Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sulisyanti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22606
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bambang Surjono
"Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah hal yang paling dikhawatirkan pekerja, pekerja akan kehilangan penghasilan untuk menghidupi keluarganya serta status pengangguran. Salah satu sebab PHK pekerja adalah karena kesalahan berat, yaitu kesalahan yang termasuk dalam wilayah Hukum Pidana. Kesalahan hanya bisa dibuktikan oleh putusan pengadilan. Kasus PHK karena kesalahan berat yang terjadi pada umumnya tidak melalui proses pengadilan sesuai hukum pidana, tetapi PHK dengan ijin P4D/P4P dengan pesangon atau tanpa pesangon. Secara tidak langsung P4D/P4P yang memberi ijin telah menyatakan seseorang melakukan kesalahan berat yang notabene adalah tindak pidana yang seharusnya dibuktikan terlebih dahulu oleh pengadilan. Untuk menjelaskan permasalahan, dalam tulisan ini telah dilakukan telaah kepustakaan. Kasus pertama pekerja di PHK dengan pesangon tanpa pembuktian oleh pengadilan, sedang kasus kedua pekerja di PHK tanpa pesangon setelah adanya putusan pengadilan. Berdasarkan telaah terhadap kedua kasus tersebut, penulis berkesimpulan bahwa di dalam penyelesaian perselisihan PHK karena kesalahan berat, campur tangan pihak ketiga, misalnya Pegawai Perantara, Serikat Pekerja sangat berperan dan dengan demikian pembuktian kesalahan berat tidak selalu dipersoalkan, meskipun demikian, sepatutnya untuk mengatakan bahwa pekerja telah melakukan kesalahan berat perlu pembuktian di pengadilan yang independen sebagaimana yang juga telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan pencabutan pasal mengenai kewenangan pengusaha untuk memutuskan hubungan kerja hanya karena pengusaha mempunyai bukti-bukti yang cukup tentang kesalahan yang dilakukan oleh pekerjanya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Olivia Enjelina
"Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui untuk menjelaskan pengaturan mengenai tenggang waktu dan proses pemeriksaan perlawanan terhadap eksekusi keputusan pengadilan dalam praktek peradilan perdata.
Eksekusi sebagai salah satu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara dan memiliki peran yang sangat penting bagi sempurnanya proses peradilan perdata yang membutuhkan pelaksanaan putusan secara paksa. Eksekusi termasuk dalam tata tertib beracara yang diatur dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Rechtsreglement Buitengewesten (RBG), merupakan proses terakhir dalam suatu tata tertib beracara di peradilan perdata. Eksekusi adalah tindakan paksaan oleh pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela.
Jika terjadi ketidakpuasan pihak yang kalah terhadap putusan akhir dari hakim yang kemudian direalisasikan lewat eksekusi dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut. Perlawanan merupakan upaya hukum biasa untuk melawan putusan verstek, banding dan kasasi. Menurut Pasal 195 ayat (6) HIR, ada dua jenis perlawanan terhadap putusan atau penetapan pengadilan. Hal itu dapat dilihat dari kalimat jika pelaksanaan putusan itu dilawan, juga perlawanan itu dilakukan oleh orang lain yang mengakui barang yang disita itu sebagai miliknya.
Perlawanan/Bantahan diperbolehkan, karena ada landasan hukumnya pada Pasal 207 HIR, dengan syarat Ketua Pengadilan Negeri menerima gugatan perlawanan ini untuk diperiksa terlebih dahulu. Berdasarkan pertimbanganya Ketua Pengadilan Negeri pada waktu itu, pada akhirnya mengabulkan penundaan eksekusi untuk sementara waktu sampai putusan perlawanan memperoleh kekuatan hukum tetap. Proses pemeriksaan perlawanan sengketa perdata sama dengan proses pemeriksaan pada suatu gugatan. Dalam halnya perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan, yaitu sita conservatoir dan sita revindicatoir, tidak diatur baik dalam HIR, RBg atau RV, namun dalam praktek menurut Yurisprudensi, perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita dapat diterima, juga dalam hal sita conservatoir ini belum disyahkan. Dalam putusan, tidak mengurangi hak pihak ketiga mengajukan Perlawanan apabila salah satu pihak mengajukan banding. Begitu pula perintah pengangkatan Conservatoir Beslag yang ditetapkan PT dalam tingkat banding, tidak menggugurkan hak untuk mengajukan Perlawanan jika salah satu pihak mengajukan kasasi.
