Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angga Sri Prasetyo
Abstrak :
ABSTRAK
Dunia pendidikan tak luput dari fenomena kekerasan. Kekerasan yang terjadi di dalam sekolah bukan hanya antar peserta didik, tetapi juga antara guru dan peserta didik. Beberapa kajian terdahulu melihat fenomena kekerasan di dalam sekolah terjadi oleh karena adanya disfungsi di dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan ndash;keluarga, sekolah dan lingkungan sosial. Selain itu, beberapa kajian yang lain melihat bahwa alienasi dan dominasi merupakan akar dari kekerasan yang terjadi di dalam sekolah. Dalam kajian ini, penulis berargumen bahwa tindak kekerasan dalam sekolah merupakan produk dari konstruksi sosial yang terjadi di dalam sekolah. Proses konstruksi sosial kekerasan yang terus berlangsung di dalam sekolah membuat tindak kekerasan terjadi turun temurun di dalam sekolah itu sendiri. Kajian ini menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan menggunakan teori konstruksi sosial Peter Berger dan Luckmann. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan konstruksi sosial atas kekerasan di dalam SMK Sint Joseph. Kekerasan yang terjadi di SMK Sint Joseph tak lepas dari latar belakang anak asuh dan situasi yang terjadi di dalam Panti. Kekerasan menjadi bentuk ekspresi atas situasi dan kondisi yang mereka alami, dan terbawa ke dalam sekolah. Identitas lsquo;Israel rsquo; menjadi simbol bagi sekolah mereka sekaligus memperteguh tindak kekerasan yang mereka lakukan terhadap sekolah lain. Identitas lsquo;Israel rsquo; berkembang menjadi sebuah identitas lsquo;koalisi rsquo; dari berbagai sekolah dengan latar keagamaan yang sama. Dalam hal ini, kekerasan yang mereka lakukan dipandang sebagai bentuk pembelaan terhadap agama mereka. Dengan adanya kebijakan baru yang dibuat oleh SMK Sint Joseph dan Panti Asuhan Vincentius Putra, kekerasan terhadap sekolah lain dapat diredam. Namun demikian, kekerasan justru terjadi di dalam sekolah dengan mengatasnamakan solidaritas sesama anggota lsquo;Israel rsquo;.
ABSTRACT
Educational world can not be separated from the phenomonenon of violence. School violence occurs not only among student, but also between teachers and students. A number of previous studies show that phenomenon of school violence take place due to the disfunction within social family institutions, schools and social environment. In addition, other studies find that alienation and domination constitue the roots of school violence. In this research, the writer argues that school violence is the product of social construction which occurs in schools. The process of constructing social violence that takes place continuously in schools has resulted in violent acts happening from generation to generation in the chool itself. This research employs a constructivism approach by applying the social construction theory of Peter Berger and Luckmann. This research uses a qualitative method with a phenomenological approach. The result of research shows that there is a change in social construction on violence in SMK Sint Joseph. Violence which takes place at SMK Sint Joseph can not separated from the background of the foster children and the situation of the Orphanage. In this case, violence becomes a form of expression of the situation and condition that they experience, and it is brought into the school. The identity of lsquo Israel rsquo becomes a symbol for their school which strenghtens their violence against other schools. The identity of lsquo Israel rsquo develops into an identity of lsquo coallition rsquo of a variety of schools with the same background. In this matter, their violence is deemed as a defense against their religion. With the new policy made by SMK Sint Joseph and Vincentuis Putra Orphanage, violence against other schools can be reduced. However, violence specifically occurs in schools on behalf of solidarity of the fellow members of lsquo Israel rsquo .
2018
T51585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Billah, Mohd. Ma`sum
Abstrak :
