Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta : Forum Dialog Indonesia, 1995
324.2 MEM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sudarto
"ABSTRAK
Melalui survei terhadap pengguna media sosial, penelitian ini menemukan bahwa difusi berita politik berjalan moderat. Kategori responden dibagi menjadi tiga kelompok generasi yaitu generasi milenial, generasi X dan generasi baby boomer. Difusi berita pada generasi milenial berjalan paling lambat, sedangkan difusi pada generasi baby boomer paling cepat dari kelompok generasi lainnya. Berdasarkan kerangka teori yang kami gunakan, kami menginterpretasikan bahwa generasi milenial kurang terlibat pada isu-isu nasional, khususnya pada topik politik.Kampanye ldquo;Saya Indonesia, Saya Pancasila rdquo; di media sosial secara umum memicu polarisasi politik. Polarisasi politik paling kuat terjadi di generasi X dan paling lemah di generasi milenial. Generasi baby boomer cenderung partisan terhadap pemerintahan dibanding kelompok generasi lainnya.Melalui analis PLS-SEM, kami menyimpulkan bahwa partisanship merupakan fungsi eksposur yang berpengaruh dalam kecepatan mendapatkan berita politik, sedangkan kelompok ldquo;hard core rdquo; ekstrim partisan merupakan fungsi ekpresi yang berpengaruh dalam pembentukan opini publik.

ABSTRACT
By survey on social media user, this research show that political news diffusion is moderate. Our respondent categories consist of three generation: millenials, X and baby boomer. Diffusion by millenial slowest than others, and baby boomer the fastest. Refer to our theoritical framework, I interpreted the millenial generation is passively in political issues.This research also found that ldquo;Saya Indonesia, Saya Pancasila rdquo; campaign triggered political polarization in social media group. This polarization strongest in Xer, and weakest in millenials. Baby boomer tend to support the government campaign. In PLS-SEM analysis result some hypothesis significant. Partisanship influence the rate of diffusion, while hard core to self expression in social media network. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D2495
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Hendra Mustaqim
"Penelitian ini bertujuan untuk menilai autentisitas kepemimpinan politik pada pesan yang dikembangkan Gubernur DKI Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawangsa pada akun media sosial mereka, yakni Instagram. Penilaian tersebut berbasis pada konsep autentisitas termediasi media sosial (Enli, 2015; Luebke, 2021), komunikasi politik populis (Canovan 1999; Jagers & Walgrave 2007; Stavrakakis 2017; De Vreese et al. 2018), dan kepemimpinan autentik (Luthans & Avolio, 2003). Dengan paradigma konstruktivis, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan forensik komunikasi (Hamad, 2018) sebagai metode penelitian. Berdasarkan analisis dan interpretasi data, penelitian ini menghasilkan beberapa temuan penelitian yang menunjukkan kebaruan. Autentisitas pemimpin politik dapat diforensik dengan basis artefak komunikasi di media sosial sehingga bisa mengungkap siapa paling autentik, motif, kontruksi motif, dan kebenaran representasinya. Pemimpin politik mengonstruksi pola autentisitasnya untuk menunjukkan kepada publik mereka bisa berbeda dengan pemimpin autentik lainnya. Pemimpin autentik mengonstruksi drama politik di media sosial dengan berbagai dialog, klimaks, dan emosi yang dimainkan dengan cara skenario dan spontanitas. Dengan media sosial, autentisitas bukan saja ditampilkan dalam bentuk kemasan oleh pemimpin politik, tetapi mengandung substansi yang membedakan antara satu pemimpin dengan pemimpin lainnya. Autentisitas bukan suatu ideologi, melainkan suatu strategi yang ditempuh seseorang pemimpin politik di media sosial untuk menunjukkan atau mempresentasikan dirinya. Meskipun bukan suatu ideologi yang menjadi cara pandang dan pemikiran, autentisitas tetap mengandung nilai dan standar. Penelitian ini memberikan kontribusi pengembangan teori autentisitas termediasi media sosial, komunikasi politik populis dan kepemimpinan autentik. Penelitian ini mendorong agar publik perlu membangun kesadaran kolektif terkait autentisitas kepemimpinan politik.

