Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bima Sujatmiko
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas pengawasan Sperbankan yariah di Indonesia,pokok pembahasan dalam penelitian ini pengawasan terhadap bank Syariah berdasarkan peraturan perundang-undangan di indonesia dan perbandingan pengawasan perbankan syariah di Indonesia,Malaysia dan Iran,metode yang digunakan adalah penelitian yurudis normatif melalui studi kepustakaan. Penelitian menemukan bahwa pengawasan kepatuhan perbankan syariah terhadap prinsip kehati-hatian dilakukan oleh bank Indonesia dan pengawasan dan pengawasan terhadap prinsip syriah dalam kegiatan bank Indonesia dan pengawasan prinsip syariah.
ABSTRACT
the thesis discusses the syariah banking supervision in Indonesia, the subject matter in this study is the supervision of syariah banking is based on legislation and law in Indonesia and the comparison of syariah banking sipervision in Indonesia, Malaysia and Iran. The research method used is a normative legal research through a literature study. This study found that sipervision of compaliance to the principles of shariah banking pridential conducted by Bank Indonesia and oversight of Shariah principles in Islamic banking activities conducted by the Sharia supervisory board. Supervision of the shariah principle is inseparable from the role of the Nation Islamic Council of Indonesia Ulama Council issuing fatwas on islamic banking products and services.
2011
T28714
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nicky Fachrizal
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini mendeskripsikan diskursus pandangan politik, antara; kelompok yang menginginkan penguatan peran negara yang tercermin di dalam peran organisasi intelijen dan jaminan perlindungan kebebasan warga negara; mengkaji reformasi intelijen dalam kerangka negara hukum demokratis di Negara Indonesia; serta menganalisa wewenang khusus yang ada pada Badan Intelijen Negara (BIN) yang sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum demokratis. Penelitian tesis ini mengunakan metode penelitan yuridis-normatif dengan pendekatan perundangundangan, konsep, sejarah, dan analisi hal ini sejalan dengan karakter dari ilmu hukum, yakni preskriptif. Penelitian tesis ini juga memperoleh data berdasarkan studi lapangan serta studi kepustkaan. Hasil dari penelitian tesis ini menyarankan untuk (i) melindungi kebebasan warga negara tanpa mengurangi peran intelijen negara dalam menunjang pencapaian kepentingan nasional dan menegakkan keamanan nasional, diperlukan suatu pengawasan berlapis yang melibatkan mekanisme internal organisasi intelijen, lembaga eksekutif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, auditor negara (BPK), lembaga independen negara (KPK), dan dari masyarakat (media massa serta lembaga swadaya masyarakat), (ii) disamping itu juga diperlukan diferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi dari organisasi intelijen agar intelijen dapat bekerja secara efektif di dalam negara hukum demokratis, (iii) selanjutnya diperlukan Undang-Undang Keamanan Nasional sebagai payung hukum bagi kegiatan aktor keamanan di Indonesia termasuk intelijen, dan Undang-Undang Penyadapan untuk melindungi hak privasi setiap warga negara.
Abstract
This thesis describes the discourse of political views, including: the groups who want a strengthening the role of state that is reflected in the role of intelligence organizations and the guarantee of freedom of citizens; assess the intelligence reform within the framework of a democratic constitutional state in Indonesia, as well as analyzing existing special authority on Intelligence State Agency (BIN) in accordance with the principles of a democratic constitutional state. This thesis research using normative-juridical research methods, approach to legislation, the concept, history, and this analysis is in line with the character of legal science, which is prescriptive. This thesis study also obtained data based on field studies and literature studies. The results of this thesis research is (i) suggested to protect the freedom of citizens without reducing the role of intelligence in supporting the achievement of national interest and upholding national security requires; a multilayered oversight mechanism involving internal intelligence organization, the executive, legislature, judiciary, the state auditor (BPK), an independent state agency (KPK), and from the public (mass media and non-governmental organizations), (ii) as it also required the differentiation of specialized structures and functions of intelligence for intelligence organizations to work effectively in the democratic constitutional state, (iii) then required The National Security Act as a legal umbrella for the activities of security actors in Indonesia, including intelligence, and Interception Communication Act to protect the privacy rights of every citizen.
