Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sijabat, Hotmaria Hertawaty
"ABSTRAK
Hukum dan etika adalah dua norma yang hidup berdampingan dalam masyarakat,
yang mengatur perilaku manusia dalam mengambil keputusan. Dalam asuhan
keperawatan yang dilakukan oleh perawat, khususnya perawat pelaksana di rumah
sakit, pengambilan keputusan harus didasarkan pada hukum dan etika. Penelitian
ini dilakukan dengan mencari tahu konsep dan perkembangan asuhan
keperawatan, hubungan dalam asuhan keperawatan, baik antara perawat dengan
pasien, dokter, sesama perawat, tenaga kesehatan lainnya atau dengan rumah sakit
di mana perawat bekerja, dan kegiatan asuhan keperawatan yang bersumber pada
kompetensi, otonomi dan kewenangan perawat, dan keberadaan hubungan .
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan data sekunder
yang dilengkapi dengan wawancara informan. Penelitian ini menunjukkan bahwa
kompetensi, otonomi dan kewenangan, yang pada akhirnya melahirkan
pertanggungjawaban profesi ners atau perawat adalah sumber dari segala macam
aspek etika yang harus diperhatikan oleh perawat dalam menjalankan asuhan
keperawatan dalam semua hubungan yang ada, baik antara perawat dengan
pasien, dokter, sesama perawat, tenaga kesehatan lainnya atau dengan rumah sakit
di mana perawat bekerja. Tidak dilaksanakan aspek etika dengan baik akan
membawa akibat pada pertanggungjawaban hukum, baik secara pidana maupun
perdata. Penelitian ini menyarankan agar Rancangan Undang-Undang
Keperawatan dapat segera disahkan. (xv + 128)
Kepustakaan: 185

ABSTRACT
Law and ethics are two norms that live side by side in a society, which regulate
human behavior in decision making. In nursing care, especially nurse working in
a hospital, all decision making must be made based on law and ethics. This
research begins with the concept and development of caring, the relation in nurse
caring, between nurse and the patient, medical doctors, co-workers, other health
care professionals, and the hospital where the nurse works, based on competency,
autonomy and authority. This is a qualitative research using secondary data,
equipped with necessary interview with relevant informant. The research proves
that competency, autonomy, and authority, which finally arisen professional
liability (accountability) for nurse, are the sources from all ethical aspects that
must be applied by the nurse in doing her care, in all kind of relation, either
between nurse and the patient, medical doctors, co-workers, other health care
professionals, or the hospital where the nurse works. Non-compliance to the
ethics will arise legal responsibility to the nurse, either criminal liability or civil
accountability. This research suggests that the draft of the Nursing Law shall be
promulgated soon. (xv + 128)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T41979
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adib Jauharin
"ABSTRAK
Kebijakan pemerintah dalam penerapan paket tariff INA-CBG’s untuk pasien
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengakibatkan adanya perbedaan/ selisih
antara tariff INA-CBG’s dengan tariff rumah sakit menjadi latar belakang
penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi selisih tarif rawat inap INA-CBG’s dengan tarif rumah sakit
pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) RSUD Leuwiliang periode Januari-
April 2014. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif yang bersifat deskriptif analitik
dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian sebanyak
1.853 pasien yang dirawat di ruang perawatan dewasa, anak, bedah, dan
kebidanan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cakupan pasien Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) mencapai 62,45% dari total kunjungan pasien rawat inap. Hasil penelitian
diperoleh jumlah tariff rawat inap INA-CBG’s sebesar Rp 6.176.721.650 dan
tariff rumah sakit sebesar Rp 2.650.973.448 sehingga terdapat selisih sebesar Rp
3.629.344.980 atau sebesar 233%. Terdapat selisih tariff sebesar antara Rp
1.902.169 sampai Rp 2.015.095 per pasien di luar dari biaya obat-obatan dan
bahan medis pakai habis, lebih besar tariff INA-CBG’s dibandingkan dengan
tariff rumah sakit. Terdapat perbedaan selisih tariff antar : kelas perawatan,
jumlah diagnose, lama hari rawat, dan tingkat keparahan penyakit. Faktor yang
mempengaruhi selisih tariff rawat inap INA-CBG’s dengan tariff rumah sakit
pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah kelas perawatan, jumlah
diagnose, dan tingkat keparahan penyakit

ABSTRACT
Government policy in the application of INA-CBG tariff package for the patient's
National Health Insurance (NHI) results in disparities / differences between INACBG's
tariff with tariff hospital into the background of this research. This study
aims to determine the factors that influence the difference in hospitalization rates
INA-CBG's rate hospital patients National Health Insurance (NHI) Hospital
Leuwiliang the period January to April 2014. Kind of research is quantitative
descriptive analytical approach cross sectional. The study sample as many as
1,853 patients were treated in adult treatment, pediatric, surgery, and obstetrics.