Kondisi buruh yang jelek menjadi salah satu pemicu kuat maraknya aksi-aksi buruh di awal dasawarsa '90-an. Pada pihak lain dalam kurun waktu yang sama, birokrasi pemerintahan (negara) dan majikan (modal) juga selalu berupaya mengendalikan buruh dan serikat buruh. Hubungan 'buruh-negara' dan 'buruh-modal' menjadi wilayah studi yang menarik. Studi tentang masalah perburuhan di Indonesia pada garis besarnya diletakkan di dalam konteks pertumbuhan ekonomi, yang lebih membahas masalah ketenaga-kerjaan, atau dalam dimensi politik yang bertujuan untuk mendukung gerakan buruh; meskipun pada awal dasawarsa '90 muncul studi yang menggunakan perspektif struktural dan kritis. Akan tetapi studi yang membahas tentang hubungan 'buruh-modal' dan hubungan 'buruh-negara' dalam konteks kekuasaan (power) belumlah banyak, dan khususnya yang membahas hubungan 'buruh-negara' dari perspektif Althusserian dan Gramscian nampak belum ada. Itulah sebabnya studi strategi pengendalian negara atas buruh dilihat dari perspektif Althusserian dan Gramscian ini dilakukan. Pada tahun 1965 terjadi krisis politik yang melahirkan satu pemerintahan yang mengadopsi dan mengembangkan 'ideologi pembangunanisme' yang bertumpu kepada dua strategi, pertama adalah strategi meminimalkan konflik sosial, dan kedua memaksimalkan produktivitas ekonomi. Elite pemegang kekuasaan yang merupakan aliansi dari intelektual-teknokrat-sipil dengan tokoh-tokoh militer modernis yakin bahwa stabilitas adalah merupakan prasarat bagi pertumbuhan ekonomi,sehingga dalam konteks perburuhan, upaya pengendalian buruh adalah akibat nalar dari diterimanya ideologi itu. Studi ini memaparkan perubahan-perubahan pengendalian negara atas buruh. Upaya pengendalian buruh secara ketat oleh negara sudah dimulai sejak masa kolonial. Meskipun upaya pengendalian itu menunjukkan wajah ramahnya pada masa 'demokrasi liberal',akan tetapi keramahan itu semakin menipis dan bahkan tidak nampak sama sekali pada masa 'demokrasi Pancasila' yang menggantikan 'demokrasi terpimpin' pada parohan terakhir dasawarsa '60-an. Dengan menganalisis penggunaan aparat repressi negara, baik perangkat hukum maupun perangkat non-hukum, dan penggunaan aparat ideologis negara lewat perspektif Althusserian, serta hegemoni negara (perspektif Gramscian), studi ini memaparkan kecenderungan kuat semakin ketatnya pengendalian negara atas buruh. Semakin ketatnya pengendalian buruh itu nampak dari keragaman dan intensitas penggunaan perangkat repressi negara. Terdapat dua perangkat repressi,yakni perangkat hukum (undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan menteri,instruksi menteri,dan surat edaran menteri), dan perangkat nonhukum (aksi tandingan, pengaturan dan campur tangan, inkorporasi serikat buruh, dan aksi militer yang dipersiapkan dan dilakukan secara sistematis, berkesinambungan, dan effektif). Disamping itu juga digunakan perangkat ideologis seperti monopoli takrif situasi dan tafsirnya, penanaman kaidah dan norma, serta pendidikan. Studi ini berhasil mengidentifikasikan berbagai strategi pengendalian buruh oleh negara yang dilakukan secara terencana, sistematis, terarah untuk mendukung ideologi pembangunanisme dan memperkokoh legitimasi rezim pasca '65. Pada tataran teoritis, studi yang sejak semula dirancang sebagai studi eksploratif ini mengambil kesimpulan bahwa perspektif Althusserian dan Gramscian membantu memahami bentuk-bentuk strategi pengendalian buruh oleh negara. Meskipun demikian, bobot sumbangan perspektif Althusserian dan Gramscian pada studi tentang perburuhan akan lebih, terutama konteks hubungan 'buruh-negara', bilamana studi penjajagan ini di lanjutkan oleh studi yang lebih mendalam yang bersifat menerangkan (eksplanatori). Pada tataran praktis studi ini juga mengambil kesimpulan adanya tanda yang kuat dari kesenjangan antara kehendak normatif konstitusional atas negara dan rata-pemerintahan dengan praktek politik dan pemerintahan pada masa 'demokrasi Pancasila' pasca '65. Peraturan-peraturan di bawah undang-undang yang diciptakan khususnya pada masa itu pada kenyataannya kurang atau tidak mengacu dan bahkan cenderung menafikan undang-undang dan konstitusi di atasnya. Oleh karena itu studi ini merekomendasikan perlunya satu judicial review' atas segala peraturan di bawah undang-undang. Pada tataran buruh, studi ini menyimpulkan bahwa buruh cenderung terhegemoni secara kuat oleh negara. Oleh karena itu disarankan kepada buruh dan serikat buruh serta aktor non-pemerintah lainnya untuk melakukan 'counter hegemony' dan membangun serta meningkatkan posisi tawar buruh, baik terhadap modal maupun terhadap negara.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria E. Pandu
Abstrak :
INTISARI
Kedudukan dan peranan wanita dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat di mana wanita itu berada. Selain itu, bentuk tertentu dari masyarakat pun memberikan ciri tersendiri pula pada kedudukan dan peranan wanitanya.