2012
T31860
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Khoiriah
Abstrak :
ABSTRAK
Keberadaan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menjadi konsensus Nasional. Konsenssus nasional mengenai keberadaan otonomi daerah dalam NKRI tersebut mengandung arti bahwa penyelenggaraan organisasi dan administrasi Negara tidak hanya semata-mata atas dasar sentralisasi dan dekonsentrasi sebagai penghalusannya, tetapi juga atas dasar desentralisasi dengan otonomi daerah sebagai perwujudannya. Dari dimensi administrasi, prinsip diatas menuntut agar otonomisasi yang terjadi didasarkan pada faktor dan pertimbangan objektif serta kebijakan yang dapat menjamin kemampuan daerah dalam mengemban otonomi. Inilah makna otonomi yang nyata tercakup dalam dimensi ini adalah perlunya dukungan wewenang dalam bidang keuangan dan perangkat bagi setiap penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah.
Menurut logika hukum keuangan daerah yang juga merupakan keuangan publik, tidak lagi tunduk pada ketentuan keuangan Negara. Keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Pentingnya posisi keuangan daerah dalam menyelanggarakan otonomi daerah sangat disadari oleh pemerintah. Demikian pula alternatif cara untuk mendapatkan keuangan yang memadai. Dalam rangka menyelenggarakan Otonomi Daerah kewenangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan Daerah. Sedangkan sumber pendapatan daerah pajak dan retribusi daerah, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, pinjaman daerah.
Dalam hal kewenangan kepala daerah Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 menyebutkan Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan daerah disebutkan bahwa Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah adalah kepala daerah yang karena jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah. Dalam hal pengelolaan keuangan daerah kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah; Dalam melaksanakan kekuasaan kepala daerah melimpahkan sebagian atau selurah kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan, keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah, Pelimpahan sebagian atau seluruh kekuasaan didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima/mengeluarkan uang.
Abstract
The existence of regional autonomy in the Republic of Indonesia has become a national consensus. The National Consensus about the existence of regional autonomy within the Republic of Indonesia means that the implementation of the organization and administration of the State is not merely on the basis of centralization and deconcentration as soften, but also on the basis of decentralization and regional autonomy as its realization. From the dimensions of the administration, demanding that the above principle of autonomization that occurred based on objective factors and considerations as well as policies that can ensure the ability to carry out regional autonomy. This is the real meaning of autonomy which is included in this dimension is the need to support the authority in the field of finance and devices for each delivery of governmental affairs by the government to the regions.
According to the logic of local finance law which is also the public finances, no longer subject to the provisions of State Finance. Local finance as one indicator to determine the ability of regions to organize and manage their own households, the financial position of regional importance in organizing the regional autonomy is realized by the government. Similarly, an alternative way to obtain adequate finance. In order to organize the Regional Autonomy of financial authority inherent in any government authority to regional authorities. While the source of local income taxes and levies, the financial balance between central and local government, the regional-owned enterprises, and the separated regional wealth management, lending areas.
In terms of local authority heads of Government Regulation Number 84 of the year 2000 mention is the Regional Head of Governors, Regents and Mayors. In Government Regulation Number 58 Year 2005 concerning the Financial Management stated that the Holder of Power Financial Management is a regional head office has the authority for conducting the overall management of regional finances. In terms of financial management of the head area is the area of financial management authority regions; In exercising the power of regional chief delegate part or all of the powers of planning, implementation, administration, reporting and accountability, and oversight, regional finance to the local officials, delegation of some or all power is based on the principle of separation of powers between the ordering, testing, and receiving/spending money.