Results showed that patients coverage of the National Health Insurance (NHI)
reached 62.45% of the total inpatient visits. The result showed the number of
inpatient tariff INA-CBG's tariff of Rp 6,176,721,650 and Rp 2,650,973,448
hospital so that there is a difference of Rp 3,629,344,980 or by 233%. There is a
difference between the tariff of Rp 1,902,169 to Rp 2,015,095 per patient outside
of the cost of medicines and medical materials of its life, greater tariff INA-CBG's
compared to the tariff hospital. There are differences in the tariff difference
between: class treatment, the number of diagnoses, long day care, and disease
severity. Factors affecting the difference in tariff inpatient INA-CBG's with tariff
hospital patients of the National Health Insurance (NHI) are a class of treatment,
number of diagnosis, and disease severity."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, 2014
T42007
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alwi Alhabsyi
"ABSTRAK
Di Indonesia pembayaran kapitasi kepada fasilitas kesehatan primer (Puskemas dan DP) telah dilakukan oleh PT . Askes sejak tahun 1991. Rumah Sakit swasta seperti Metropolitan Medical Centre (MMC) pada tahun 2000 telah menjalin kontrak kapitasi dengan jumlah cakupan 2.000 orang dan besaran kapitasinya adalah Rp l75.000,- per kapita per bulan. Tahun 2004 MMC bersedia dikontrak kapitasi dengan jumlah cakupan minimal 3.000 orang dan besaran kapitasinya Rp 350.000,- per orang per bulan (Ima, 2004).
Dalam program Askeskin, PT Askes membayar Puskemas secara kapitasi dengan besaran Rp 1.000,- per kapita per bulan. Program Askeskin ini dipantau secara ketat oleh berbagai pihak, terrnasuk oleh Departemen Kesehatan sendiri dengan membentuk unit ?safe guarding?. Salah satu sasaran pemantauannya adalah pembayaran kapitasi dan dampaknya terhadap deman pelayanan kesehatan (dengan 15% perlunya peserta berobat ke PKM) dan kepuasan peserta minimal 70%.
Mengingat di masa mendatang pembayaran kapitasi akan semakin bergeser dari Puskesmas ke DP, karena Puskesmas akan difokuskan untuk melaksanakan fungsi Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) maka kajian pembayaran kapitasi terhadap deman pelayanan kesehatan dan kepuasan pasien perlu dilakukan lebih intensif. Kajian ini merupakan maaukan bagi ?evidence based policy? dalam pembayaran kapitasi yang menguntungkan semua pihak, yaitu fasilitas kesehatan (DP), pembayar iuran, regulator (Pemerintah), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJ S) dan masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka penelitian tentang ?Pengaruh Pembayaran Kapitasi Tehadap Deman Pelayanan Dokter dan Kepuasan Pasien? ini dilakukan. Penelitian ini sangat penting bagi Indonesia, karena Lndonesia harus segera melaksanakan Jaminan Kesehatan (JK) sebagai salah satu komponen program prioritas yang diamanatkan UU nomor 40 taun 2004 tentang SJSN.
Rumusan Masalah
Indonesia diharapkan akan menerapkan pembayaran kapitasi secara lebih luas sebagai suatu cara pengendalian biaya kesehatan dalam sistem jaminan kesehatan. Namun, berbagai studi menunjukkan efek pembayaran kapitasi terhadap deman dan kepuasan pasien masih kontroversial. Sebagian peneliti menunjukkan bukti bahwa pembayaran kapitasi dapat menurunkan deman/utilisasi dan dengan pelayanan yang kurang memuaskan. Sebagian peneliti lain mendapatkan bahwa pembayaran kapitasi tidak menurunkan kepuasan pasien, sebagai indikator kualitas. Salah terap pembayaran kapitasi di Indonesia dapat mengakibatkan tidak-berfungsinya sistem jaminan kesehatan dengan baik.
Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan (konfirmasi) tentang pengaruh pembayaran kapitasi kepada dokter terhadap deman pelayanan kesehatan yang disediakan dokter dan efek pembayaran kapilasi terhadap tingkat kepuasan pasien atas pelayanan dokter yang dibayar secara kapitasi.
2. Menemukan faktor-faktor yang merupakan confounding pengaruh kapitasi terhadap deman pelayanan kesehatan oleh DP dan tingkat kepuasan karyawan.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, dan pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah pembayaran kapitasi berpengaruh terhadap deman pelayanan dokter?
2 Apakah pembayaran kapitasi berpengaruh terhadap kepuasan pasien?
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dalam tiga aspek, yaitu untuk sumbangan ilmu pengetahuan, unmk peneliti, dan untuk implikasi praktis.
Sumbangan Ilmu Pengetahuan/Teoritis:
1. Sebagai masukan dalam pengembangan ilmu kesehatan masyarakat, khususnya ekonomi kesehatan yang berkaitan pembayaran kepada dokter primer.
2. Memberikan informasi tetang hal-hal yang perlu diteliti lebih lanjut tentang pembayaran kapitasi.
Untuk Peneliti:
Sebagai pengalaman berharga dalam melaksanakan penelitian secara sistematis.
Implikasi Praktis:
1. Apabila terbukti bahwa pcmbayaran kapitasi kepada DP berpengaruh terhadap deman pelayanan kesehatan dan kepuasan pasien maka informasi ini dapat dimanfaatkan oleh para penentu kebijakan untuk menetapkan kebijakan pembayaran kapitasi kepada DP.
