether the gastric residual volume may be complementary parameters MSOFA scoring system.
Methods: This study used a prospective cohort design. Data collection was conducted in February-April 2014 in the ICU RSCM. Total gastric residual volume was measured in the first and second 24 hours of treatment. MSOFA score measured on day I and II.. Data were collected using a research form. Data obtained test statistical analysis.
Results: Total of 72 subjects enrolled in this study. Gastric residual volume difference was significant in the first and second 24 hours. There is a correlation between second 24-hour gastric residual volume with second day of MSOFA score (p <0.001; r 0,544). The addition of gastric residual volume score on the MSOFA scoring system did not add sensitivity and specificity of the prediction of critically ill patient mortality.
Conclusions: There is a correlation between gastric residual volume with disease severity scores that were calculated with MSOFA for patients admitted to the ICU RSCM. The addition of gastric residual volume score on the MSOFA scoring system did not add sensitivity and specificity of the prediction of critically ill patient mortality.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Qolby Lazuardi
"Unit Perawatan Intensif (UPI) merupakan bagian rumah sakit yang berfungsi untuk melakukan perawatan pada pasien yang mengalami penyakit dengan potensi mengancam nyawa. Data menunjukkan angka mortalitas pasien UPI dewasa di seluruh dunia memiliki rerata sekitar 10-29%, sedangkan di RSCM berada di kisaran 28,63-33,56%. Keadaan tersebut membuat kemampuan memprediksi luaran mortalitas menjadi penting untuk menentukan perawatan yang tepat. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) merupakan salah satu metode skoring yang dapat digunakan untuk memprediksi luaran mortalitas pasien, namun penelitian untuk menguji hal tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan skor LODS dalam memprediksi luaran mortalitas pasien dewasa UPI RSCM. Penelitian ini menggunakan 331 sampel data rekam medik pasien UPI RSCM, didapati hasil bahwa rerata pasien meninggal memiliki skor LODS yang lebih besar daripada pasien yang hidup, yaitu rerata 5,854 (median: 6) pada pasien meninggal, dan rerata 2,551 (median: 2) pada pasien yang hidup. Pada uji kalibrasi, didapati hasil Hosmer-Lemeshow test sebesar 0,524, yang menandakan hasil uji kalibrasi yang baik (>0,05). Sedangkan pada uji diskriminasi menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC), nilai Area Under the Curve (AUC) sebesar 79,2%, yang menandakan kemampuan diskriminasi dari skor LODS cukup (70-80%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa skor LODS dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam memprediksi luaran mortalitas pasien UPI RSCM.

Intensive Care Unit (ICU) is the part of hospital that do the care for patients with disease that threaten their life. Data shows that the mortality rate in ICU in the whole world revolved aroung 10-29%, and in RSCM revolved around 28,63-33,56%. This condition makes the ability to predict mortality outcome become important to help decide the correct treatment. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) is one of scoring method that is able to help predict patients mortality outcome, but there is still no study for this scoring method for adult patients in Indonesia. This study inteded to evaluate the ability of LODS scoring in predicting ICU RSCM patients mortality outcome. This study used 331 ICU RSCM patients as its samples, and the result shows that the mean LODS score of the patients that died is greater than the one that lives, the mean LODS score of the patients that died is 5,854 (median: 6), and the mean score of the patients that lives is 2,551 (median: 2). In calibration test using Hosmer-Lemeshow test, the result shows a good outcome that is 0,524 (P>0,05). While in discrimantion test using Receiver Operating Characteristic (ROC) curve, the Area Under the Curve (AUC) value is 79,2%, showing that the ability of LODS score to discriminate is sufficient. This results show that LOD score can be used as one of the refference to predict patients mortality outcome in ICU RSCM.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagas Ariandana Dewanto Putra
"ABSTRACTS
Penelitian ini membahas tentang representasi kekerasan seksual melalui elemen-elemen mise-en-scÃne dalam serial drama The Handmaids Tale. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan berfokus pada analisis deskriptif. Proses penelitian dilakukan dengan studi literatur. Hasil penelitian menemukan bahwa tiap-tiap elemen mise-en-scÃne memiliki makna sendiri-sendiri dalam membentuk adegan yang ketika diintegrasikan akan membentuk makna baru dalam membuat representasi di dalam adegan. Penggabungan elemen-elemen mise-en-scÃne menciptakan sintagma yang bekesinambungan dari shot satu ke shot berikutnya. Kekerasan seksual dalam adegan didasari oleh seksisme yang dikonstruksi lewat cara pandang patriarki dari karakter yang mendominasi.