2012
T31537
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zahrina
Abstrak :
Indonesia menjadi negara ketiga dengan konsumsi tembakau terbesar di dunia dan terus meningkat prevalensinya Paparan asap rokok akan membahayakan bagi orang lain perokok pasif akan menjadi korban dari perilaku merokok yang semena mena Kawasan Tanpa Rokok merupakan peraturan yang harus diterapkan berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Tempat Belajar mengajar menjadi salah satu Kawasan Tanpa Rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah Universitas Indonesia sebagai institusi pendidikan yang menjadi contoh dan peduli lingkungan sudah mentapkan UI sebagai kawasan Tanpa Rokok berdasarkan SK Rektor UI Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok di universitas Indonesia Tahun 2015 Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan mertode wawancara mendalam dan observasi dengan pendekatan kerangka kerja logis Hasil penelitian adalah Kawasan Tanapa Rokok UI belum memiliki indikator yang sesuai dengan peraturan kementerian kesehatan dan belum optimal dalam pelaksanaannya Faktor kendala utama adalah tidak adanya komitmen konsistensi ketegasan penegakan peraturan kejelasan tanggung jawab dan wewenang Pelaksana Tugas Harian KTR UI sehingga akan berdampak pada alokasi anggaran dan aktivitas dalam pelaksanaan kawasan tanpa rokok serta output yang dicapai.
Indonesia in the third position country with the world 39 s largest tobacco consumption Exposure to cigarette smoke will harm to others passive smokers will become victims of smoking behavior is arbitrary Smoking Area is a rule that should be applied based on Law Number 36 Year 2009 on Health University become one of the smoke free area decided by the Government University of Indonesia as an educational institution have a regulation to be smoke free campus The purpose of this study was to analyze the implementation Smoking Area in the university of Indonesia Year 2015 This is qualitative research with in depth interviews and observations methods with the logical framework approach Results of the study were smoke free area in UI doesn rsquo t have indicators in accordance with the rules and the health ministry has not been optimal in practice The main limiting factor is the lack of commitment consistency and the clear of responsibility and authority of the ldquo Pelaksana Tugas Harian KTR UI rdquo so that it will have an impact on the budget allocation the activity in the implementation of non smoking area as well as the output achieved.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S58975
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosdiana
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, pendekatan dengan menggunakan teori Negara Hukum, Teori Demokrasi, Teori Perwakilan, Etika, Moral, dan Kode Etik, serta Teori Pengawasan. Adapun konsep-konsep yang digunakan adalah tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan hak imunitas Anggota DPR RI. Untuk mendapatkan kesimpulan dari tujuan penelitian, hal-hal yang disampaikan adalah terkait dengan sejarah pembentukan lembaga perwakilan di Indonesia dan pembentukan Alat Kelengkapannya, kode etik dan relevansinya terhadap Mahkamah Kehormatan Dewan, serta penjabaran mengenai tugas, fungsi, dan tata beracara Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai lembaga penegak etik dan tata tertib DPR. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai salah satu dari Alat Kelangkapan Dewan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD merupakan lembaga penegak etik dan tata tertib bagi Anggota Dewan yang memiliki peran penting dalam menjaga dan memelihara citra dan wibawa Anggota Dewan. Namun kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan dibatasi, sehingga kinerja dari lembaga ini tidak dapat maksimal meski tugas dan wewenangnya sudah dilaksanakan dengan baik. Kendala yang menyebabkan tidak maksimalnya kerja Mahkamah Kehormatan Dewan diantaranya karena keanggotaan dari Mahkamah Kehormatan Dewan berasal dari internal Anggota Dewan yang terdiri dari berbagai Fraksi, sehingga menimbulkan konflik kepentingan.