This study aims to assess the authenticity of political leadership in messages developed by DKI Governor Anies Baswedan, West Java Governor Ridwan Kamil, Central Java Governor Ganjar Pranowo, and East Java Governor Khofifah Indar Parawangsa on their social media accounts, namely Instagram. The assessment is based on the concept of social media mediated authentication (Enli, 2015; Luebke, 2021), populist political leadership (Canovan 1999; Jagers & Walgrave 2007;  Stavrakakis 2017; De Vreese et al. 2018), and authentic leadership (Luthans & Avolio, 2003). With a constructivist paradigm, this study uses a qualitative approach with communication forensics (Hamad, 2018). Based on the analysis and interpretation of the data, this research produces several research findings that show novelty. The authenticity of political leaders can be forensically based on communication artifacts in social media so that they can reveal who is the most authentic, their motives, motives construction, and the truth of their representation. Political leaders construct their patterns of authenticity to show the public that they can be different from other authentic leaders. Authentic leaders construct political drama on social media with various dialogues, climaxes, and emotions that are played out by means of scenarios and spontaneity. With social media, authenticity is not only shown in the form of packaging by political leaders, but contains substance that distinguishes one leader from another. Authenticity is not an ideology, but a strategy adopted by a political leader on social media to show or present himself. Even though it is not an ideology that becomes a perspective and way of thinking, authenticity still contains values and standards. This research contributes to the development of social media mediated authentication theory, populist political communication and authentic leadership. This research encourages the public to build collective awareness regarding the authenticity of political leadership."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karman
"Demokrasi yang mempromosikan nilai kesetaraan, keadilan, rasionalitas dan imparsialitas menghadapi tantangan yang bersumber dari praktik penggunaan kesalehan agama. Aktor politik yang bersaing dalam kontestasi politik melakukan komodifikasi dengan cara mengekstensifkan kesalehan mereka dalam praktik penggunaan bahasa. Media sosial salah satunya Twitter menjadi kanal ekstensi kesalehan mereka. Praktik komodifikasi ini menjadikan agama/kesalehan sebagai alat memenangkan kontestasi politik, termasuk kontestasi presiden dan wakil presiden 2019. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi praktik komodifikasi ekstensi kesalehan aktor politik dalam kontestasi pemilihan 2019. Tujuan detail penelitian ini adalah: (1) Menemukan bentuk-bentuk komodifikasi ekstensi kesalehan calon presiden dan wakil presiden tahun 2019 dalam pesan-pesan yang mengandung komodifikasi ekstensi kesalehan Islam selama kontestasi pemilihan presiden 2019 melalui penggunaan bahasa di akun Twitter mereka; (2) Menggambarkan aspek-aspek kesalehan Islam yang dikomodifikasi oleh calon presiden dan wakil presiden tahun 2019 selama masa kontestasi pemilihan presiden 2019 melalui penggunaan bahasa di akun Twitter mereka; (3) Menggambarkan orientasi calon presiden dan wakil presiden tahun 2019 dalam pesan-pesan yang mengandung komodifikasi ekstensi kesalehan selama masa kontestasi pemilihan presiden 2019 melalui penggunaan bahasa di akun Twitter mereka. Penelitian ini menggunakan konsep Komodifikasi Mosco. Konsep ini menjadi pintu masuk dalam kajian ekonomi politik kritikal. Dengan pendekatan kualitatif dan metode Analisis Multimodalitas terhadap pesan kandidat calon presiden dan wakil presiden 2019, penelitian ini menemukan bahwa aktor politik melakukan komodifikasi ekstensi kesalehan dalam bentuk: Komodifikasi Developmentalisme Berbasis-Kesalehan, Komodifikasi ekstensi kesalehan personal-berorientasi sosial, komodifikasi ultra-nasionalisme Berbasis Islamisme, komodifikasi Negara-Sejahtera berdasarkan Islamisme. Penelitian menyimpulkan bahwa komodifikasi ini dengan komodifikasi kesalehan instrumental dalam politik Indonesia. Komodifikasi ini tidak menempatkan kesalehan sebagai tujuan. Sebaliknya, kesalehan sebagai alat untuk tujuan sebenarnya. Dalam kontestasi politik, komodifikasi ini memproduksi nilai tukar elektoral melalui ekstensi komoditas imaterial kesalehan yang berpotensi meningkatkan elektoral. Aktor politik melakukan Komodifikasi kesalehan instrumental melalui peneguhan kapital mereka dan mengasosiasikannya dengan komoditas imaterial kesalehan. Kapital mereka sebagai kandidat politik ber-interplay dengan kesalehan

