Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitriani Kartawan
Abstrak :
ABSTRAK
Menjalin hubungan yang matang dengan teman sebaya, balk laki-laki maupun perempuan, merupakan salah satu tugas perkembangan individu remaja (Havighurst, dalam Rice, 1999). Namun remaja penyandang Gangguan Spektrum Autisme (GSA) masih mengalami kesulitan dalam bersosialisasi, berkomunikasi dan berperilaku yang sesuai, sehingga menghadapi hambatan dalam pergaulannya, bahkan tidak dapat diterima di lingkungan sosialnya (Mesibov & Handlan, 1997). Padahai saat itu minat sosial mereka berkembang pesat dan kemampuan sosialnya juga terus berkembang (Ando & Yoshimura; Mesibov; Mesibov & Schaffer; Schopler & Mesibov, dalam Mesobov & Handlan, 1997). Oleh karena itu mereka seringkali merasa tidak bahagia (unhappiness) saat menyadari bahwa dirinya berbeda dengan teman-teman seusianya yang tidak autistik (Wing, dalam Mesibov & Handlan, 1997). Tak terpenuhinya kebutuhan mereka akan pertemanan dapat mengarahkan pada depresi dan bunuh diri (Stanton, 2001).

Tujuan dari panelitian ini adalah mengeksplorasi mengenai belief dan desire serta perilaku pertemanan pada remaja penyandang GSA. Belief dan desire merupakan mental states yang memiliki kaftan dengan perilaku (Flavell; McCormick; Wellman dalam Santrock 2004; Baron-Cohen & Sweetenham, 1997; Howiin, Baron-Cohen & Hadwin, 1999). Sedangkan perilaku sosial manusia dipengaruhi kemampuan untuk memikirkan dan memahami mental states orang lain (Shatz, dalam Lewis & Mitchell, 1994),

Masalah utama pada penelitian ini adalah: bagaimanakah belief desire dan perilaku pertemanan pada remaja penyandang GSA? Untuk menjawabnya, peneliti melakukan pendekatan studi kasus intrinsik, dengan menggali informasi lebih dalam melalui wawancara dan observasi.

Subyek Penelitian (SP) adalah seorang remaja penyandang GSA yang bersekolah di sekolah regular. Partisipan penelitian ada 4 orang, termasuk SP.

Analisa data dilakukan dengan transcribing dan coding basil wawancara dengan SP, ibunya, teman dan gurunya.

Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa pertemanan SP sebagai remaja penyandang GSA memiliki ciri unik. SP sudah mampu menjalin pertemanan di sekolah. Namun belief, desire dan perilaku pertemanan SP masih terbatas pada pertemanan sesama jenis kelamin, bersifat egosentris, kurang mengandung aspek reciprocal (timbal-balik), kurang karakter intimacy dan menunjukkan masih adanya minat yang terbatas.

Peneliti juga menernukan adanya belief-desire-perilaku yang tidak koheren dalam pertemanan SP. Beliefnya mengenai ketidakharusan mengerjakan tugas bersama-sama dengan teman tidak sesuai dengan perilakunya; beliefnya mengenai gaya pakaian yang sama di kalangan remaja yang berteman koheren dengan desirenya namun tidak tercermin dalam perilakunya; beliefnya mengenai berbagi pikiran tidak selaras dengan desire-nya, namun belief tersebut koheren dengan perilakunya.
2007
T17823
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Ratih Tresna Aryanti
Abstrak :
ABSTRAK
Salah satu ciri dari anak dengan Autisme adalah memiliki hambatan dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Kata-kata yang dikeluarkan oleh anak dengan Autisme seringkali tidak ditujukan untuk berkomunikasi dan mereka juga jarang menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi sehingga apa yang diinginkan oleh anak dengan Autisme terkadang tidak dapat dipahami oleh orang disekitar. Picture Exchange Communication System (PECS) merupakan sistem bergambar bagi anak yang mengalami keterbatasan sosial dan komunikasi, biasanya digunakan oleh Autisme. Dengan sistem ini, anak diajarkan untuk menyampaikan permintaan apa yang diinginkannya kepada orang lain dengan cara menukarkan kartu. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan meningkatkan keterampilan komunikasi dalam menyampaikan permintaan pada anak dengan Autisme menggunakan prinsip-prinsip PECS yang ditandai dengan penguasaan tugas-tugas pada fase 3B. Dalam penelitian ini, juga dilibatkan ibu sebagai orang yan paling dekat dengan anak. Berdasarkan hasil penelitian, anak mampu menguasai fase 3B dan terdapat peningkatan keterampilan berkomunikasi dalam menyampaikan permintaan pada anak dengan Autisme.