ABSTRACT
This study discusses the representation of sexual violence scenes through elements of mise-en-scÃne in the drama series The Handmaids Tale. This research is a qualitative research and focused on descriptive analysis. This research conduct by literature study. This research finds that every element of mise-en-scÃne has its own meaning and when each element is integrated, they will have a new meaning to represent something in the scene.  The fusion of all elements of mise-en-scÃne creates continuous syntagms. Sexual violence in the scenes that have been analyzed are rooted in sexism that is constructed through elite characters patriarchal perspective."
Lengkap +
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anas Alatas
"LATAR BELAKANG: Pendarahan merupakan komplikasi berbagai prosedur operasi, terutama operasi jantung terbuka. Penggunaan mesin pintas jantung-paru mengganggu koagulasi dan menyebabkan pendarahan pascaoperasi. Asam traneksamat sebagai antifibrinolitik sintetik digunakan secara luas untuk mengurangi konsumsi koagulasi sehingga dapat menurunkan jumlah pendarahan dan penggunaan produk darah. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keefektifan antara pemberian asam traneksamat 1gram bolus sebelum CPB dilanjutkan dengan drip 1gram dalam 8 jam dibandingkan dengan bolus 1gram sebelum CPB dan 1gram saat priming dalam mengurangi pendarahan pascaoperasi pada operasi jantung dewasa dikamar operasi pusat jantung terpadu RSCM.
METODE: Data dikumpulkan secara konsekutif pada 31 pasien operasi jantung terbuka menggunakan mesin pintas jantung-paru, usia 18-65 tahun dan ASA 1-3. Kelompok 1 (15 pasien) mendapatkan asam traneksamat bolus 1gram sebelum CPB dan 1gram saat priming, kelompok 2 mendapatkan asam traneksamat 1gram bolus sebelum CPB dilanjutkan 1gram drip dalam 8jam. Pendarahan dihitung dari drain mediastinal terhitung sejak off-pump CPB. Dilakukan juga pencatatan penggunaan produk darah, indeks lisis bekuan 30 (TEG), d-dimer dan fibrinogen, serta lama rawat ICU.
HASIL: Produksi drain 6jam, 12 jam dan 24jam pada kelompok 2 (171, 252, 386cc), lebih rendah dibandingkan dengan kelompok 1 (325, 409, 555cc) dan bermakna secara statistik pada 3 kali pengukuran (p<0,05). Terdapat penurunan penggunaan produk PRC namun tidak dengan FFP. Sementara dari hasil pemeriksaan laboratorium terdapat perbedaan bermakna pada penurunan indeks lisis bekuan dan peningkatan d-dimer, namun tidak dengan laju penurunan fibrinogen. Lama rawat ICU kedua kelompok tidak bermakna secara statistik.
SIMPULAN: Pemberian asam traneksamat 1gram bolus dilanjutkan dengan 1gram drip dalam 8jam lebih efektif dibandingkan dengan 1gram bolus dan 1gram dalam cairan priming dalam mengurangi pendarahan pascaoperasi jantung terbuka dewasa.

BACKGROUND: Bleeding is a complication of various surgical procedures, especially open-heart surgery. The use of heart-lung bypass machine interfere with coagulation and cause postoperative bleeding. As a synthetic antifibrinolytic tranexamic acid is widely used to reduce the consumption of coagulation so it can reduce the amount of bleeding and the use of blood products. This study is aimed to compare the effectiveness of the administration of tranexamic acid 1gram intravenous bolus before CPB followed by 1gram continous intravenous infusion within 8 hours compared with 1gram intravenous bolus before CPB and 1gram whithin priming solution in reducing postoperative bleeding in adult cardiac surgery at integrated cardiac centers (PJT) Cipto Mangunkusumo hospital.