Democracy that promotes the values of equality, justice, rationality, and impartiality faces challenges stemming from the practice of using religious piety. Political actors who compete in political contestations carry out commodification by extending their piety in the practice of language usage. Social media (in this case Twitter) transmit their piety extensions. This commodification practice makes religion/piety a tool to win political contestations, including the 2019 presidential and vice-presidential contests. This study aims to evaluate the practice of commodifying the piety extension of political actors in the 2019 election contestation. There are four objectives in this research. They are (1) to Find forms of commodification of the piety extensions of the 2019 president and vicepresident candidates in their messages containing the commodification of Islamic piety extensions during the 2019-presidential election contestation through the use of language on their Twitter accounts; (2) to describe aspects of Islamic piety commodified by the 2019 president and vice-president candidates during the 2019 presidential election contestation through the use of language on their Twitter accounts; (3) to describe the orientation of the 2019 president and vice-president candidates in their messages containing the commodification of piety extensions during the 2019 presidential election contestation period through the use of language on their Twitter accounts. This study uses the concept of Commodification introduced by Vincent Mosco. This concept becomes an entry point in the study of critical political economy, including the political economy of communication). By using a qualitative approach and the Multimodality Analysis method toward political candidate's postings, this study find that political actors commodify Islamic piety extensions which are categorized into four models. They are commodification of piety-based developmentalism, commodification of socialoriented personal piety, commodification of Islamism-based Ultranationalism, commodification of Islamism-based Welfare State. The study concludes that this commodification with the commodification of instrumental piety in Indonesian politics. This commodification does not place piety as a goal but as an instrument to their political goals. In a political contest, this commodification produces an electoral exchange rate through the extension of the immaterial commodity of piety that has the potential to increase electoral power. Political actors carry out the commodification of instrumental piety through strengthening their capital and associating it with the immaterial commodity of piety. Their capitals as political candidate interplay with piety"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ecep Suwardaniyasa
"Penelitian ini ingin menganalisis migrasi atau pergeseran gerakan pelaku teror di Indonesia mulai dari perencanaan, propaganda, perekrutan, pendanaan, konsolidasi dan pelatihan, dari cara-cara konvensional ke cara-cara digital dengan memanfaatkan media baru (new media). Pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam riset ini adalah bagaimana pengalaman, teknik dan metode yang digunakan para pelaku teror, serta migrasi gerakan terorisme itu sendiri, dari cara- cara konvensional ke penggunaan media baru (new media)/konvergen. Permasalahan penelitian ini dibedah dengan menggunakan teori media dan media baru, teori radikalisme, teori social movement, konsep terorisme, konsep globalisasi dan konsep migrasi. Penelitian ini menggunakan beberapa model analisis, yaitu pendekatan fenomenologi, studi kasus, dan analisis teks. Dalam pendekatan fenomenologi, kuesioner digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman individu yang terlibat dalam gerakan terorisme. Dalam studi kasus, memfokuskan pada beberapa kasus teror di Indonesia yang dilakukan melalui cara-cara konvensional hingga bermigrasi melalui media baru/kovergen. Sedangkan dalam analisis teks, peneliti memeriksa berbagai teks yang tersebar di berbagai media mainstream dan platform sosial media, untuk memahami dan memetakan bagaimana keenam aspek gerakan teror tadi; perencanaan, propaganda, perekrutan, pendanaan, konsolidasi, hingga pelatihan dilakukan. Selain itu, semua hasil wawancara dan riset dari narasumber para pelaku teror, penulis ekstrak melalui analisis sofware deedose. Tujuannya untuk memetakan pola migrasi secara nyata dari model konvensional (cara-cara lama) ke model digital (cara-cara baru) dengan memanfaatkan media baru. Temuan penelitian menunjukkan bahwa keenam aspek gerakan teroris berubah dari cara lama ke cara baru, mulai dari perencanaan, propaganda, perekrutan, pendanaan, konsolidasi dan pelatihan melalui Google, YouTube, dan internet archive yang mereka produksi dan kemudian diviralkan melalui sosial media. Riset ini merekomendasikan pihak berwajib untuk memahami trend penggunaan media baru oleh para pelaku teror dan memperkuat deteksi dini aparat untuk menanggulanginya, serta meningkatkan literasi digital masyarakat agar mampu memilah informasi yang benar agar terhindar dari propaganda terorisme.