Wanita sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat tentunya tidak hanya mempunyai satu kedudukan dan satu peranan saja, bertambah kompleks masyarakat di mana mereka berada bertambah bervariasi pula peranan mereka. Tetapi dari berbagai peranan yang diperankannya, menurut penulis tentu ada peranan-peranan khusus yang sangat spesifik yang justru dapat menandai seberapa jauh kedudukan dan peranan mereka baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat di mana mereka berada.

Di Sulawesi Selatan terdapat 4 suku bangsa utama yaitu suku Makassar, suku Bugis, suku Toraja dan suku Mandar. Kelompok etnik Mandar mempunyai sub kultur tersendiri, penulis beranggapan paling tidak orang Mandar mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri pula untuk mengatur peranan dari anggota-anggota masyarakatnya termasuk juga pengaturan tentang kedudukan dan peranan wanitanya yang biasa tercermin pada nilai dan norma yang mereka panuti. Sebagai kelompok etnik yang mendiami daerah, Sulawesi Selatan di mana pada umumnya penduduknya terkenal sebagai nelayan dan pelaut sejak dahulu kala, maka orang Mandar pun merupakan nelayan dan pelaut yang tak kalah cakapnya dengan orang Makassar maupun Bugis.

Pada masyarakat nelayan di mana laki-laki sebagai bapak dan kepala rumah tangga lebih sering meninggalkan rumah untuk waktu yang relatif cukup lama karena tergantung pada tempat dan daerah mana mereka akan memperoleh ikan yang banyak untuk ditangkap. Selama suami/bapak tidak ada di rumah banyak hal yang harus ditanggulangi oleh kaum wanita baik sebagai isteri maupun sebagai seorang ibu.

Pada masyarakat di mana suami/bapak lebih sering tidak ada di rumah untuk waktu yang relatif lama adakalanya terdapat kelainan dalam pembagian peranan dalam keluarga dan rumah tangga. Ada beberapa peranan yang terpusat pada wanita sebagai isteri/ibu, yang oleh beberapa ilmuwan soisial disebut sebagai matrifokalitas. konsep matrifokalitas mempunyai beberapa dimensi dan beberapa ciri. Matrifokalitas oleh Tanner dipakai untuk mengidentifikasikan kedudukan wanita dalam keluarga dan di masyarakat. Konsep ini pula dipergunakan oleh penulis untuk menelusuri sampai seberapa jauh kedudukan dan peranan wanita Mandar dalam keluarga dan masyarakatnya.

Untuk menunjuk ketidakbenaran keberadaan matrifokalitas pada wanita Mandar sebagai isteri nelayan penulis menyusun beberapa hipotesa kerja. Untuk mencegah terjadinya kesimpangsiuran pengertian dilakukan operasionalisasi konsep-konsep yang digunakan, antara lain konsep tingkat pendapatan, konsep kelas sosial bawah, konsep kedudukan marjinal dalam kelompok, konsep perubahan sosial yang cepat, konsep nilai sosial budaya, konsep matrifokalitas itu sendiri.

Bentuk penelitian yang dipilih yaitu bentuk penelitian yang bersifat deskriptif. Sedangkan daerah penelitian sengaja dipilih dua dusun yaitu dusun Ujung Lero dan dusun Kassi Putte yang terletak di Desa Lero, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, Prc'pinsi Sulawesi Selatan, di mana pada umumnya penduduknya adalah kelompok etnik Mandar dan mata pencaharian mereka pada umumnya adalah sebagai nelayan.

Karena tujuan penelitian tidak bermaksud mengukur hubungan antar wariabel maka teknik pemilihan sampel yang tergolong dalam "Non Probability Sampling Technique" nampaknya cukup memadai dengan bentuk yang lebih spesifik lagi yaitu "Dimensional Sampling". Berdasarkan teknik ini diperoleh sampel yang terdiri dari beberapa sub sampel yang sesuai dengan kebutuhan penqungkapan masalah.

Untuk mendapatkan data yang akurat diqunakan metode pengumpulan data antara lain metode pengamatan tak terlibat, metode wawancara langsunq tak berstruktur, metode wawancara langsung terstruktur Setelah data terkumpul lalu dianalisis baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian adalah ;

1. bahwa tingkat pendapatan kepala keluarga tidak ada hubungannya dengan matrifokalitas.

2. bahwa kedudukan sosial seseorang tidak ada hubungannya dengan matrifokalitas.

3. bahwa perubahan sosial yang cepat yang terjadi di kalangan masyarakat nelayan Mandar di desa Lero turut mendukung terjadinya matrifokalitas.

4. bahwa unsur-unsur nilai budaya yang telah mendarah daging pada masyarakat nelayan Mandar di desa Lero, turut mendukung terjadinya matrifokalitas.

5. bahwa ketidakhadiran suami/bapak dalam keluarga/rumah tangga untuk waktu yang relatif lama memperkuat gejala matrifokalitas.

Berdasarkan keadaan yang ditemui dilapangan, upaya-upaya yang perlu ditempuh untuk meningkatkan keterampilan wanita/isteri nelayan Mandar di desa Lero, sekaligus keluarga mereka antara lain adanya keterampilan tradisional yang dikerjakan oleh wanita/isteri nelayan Mandar di desa Lero, yang dapat menunjang pertambahan pendapatan keluarga, perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Hal lainnya himbauan bagi organisasi sosial wanita antara lain Dharma Wanita dan PKK untuk menyusun program kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan wanita/isteri nelayan Mandar di desa Lero. Mengingat Program Keluarga Berencana belum merakyat, perlu digalakkan pemahaman nilai keluarga kecil bahagia sejahtera.