Patokan penerapan jangka waktu pengajuan Perlawanan terhadap Conservatoir Beslag, tetap boleh dan terbuka selama proses pemeriksaan masih berlanjut, mulai dari tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi. Saat proses pemeriksaan berhenti pada saat itulah tertutup hak mengajukan Perlawanan.

This study aimed to find out to explain the arrangement of the grace period and the examination process execution against a court decision in a civil judicial practice.
Execution as one of the legal action undertaken by the court to the losing party in a case and has a very important role to perfection of the civil legal process that requires the implementation of the decision by force. Execution included in the order of proceedings set forth in Herziene Inlandsch Het Reglement (HIR) or Rechtsreglement buitengewesten (RBG), is the last process in an order in civil judicial proceedings. Execution is the act of coercion by the courts against the
losing party is not willing to voluntarily implement the decision.
If there is dissatisfaction with the losing side against final decisions of the judges who then realized through the execution can be filed against the verdict. Resistance is a common legal efforts to fight the verdict verstek, appeal and cassation. According to Article 195 paragraph (6) HIR, there are two types of resistance against the verdict or court order.
It can be seen from the phrase if it resisted the implementation of the verdict, also the resistance was carried out by others who recognize the objects seized it as his own.
Resistance / denial is allowed, because there is legal basis in Article 207
HIR, provided the Chairman of the District Court accepted the lawsuit of this resistance to be examined first. Based Chief District Court at the time, eventually granted a stay of execution for a while until the decision of the resistance and binding. The process of examining resistance equal civil disputes with the inspection process in a lawsuit. In the case of resistance against the sequestration third party, namely seizure and confiscation conservatoir revindicatoir, is not regulated in both the HIR, RBg or RV, but in practice according to jurisprudence, the resistance presented by third parties as the owner of the confiscated goods is acceptable, also in terms of seizure conservatoir has not been approved. In the decision, did not reduce the rights of third parties
submit Resistance if either party appealed. Similarly, the appointment orders Conservatoir Beslag specified in the appeal, did not abort the right to apply for the Resistance if either party appealed.
The benchmark application filing period Resistance to Conservatoir Beslag, and may remain open during the inspection process is still ongoing, ranging from the first level, the appellate and cassation. When the inspection process stops when it is closed right to the Resistance.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S541
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Saragi S., Marry M. R.
"Salah satu akibat dari globalisasi pada dunia bisnis adalah timbulnya suatu kontrak bisnis internasional, yakni suatu kontrak yang melibatkan dua atau lebih warga negara atau badan hukum yang tunduk pada sistem hukum negara-negara yang berbeda. Berangkat dari hal ini, akan timbul problema hukum yakni masalah kompetensi lembaga hukum yang berwenang atau yurisdiksi yang disebabkan oleh perbedaan sistem hukum dari negara para pembuat kontrak bisnis internasional. Dalam pilihan forum penyelesaian sengketa terdapat beberapa pilihan yang dapat dipilih para pihak, misalnya arbitrase atau pengadilan asing. Berbeda halnya dengan arbitrase yang telah diatur secara jelas lewat Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, belum ada pengaturan yang tegas mengenai kompetensi pengadilan asing dalam mengadili suatu sengketa bisnis internasional. Hal ini membuat keberadaan pengadilan asing sebagai salah satu pilihan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional menjadi tidak dipandang dan tidak diakui eksistensinya. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan empiris yang dilakukan dengan penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kompetensi pengadilan negeri serta keberadaan pengadilan asing sebagai salah satu pilihan forum yang dapat dipilih dalam suatu kontrak bisnis internasional.