METHOD: Data collected consecutively in 31 patients who underwent open-heart surgery using the cardiopulmonary bypass machine, age between 18-65 years and ASA 1-3. Group 1 (15 patients) received 1gram intravenous bolus of tranexamic acid before CPB and 1gram whithin priming solution, group 2 (15 patients) received 1gram intravenous bolus of tranexamic acid before CPB followed by 1gram continous intravenos infusion within 8 hours. Bleeding is calculated from the mediastinal drain starting from the off-pump CPB. The use of blood products, clot lysis index 30 (TEG), d-dimer, fibrinogen, and length of stay in ICU also recorded.
RESULTS: Production of 6 hours, 12 hours and 24 hours drain in group 2 (171, 252, 386cc), was lower compared with group 1 (325, 409, 555cc) and statistically significant at 3 times of measurement (p <0.05). There is a decrease in the use of the PRC, but not with FFP. Meanwhile from the results of laboratory testing, there are significant differences in the decrease in clot lysis index and increase in D-dimer, but not with the rate of decrease in fibrinogen. ICU length of stay both groups was not statistically significant.
CONCLUSION: Administration of tranexamic acid 1gram intravenous bolus followed by 1gram continous intravenous infusion within 8 hours is more effective than 1gram intravenous bolus and 1gram within priming solution in reducing postoperative bleeding due to adult open cardiac suregry.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Zidny Robby Rodhiya
"ABSTRAK
Penilaian preoperatif dan perioperatif dibutuhkan untuk memprediksi morbiditas dan mortalitas pasien pasca transplantasi ginjal. Oleh karena itu,modalitas yang digunakan dalam menilai risiko pembedahan harus memiliki akurasi dan objektivitas yang baik. Salah satu modalitas yang banyak digunakan di RSCM adalah skor ASA-PS. Namun skor ini sudah banyak ditinggalkan oleh negara maju dan beralih pada skor P-POSSUM yang dinilai lebih superior,objektif dan akurat. Pada penelitian ini, skor P-POSSUM diuji dalam memprediksi lama rawat inap pasien yang merupakan marker morbiditas pascabedan. Penelitian ini menguji kemampuan korelasi dan diskriminasi skor P-POSSUM dalam memprediksi lama rawat inap sekaligus menganalisis hubungan antar variabel skor P-POSSUM dengan lama rawat inap resipien transplantasi ginjal. Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif yang dilakukan pada 225 resipien transplantasi ginjal dari di RSCM Pusat dan Kencana dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data rekam medis pasien digunakan untuk menelusuri variabel fisiologis dan pembedahan yang tercantum dalam skor P-POSSUM serta lama rawat inap pasien pasca transplantasi ginjal. Selanjutnya data dianalisis menggunakan bivariat dan regresi logistik untuk mendapatkan hubungan antar variabel P-POSSUM dengan lama rawat pasien. Kemampuan korelasi dan diskriminasi skor P-POSSUM dicari menggunakan Hamer-Lameshow dan AUC pada kurva ROC. Hasil analisis bivariat menunjukan terdapat lima variabel yang memiliki hubungan signifikan dengan lama rawat inap yaitu laju nadi, kadar hemoglobin,kadar leukosit,kadar kalium,total perdarahan intraperioperatif dan kontaminasi intraperitoneal. Namun hanya terdapat dua variabel yang signifikan dalam analisis multivariat yaitu kadar hemoglobin dan perdarahan intraoperatif. Kemampuan kalibrasi menggunakan Hosmer-Lameshow dinilai baik (Nilai p= 0.889). Namun kemampuan diskriminasi dinilai lemah karena AUC yang didapat 65.7%. Kesimpulannya, sistem skor P-POSSUM tidak dapat menentukan lama rawat pasien resipien transplantasi ginjal. Namun terdapat dua variabel P-POSSUM yang merupakan faktor prediktif lama rawat inap yaitu kadar hemoglobin dan perdarahan intraoperatif.