1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soleman
Abstrak :
Apabila hukum dirumuskan sebagai kaidah, yaitu yaitu sebagai pedoman atau patokan perilaku, maka esensi dan eksistensinya ada di dalam pergaulan hidup yang disebut masyarakat. Masyarakat sebagai suatu pergaulan hidup itu beragam bentuknya. Ia dapat menunjuk pada kelompok-kelompok seperti keluarga, kesatuan hidup setempat, suku-bangsa, bangsa maupun negara. Pengejewantahan hukum sebagai perilaku, menurut teori tindakan sosial (social action), hukum harus menjadi referensi. Di samping itu, dalam pengejewantahan sebagai perilaku aktor (warga masyarakat) memilih berbagai alternatif cara, dan juga dibatasi oleh kendala. Friedman dan Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa terwujudnya hukum sebagai perilaku, didasarkan pada motif dan gagasan berupa: a. kepentingan sendiri b. sensitif terhadap sanksi c. pengaruh sosial, dan d. kepatuhan Kendala bagi terwujudnya hukum sebagai perilaku, adalah faktor-faktor yang dipinjam dari Selo Soemardjan, tentang penolakan perubahan sosial. Hal-hal itu ialah: a. nilai--nilai dan norma-norma b. tekanan golongan kepentingan c. risiko sosial d. tidak memahami Apabila hukum mengejewantah sebagai perilaku, maka masyarakat akan mengalami perubahan, yang disebut perubahan sosial. Perubahan itu akan menyangkut pranata/institusi, sebab isi utama dari masyarakat adalah pranata atau institusi ini. Sesuai dengan latarbelakang di atas, maka penelitian ini menelaah dua hal, meliputi: 1. pengaruh hukum terhadap masyarakat 2. perubahan sosial sebagai akibat pengaruh hukum Hukum yang ditelaah pengaruhnya, adalah hukum tertulis, yang bersumber pada perundang-undangan dan yurisprudensi Mahkamah Agung, mencakup: a. Undang-undang No.l tahun 1974 b. Peraturan Pemerintah No.9 tahun 975 c. Yurisprudensi Mahkamah Agung, (1)No. 130 K/Sip/1957 (2)No. 110 K/Sip/1960 (3)No. 179 K/Sip/1961 Penelitian ini menggunakan metode survey, dengan mengambil masyarakat Lampung Buay Subing sebagai kesatuan analisis, dengan anek Terbanggi dan Mataram Marga sebagai sampelnya. Pada dasarnya, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang hal berlakunya hukum dalam masyarakat, dengan melihat pula faktor relevan yang mendukung maupun menghambat terwujudnya perilaku hukum, dan menjabarkan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya perubahan pada pranata/institusi perkawinan dan waris, maupun pranata yang kena dampak dari padanya. Melalui perbandingan antara yang ideal dengan realita maka penelitian ini dapat mengenali perilaku masyarakat dalam dua kategori, yaitu perilaku sesuai dan tidak sesuai dengan hukum. Adanya perilaku yang sesuai dengan kaidah hukum, menandakan bahwa hukum mewujud sebagai perilaku, dan penelitian ini menemukan faktor: (1) kepentingan sendiri, (2) sensitif sanksi, (3) pengaruh sosial, dan (4) kepatuhan, merupakan faktor pendorong, tetapi dalam kontribusi yang rendah (kecil). Di sisi lain, dalam perilaku tidak sesuai dengan kaidah hukum, menandakan pula ada faktor yang menghambat. Faktor-faktor seperti: (a) nilai-nilai dan norma-norma (diwakili oleh adat-istiadat atau tradisi), (b) tekanan golongan kepentingan, (c) tidak memahami, dan (d) risiko sosial, merupakan faktor yang menyumbang pada tidak terwujudnya perilaku sesuai dengan hukum. Penelitian ini juga menemukan kontribusi positif terhadap berlakunya hukum. Risiko sosial dan nilai-nilai dan norma-norma sosial menunjang atau memperkuat ide untuk mempersulit perceraian. Pengaruh hukum, dalam hal ini Undang-undang No.1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, ternyata tidak banyak. Perilaku hukum yang ada dalam masyarakat, walaupun perilaku itu diatur oleh kedua ketentuan itu, untuk sebagian besar adalah perilaku yang sudah terwujud sebelum kehadiran kedua ketentuan tadi. Pengaruh yang dirasakan mempunyai dampak pada institusi lain terletak pada perkawinan dengan wanita lebih dari satu (poligami), dan menyentuh institusi atau pranata masyarakat yang disebut nyemalang. Di samping itu, ketentuan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah ini tidak saja membawa kaidah substansi dan kaidah tata cara, tetapi juga lembaga. Dalam masyarakat ada lembaga pencatatan perkawinan dan pengadilan yang sudah digunakan oleh masyarakat. Lembaga pencatatan perkawinan ternyata telah lama digunakan, tetapi lembaga pengadilan untuk hal-hal yang diatur oleh kedua ketentuan ini, misalnya untuk kawin ulang, masih relatif kecil. Pada sisi lain, walaupun gejala perubahan yang ada dalam masyarakat bukan semata-mata pengaruh hukum, pada aspek tertentu, seperti: kedudukan yang seimbang antara suami-istri, harta bersama, mulai menapak. Artinya bahwa ada gejala yang berjalan ke arah yang dikehendaki oleh hukum (dalam hal ini Undang-undang No. 1 tahun 1974). Pengaruh hukum (yurisprudensi Mahkamah Agung) di lapangan waris, terasa tidak ada, namun perubahan yang terjadi dalam masyarakat ternyata sebagian ada yang sesuai dengan ide yang terkandung dalam ketentuan ini melalui pemberian harta benda. Anak-anak (laki-laki dan perempuan) memperoleh harta benda, seperti dimaksudkan oleh yurisprudensi, namun bagian lain, ide tentang kesamaan hak, belum menjadi kenyataan (dalam pemberian harta benda, bagian anak laki-laki dan perempuan tidak sama). Lembaga pengadilan yang ada belum digunakan oleh warga masyarakat, khususnya kaum wanita, untuk memperoleh kesamaan hak dalam pembagian harta. Melalui pembicaraan di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan dari kaidah dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, sepanjang kaidah yang dirumuskan belum menjadi pola kelakuan pada saat kehadiran keduanya, ternyata relatif kecil, dan yurisprudensi Mahkamah Agung belum menyentuh masyarakat ini. Kondisi ini mengambarkan bahwa keberlakuan (efektivikasi) hukum memang masih rendah.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
T6785
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suwondo
Abstrak :
Latar Belakang Masalah
Sejak terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin bangsa telah memandang demokrasi sebagai suatu sistem politik yang ideal. Kata "ideal" tersebut berarti bahwa bangsa kita mempunyai keinginan yang besar untuk melaksanakan mekanisme pembuatan keputusan sesuai dengan yang dituntut oleh sistem demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Yang dikehendaki oleh sistem demokrasi itu adalah suatu keseimbangan yang wajar antara hak dan kewajiban politik warganegaranya dalam proses kehidupan politik. Hak politik berhubungan dengan tuntutan-tuntutan terhadap sistem politiknya seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, petisi-petisi kepada lembaga-lembaga ataupun pejabat-pejabat pemerintah, menghimpun perkumpulan-perkumpulan politik dan lain sebagainya. Sedangkan kewajiban politik berkaitan dengan dukungan-dukungan yang harus diberikan kepada sistem politik bersangkutan, misalnya masuk menjadi anggota suatu organisasi politik, mendukung kebijaksanaan yang ada dan berkomunikasi dalam masalah-masalah politik.