One of the effects of a globalization era in the bussiness world is the birth of an International Business Contract, which is a contract that involves two or more citizens or corporations who or which comply to different legal systems. Depart from this subject, a legal problem will be arised namely jurisdiction or competency of a certain court which caused by legal system differences amongst business countries. In the choice of dispute settlements, there are several choices that could be chosen by the parties, such as arbitration or foreign court. In contrary to arbitration which has been regulated on the Law of the Republic Indonesia Number 30 of 1999, there is no firm regulation about the competence of the foreign court to resolve international business disputes. This makes the existence of foreign court as one of the choice of international business dispute settlement become not regarded and recognized. This study is a juridical normative and empirical research carried out by finding the governing legislation relating to the competency of the district court and the existence of the foreign court as one of the options in the choice of forum in an international business contract."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S1532
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Ruben Jeffry M.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S22085
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Topan Sani
"Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus mendasarkan atas hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Apabila pemerintah dalam melakukan tugas dan kewajibannya telah melanggar peraturan perundang-undangan maka setiap warga berhak mengajukan suatu gugatan. Dalam kaitan ini, warga dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Umum atau ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dasar hukum Keberadaan PTUN yaitu UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, di undangkan pada tanggal 29 Maret 2004. Lahirnya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, cukup memberikan harapan dalam hal eksekusi. Meskipun belum diatur bagaimana upaya paksa dan prosesnya. Adanya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 memberikan harapan baru karena adanya suatu upaya paksa bagi pejabat TUN (tergugat) untuk melaksanakan putusan pengadilan. Pada UU Nomor 9 tahun 2004 terdapat pengaturan mengenai juru Sita. Melalui metode penelitian normatif, yaitu suatu cara mengumpulkan data sekunder dengan melakukan studi kepustakaan dan kualitatif, yaitu metode yang menghasilkan penelitian yang bersifat analitis deskriftif, tulisan ini akan mencoba menjawab permasalahan bagaiamana peran juru sita dalam proses pemanggilan pejabat TUN, peran juru sita dalam pelaksanaan penetapan penundaan putusan TUN, dan peran juru sita dalam upaya paksa putusan PTUN. Dengan adanya juru sita ini diharapkan dapat membantu permasalahan yang terjadi pada proses Peradilan Tata usaha Negara sekarang ini."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S22275
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinand Novando
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22349
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suharwanta
"Konsep negara hukum, menghasilkan negara hukum kesejahteraan. Negara selain menjaga keamanan dan ketertiban juga menyelenggarakan dan mengupayakan kesejahteraan masyarakatnya. Ini membawa konsekuensi negara memerlukan kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri. Dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, warga yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan. Salah satu alasan gugatan adalah asas willekeur atau larangan berbuat sewenang-wenang. Asas willekeur ini merupakan salah satu asas dari asas-asas umum pemerintahan yang baik. Alasan-alasan gugatan dalam Peradilan Tata Usaha Negara, sekaligus merupakan dasar-dasar pengujian bagi Hakim Peradilan Tata Usaha Negara untuk menilai Keputusan Tata Usaha Negara itu melawan hukum atau tidak. Dalam pembuktian di Peradilan Tata Usaha Negara, suatu penerbitan Surat Keputusan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak memperhatikan adanya fakta yang ikut menentukan sahnya Surat Keputusan, dimana fakta tersebut sedang diperiksa di Pengadilan lain atau tidak menghormati putusan Pengadilan dimana putusan Pengadilan tersebut ikut menentukan sahnya Surat Keputusan yang akan diterbitkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara adalah merupakan tindakan yang melanggar asas willekeur atau perbuatan sewenang-wenang, sebagaimana tergambar dalam putusan Mahkamah Agung Nomor : 01 K/TUN/1996 dan putusan Mahkamah Agung Nomor : 50 K/TUN/2000."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrianus Adritomo Budi Setiawan
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22447
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>