ABSTRACT
This thesis discusses the authority of the Committee on Ethics of the Parliament according to Law Number 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD. By using normative juridical research methods, approaches using the theory of the State of Law, Theory of Democracy, Representation Theory, Ethics, Moral, and the Code of Conduct, as well as the Theory of Control. The concepts used are about the authority of the Conduct Council, Law Number 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD, and the right of immunity Member of Parliament. To get the conclusions of the research objectives, things delivered is related to the history of the establishment of representative institutions in Indonesia and the establishment of complementary Organs of DPR, code of ethics and its relevance to the Committee on Ethics, as well as the elaboration of the duties, functions and procedures of litigation the Conduct Council as an institution enforcement of ethics and rules of procedures. The result showed that the Committee on Ethics as one of DPR permanent organs stipulated in Law No. 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD an enforcement agency of conduct and rules of procedures for the Members have an important role in maintaining and maintain the image and authority of the Members. But the authority given to the Committee on Ethics is limited, so that the performance of these institutions can not be maximal even though its duties and powers already implemented. Obstacles that have not maximal work of the Committee on Ethics such as the composition and membership of the Conduct Council Members come from internal sources consisting of various factions, giving rise to a conflict of interest.
2017
T46994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dennis Taufik Rachman
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai adanya perbedaan perlakuan perihal persetujuan tertulis dari Presiden dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi antara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dan anggota DPR. Perbedaan ini berdasarkan putusan MK No. 73/PUU-IX/2011 yang menghapus keharusan persetujuan tertulis Presiden untuk kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan, putusan MK No. 76/PUU-XII/2011 memutuskan kembali adanya keharusan persetujuan tertulis Presiden untuk anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan kerangka perspektif pustaka. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, adanya perbedaan perlakuan antara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dengan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana korupsi bertentangan dengan prinsip persamaan dihadapan hukum. Selain itu, adanya persetujuan tertulis dari Presiden dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh kekuasaan kehakiman, menandakan adanya intervensi terhadap kekuasaan kehakiman yang bersifat mandiri. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya inkonsistensi Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat Mahkamah terhadap hal yang sama yaitu dengan adanya persetujuan tertulis dari Presiden menghambat proses pemberantasan korupsi di Indonesia ......This thesis discusses the differences in treatment concerning the written consent of the President in the process of inquiry and investigation of corruption among regional heads and / or deputy regional head and members of Parliament. This distinction is based on the decision of the Constitutional Court No. 73 / PUU-IX / 2011, which eliminates the need for written consent for the President of the regional heads and / or deputy regional head who is suspected of committing corruption. While the Constitutional Court decision No. 76 / PUU-XII in 2011 decided to return this requirement for written consent for the President of the House members who are suspected of corruption. This study is a qualitative research framework library perspective. Based on the results obtained, the difference in treatment between the head region and / or the deputy head of the region with members of Parliament who is suspected of committing corruption, contrary to the principle of equality before the law. In addition, the express written consent of the President in the process of inquiry and investigation conducted by the judicial authorities indicate the intervention of the judiciary is independent. The results also showed inconsistencies with the Constitutional Court regarding the Court's opinion on the same thing is with the express written consent of the President hamper the process of eradicating corruption in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Muhammad Ikhsan
Abstrak :
Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur pada Pasal 22D UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) menempatkan kedudukan DPD tidak setara dengan Presiden atau DPR dalam hal pembentukan undang-undang. Lahirnya, putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah merubah kedudukan dan kewenangan DPD dalam hal pembentukan undang-undang yaitu dengan merumuskan bahwa DPD ikut terlibat sejak tahap pengajuan undang-undang sampai dengan sebelum diambil persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3 2014) yang tidak didasarkan pada putusan Makamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Sehingga, diajukannya pengujian formil dan materiil atas UU MD3 2014 yang kemudian melahirkan putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, membuktikan bahwa UU MD3 2014 tidak dibentuk berdasarkan arahan dari putusan MK nomor 92/PUU-X/2012 karena mengatur kembali hal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Terlebih lagi, terdapat beberapa aturan lainnya pada UU MD3 2014 yang bertentangan dengan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014.