Namun demikian, dalam kehidupan politik sering tampak bahwa tuntutan-tuntutan yang berbeda-beda cenderung menimbulkan pertentangan-pertentangan yang sangat berbahayn. Pertentangan atau konflik-konflik tersebut, akan berakhir jika pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, baik menggunakan cara musyawarah maupun voting telah mencapai suatu kesepakatan.

Di negara-negara berkembang yang sebagian besar tuntutannya banyak dlpengaruhi oleh hal-hal yang bersifat primordial, suasana konflik cenderung menjurus ke arah situasi yang berbahaya. Demikian halnya yang pernah terjadi di Indonesia, khususnya masa Demokrasi Parlementer (1945-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Pada periode I, partisipasi politik anggota masyarakat ditandai oleh mengalirnya tuntutan-tuntutan yang sangat banyak jumlahnya, sedangkan kapasitas sistem politik belum mampu untuk menampungnya. Misalnya pemerintah belum mampu menggali kekayaan-kekayaan alam yang ada untuk melaksanakan pembangunan.

Di samping itu struktur-struktur politik ataupun pejabat-pejabat pemerintah belum mampu untuk memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut. Konsekwensinya, maka muncullah situasi dan kondisi yang tidak mendukung sistem politik yang ada. Terlebih-lebih lagi dengan lahirnya pemherontakan-pemberontakan di daerah yang menentang ataupun tidak puas kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah pusat, misalnya pemberontakan PRRI (15 Pebruari 1959).