ABSTRACT
One of the difficulties that children with Autism have is in language development and communication. The words spoken by children with autism, often not intended to communicate and they rarely used body language to communicate, so people around them sometimes don’t understand their wants and needs. Picture Exchange Communication System (PECS) is a pictorial system was developed for children who have social and communication problems. This system is usually applied for children with autism. With this system, children with autism are taught to ask for what they want to other people by exchanging cards. The purpose of this research is to improve communication skill in requesting something to other people in children with autism using PECS which are marked by mastery of tasks in phase 3B. Child’s mother is also participated in the research, as she is the closest person to the child. The result of this research is the child mastered phase 3B and there is improvement in communication skill, especially in asking for request.
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T32639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susanna
Abstrak :
Interaksi sosial pada awal kehidupan berperan penting bagi seluruh aspek perkembangan anak. Salah satu aspek penting dari perkembangan anak adalah kemampuan meregulasi diri. Studi di ranah perkembangan anak telah menunjukkan bahwa interaksi dan hubungan yang positif menjadi media bagi perkembangan dan peningkatan kemampuan regulasi diri pada anak. Pendekatan Developmental, Individual Differences, Relationship-Based (DIR) merupakan salah satu intervensi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas interaksi antara caregiver dan anak. Maka dari itu, penelitian ini bermaksud untuk mengevaluasi efektivitas DIR/Floortime untuk meningkatkan kualitas interaksi antara seorang ibu dan anak laki-lakinya yang berusia enam tahun yang menunjukkan beberapa gejala psikotik. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa pendekatan DIR/Floortime efektif untuk meningkatkan kualitas interaksi ibu dan anak serta kemampuan regulasi diri anak yang terukur dari peningkatan skor pada skala FEAS, CBCL dan Self Regulation Questionnaire.
Early social interaction plays a vital role in the overall development of the child. One of the important aspects of child development is self-regulation. Many studies on child development have indicated that positive interaction/relationship served as a medium for developing and improving self-regulation in children. The Developmental Individual Diferences and Relationship (DIR) is one of the interventions that have been used to improve the quality interaction between a caregiver and child. Thus, this study is interested in evaluating the effectiveness of DIR/ Floortime approach to improve the quality of interaction between a mother and six-year-old Indonesian boy who displays psychotic symptoms. This results showed that DIR/ Floortime approach is effective in improving the quality of mother-child interaction as well as self-regulation ability in a child as reflected in the increase scoring of the child?s FEAS, CBCL and Self-Regulation Questionnaire.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T32615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Indah Istiqomah
Abstrak :
Social withdrawal pada masa kanak-kanak merupakan faktor resiko munculnya masalah social emosional di kemudian hari. Anak dengan social withdrawal pada umumnya memiliki keterampilan social yang kurang. Penelitian ini memiliki desain single case dan menerapkan bentuk intervensi social skills training (SST) dengan pendekatan multimodal. Program ini meliputi behavioral social skills training, self-instructional, social problem solving, serta pengurangan masalah penghambat. Partisipan penelitian adalah anak perempuan berusia sembilan tahun. Sesi terapi dilakukan sebanyak sepuluh kali selama lebih kurang 60 - 90 menit setiap sesinya. Hasil dari terapi ini adalah SST efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial anak. Melalui observasi langsung, terlihat adanya peningkatan frekuensi dan performansi anak dalam menampilkan perilaku sosialnya. Anak dapat menampilkan perilaku menyapa, bertanya, bergabung, mengajak bergabung, dan menyelesaikan masalah dengan baik Berkaitan dengan masalah social withdrawal juga mengalami penurunan. Hal ini terlihat terutama dari penurunan skor pada skala withdrawn dari alat ukur Child Behavior Checklist (CBCL). ......It has long been argued that social withdrawal in early childhood is a risk factor for later socio-emotional difficulties. Social withdrawal children usually have social skill deficits. This research uses a single case design and applies the multi-method social skills training (SST) intervention in order to enhance social skills. The components of the program include behavioral social skills training, self-instructional training, social problem solving, and reduction competing/inhibiting problem. Participant of this research is a nine-year old girl with social withdrawal. Therapy is conducted through 10 sessions, 60-90 minutes each session. This study showed that SST is an effective therapy to increase the child’s social skills. Child has shown improvement in frequency and performance of some target behaviors (greeting, asking for information, joining in, invite to join in, and problem solving). This study also found decreasing of social withdrawal symptoms that can be seen from reducing score withdrawn from the Child Behavior Checklist (CBCL).