 

Kata Kunci: Kewenangan DPD, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi ......DPD authority in the formation of legislation have been regulated in Article 22D UUDNRI 1945, Act No. 27 of 2009 and Act No. 17 of 2014. Act No. 27 of 2009 (Act MD3 2009) locates the position of DPD is not equivalent to the President or the DPR in the formation of legislation. The Constitutional Court decision No. 92 / PUU-X / 2012 has changed his position and authority of the DPD in the formation of the legislation is to formulate that DPD is involved since the submission stage of the legislation before it is taken up by mutual agreement by the Parliament and the President. Formation of Law No. 17 of 2014 (Act MD3 2014) that are not based on the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 resulted in obscurity authority of the DPD in the formation of legislation. Thus, the filing of formal review and substantive review of the Act MD3 2014 which gave birth to the decision of the Court number 79 / PUU-XII / 2014, proving that the Act MD3 2014 are not formed under the direction of the Constitutional Court decision number 92 / PUU-X / 2012 as set back the has been declared unconstitutional by the Constitutional Court in Constitutional Court Decision No. 92 / PUU-X / 2012. Moreover, there are several other rules on MD3 Act 2014 contrary to the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 that should have been declared unconstitutional by the Constitutional Court conditional on Court Decision number 79 / PUU-XII / 2014.

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
Abstrak :
Indonesia mengalami pemerintahan otoriter selama 32 tahun. Berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 meninggalkan permasalahan krusial terkait pelanggaran HAM berat. Tuntutan masyarakat terutama pihak korban dan keluarganya terhadap peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat masih terus disuarakan sampai saat ini. Guna menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut, Pemerintah bersama DPR telah membentuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selanjutnya antara tahun 2002-2004 Pemerintah membentuk Pengadilan HAM ad-hoc yang tujuannya untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat kasus Timor Timur pasca jajak pendapat dan kasus Tanjung Priok. Masyarakat terutama korban dan keluarganya belum merasakan jawaban atas hasil Pengadilan HAM ad-hoc dimaksud berkenaan dengan tuntutan yang selama ini dilakukan. Hal ini karena proses yudisial tersebut tidak memberikan nilai-nilai keadilan, dan tidak berpihak kepada korban. Pendekatan yudisial hanya menyelesaikan aspek hukumnya saja, dan hanya berorientasi kepada pelaku. Sementara pelanggaran HAM berat mengandung dimensi politik, psikologis, dan sosial yang sangat kompleks, yang dialami oleh korban beserta keluarganya. Sistem hukum Indonesia disamping mengenal penyelesaian sengketa secara yudisial, juga mengenal alternatif penyelesaian sengketa secara non-yudisial. Salah satu pendekatan ekstrayudisial untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat yang dikenal oleh masyarakat internasional adalah rekonsiliasi. Pendekatan rekonsiliasi meskipun tidak menjamin terwujudnya rasa keadilan bagi semua pihak, akan tetapi lebih dari 20 negara yang sukses menerapkan rekonsiliasi untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Afrika Selatan (1995), Chili (1990-1992), Guatemala (1995), Meksiko (1992), dan El Savador (1992-1994). Pemerintah bersama DPR melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi membentuk lembaga rekonsiliasi yang diberi nama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Belum lagi Komisi ini memilih dan menatapkan anggotanya, UU KKR yang menjadi payung hukum pelaksanaan rekonsiliasi di Indonesia diuji materil terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan MK menyatakan bahwa UU KKR tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian kelembagaan yang sudah terbentuk dengan sendirinya dibubarkan, dan rekonsiliasi sebagai pendekatan ekstrayudisial belum pernah dilakukan di Indonesia. Rekonsiliasi merupakan bagian tak terpisahkan dari penegakan hukum yang bersifat ekstrayudisial. Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum, yang terdiri atas 3 (tiga) bagian, yaitu: substance, structure, dan legal culture. Penulis memanfaatkan ketiga komponen tersebut sebagai kerangka kerja analisis untuk membahas urgensi rekonsiliasi di Indonesia. Implementasinya dilakukan dengan membandingkan pengaturan, mekanisme, dan praktik rekonsiliasi di Afrika Selatan dan Chili. Komponen substance, dipergunakan untuk mengetahui apa urgensi pengaturan rekonsiliasi terkait dengan transitional justice, tanggung jawab dan kewajiban negara, serta politik hukum. Komponen structure, dipergunakan untuk mengetahui bagaimana mekanisme rekonsiliasi terkait dengan bentuk, struktur, dan mandat kelembagaan yang diperlukan guna mendukung rekonsiliasi. Komponen legal culture, dipergunakan untuk mengetahui bagaimana praktik pengaturan dan mekanisme yang sesuai dengan kebutuhan di Indonesia. ......Indonesia experienced authoritarian rule for 32 years. Orde Baru regime ended in 1988 left the crucial issues related to serious human rights violations. Public, especially the victims and their families demanded the Government to resolve the serious human rights violations in a fair and dignified. Finally, the Government and the Parliament has established the Law No. 26 Year 2000 on Human Rights Court. The Government has established a Human Rights Court ad-hoc which aim to examine and rule on cases of serious human rights violations cases in East Timor after the referendum and the Tanjung Priok case conducted between the years 2002-2004. Public, especially victims and their families, did not receive a fair response to the human rights court ad-hoc. The judicial process did not give the value of justice, and not to side with the victim. The judicial approach simply completing the legal aspects, and oriented to the perpetrator. On the other hand, human rights violations contains aspects of political, psychological, and social problems are complex. Indonesia imposed a judicial and extrajudicial approach in resolving a dispute. The international community recognize reconciliation as alternative dispute resolution. Reconciliation in principle does not guarantee justice, but nearly 20 countries in the world to apply this method to solve the problem of serious human rights violations of the past, such as: South Africa (1995), Chile (1990-1992), Guatemala (1995), Mexico (1992), and El Salvador (1992-1994). Government and Parliament enacting Law No. 27 Year 2004 on the Truth and Reconciliation Commission. This law established the Truth and Reconciliation Commission in Indonesia. Constitutional Court conduct a judicial review Law No. 27 Year 2004 on the 1945 National Constitution. Decision of the Court stated that the Law No. 27 Year 2004 does not have binding legal force. Thus, the institution that has been formed by itself had been disbanded. Moreover, the reconciliation as extrajudicial approach has never been done in Indonesia. Reconciliation is an integral part of law enforcement that is extrajudicial. Lawrence M. Friedman's said that the success of law enforcement always requires three components functioning legal system, namely substance, structure, and legal culture. I use these three components as an analytical framework to discuss the urgency of reconciliation in Indonesia. Its implementation is done by comparing the arrangements, mechanisms, and practices of reconciliation in South Africa and Chile. Substance, is used to identify whether an urgency of reconciliation arrangements associated with transitional justice, responsibility and state obligation, and legal politic. Structure is utilized to identify the reconciliation mechanism related to the shape, structure, and institutional mandate to reconciliation. Legal culture is employed to identify a practice of arrangements and mechanism that inline to the demands of reconciliation in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46833
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isnaldi
Abstrak :
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui sejauh mana perkembangan sistem pengawasan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi di Indonesia. Kebutuhan Hukum Masyarakat dan ketatanegaraan Indonesia terhadap terbentuknya lembaga peradilan yang bebas, mandiri, bersih dan berwibawa menyebabkan sistem pengawasan selama ini yang hanya bersifat internal harus didukung, dilengkapi dengan pengawasan eksternal. Untuk itu melalui Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ketiga terbentuklah Komisi Yudisial sebagai Lembaga Negara yang bertugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Penelitian ini didasarkan pada ketentuan perundang-undangan tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial yang terbentuk pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang memangkas kewenangan Komisi Yudisial sepanjang mengenai pengawasan terhadap hakim. ......This study is a normative legal research aims to determine the development of oversight systems for supreme court and constitutional Judges in Indonesia. Law society and Indonesian constitutional require formation of a free, independent, clean and respectable judiciary, however, a oversight system must be supported and equipped with external oversight, which the existing control is an internal one. Through the third amendments to the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945, Judicial Commission was formed as a state institution in charge of maintaining the honor, dignity and behavior of judges. The study was based on the statutory provisions on Judicial Power, the Supreme Court, Constitutional Court and the Judicial Commission formed after the Constitutional Court Decision No. 005/PUUIV/ 2006 that limit the authority of the judicial commission on oversight of judges.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45924