Di lain pihak partai-partai politik yang beroposisi sering melancarkan mosi tidak percaya kepada partai politik yang berkuasa, sehingga tidak mengherankan jika banyak terjadi pergantian pemerintahan dalam beberapa bulan atau satu tahun saja. Adanya mosi tersebut, pada dasarnya merupakan indikator bahwa dukungan yang diberikan kepada jalannya pemerintahan cukup lemah.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Yuhana
Abstrak :
Perhatian terhadap peranan wanita dalam pembangunan meningkat sejak permulaan tahun 70-an, dan memuncak pada tahun 1975 dengan diproklamirkannya Tahun Wanita Sedunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada pertengahan tahun tersebut diadakan pula Konferensi Wanita Sedunia di Mexico City. Indonesia sejak dasawarsa tersebut, memperlihatkan berbagai program kegiatan, seminar, lokakarya, penelitian oleh, dari dan untuk wanita. Maksudnya ialah untuk lebih mengenal keadaan wanita dalam masyarakat yang mengalami perubahan pesat, menganalisis apa yang terjadi, serta menemukan cara menanggulangi hal-hal yang perlu diperbaiki atau dihilangkan. Munculnya perhatian ini berarti pengakuan bahwa kaum wanita merupakan sumber manusiawi, seperti tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sama dengan kaum pria (Mely G. Tan, 1984 : v). Menyadari pentingnya meningkatkan potensi wanita, berbagai studi telah dilakukan untuk menyoroti masalah "wanita dan kerja". Data Studi Makro dan data Studi Mikro menunjukkan dengan "nyata" peranan wanita di pedesaan dalam pekerjaan nafkah di berbagai sektor, pertanian dan non pertanian. Dari data Sensus Penduduk 1980 (Biro Pusat Statistik) nampak bahwa dari 16.9 juta pekerja wanita (dibanding dengan 34.6 juta pekerja pria), sebanyak 9.1 juta (53.8 %) tenaga kerja wanita terlibat di bidang pertanian. Sekitar 7.8 juta (46.2 %) tenaga kerja wanita terlibat di sektor non pertanian, mencakup bidang dagang, jasa, transportasi dan industri "manufacturing". Data hasil Studi Mikro menunjukkan tenaga kerja wanita sebagian besar berada di bidang industri rumahtangga (seperti industri makanan jadi) dan bidang dagang (makanan jadi, minuman dan rokok). Bidang-bidang usaha ini kini dikenal dengan sektor informal. Faktor sosial budaya merupakan faktor penting yang mempengaruhi peranan wanita dalam pekerjaan nafkah. Sistem kekerabatan yang berbeda (patrilineal, matrilineal atau bilineal) yang mengenal pola adat menetap (setelah kawin) yang berbeda-beda mempunyai implikasi yang berbeda-beda pula terhadap peranan wanita dalam pekerjaan nafkah. Sistem kekerabatan patrilineal pada masyarakat Batak menunjukkan kuatnya status sosial laki-laki dalam keluarga dan kerabatnya sejak proses sosialisasi anak sebagai penerus keturunan dan pembawa nama keluarga. Kuatnya peran serta wanita dalam pekerjaan nafkah, khususnya di bidang pertanian memberikan posisi yang kuat pada wanita Batak dalam mengatur perekonomian rumahtangga, hal mana memberikan motivasi yang kuat pada pendidikan anak (Asmi Hutajulu, 1987). Sistem kekerabatan yang sama (patrilineal) pada masyarakat Bali, dan pengaruh yang besar dari agama Hindu yang mengenal sistem kasta mengembangkan adat istiadat yang khas pula bagi wanita Bali. Dalam mengatasi tuntutan untuk bekerja keras pada wanita Bali dan tak jarang pula disertai dengan imbalan kerja nafkah yang lebih kecil dan penilaian terhadap statusnya yang rendah, ternyata kebiasaan falsafah dan religi menyatakan semua pekerjaan itu adalah "dharma" dan baik, telah membenarkan peran serta wanita Bali dalam pekerjaan nafkah yang dianggap tidak pantas pada wanita Jawa. Hal ini telah membantu jangkauan yang lebih besar terhadap peluang bekerja yang meningkat karena berkembangnya pariwisata di Bali (I Gusti A.A. Ariani, 1986). Sistem kekerabatan bilineal pada masyarakat Minahasa ternyata menempatkan wanita pada status sosial yang senilai dengan pria, lebih-lebih jika disertai dengan sumberdaya pribadi berupa pendidikan formal yang tinggi pada wanita. Peran serta wanita dalam adat Mapalus di bidang pertanian yang mencerminkan tipe pekerjaan nafkah berburuh tani karena mendapat upah ternyata tidak menempatkan pekerjaan tersebut pada jenjang yang paling rendah seperti pada masyarakat pedesaan di Jawa (A. E. Wahongan Kosakoy, 1987). Menurut Standing (1981), agak sukar untuk mengungkapkan adanya pola umum tingkat partisipasi wanita dalam angkatan kerja wanita karena hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Disamping faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya, partisipasi wanita dalam angkatan kerja juga berhubungan erat dengan siklus kehidupan perkawinan, umur pada kehamilan pertama dan jumlah anak yang dilahirkan (G. Standing, 1985: 395).
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Siswoyo
Abstrak :