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T34934
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rayi Tanjung Sari
Abstrak :
Kemampuan regulasi diri merupakan aspek penting dari perkembangan anak. Regulasi diri yang berkembang dengan baik dapat mendukung perkembangan anak secara optimal dan adaptif. Anak belajar meregulasi dirinya melalui interaksi orangtua-anak sejak usia dini. Akan tetapi, tidak semua anak memiliki kemampuan regulasi yang baik. Anak yang tidak memiliki kemampuan regulasi diri seringkali menunjukkan masalah perilaku, seperti temper tantrum, menggunakan kekerasan fisik, tidak patuh, dan sebagainya. Pendekatan Parent- Child Interaction Therapy (PCIT) merupakan salah satu intervensi yang digunakan untuk meningkatkan perilaku yang adaptif melalui interaksi antara anak dan orangtua. Penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas penerapan prinsip PCIT untuk meningkatkan interaksi anak dan orangtua sebagai upaya untuk mengatasi temper tantrum pada anak. Penelitian ini merupakan penelitian single-subject design. Partisipan penelitian ini melibatkan anak perempuan berusia 7 tahun 5 bulan yang telah didiagnosis intellectual disability dan memiliki kesulitan dalam meregulasi diri serta ibu dari sosial ekonomi menengah bawah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip PCIT dapat meningkatkan kualitas interaksi orangtua-anak yang terukur pada Dyadic Parent-Child Interaction Coding System?III (DPICS-III) dan menurunnya temper tantrum anak yang terukur pada skala Child Behavior Checklist, Eyberg Child Behavior Inventory (ECBI), serta Fast Track Project Child Behavior Questionnaire (FTP-CBQ). ......Self regulations is an important aspect of a child development that can optimize his/her development. Parenting plays a major role in the development of child self regulation. Early parent-child interaction served as a medium for developing and nurturing early self regulation in children. Children with self regulation problem often time may display behavior such as temper tantrum or verbal dan physical violence. One of the interventions that have been widely used to decrease this negative behavior is Parent-Child Interaction Therapy (PCIT) through improving interaction between parent-child. This study evaluates the effectiveness of PCIT to handle temper tantrum through improvement of parent-child interaction. The participant of this study is a 7 and a half years old girl from middle-low socioeconomic diagnosed with intellectual disability and difficulty in self regulation. The results of the study shows that the PCIT is effective in improving the quality of interaction between parent and and also decrease the tantrum behavior where measured on Dyadic Parent-Child Interaction Coding System-III (DPICS-III), and the decrease of temper tantrum is measured on the scale of Child Behavior Checklist, Eyberg Child Behavior Inventory (ECBI), and Fast Track Project Child Behavior Questionnaire (FTP-CBQ.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T42350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angeline Kartika Sosrodjojo
Abstrak :
Perilaku menuntut merupakan salah satu perilaku yang mengganggu. Salah satu penyebab perilaku menuntut adalah kurangnya kualitas interaksi antara orangtua dengan anak. Parent Child Interaction Therapy (PCIT) merupakan salah satu terapi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas interaksi antara orangtua dengan anak agar dapat mengurangi perilaku anak yang mengganggu. Penelitian ini merupakan penelitian single-subject design, yang bertujuan untuk melihat efektivitas PCIT untuk meningkatkan kualitas interaksi antara orangtua dengan anak yang suka menuntut. Kualitas interaksi antara orangtua dengan anak diukur dengan menggunakan Dyadic Parent-Child Interaction Coding System (DPICS). Perilaku menuntut anak dan masalah perilaku lainnya yang menjadi karakteristik anak yang suka menuntut diukur dengan menggunakan Child Behavior Checklist (CBCL) dan Eyberg Child Behavior Inventory (ECBI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa PCIT dapat meningkatkan kualitas interaksi antara orangtua dengan anak yang suka menuntut serta mengurangi perilaku menuntut pada anak dan masalah-masalah perilaku lainnya yang menjadi karakteristik anak yang suka menuntut.