2. Informasi penelitian ini dapat dipergunakan oleh masyarakat dan pimpinan perusahaan agar ikut serta sebagai peserta program asuransi kesehatan yang menerapkan pembayaran kapitasi kepada DP sehingga biaya kesehatan karyawan dapat terkendali.
3. Sebagai masukan bagi penyelenggara asuransi/jaminan kesehatan agar menerapkan pembayaran kapitasi yang berdampak positif bagi semua pelaku jaminan/asuransi kesehatan.
Ruang Lingkup Dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada pelayanan kesehatan primer yang diberikan oleh DP yang dikontrak oleh PT Askes untuk keluarga karyawan sebagai peserta komersial PT Askes dimana DP dibayar secara kapitasi dan keluarga karyawan non peserta PT Askes yang membayar DP secara FFS. Khusus untuk keluarga karyawan pasien peserta sukarela PT Askes dibatasi pada produk-produk yang paling banyak diminati yang ditandai dengan besarnya jumlah peserta yang berpartisipasi, yaitu "silver", Keterbatasan dana penelitian dan mitra peneliti merupakan pertimbangan utama mengapa penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta (Jakarta Selatan dan Jakarta Timur) dan Propinsi Banten (Kabupaten dan Kota Tangerang). Penelitian ini menggunakan metode kohort selama 6 bulan dengan pengukuran variabel tiga bulan sekali. Namun pengukuran kepuasan konsumen pasien dilakukan pada akhir penelitian."
Depok: 2007
D647
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sjarifah Salmah
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
D938
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriawati
"ABSTRAK
Obat merupakan salah satu kornponen penting dan memeriukan biaya besar
dalarn pelayanan kesehatan. Harganya relatif mahal dan tidak berpihak kepada
konsumen, sehingga bisa menyebabkan temjadinya moral hazard pada para pelaku
kesehalan. Pasien tidak bisa memilih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
bayarnya karena mempunyai kctcrbatasan kemampuan.
Salah satu pengendalian biaya kesehatan yaitu melalui jaminan pelayanan
kesehatan sosial yang ditangani oleh PT Askes. Pelayanan yang dibenikan
seharusnya bersifat komprehensif, tetapi kenyataannya jaminan ditekankan pada
pcnycmbuhan dan pemulihan dengan iur biaya (cost sharing), ini berlaku untuk
pelayanan obat. Pengendalian biaya obat askes melalui penggunaan DPHO.
Penulisan resep dokter diluar DPI-I0 dapat membcratkan pasicn askes, apalagi
pada penderita penyakit kronis seperti hipertensi. Di RSUD Gunung Jati tahun 2006
penyukit hipertensi merupakan peringkat empat kelornpok penyakil di instalasi rawat
jalan dcngan kunjungan 470 pasien per bulan.
I Pcnclitian ini dilakukan untuk mengetahui pola peresepan dan biaya obat
pasien askes sosial penderita hiperlensi Instalasi Rawat Jalan RSUD Gunung J ati dan
perbedaan biaya obat gcncrik pcngganti obat bermerk di luar DPI-I0 yang ditulis dokter. Jenis penelitian kuantitatif dengan metode survey, dan dilakukan analisis data
dengan Wilcoxon's Signed Rank Test, Mann-Whitney Test, Kruska!-Wallis Test.
Hasil pcnelitian diketahui bahwa penderita hipertensi lebih banyak yang
mempunyai penyakit lainfpenyerta, dan terbanyak diabetes mellitus (49%). Resep
dokter untuk penderita hipertensi pescrta askes sosial semua obatnya masuk DPI-IO..
Obat antihipertensi yang terbanyak ditulis dokter adalah Amlodipin scbanyak SI R/
(2l,34%) dari total obat antihipertensi.
Dari hasil analisis diketahui jumlah item obat (R/) rata-rata = 2,8lR/, besar
rata-rata biaya obat pada penulisan rescp_dokter Rp 70.167 dan pelayanan apotik
Rp 5. 128, dengan nilai p = 0,000 menunjukan adanya perbedaan ra1a~rala besar biaya
obat amara keduanya. Hasil perbandingan rata-rata besar biaya obal pada pcnulisan
resep doktcr, ada perbedaan (p < 0,05) pada penulisan resep antar dokter, antar
poliklinik, antar kelompok umur pasien dan anlar penyakit pcnycrta serta tidak ada
perbedaan antar kelompok tempat tinggal dan antar jenis kelamin pasien. Hasil
perbandingan rata-rata jumlrtth item obat ada perbedaan (p < 0,05), pada pcnulisan
resep amar poliklinik dan antar penyakit penyerta serta tidak ada perbedaan (p > 0,05)
untuk penulisan resep antar dokter, antar jenis kelamin , antar umur dan antar kota
tempat tinggal pasien.
Kesimpulan dari pcnelitian ini adalah tidak ada obat di luar DPHO yang
ditulis dokter untuk pasicn askes sosial penderita hipertensi. Rata-rata jumlah item
obat pcrlcmbar resepnya 2,81 dan biaya penulisan resepnya sebcsar Rp 70.l67.