This research aims to analyze the migration or shift in the movement of terror perpetrators in Indonesia starting from planning, propaganda, recruitment, funding, consolidation and training, from conventional methods to digital methods by utilizing new media. The research questions to be answered in this research are the experiences, techniques and methods used by terror perpetrators, as well as the migration of the terrorist movement itself from conventional methods to the use of new/convergent media. This research problem is dissected using media and new media theory, radicalism theory, social movement theory, the concept of terrorism, the concept of globalization and the concept of migration. This research uses several analytical models, namely phenomenological approaches, case studies, and text analysis. In the phenomenological approach, questionnaires are used to explore the experiences of individuals involved in terrorist movements. In the case study, it focuses on several terror cases in Indonesia which were carried out through conventional methods and migrated through new/convergent media. Meanwhile, in text analysis, researchers examined various texts spread across various mainstream media and social media platforms, to understand and map the six aspects of the terrorist movement; planning, propaganda, recruitment, funding, consolidation and training were carried out. Apart from that, the author extracted all the results of interviews and research from sources from terror perpetrators through deedose software analysis. The aim is to map real migration patterns from conventional models (old ways) to digital models (new ways) by utilizing new media. Research findings show that the six aspects of the terrorist movement changed from the old way to the new way, starting from planning, propaganda, recruitment, funding, consolidation and training through Google, YouTube and internet archives which they produced and then made viral through social media. This research recommends that the authorities understand the trend in the use of new media by terror perpetrators and strengthen early detection by authorities to deal with it, as well as increasing the digital literacy of the public so they are able to sort out the correct information to avoid terrorism propaganda."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Said Romadlan
"

Pasca tumbangnya pemerintahan Orde Baru pada 1998 menjadi momentum bangkitnya  kelompok-kelompok Islam radikal, seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Islamiyah (JI), Laskar Jihad (LJ), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Front Pembela Islam (FPI). Kelompok-kelompok Islam radikal tersebut berupaya mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Khilafah Islamiyah, mengganti ideologi Pancasila dengan syariat Islam, berjihad fi sabilillah dengan memerangi musuh-musuh Islam, menolak perempuan dan non-muslim sebagai pemimpin. Gerakan radikalisme ini harus dilawan karena menghambat demokratisasi, bahkan tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin. Maka dari itu peran Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi Islam moderat (wasithiyah) dan kekuatan civil Islam sangat dibutuhkan untuk melawan upaya-upaya kelompok Islam radikal ini.

Fokus permasalahan disertasi ini adalah pertama, bagaimana penafsiran Muhammadiyah dan NU mengenai dasar negara, jihad, dan toleransi terhadap non-muslim? Kedua, bagaimana praktik-praktik penafsiran melalui refleksi (kesadaran diri) di kalangan Muhammadiyah dan NU mengenai dasar negara, jihad, dan toleransi terhadap non-muslim? Ketiga, bagaimana konteks relasi kekuasaan dan kepentingan Muhammadiyah dan NU dalam memahami diskursus mengenai dasar negara, jihad, dan toleransi terhadap non-muslim?

Dengan menggunakan Teori Interpretasi Ricoeur, Teori Kritis Habermas, dan Teori Hegemoni Gramsci, serta metode hermeneutika fenomenologi Ricoeur disertasi ini menghasilkan temuan-temuan berikut. Pertama, adanya distansiasi dalam proses penafsiran. Mengenai Pancasila sebagai dasar negara, Muhammadiyah menafsirkannya sebagai darul ahdi wa syahadah, NU sebagai mu’ahadah wathaniyah. Muhammadiyah memahami jihad sebagai jihad lil-muwajahah, NU sebagai mabadi’ khaira ummah. Muhammadiyah memahami toleransi terhadap non-muslim sebagai ukhuwah insaniyah, NU sebagai ukhuwah wathaniyah. Kedua, penafsiran Muhammadiyah dan NU tersebut merupakan hasil refleksi dan dialektika antara latar belakang, tujuan, dan kepentingan kalangan Muhammadiyah dan NU dengan struktur kekuasaan politik dan struktur kekuasaan lain. Ketiga, adanya relasi kekuasaan dan kepentingan yang menentukan penafsiran, yaitu kekuasaan negara (Orde Baru), kekuatan kelompok Islam radikal, dan kepentingan peneguhan identitas organisasi. Penafsiran Muhammadiyah dan NU tersebut sekaligus sebagai kritik terhadap ideologi radikalisme yang ingin mendirikan Khilafah Islamiyah dan menegakkan syariat Islam di Indonesia sebagai utopis dan ahistoris.