Salah satu pokok permasalahan yang masih tetap aktual untuk dibahas dalam rangka memahami masyarakat di lingkungan perkotaan adalah : masih adakah komunitas lokal di lingkungan perkotaan ?, atau tegasnya, masih adakah ikatan-ikatan lokal di antara warga kota ? Pertanyaan ini menarik perhatian, karena dari beberapa studi dan hasil penelitian yang sempat penulis pelajari menunjukkan bahwa di lingkungan perkotaan terdapat kecenderungan berkembangnya komunitas jenis tertentu yang tidak lagi berhubungan dengan aspek lokal. Komunitas jenis ini lazim disebut dengan community without locality atau community without propinquity. Malahan, Marx Abrahamson (1980 : 145-161), menunjukkan bahwa komunitas lokal di lingkungan perkotaan tersebut sudah sedemikian langkanya dan menunjukkan gejala semakin memudar. Bahkan ia lalu berpendapat bahwa studi lebih lanjut mengenai komunitas lokal di lingkungan perkotaan adalah tidak diperlukan lagi, sebab tidak lagi memiliki relevansi sosiologis sesuai dengan perkembangan struktur sosial masyarakat perkotaan yang lebih didiominasi oleh kelas elite minority yang cenderung menjalankan kekuasaan secara monolithic. Pertanyaan itu menjadi lebih menarik apabila dikaitkan dengan salah satu azas pembangunan yang berlaku di Indonesia; yaitu azas Usaha Bersama dan Kekeluargaan. Tekanan azas ini adalah partisipasi sebesar-besarnya dart seluruh rakyat secara bergotong-royong dalam semangat kekeluargaan untuk melaksanakan pembangunan. Azas monolitik adalah azas yang sangat dihindari. Orientasi program pembangunan yang sering dicanangkan oleh Pemerintah adalah Community Oriented Program, yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah bersama-sama rakyat. Secara garis besar, community oriented program dapat diterjemahkan sebagai program yang berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya setempat secara bersama-sama atau melibatkan semua anggota masyarakat setempat itu; hasilnya pun untuk kepentingan bersama, sekaligus untuk melestarikan kebersamaan itu. Apabila komunitas itu secara harafiah diartikan sebagai kebersamaan diantara warga dalam satu kesatuan sosial, maka keberhasilan pembangunan selama ini tentulah melestarikan keberadaan kebersamaan tersebut. Kenyataannya memang demikian. Sense of community selalu dicanangkan sebagai norma yang harus diwujudkan dalam bentuk kegiatan nyata bagi semua anggota masyararakat, back sebagai warga lingkungan ketetanggan, lingkungan Rukun Tetangga (RT), lingkungan Rukun Warga (RW) lingkungan pasar, lingkungan Kelurahan, lingkungan profesi, dan seterusnya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Augustinus Widyaputranto
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas bagaimana pelaksanaan program subsidi silang di institusi pendidikan swasta menjadi sebuah strategi inklusi sosial dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan menengah di Jakarta. Pelaksanaan program subsidi silang atau fair-share tuition telah menjadi praktik dari institusi pendidikan swasta untuk dapat menyelenggarakan sebuah proses pendidikan yang inklusif, yaitu terbuka untuk mereka yang sulit mendapatkan akses pendidikan karena ketidakmampuan ekonomi. Dengan sistem subsidi silang setiap peserta didik membayar biaya pendidikan sesuai dengan kemampuan ekonominya, dan dengan demikian membuka akses partisipasi bagi mereka yang kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan yang baik, dan tidak tereksklusi karena faktor ekonomi. Dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan ecological approach Pierson 2002 , tesis ini hendak memperlihatkan bahwa program subsidi silang menjadi sebuah proses interaksi yang tidak hanya membuka akses pendidikan tetapi juga proses integrasi sosial dan sistem nilai serta habitus yang baru bagi para pemangku kepentingan di sekolah dalam konteks membangun komunitas yang inklusif
ABSTRACT
The process of making inclusive education to the whole society is becoming increasingly difficult to achieve. Given the situation, there are some schools that are still determined to achieve social inclusion in providing education. The schools enforce a fair share tuition as a subsidy system. This is a a system whereby the amount of tuition fee of each student is determined based on the real financial and economic capabilities of the parents. This system creates opportunities and equality in which students from poor families can still have access to a good quality education, not being excluded based on the financial ability or socioeconomic status of the family. Making use of a qualitative approach to interviewing respondents at a private high school in South Jakarta, and ecological approach theoretical framework Pierson, 2002 this study shows how the practice of fair share tuition fee can be a strategy for social inclusion which is very effective in metropolitan Jakarta. With the system, the school is still maintaining the quality of education as an excellent educational institution. Fair share tution fee as a subsidy system has been creating inclusive school culture, where students can interact and learn together with other students from various background, economically, culturaly and academically. This inclusive culture in the pedagogical process that takes place inside the school eventually has been becoming a culture and habitus of the schools, fostering students maturity and their academic achievement, building their social interaction, solidarity and perception toward diversity and also affecting parental style of the parents and culture in the family.
2018