Sebagai saran kcpada rumah sakit agar terus melakukan pemantauan terhadap
para dokter tentang pcnulisan resep dalam DPI-IO untuk pasicn askes. Sedangkan
untuk P.T Askes dan Apotik Askes agar selalu rnenyedial-can obat yang diresepkan
dokter dan dapat mcmberikan obat kepada pasien sesuai resep dokter dan kctentuan
DPI IO (maksimal untuk 30 hari).

ABSTRACT
Medication is one of important component and needs great cost in health
service. The prices are relatively expensive and not stand for consumer, so that it
could cause moral hazard to health agent. Patient could not choose appropriate with
needs and ability to pay because has limited ability.
One of the health cost restriction is through social health service guarantee
that handled by PT Askcs. Given service should comprehensive, but apparently
guarantee stressed to heal and curing with cost sharing, it prevails for medication
service. Cost control of medication health assurance through using DPHO.
Doctor prescription outside DPHO could against health assurance patient,
especially on chronic diseases patient such as hypertension. In RSUD Gunung Jati
year 2006 hypertension disease is forth level disease group in outpatient installation
with visitation of 470 patients per month.
This research conducted to recognize prescription design and medication cost
of social health assurance patient with hypertension. RSUD outpatient installation
Gunung Jati and difference of genetic medication as substitute of branded medication outside DPHO that written by doctor. Quantitative research type conducted with
survey method, and conducted data analysis by Wi1coxon?s Signed Rank Test, Mann-
Whitney Test, and Kruskal-Waillis Test.
Research result known that more hypertension patient has other
disease/participate: and the most is diabetes mellitus (49%). Doctor prescription for
hypertension patient of social health assurance participant all of the medication
included in DPHO. The most anti-hypertension medication that written by doctor is
Amlodipin as much as Sl R/(21 ,34%) from total medication of anti-hypertension.
From analysis result known that average medication item (Rf) = 2,8lR/,
average medication cost on doctor prescription is Rp 70.167 and pharmacy service is
Rp. 5.128, with p value = 0,000 shows a difference of average medication cost
between both. Equivalent result of average medication cost on doctor prescription
there is difference (p < 0,05) on prescription between doctor, between polyclinic,
between patient age group and between disease participator and there is no difference
between residence groups and between patient gender. There is a difference of
average equivalent result of total medication item (p < 0,05) for prescription between
doctor, between gender, between ages and between patient town.
Conclusion from this research is not medication outside DPHO that written by
doctor for social health assurance hypertension patient. Total average of medication
item prescription sheet is 2,81 and prescription cost is Rp. 70. 167.
Suggested hospitals constantly do monitoring toward doctor about
prescription in DPHO for health assurance patient. While suggested both PT Askes
and Askes Pharmacy to give medication for patient appropriate with doctor
prescription and DPI-IO regulation (maximally 30 days).

"
2007
T34504
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firzawati
"[ABSTRAK
Merokok merupakan suatu kebiasaan yang dapat berdampak pada kesehatan.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan perokok terbanyak harus menurunkan
jumlah perokok. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis model faktor
upaya berhenti merokok dan Kesiapan berhenti merokok pada perokok aktif
berumur 15 tahunkeatas di Indonesia. Desain Penelitian ini potonglintang dengan
menggunakan data sekunder dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun
2011 dengan sampel sebanyak 2.424 responden Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dari 19 variabel yang diidentifikasi, terdapat beberapa faktor yang berperan
meningkatkan upaya mencoba berhenti merokok diantaranya bertempat tinggal di
daerah perkotaan, mendapatkan nasehat berhenti merokok, merokok setiap
harinya 1-10 batang, lama merokok dibawah 20 tahun, membutuhkan jeda waktu
merokok di pagi hari lebih dari 30 menit, melihat peringatan kesehatan,
mendapatkan informasi bahaya merokok, terpajan iklan rokok, dan
berpengetahuan tinggi tentang bahaya merokok. Pada Rencana berhenti merokok
faktor yang berperan yaitu berpendidikan tinggi, berpengetahuan tinggi terhadap
bahaya merokok, mendapatkan nasehat berhenti merokok, melihat peringatan
kesehatan, mendapatkan informasi bahaya merokok, dan menghabiskan 1-10
batang rokok perharinya. Perlu dilakukan intervensi yang sesuaikan dengan
tempat tinggal dan tingkat pendidikan, meningkatkan kemampuan tenaga
kesehatan agar dapat memberikan nasehat berhenti merokok dengan maksimal;

ABSTRACT
Smoking is a habit that can have an impact on health. Indonesia as one of the
countries with the most smokers, have to decrease the number of smoker. The
purpose of this study was to analyze factors attempts to quit smoking and plan to
quit smoking in active smokers aged 15 years in Indonesia. This reseach is crosssectional
design. The processed secondary data from the Global Adult Tobacco
Survey (GATS) in 2011 by taking a sample of households and individuals. A total
of 2,424 respondents who met the inclusion criteria. The results showed that of
the 19 variables were identified, there are several determinant factors which
related to attempts to quit smoking, smoker who live in urban areas, get advice to
quit smoking from doctor, smoking every day 1-10 stick, length of smoking less
than 20 years, needed time smoking in the morning after wake up more than 30
minutes, see a health warning, get information about the dangers of smoking,
exposure to cigarette advertising, and have high knowledge about the dangers of