ABSTRACT
Preoperative and perioperative assessments are important to predict morbidity and mortality in post kidney transplant patient. Therefore, clinicians should assess operative risks by using accurate and objective modality.The most widely used modality in RSCM is ASA-PS score. Meanwhile, this score is no longer used in developed country and replaced by P-POSSUM score, which is more superior,objective, and accurate. In this study, P-POSSUM Score is assessed in predicting length of hospital stay as a marker of post-operative morbidity. This study examines the correlation and discrimination ability of P-POSSUM score in predicting length of hospital stay as well as analyzing relationship between P-POSSUM score variables and the length of hospita stay of kidney transplant recipients. This retrospective cohort study was conducted on 225 kidney transplant recipients from RSCM and RSCM Kencana who met the inclusion and exclusion criteria. Medical record of patient is used to identify the physiological and surgical variables in P-POSSUM Score and length of hospital stay of patients after kidney transplant. Furthermore, the data were analyzed using bivariate ad logistic regression to identify the relationship between P-POSSUM variables and the length of hospital stay. The correlation and discrimination ability of P-POSSUM score are examined by using Hamer-Lameshow and AUC on the ROC curve. The result of bivariate analysis showed that there are five variables that had a significant relationship with length of stay, namely pulse rate, hemoglobin level,leukocyte level,potassium level, total intraoperative bleedig and intraoperitoneal contamination. However, only two remains significant in the multivariate analysis namely hemoglobin level and intraoperative bleeding. Calibration ability is good based on Hamer-Lameshow analysis (p=0.889). But the ability to discriminate is considered weak because the AUC area only 65.7%. P-POSSUM can not be used to predict the length of hospital stay in kidney transplant recipients . Hemoglobin level and intraoperative bleeding are predictive factors in P-POSSUM for length of hospital stay od kidney transplant recipients. "
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Cahyadi
"Latar belakang: Nilai Behavioral Pain Scale (BPS) merupakan alat evaluasi nyeri untuk pasien unit perawatan intensif (UPI) yang tidak sadar dan menggunakan ventilasi mekanik. BPS dikembangkan oleh Payen pada tahun 2001 dalam bahasa Inggris. Penerjemahan BPS ke dalam bahasa Indonesia dilakukan untuk mempermudah sosialisasi dan pemahaman mengenai kriteria dalam BPS. Sebelum suatu alat ukur yang diterjemahkan dapat diterapkan pada populasi, harus dilakukan penilaian kesahihannya terlebih dahulu. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai kesahihan BPS pada pasien UPI Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Metode: Studi observasional, potong lintang dengan pengukuran berulang dilakukan terhadap pasien yang dirawat di UPI RSCM Maret-Mei 2013. Kesahihan BPS dinilai dengan uji korelasi Spearman. Keandalan dinilai dengan Cronbach α dan Intraclass Correlation Coefficient (ICC). Ketanggapan dinilai dengan besar efek. Hasil: Selama penelitian terkumpul 56 pasien yang tidak sadar dan menggunakan ventilasi mekanik di UPI RSCM. BPS memiliki kesahihan yang baik dengan nilai korelasi bermakna secara berurutan 0.376, 0.403 dan -0.147 untuk laju nadi, tekanan arteri rata-rata dan nilai Ramsay. Keandalan yang baik dengan nilai ICC 0.941 p = <0.001 dan nilai cronbach α 0.907. Ketanggapan BPS juga baik dengan besar efek antara 2.32-2.82 antara pagi sampai dengan malam.