T51629
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Setyarini
Abstrak :
Setiap kegiatan pembangunan pada umumnya menimbulkan masalah lingkungan hidup. Penanggulangannya perlu dilakukan tindakan terpadu, guna menghindarkan kerusakan-kerusakan yang menimpa lingkungan hidup manusia. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, salah satunya berupa program penghijauan. Begitu pula kota Kudus, sebagai salah satu kota industri juga tidak mau ketinggalan untuk melakukan penghijauan, yang terutama dilaksanakan di Kecamatan Kota, dan dimaksudkan untuk mencegah bahaya erosi, banjir dan polusi. Dalam melaksanakan suksesnya suatu program maka peran masyarakat sangat diperlukan, untuk itu perlu adanya partisipasi masyarakat karena masyarakat sebagai subyek juga sekaligus menjadi obyek dari pembangunan itu sendiri. Penelitian ini mengacu pada teori difusi inovasi dari Roger, pada taraf konsekuensi dalam suatu inovasi, dengan memperhatikan peran media massa dan komunikasi interpersonal dalam difusi inovasi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana pengaruh intensitas penyuluhan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam program penghijauan kota. Metode penelitian yang digunakan adalah korelasional, untuk mencari hubungan antara 2 variabel tersebut. Sedangkan untuk pengumpulan data digunakan daftar pertanyaan. Penelitian ini tidak meneliti seluruh populasi melainkan hanya mengambil sampel dengan teknik proportional random sampling. Hipotesis mayornya adalah "Semakin tinggi intensitas penyuluhan, semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam program penghijauan kota". Adapun sub variabel intensitas penyuluhan meliputi isi pesan, pengenaan media dan frekuensi penyuluhan. Sedangkan sub variabel dari tingkat partisipasi masyarakat adalah tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program dan tingkat partisipasi masyarakat dalam monitoring dan evaluasi program. Dengan menyilangkan masing-masing sub variabel ini, maka diperoleh 9 hipotesis minor yang perlu diuji kebenarannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara isi pesan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan tingkat partisipasi masyarakat dalam monitoring dan evaluasi program yang signifikan. Tingkat pengaruh masing-masing sebesar 16 % dan 32 %. Hubungan antara pengenaan media dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan ternyata signifikan dan pengaruhnya sebesar 16%. Dan hubungan antara frekuensi penyuluhan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan tingkat partisipasi masyarakat dalam monitoring dan evaluasi program yang signifikan, serta mempunyai pengaruh sebesar 25 % dan 19 %. Dari 9 pengujian hipotesis, ternyata ada 5 pengujian terbukti signifikan. Jadi secara umum dapat dikatakan ada pengaruh antara intensitas penyuluhan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam program penghijauan kota, walaupun tidak secara mutlak karena ada variabel lain yang ikut mendukungnya. Dengan demikian hipotesis mayor yang diajukan dapat diterima. Sebagai saran, hendaknya penyuluhan ini harus tetap dilakukan secara teratur dan terarah, agar masyarakat tidak melupakan arti pentingnya program penghijauan kota, baik melalui media massa maupun media tatap muka. Dan perlu diingat bahwa dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembangunan harus diusahakan untuk mengurangi atau menghindari dari timbulnya efek sampingan terhadap lingkungan. Saran untuk para peneliti selanjutnya adalah agar diadakan penelitian-penelitian lebih lanjut terhadap peran variabel-variabel lain yang ikut mendukung keberhasilan program penghijauan kota ini, agar dengan demikian partisipasi masyarakat tetap terjaga.
Depok: Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lazarus Revassy
Abstrak :
Penelitian ini ingin memusatkan perhatian pada kondisi di Irian Jaya. Hal ini dikarenakan bahwa wilayah ini agak spesifik, bila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Salah satu unsur yang penting (crucial) dalam masa pembangunan bangsa (National building) adalah faktor kepemimpinan. Di Irian Jaya faktor ini dilihat dalam konteks sosio-budaya, mempunyai kemiripan dengan model-model yang berlaku dalam kebudayaan Pasifik, akan tetapi secara teritorial dan etnis dianggap termasuk wilayah Indonesia. H.D. Sahlins, dalam menganalisis kepemimpinan politik tradisional di daerah kepulauan Lautan Teduh, berpendapat bahwa penduduk di daerah kebudayaan Melanesia, mengenal tipe kepemimpinan big man. Sebaliknya, penduduk di daerah kebudayaan Polinesia mengenal tipe kepemimpinan chief in. Berbagai penelitian etnografi lain setelah itu memperlihatkan bahwa garis kontinum yang dikemukakan oleh Shalins itu sebetulnya tidak seluruhnya benar. Di kalangan penduduk Melanesia sendiri, selain tipe kepemimpinan big man, dijumpai pula tipe kepemimpinan chief man. Untuk masyarakat kebudayaan di Irian Jaya yang merupakan bagian pendukung kebudayaan Melanesia, kepemimpinan politik tradisional cukup bervariasi dan dapat digolongkan menurut: (1) big man, (2) chief man, (3) head wan dan (4) campuran.
Depok: Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>