smoking. While smoker which have plan to quit smoking, there are several
factors, smoker which high educated, have high knowledge about the dangers of
smoking, get advice to stop smoking, see health warnings, get information
dangers of smoking, and spend 1-10 cigarettes per day. Interventions need to be
tailored with spesific characteristic at every community and improving the ability
of health professionals have to provide advice to stop smoking at heath facilities;Smoking is a habit that can have an impact on health. Indonesia as one of the
countries with the most smokers, have to decrease the number of smoker. The
purpose of this study was to analyze factors attempts to quit smoking and plan to
quit smoking in active smokers aged 15 years in Indonesia. This reseach is crosssectional
design. The processed secondary data from the Global Adult Tobacco
Survey (GATS) in 2011 by taking a sample of households and individuals. A total
of 2,424 respondents who met the inclusion criteria. The results showed that of
the 19 variables were identified, there are several determinant factors which
related to attempts to quit smoking, smoker who live in urban areas, get advice to
quit smoking from doctor, smoking every day 1-10 stick, length of smoking less
than 20 years, needed time smoking in the morning after wake up more than 30
minutes, see a health warning, get information about the dangers of smoking,
exposure to cigarette advertising, and have high knowledge about the dangers of
smoking. While smoker which have plan to quit smoking, there are several
factors, smoker which high educated, have high knowledge about the dangers of
smoking, get advice to stop smoking, see health warnings, get information
dangers of smoking, and spend 1-10 cigarettes per day. Interventions need to be
tailored with spesific characteristic at every community and improving the ability
of health professionals have to provide advice to stop smoking at heath facilities, Smoking is a habit that can have an impact on health. Indonesia as one of the
countries with the most smokers, have to decrease the number of smoker. The
purpose of this study was to analyze factors attempts to quit smoking and plan to
quit smoking in active smokers aged 15 years in Indonesia. This reseach is crosssectional
design. The processed secondary data from the Global Adult Tobacco
Survey (GATS) in 2011 by taking a sample of households and individuals. A total
of 2,424 respondents who met the inclusion criteria. The results showed that of
the 19 variables were identified, there are several determinant factors which
related to attempts to quit smoking, smoker who live in urban areas, get advice to
quit smoking from doctor, smoking every day 1-10 stick, length of smoking less
than 20 years, needed time smoking in the morning after wake up more than 30
minutes, see a health warning, get information about the dangers of smoking,
exposure to cigarette advertising, and have high knowledge about the dangers of
smoking. While smoker which have plan to quit smoking, there are several
factors, smoker which high educated, have high knowledge about the dangers of
smoking, get advice to stop smoking, see health warnings, get information
dangers of smoking, and spend 1-10 cigarettes per day. Interventions need to be
tailored with spesific characteristic at every community and improving the ability
of health professionals have to provide advice to stop smoking at heath facilities]"
2015
D2086
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Ayu Sri Ratna Sudewi
"Pengeluaran kesehatan katastropik (> 40% disposible income) di Indonesia selama beberapa tahun terakhir masih membebani masyarakat. Lebih dari 70% pengeluaran kesehatan katastropik dibayar tunai oleh rumah tangga (out of pocket). Di sisi lain, berdasarkan data World Bank tahun 2007, jumlah penduduk Indonesia yang berpenghasilan kurang dari USD 2,00 per hari mencapai 49% penduduk. Pengeluaran kesehatan katastropik mengakibatkan banyak keluarga menghabiskan tabungan atau menjual aset yang akhirnya memiskinkan rumah tangga. Proses pemiskinan tidak terjadi apabila rumah tangga memiliki asuransi kesehatan, seperti pegawai negeri. Asuransi kesehatan dapat melindungi penurunan keuangan pesertanya apabila ia terkena penyakit berbiaya tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat proteksi yang diterima RT PNS dan variasi tingkat proteksi asuransi kesehatan di kalangan berbagai kelompok pegawai. Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi dengan menggunakan data sekunder yaitu data klaim Askes. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis data klaim pemanfaatan pelayanan kesehatan peserta PT Askes di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta pada tahun 2011. Data klaim tersebut dianalisa dengan metode regresi logistik ganda untuk menguji hipotesa tentang tingkat proteksi Askes PNS. Untuk menilai golongan mana yang lebih dilindungi, analisa Indeks Kakwani digunakan untuk menggambarkan pemerataan protektabilitas asuransi kesehatan yang diterima pegawai negeri. Dari 147.040 rumah tangga yang dianalisis, sebanyak 56.598 rumah tangga (38,49%) memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit dengan total klaim rawat inap sebesar Rp.158,3 milyar, lebih besar dibandingkan total klaim rawat jalan sebesar Rp.134,9 milyar.
Berdasarkan hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa asuransi kesehatan PNS memiliki asosiasi dengan perlindungan kesehatan dan ekonomi pegawai negeri di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Analisis menunjukkan bahwa asuransi kesehatan dapat memproteksi rumah tangga dari pengeluaran kesehatan katastropik (pemiskinan). Hal ini dilihat dari tingkat proteksi asuransi kesehatan terhadap pengeluaran rumah tangga yang mencapai 52 tahun gaji pegawai negeri. Rumah tangga usia tua mendapat proteksi lebih tinggi (OR = 1,67) dibandingkan dengan rumah tangga usia muda.