Background: Behavioral Pain Scale (BPS) score is a tool to evaluate pain for unconscious patient whom using mechanical ventilation in intensive care unit (ICU). BPS has been developed by Payen in English language. Translation BPS into Indonesian language was done to make a better understanding about criteria in BPS. However, this tool need to be validated before it use in populations. The aim of this study was to validate BPS score in the intensive care unit (ICU) Cipto Mangunkusumo Hospital population. Methods: An Observational, cross sectional, repeated measures was done to patients hospitalized in the ICU Cipto Mangunkusumo Hospital from March to May 2013. Validation was assessed by Spearman Correlation test while reliability was analyzed using Cronbach α and intraclass correlation coefficient (ICC). Responsiveness was assessed by effect size. Results: A total of 56 unconscious patients using mechanical ventilation were included in this study. BPS score has a good validation with significant correlation 0.376, 0.403 and -0.147 for heart rate, MAP and Ramsay Score consecutively. Good reliability with ICC score 0.941, p = <0.001 and cronbach α 0.907. Responsiveness for BPS is good with effect size between 2.32-2.82 within morning until night group."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lara Aristya
"Latar Belakang: Sepsis merupakan salah satu penyebab utama kematian di unit perawatan intensif. Dalam kasus infeksi, pemberian cairan intravena dan agen vasoaktif sangat direkomendasikan sebagai salah satu tatalaksana pasien sepsis. Namun, banyak studi yang belum dapat menunjukkan temuan positif sesuai dengan studi orisinil EGDT.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara mortalitas pasien sepsis dengan waktu pemberian vasoaktif selama proses resusitasi cairan di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode: Studi ini menggunakan metode cohort retrospective dengan 188 subjek yang didapatkan melalui pemenuhan kriteria penelitian dari rekam medis pasien. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasien sepsis yang mendapatkan terapi vasoaktif dalam enam jam pertama dan setelah enam jam.
Hasil: Terdapat karateristik sosiodemografi dari subjek, antara lain jenis kelamin, usia, total cairan rerata, status transfusi, jenis cairan, jenis vasoaktif, penyakit penyerta, dan lama rawat di unit perawatan intensif. Dari hasil uji Chi-square didapatkan waktu pemberian vasoaktif terhadap mortalitas, bernilai P=0.282 dengan RR 1.060 95 CI 0.974-1.153.
Diskusi: Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan mortalitas dengan perbedaan waktu pemberian terapi vasoaktif tersebut.

Background: Sepsis is the leading cause of death in intensive care unit. In case of infection, intravenous resuscitation and vasoactive agent are very recommended as one of the treatment for septic patient. However, many studies not yet able to show the positive findings in accordance with the EGDT original study.
Objectives: This study aims to find out the association between septic patient rsquo s mortality and the time of vasoactive administration during fluid resuscitation in Intensive Care Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: This is a cohort retrospective study with 188 subject which meet the criteria from medical record. The subjects are divided into two groups septic patients that are given vasoactive therapy within six hours and after six hours during fluid resuscitation.
Results: This study shows sociodemographic characteristics of the subjects, such as gender, age, total fluid average, transfusion status, type of fluid, type of vasoactive, comorbidities, and length of stay in ICU. Based on Chi Square test, relationship between mortality and timing of vasoactive administration, sequentially P 0.282 with RR 1.060 95 CI 0.974 1.153.
Discussion: No association between septic patient rsquo s mortality and time difference in administrating the vasoactive therapy.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Pramudita
"Latar Belakang: Resusitasi cairan merupakan terapi yang sering diberikan pada ruang rawat intensif untuk mengembalikan perfusi jaringan. Namun, seringkali terapi resusitasi cairan menyebabkan kelebihan cairan yang memiliki efek buruk terhadap pasien termasuk kematian.
Tujuan: Penelitian retrospektif ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara mortalitas dengan durasi kelebihan cairan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo.
Metode: Sebanyak 194 pasien yang mengalami kelebihan cairan dan berada di ruang rawat intensif selama 7 hari atau lebih, diperoleh melalui teknik consecutive sampling, dievaluasi. Durasi kelebihan cairan dan kematian 28 hari dicatat. Sampel yang diperoleh dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasien yang mengalami kelebihan cairan kurang dari sama dengan 4 hari dan pasien yang mengalami kelebihan cairan lebih dari 4 hari. Sampel kemudian dianalisis menggunakan uji bivariat Chi square untuk diketahui hubungannya dengan kematian.
Hasil: Terdapat hubungan antara kematian dengan durasi kelebihan cairan dengan nilai P.

Background: Fluid resuscitation is a common therapy given at the Intensive Care Unit ICU to maintain tissue perfusions. However, this therapy usually results in fluid overload that has adverse outcome including death.
Objective: This retrospective study aimed to assess the association between mortality and fluid overload duration in Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital's.