Disertasi ini dapat digunakan sebagai bahan untuk pendidikan atau literasi deradikalisasi atau moderasi untuk menangkal tumbuhnya radikalisme. Untuk itu diperlukan kesadaran dan tindakan bersama (collective action) yang melibatkan tiga unsur yaitu negara (state), masyarakat sipil (civil society), dan media massa baru (new mass media).

 


The aftermath of the New Order government in 1998 was the momentum of the rise of radical Islamist groups, such as the Indonesian Mujahidin Assembly (MMI), Pilgrims Islamiyah (JI), Laskar Jihad (LJ), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), and the Islamic Defenders Front (FPI). The radical Islamist groups sought to change the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI) into the Caliphate Islamiyah, replacing the ideology of Pancasila with Islamic Shari'ah, Jihad fi sabilillah by combating Islamic enemies, rejecting women and non-Muslims as leaders. This movement of radicalism must be taken captive by inhibiting democratization, and not in accordance with the values of Islamic teachings as rahmatan lil-alamin. Thus, the role of Muhammadiyah and NU as moderate Islamic Organisations (wasithiyah) and Islamic civil were needed to counter the efforts of this radical Islamist groups.

The focus of this dissertation is firstly, how is the interpretation of Muhammadiyah and NU on the basis of state, jihad, and tolerance to non-Muslims? Secondly, how is the practice of interpretation by reflection (self-awareness) among Muhammadiyah and NU on the basis of state, jihad, and tolerance to non-Muslims? Thirdly, how is the context of the relationship between Muhammadiyah and NU in understanding the discourse on the basis of state, jihad, and tolerance to non-Muslims?

Using the Ricoeur’s Interpretation Theory, Critical Theory by Habermas, and Hegemony Theory of Gramsci, as well as the method of hermeneutics phenomenology by Ricoeur, this dissertation resulted in the following findings. First, there is a distanciation in the interpretation process. Regarding Pancasila as the basis of the state, Muhammadiyah interpret it as Darul Ahdi wa Syahadah, NU as Mu'ahadah Wathaniyah. Muhammadiyah interpret jihad as a Jihad lil-Muwajahah, NU as Mabadi' Khaira Ummah. Muhammadiyah interpret the tolerance of non-Muslims as Ukhuwah Insaniyah, NU as Ukhuwah Wathaniyah. Secondly, the interpretation of Muhammadiyah and NU is the result of reflection and dialectics between the background, purpose, and interests of Muhammadiyah and NU with the structure of political power and other structures of power. Thirdly, there is a relationship of power and interest that determines the interpretation, namely the power of the state (the New Order), the power of radical Islamic groups, and the interest of the identity of the organization. The interpretation of Muhammadiyah and NU as well as criticism of radicalism ideology that wants to establish the Caliphate Islamiyah and uphold Islamic law in Indonesia as utopian and a-historic.