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Prasojo
Abstrak :
Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi pengawasan, selain itu fungsi legislasi danfungsi anggaran. Dalam melaksanakan fungsinya Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Fungsi dan hak Dewan Perwakilan Rakyat itu diatur dalam Pasal 20A Undang-Undang Dasar 1945. Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang danAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dijalankan pemerintah. Dalammenjalankan fungsinya, Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkanDewan Perwakilan Rakyat. DPR berhak untuk melakukan penyelidikan terhadappelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tim Pengawas pengusutan kasus Bank Century DPR merupakan pelaksanaan hakpenyelidikan DPR hasil sidang paripurna angket Bank Century. Sidang Paripurna Angket Bank Century menyimpulkan bahwa bail out Bank Century patut diduga melanggarhukum. Walaupun DPR berhak melakukan penyelidikan, namun hasil penyelidikan DPR tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan. Proses penyelidikan DPR adalah proses politik yang mencerminkan pandangan mayoritas fraksi di DPR. Meskipundemikian, pemerintah harus sungguh-sungguh memperhatikan proses politik tersebut, karena Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannyaoleh Majelis Permusyaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, bila dalampenyelidikan yang dilakukan DPR ditemukan fakta-fakta yang menyakinkan bahwa, Presiden dan/atau Wakil Presiden bertanggungjawab. Selanjutnya DPR berhak untukmenyatakan pendapat. Atas pendapat DPR tersebut, apabila Mahkamah Konstitusimemutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaranhukum. DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usulpemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis PermusyawaratanRakyat. ......House of Representatives has a supervisory function, in addition to legislative and budgetary functions. In performing its functions the House of Representatives hasthe right of interpellation, the right questionnaire, and the right to express an opinion. Functions and rights of the House of Representatives was set forth in Section 20A Constitution Act 1945. Audit function is conducted through the supervision over the implementation of laws and Budget of the State-run government. In performing its functions, the President cannot freeze and or dissolve the House of Representatives. Parliament is entitled to conduct an investigation of the implementation of laws and/or government policies relating to the important, strategic and broad impact on society, nation and the state is allegedly contrary to laws and regulations. The Supervisor committee investigating a case questionnaire Century Bank House is a House investigation into the implementation of rights based on Questionnaire Plenary Session on the bail out of Century Bank. Questionnaire Plenary Session concluded that Century Bank bail-out should be suspected of breaking the law. Although Parliament has the right to investigate, but the results of the House investigation cannot be used as evidence in court. House of Representatives inquiry process is a political process which reflect the views of the majority faction in parliament. Nevertheless, the government must seriously consider the political process, because the President and I or the Vice President may bed is missed in his term by the People's Assembly at the proposal Houseof Representatives, when the House of Representatives conducted an investigationwhich found the facts are convincing that the President and/or the Vice President accountable. Furthermore, the Parliament is entitled to our opinion. On the opinionthat the Parliament, when the Constitutional Court decides that the President and/orVice President proved to have violated the law. Parliament held a plenary session to continue the proposed dismissal of the President and I or Vice President to the People's Consultative Assembly.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54535
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>