Demanding behavior is part of disruptive behaviors and often caused by poor parent-child interaction quality. Parent Child Interaction Therapy (PCIT) is one of intervention techniques that can be used to improve the interaction quality between parents and child, so that the disruptive behavior problems can be decreased. This research is a single case design (N=1), that aimed to determine the effectiveness of PCIT to improve the interaction quality between parent and high-demand child. Dyadic Parent-Child Interaction Coding System (DPICS) is used to measure the parent-child interaction quality. Meanwhile, Child Behavior Checklist (CBCL) and Eyberg Child Behavior Inventory (ECBI) are used to measure child’s demanding behavior and other behavior problems. The result shows that PCIT is effective to improve interaction quality between parent and high-demand child, and also effective to decrease some of other disruptive behavior problems.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
T44157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nikita Yudharani
Abstrak :
ABSTRAK
Gangguan Autism Spectrum Disorder (ASD) meliputi perilaku sulit untuk melakukan interaksi dan komunikasi sosial, adanya perilaku yang berulang (stereotipik), serta terbatasnya minat pada kegiatan atau hal-hal tertentu.Beberapa gejala yang ditampilkan oleh anak dengan ASD tersebut dapat menjelaskan rendahnya durasi perilaku on-task saat belajar.Dalam kegiatan belajar, perilaku on-task merupakan perilaku yang diperlukan untuk menghadapi tugas yang diberikan, terutama tugas menulis.Rendahnya durasi perilaku on-task juga dapat disebabkan oleh kurangnya minat anak dalam menyelesaikan tugas menulis.Perilaku on-task merupakan perilaku dimana anak duduk di belakang meja dan mengerjakan tugas yang diberikan. Pada penelitian ini, teknik yang digunakan adalah token economy pada anak usia pra-sekolah (5 tahun 7 bulan) dengan ASD. Intervensi pada penelitian ini terdiri dari 10 sesi, yang pada setiap sesi terdapat target waktu spesifik di mana anak diharapkan dapat mempertahankan perilaku on-task.Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan durasi waktu perilaku on-task, meskipun demikian bantuan berupa prompt masih banyak diperlukan untuk memunculkan dan mempertahankan perilaku on-task dalam mengerjakan tugas menulis
ABSTRACT
Symptoms of Autism Spectrum Disorder (ASD) include deficits in social interaction and social communication, repetitive behaviors (stereotyped), and lack of interest in activities or certain things. On children with ASD, these symptoms may explain low on-task behavior duration while studying. On-task behavior is needed to complete the tasks given, especially tasks which involve writing. Low on-task behavior duration can also be influenced by the child?s lack of interest in completing the writing task. On-task behavior occurs when the child sits behind a desk and works on any given task. In this study, the token economy technique is used on a preschooler (5 years and 7 months old) with ASD. The intervention consists of 10 sessions, and the child is expected to maintain on-task behavior for specific periods of time in each session. The results show that the duration of on-task behavior increased at the end of the program. However, prompts are still needed to help induce and maintain on-task behavior while completing writing tasks
2016
T46373
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luisa Larasati Wirawan
Abstrak :
ABSTRAK
Anak dengan ADHD diketahui memiliki defisit dalam regulasi diri dan menampilkan perilaku impulsif. Adanya hambatan dalam meregulasi diri membuatnya kesulitan untuk secara sadar mengatur serta mengendalikan emosi, pikiran, dan tubuhnya untuk berperilaku sesuai dengan situasi yang dihadapi. Hal ini yang membuat anak dengan ADHD sulit diatur, cenderung menarik diri, menampilkan perilaku agresif, dan memiliki masalah sosial, baik dengan teman maupun keluarga. Orangtua dengan anak ADHD cenderung tidak merespon secara tepat kebutuhan anak, memiliki kontrol yang berlebihan, kurang memberikan pujian, dan kurang interaktif pada anaknya, sehingga terbentuklah insecure attachment pada anak dengan ADHD. Terbentuknya insecure attachment dapat memperparah masalah regulasi diri pada anak ADHD. Hal serupa terjadi pada N, anak ADHD berusia 6 tahun yang memiliki insecure attachment dengan orangtua. Salah satu intervensi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah regulasi diri pada N adalah Theraplay. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Theraplay efektif dalam menangani masalah regulasi pada N dan merubah pola interaksi N dengan orangtua menjadi lebih positif