Penelitian ini merekomendasikan agar program jaminan pelayanan kesehatan diperluas atau dikembangkan kepada seluruh penduduk, untuk melindungi penduduk dari kemiskinan karena sakit.

For the majority of Indonesian households, health care is considered as severe financial burden. More than 70% of households? health expenditures are paid from out-of-pocket. In 2007, the World Bank showed that the proportion of Indonesians households spent less than 2.00 a day remained 49% of the households. Health expenditure forced households to consume their savings or to sell their assets which forced them into poverty. On the contrary, households with health insurance (mostly civil servants) were supposed to be financially protected from high health care costs.
This study aims to determine the extent of financial protection received by civil servants among different ranks. This evaluation study used 2011 Askes claim data in Central Java and Yogyakarta. From 147.040 households, 56.598 (38.49%) used hospital care with total inpatient claim of IDR 158.3 billion, slightly higher than the total outpatient claim of IDR 134.9 billion. Data analysis used logistic regression to test the hypothesis. Kakwani index was used to assess the distribution of protectability across various ranks of civil servants.
This result found that Askes was associated highly protected civil servants in Central Java and Yogyakarta from bankcrupcy. The study shows that Askes protects households from catastrophic health expenditure. The level of financial protection provided by Askes reached 52 years salaries of civil servants?. Pensioners received higher protection (Odds-ratio = 1.67) compared to active employees/civil servants.
This study recommends expanding health insurance to all Indonesian population.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
D1399
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tati Suryati
"Economic growth and the demographic transition in Indonesia affect the epidemiological transition. Communicable diseases began to decline, while noncommunicable diseases (NCDs) increased. NCDs is the largest disease burden in the world since a long period of illness, also causes a lot of death and disability. In 2005 an estimated 80% of deaths in developing countries due to NCDs. NCDs handling capacity program not get priority, so NCDs described as "The next Health Tsunami". NCDs action plan for East Asia and Pacific region is the research and development of health interventions to address cases of cerebrovascular and stroke. Stroke is the number one killer in Indonesia, Riskesdas 2007 showed 15.4% of total deaths in population due to stroke.
Operational research has conducted to determine the burden of DALYs lost stroke in Indonesia and its economic burden in the year 2007 as well as 2020 predictions, with the counterfactual exposure to main risk factors. Calculation of DALYs lost due to stroke using the Global Disease Burden methode. A total of 5,449 cases of stroke from Riskesdas 2007 were analyzed with nine modifiable related risk factors . To reduce the incidence of stroke in the population was calculated PAF of combination risk factors that combined the most effective feasible and plausible. The economic burden is calculated based on the direct medical costs, transportation costs for medical treatment and opportunity costs.
Estimates of DALYs lost due to the stroke of Indonesia population in 2007 with 2,337,718 loss of productive years lost and the estimated economic burden was Rp.3 trillion (equivalent to 20% of the budget of Ministry of Health 2007). There are three proven risk factors influence the incidence of stroke (p < 0,05); hypertension (OR 24.8), diabetes(OR 7.2) and lack of physical activity (OR 6.1). Combination of all three have a maximum value of PAR 0.792. In 2020 the incidence of stroke is predicted to increase 71.5% (169.012 cases) followed by an increase in the burden of DALYs stroke 32.5%, estimated economic burden was Rp.3 trilion. The counterfactual calculations of three risk factors within feasible limits is predicted decrease 19.071 incidence of stroke in 2020 and the costs can be saved Rp.1,485trillion. Efforts plausible counterfactual is predicted decrease 9.536 cases and the cost savings Rp.688billion ( budget in 2020 inflation calculated 4.2%).
Needed improvement NCD prevention program planning in a proactive way to raise the target early detection cases of hypertension and diabetes become 75% which handled with health personnel and 50% which controllable. Strengthens the NCD network in order to integrated of health risk issues that can be democratically expressed, and enter to the political process to influence decision-makers in government. Improving quality of medical records, health survailance and vital registration , thus providing accurate information to make an evidence-based materials for advocacy to the decisionmakers in central and regional.

Pertumbuhan ekonomi dan transisi demografi di Indonesia berdampak terhadap transisi epidemiologi. Penyakit menular mulai menurun, sementara penyakit tidak menular (PTM) terjadi peningkatan. PTM merupakan beban penyakit terbesar di dunia karena periode sakitnya lama, menyebabkan banyak kematian dan disabilitas. Tahun 2005 diperkirakan 80% kematian di negara sedang berkembang disebabkan PTM. Upaya pengendalian PTM belum mendapat prioritas, sehingga PTM dinyatakan sebagai "The next Health Tsunami". Rencana aksi PTM regional Asia Timur dan Pasifik adalah penelitian dan pengembangan intervensi kesehatan untuk mengatasi kasus serebrovaskular dan stroke. Stroke merupakan pembunuh nomor satu di Indonesia, berdasarkan Riskesdas 2007 sebesar 15,4% dari total kematian disebabkan stroke.