Methods: A total of 194 ICU patients with fluid overload and stayed for 7 days or more that obtained by consecutive sampling, were evaluated. Fluid overload duration and 28 days mortality were recorded. Samples were divided into two groups, patients with fluid overload less than or equal to 4 days and patients with fluid overload more than 4 days. A bivariate analysis Chi square were perform to assess the association of mortality and fluid overload duration.
Results: Mortality and fluid overload duration were significantly associated P.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Varian Marcevianto
"Latar Belakang: Sebanyak 86% pasien dengan administrasi cairan mengalami akumulasi cairan positif hingga menyebabkan 35% dari seluruh pasien ICU tahun 2009-2012 mengalami volume cairan berlebih. Efek terburuk akibat hal ini adalah kegagalan multi sistem organ tubuh. Sehingga, salah satu penanganan volume cairan berlebih adalah intervensi diuresis untuk menyelesaikan masalah fisiologis. Masih belum dibuktikan melalui penelitian mengenai manfaat penyelesaian disfungsi sistem organ dari diuresis furosemid untuk menurunkan balans cairan di saat pasien justru mengalami hipoperfusi organ serta berbagai efek samping dari furosemid tersebut.
Tujuan: Atas dasar itu, dilakukan penelitian berupa analisis hubungan antara perubahan status disfungsi sistem organ berdasarkan skor MSOFA dengan penggunaan furosemid, beserta analisis data demografik dan klinik pasien volume cairan berlebih di perawatan intensif.
Metode: Desain penelitian merupakan kohort retrospektif dengan pengambilan data dari 194 sampel rekam medik yang didapatkan secara consecutive sampling. Data penggunaan furosemid dan perubahan skor MSOFA pada pasien fluid overload dimasukkan dalam tabel 2x2, kemudian dianalisis menggunakan metode chi square.
Hasil: Hasil membuktikan bahwa terdapat hubungan signifikan antara perubahan status disfungsi sistem organ dengan penggunaan furosemid pada pasien perawatan intensif (p<0,05). Nilai risiko relatif menunjukkan bahwa penggunaan furosemide justru menghasilkan nilai MSOFA yang lebih tinggi sebanyak 1,271 kali daripada pasien yang tidak menggunakan furosemide (95% IK 1,108 - 1,458).
Diskusi: Penggunaan furosemid memperburuk disfungsi organ berdasarkan skor MSOFA. Hal ini dapat terjadi akibat efek iatrogenik kekurangan balans cairan dan efek samping. Data klinis yang berkorelasi signifikan dan perlu dianalisa lebih lanjut, mencakup: balans cairan sebelum dan sesudah terapi, faktor risiko, dan komponen disfungsi sistem organ.

Background: Eighty-six percent of patients were administrated with IV Fluid resuscitation had positive fluid accumulation that results in fluid overload in 35% of all ICU patients in 2009-2012. The worst consequence of this situation is multi organs failures. Thus, one of the fluid overload treatment is pharmacological diuresis to solve the physiological problems. Despite of its adverse effects and fluid balance decrement on the hypoperfusion organ, the organ failure resolution of furosemide usage has not been proven through any research. Hence, a research which analyzed the correlation of organ system failure status based on modified sequential organ failure assessment score with furosemide usage on intensive care patient and their demographics data has been conducted.
Method: The research design was a retrospective cohort which analyzed 194 subjects from Cipto Mangunkusumo Hospital ICU medical records selected by consecutive sampling method. Data of furosemide usage and MSOFA Score changes were recorded to the 2x2 table, then they were analyzed by chi square method.
Results: The result proves that there is significant association between worsening organ system failure with furosemide usage on critically ill patients (p<0,05), especially in cardiovascular and central venous system. The relative risk result shows that furosemide usage resulted in higher MSOFA score 1,271 times more than those patients with no furosemide diuresis usage (95% CI 1,108 - 1,458).
Conclusions: The furosemide usage worsens the organ failure based on MSOFA score. These can be resulted by iatrogenic effect of too negative fluid balance and furosemide's adverse effects in the patients. There are clinical data which have significant correlation and can be analysed further, including: fluid balance before and after therapy, risk factors, and organ failure components.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>