ABSTRACT
Children with ADHD are known to have deficits in self-regulation and shown impulsive behavior. Difficulties to do self-regulation makes it difficult to consciously manage and control emotion, mind, and body in order to behave accordingly to the situation. This things that makes children with ADHD tend to withdraw, displaying aggressive behavior, and have social problems, either with friends or family. Parents with ADHD children tend not to respond the needs of their children properly, have excessive control, failed to give appreciation, and less interactive with children, thus forming insecure attachment with ADHD children. Insecure attachment may worsening the self-regulation in children with ADHD. Something similar happened to N, 6 years old children with ADHD who have insecure attachment with the parents. One of the interventions that can be used to overcome the problem of self-regulation with N is Theraplay. The results of this study indicate that Theraplay is effective in dealing with regulatory issues at the N and also N change his patterns of interaction with his parents to become more positive.
2016
T46530
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yomi Novitasari
Abstrak :
Kecemasan merupakan kondisi yang dapat dialami banyak orang. Namun kecemasan yang berlebihan dapat mengganggu kegiatan sehari-hari seseorang. Gangguan kecemasan pada anak yang tidak ditangani dengan efektif dapat membuat anak rentan terhadap masalah dalam fungsi kehidupannya dan mempengaruhi perkembangan emosinya. Tesis ini memiliki desain penelitian single case dan menerapkan bentuk intervensi Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk menurunkan kecemasan pada anak. Partisipan penelitian adalah anak perempuan berusia 9 tahun yang mengalami kecemasan pada sejumlah hal, antara lain cemas menyeberang jalan, pergi ke sekolah dan di rumah atau di kamar mandi sendirian. Sesi terapi dilakukan sebanyak dua belas kali selama lebih kurang 45 - 80 menit setiap sesinya. Pengukuran efektivitas terapi ini dilakukan menggunakan alat ukur SCARED (Screen for Child Anxiety Related Emotional Disorders), FSSC-R (Fear Survey Schedulle for Children - Revised), dan CBCL (Child Behavior Checklist). Hasil dari terapi ini adalah CBT tidak efektif untuk menurunkan kecemasan partisipan. Hal ini terlihat dari masih adanya indikasi gangguan kecemasan yang diukur menggunakan SCARED dan FSSC-R. ......Anxiety is a common emotional condition in human life. Unfortunately, when the anxiety becomes too intense, it can impair people daily activities. Failure to intervene anxiety disorder in children with effective treatment may render the child vulnerable to impairments in a wide range of functioning and result in deleterious effect on his or her long-term emotional development. This thesis uses a single case research design and applies the Cognitive Behavior Therapy (CBT) in order to reduce anxiety in middle age children. The research participant is a nine-year old girl having anxiety in several things, such as crossing the street, going to school and staying in home or toilet alone. Therapy is conducted through 12, 45-80 minute sessions. This therapy effectivity is assessed by SCARED (Screen for Child Anxiety Related Emotional Disorders), FSSC-R (Fear Survey Schedulle for Children - Revised), and CBCL (Child Behavior Checklist).The results of this therapy is an ineffective CBT to reduce the child's anxiety. The child has not experienced reduced scores in SCARED and FSSC-R. This indicated that she still has anxiety disorder.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T32571
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>