Riset operasional dilakukan untuk mengetahui beban DALYs stroke di Indonesia dan beban ekonominya di tahun 2007 serta prediksi tahun 2020, dengan analisis kontrafaktual pajanan faktor risiko utama. Perhitungan DALYs lost akibat stroke menggunakan metode Global Burden Disease. Sebanyak 5.449 kasus stroke dianalisis dengan sembilan faktor risiko yang dapat diubah. Untuk menurunkan insiden stroke di populasi dihitung PAF kombinasi gabungan faktor risiko secara feasible dan plausible. Beban ekonomi dihitung berdasarkan biaya medis langsung, biaya transpotasi selama berobat dan biaya oportunitas.
Hasil Estimasi DALYs lost akibat stroke Indonesia tahun 2007 menunjukkan nilai kerugian 2.337.718 tahun produktif yang hilang dengan perkiraan beban ekonomi Rp.3 Triliun (setara 20% anggaran Kementerian Kesehatan 2007). Diketahui ada tiga faktor risiko yang mempengaruhi kejadian stroke (p < 0,05) yaitu hipertensi (OR 24,8), DM(7,2) dan kurang aktifitas fisik (OR 6,1). Gabungan ketiganya mempunyai nilai maksimal PAR 0,792. Hasil prediksi tahun 2020 insiden stroke meningkat 71,4% (169.012 kasus) diikuti peningkatan DALYs lost akibat stroke 32,5%, prediksi beban ekonomi Rp.3,7Triliun. Perhitungan kontrafaktual tiga faktor risiko batas feasible diprediksi menurunkan 19.071 insiden stroke tahun 2020, biaya yang dihemat Rp.1,5 Trilyun. Upaya kontrafaktual plausibel diprediksi menurunkan 9.536 kasus, biaya yang dihemat Rp.688 Milyar (biaya tahun 2020 memperhitungkan inflasi 4,2%).
Diperlukan peningkatan perencanaan proram pencegahan PTM dengan cara proaktif untuk menaikan target deteksi dini kasus hipertensi dan DM menjadi 75% tertangani petugas dan 50% yang terkontrol. Membangun jejaring PTM agar isu risiko kesehatan PTM dapat terintegrasi secara demokratis, dan masuk dalam proses politik untuk mempengaruhi pengambil keputusan. Meningkatkan kualitas data rekam medik, survailans kesehatan, dan pencatatan penyebab kematian, yang dapat digunakan sebagai bahan advokasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D1422
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ernawaty
"Health problems in districts can be caused by political dynamics in a decentralized era. This study analyzes the political dimension in health policy making in districts in East Java. Phenomenological qualitative approach is used with case study design. The results showed that political interests affect planning-budgeting, selection of executive officers, and procurement of goods and services in the health sector. Head of the health district office and director of the district hospital act as the agent whereas the district mayor and the legislature act as the principles. Not only principle-agent relationship is influenced by relationship between institutions and interpersonal relationship, it is also inflenced by personal values of the political elite and actor concerning health issue. Those three factors influence and intervene the decision space in health policy making. Non-political elites such as business people and invisible hand also influence the decision space. Political skill, a term which has no relation whatsoever in practical politics behavior that refers to a package of specific strategies and skills which in this case assists health policy actor in achieving public health main goals, directs policy making in accordance with health normative goal. Political skill should be adopted as a prerequisite competence for district-level structural officials in health sector.

Masalah kesehatan kabupaten/kota dapat disebabkan oleh dinamika politik di era desentralisasi. Penelitian ini menganalisis dimensi politik dalam penentuan kebijakan kesehatan kabupaten/kota di Jawa Timur. Pendekatan kualitatif fenomenologi digunakan dengan rancangan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan kepentingan politik mewarnai perencanaan-penganggaran, penentuan pejabat dan pengadaan barang-jasa di sektor kesehatan. Kepala dinas kesehatan dan direktur RSUD merupakan agen sedangkan kepala daerah dan DPRD adalah prinsipal. Selain dipengaruhi oleh hubungan antarkelembagaan dan hubungan interpersonal, pola hubungan prinsipal-agen yang ada juga dipengaruhi oleh personal values elit dan aktor politik tentang kesehatan. Ketiga hal tersebut secara bersama dapat memengaruhi dan mengganggu decision space pada proses penentuan kebijakan kesehatan. Kehadiran elit nonpolitik yaitu pelaku bisnis dan the invisible hand juga mempengaruhi decision space tersebut. Political skill sebagai sebuah paket strategi dan ketrampilan yang dimiliki oleh pelaku kebijakan kesehatan demi tercapainya tujuan utama kesehatan masyarakat dan tidak berkaitan sama sekali dengan perilaku politik praktis yang dimiliki oleh pelaku kebijakan kesehatan mengarahkan penentuan kebijakan sesuai tujuan normatif kesehatan. Parameter political skill hendaknya diadopsi sebagai syarat kompetensi bagi pejabat struktural di kabupaten/kota, khususnya di sektor kesehatan."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
D2669
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djazuly Chalidyanto