This dissertation can be used as material for the education or literacy of deradicalization or moderation to ward off the growth of radicalism. Therefore, were needed to collective action that involves three elements, namely state, civil society, and new mass media to against radicalism.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Bahruddin
"Masifnya individu atau kelompok yang membawa pemahaman Islam di Indonesia dalam dua dekade terakhir, menarik perhatian masyarakat, termasuk sineas. Mereka ingin mengekspresikan gagasannya untuk merespon masalah kerakayatan, sosial, politik, dan agama. Ada dua permasalahan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini: pertama, kehadiran individu atau kelompok yang membawa ideologi Islamisme yaitu membawa misi penegakan syariat Islam dalam menyelesaikan persoalan dan pembentukan tatanan sosial. Ideologi agama-politik ini kerap memicu benturan, konflik, dan tindakan yang mengarah pada radikalisme. Kedua, keyakinan agama yang dijadikan sumber tindakan politik oleh individu atau kelompok Islamis (yang membawa ideologi Islamisme) dijadikan sebagai dasar untuk melakukan tindakan sosial. Dua permasalahan inilah yang diinterpretasikan oleh sineas, kemudian direpresentasikan melalui teks film. Untuk menjawab dua permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi proses dialektik antara individu atau kelompok di masyarakat yang direpresentasikan melalui teks film. Identifikasi ini untuk mengetahui jejak memori yang dijadikan dasar tindakan sosial agen di masyarakat. Dalam teori strukturasi, Giddens berpendapat bahwa struktur (praktik sosial berulang) hanya ‘ada’ dan tertanam dalam jejak memori agen sebagai dasar tindakan sosial. Sementara penelitian ini berpendapat bahwa ada unsur lain yaitu keyakinan agama-politik yang tertanam dalam jejak memori agen sebagai dasar melakukan tindakan sosial. Metode penelitian ini bersifat kualitatif interpretatif dengan menggunakan analisis wacana kritis model van Dijk untuk mengkaji teks, kognisi, dan konteks sosial yang melingkupi sineas. Untuk memperoleh pemaknaan teks, penelitian ini menggunakan logika semiotika Saussure yang digabungkan dengan perangkat shot dan teknik kamera Arthur Asa Berger. Teori substantif yang digunakan adalah mensitesiskan teori strukturasi dengan konsep Islamisme. Paradigma yang digunakan adalah kritis konstruktivis untuk ‘memperjuangkan’ nilai-nilai universal berdasarkan realitas yang direpresentasikan dalam film. Unit analisisnya adalah film-film Indonesia bertema Islam dan antiradikalisme yaitu 3 Doa 3 Cinta (2008), Khalifah (2011), Mata Tertutup (2011), dan Bid’ah Cinta (2017). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama: keempat film Indonesia yang dikaji memperlihatkan, tokoh agen (agensi) yang melakukan tindakan radikal merujuk pada pemahaman Islamisme. Persoalan di masyarakat seperti ketidakadilan, ketimpangan sosial, tidak adanya persamaan hak, serta sulitnya mengakses pendidikan dan kesehatan, menjadi pemicu individu atau kelompok Islamis untuk melakukan tindakan radikal. Kedua, tindakan agen (yang direpresentasikan melalui tokoh Islamis) dalam masyarakat Muslim Indonesia didasarkan pada keyakinan agama-politik yang tertanam dalam jejak memori. Hasil ini sekaligus membantah teori strukturasi Giddens yang hanya melihat struktur sebagai bagian dari jejak memori, yang mengarahkan tindakan agen.

The massive numbers of individuals and groups bringing a particular understanding of Islam in Indonesia in the last two decades has garnered attention from the public, including filmmakers. They desire to express their ideas to respond to societal, social, political and religious issues. Two issues are at the center of this study: first, the presence of individuals or groups bringing an Islamist ideology with a mission of upholding Islamic sharia in attempting to resolve issues and engineer social structure. This religio-political ideology often gives rise of tensions, conflicts, and acts leading towards radicalism. Second, religious beliefs used as a source for political actions by individuals or Islamist groups (those professing Islamism ideology) that are used as basis for social action. These two issues are interpreted by filmmakers, and then represented through film texts. In order to respond to those two issues, this study intends to identify the dialectic processes between individuals or groups in society that are represented through film texts. This is to identify the memory traces used as the basis for action by agents in society. In structuration theory, Giddens opines that structure (patterns of social practices) only exist and are lodged within memory traces of agents as basis for social action. However, this study holds that there is another element, namely religio-political beliefs lodged in the memory traces of agents as basis for social action. This study is an interpretive qualitative study, using van Dijk’s critical discourse analysis model to study text, cognition and social context of filmmakers. In order to obtain the meaning of text, this study uses Saussure’s semiotical logic, combined with Arthur Asa Berger’s ideas on camera shot and camera techniques. The substantive theory used synthesizes structuration theory with the concept of Islamism. The paradigm used is critical constructivist, to ‘fight for’ universal values based on realities represented in films. The unit of analysis is Islamic and antiradicalism Indonesian films, namely 3 Doa 3 Cinta [Three Prayers, Three Loves] (2008), Khalifah [Caliph] (2011), Mata Tertutup [Eyes Shut] (2011), and Bid’ah Cinta [Love Heretic] (2017). Results of this study show that first, the four Indonesian film studied show that the agent character (agency) who carried out radical actions referred to Islamist understanding. Societal issues such as injustice, social inequality, lack of equal rights, and the difficulty of accessing education and health, triggered individuals or Islamist groups to take radical actions. Second, the actions of agents (represented through Islamist figures) in Indonesian Muslim society are based on religio-political beliefs embedded in memory traces. This result also refutes Giddens’ structuration theory, which only sees structure as part of a memory trace that directs the actions of agents."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library