"Perhatian terhadap pentingnya efisiensi disebabkan karena sumber daya yang terbatas dan langka dalam menyediakan pelayanan kesehatan untuk dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang tidak terbatas terhadap pelayanan kesehatan (Hollingsworth, B dan Staurt J. Peacock, 2008). Rumah sakit merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan dalam sebuah sistem kesehatan. Efisiensi rumah sakit memberikan dampak terhadap efisiensi sistem kesehatan secara keseluruhan. Beberapa laporan menunjukkan bahwa pembiayaan rumah sakit memiliki proporsi yang besar dibandingkan dengan pembiayaan program kesehatan lain. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efisiensi dan faktor yang berhubungan dengan efisiensi rumah sakit umum pemerintah di Indonesia. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) rumah sakit yang dilakukan pada tahun 2011 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan. Rumah sakit yang dianalisis pada penelitian ini adalah rumah sakit umum pemerintah kelas B sebanyak jumlah 112 rumah sakit dan kelas C sebanyak 203 rumah sakit. Variabel input dalam penelitian ini terdiri dari 3 kelompok yaitu tenaga (medis, penunjang medis, perawat, tenaga lain), peralatan medis dan tempat tidur, sedangkan variabel output (produksi) nadalah jumlah pasien rawat jalan dan jumlah hari rawat inap. Analisis efisiensi dilakukan pada setiap kelas rumah sakit dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA) berorientasi output dengan pendekatan variable return to scale (VRS). Software DEA yang digunakan adalah DEAP Version 2.1.yang dikembangkan oleh Coelli (1996). Sebelum analisis efisiensi dengan DEA, dilakukan analisis faktor mempengaruhi produksi rumah sakit berdasarkan hasil analisis faktor dan analisis regresi ganda. Hasil analisis faktor menunjukkan bahwa pada rumah sakit kelas B dan kelas C, tenaga dikelompokkan dalam 4 kelompok dan peralatan pada rumah sakit kelas B dikelompokkan dalam 4 kelompok dan rumah sakit kelas C dalam 3 kelompok. Faktor yang mempengaruhi produksi rumah sakit kelas B adalah keempat kelompok faktor tenaga, faktor alat sterilisasi dan jumlah tempat tidur. Faktor yang mempengaruhi produksi rumah sakit kelas C adalah keempat kelompok faktor tenaga, ketiga kelompok faktor alat dan jumlah tempat tidur. Hasil DEA menunjukkan bahwa rata-rata efisiensi teknik rumah sakit kelas B = 0,826 dan rumah sakit kelas C = 0,775. Rumah sakit kelas B yang efisien secara teknik sebesar 23,2%, sedangkan rumah sakit kelas C sebesar 33,5%. Secara skala, rata-rata efisiensi rumah sakit kelas B = 0,920 lebih besar dibandingkan dengan rumah sakit kelas C = 0,886. Sebesar 13,4% rumah sakit kelas B sudah efisiensi secara skala, sedangkan rumah sakit kelas C sebesar 17,7%. Sebagian xiv besar rumah sakit kelas B berada dalam kondisi decreasing return to scale sebesar 62,5%, 53,7% rumah sakit kelas C berada dalam kondisi increasing return to scale. Secara umum, masih terdapat over capacity pada tenaga, peralatan dan tempat tidur pada kedua kelompok rumah sakit.

Interests in the importance to achieve efficiency are driven by the lack of resources in delivering healthcare to serve the limitless healthcare needs of the population (Hollingsworth, B and Peacock, SJ, 2008). Hospital service is a form healthcare service in a health system. Achieving efficiency in hospital service will bring significant benefit to the efficiency for the whole health system. Reports have shown that hospital financing is proportionally larger compared to the financing of other health programmes. This research aims to determine the efficiency level and the factors relevant it within Indonesian public hospitals. The data used for this research are from the Hospital Health Facility Research (RIFASKES) which was conducted in 2011 by the Ministry of Health Research and Development Unit. The hospitals covered in this research are 112 type B and 203 type C hospitals. There are three categories of input variables, which are human resources (medics, supporting medics, nurses, and other), medical equipment, and number of beds, and the two categories of output (production) which are number of outpatient episodes and number of inpatient bed days. Efficiency analysis was conducted in every hospital service level by using output oriented Data Envelopment Analysis (DEA) method with variable Return to Scale (VRS) approach. DEA Software used is the DEAP Version 2.1. developed by Coelli (1996). Prior to the efficiency analysis, a factor analysis of the hospital output was performed based on factor analysis and multiple regression analysis. The factor analysis shows that human resources can be categorised into 4 categories in type B and C hospitals, while equipment can be categorised into 4 category in type B hospitals, and 3 categories in type C hospitals. The factors that affect type B hospital productions are the four categories of human resources factor, sterilisation equipment factor, and number of beds. The factors that affect type C hospital productions are the four categories human resources factor, the three categories of equipment factor, and number of beds. The DEA analysis suggests that the average technical efficiency level of type B hospital is 0.826, and type C hospital is 0.775. There are 23.2% of type B hospitals which are technically efficient, and 33.5% of type C hospitals. Type B hospitals average scale efficiency is 0.920, which is greater than type C hospitals 0.886. 13.4% type B hospitals are efficient in scale, while for type C hospitals it is 17.7%. Most type B hospitals are in a decreasing returns to scale of 62.5%, while 53.7% of type C hospitals are in an increasing returns to scale. In general, there are over capacity in human resources, equipment, and beds available in the two hospital categories."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>