Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Rasyid A. Ambo Sakka
"ABSTRAK
"Lahan saya adalah lahan dunia!" demikian ungkapan para eksportir kopra Makassar, ketika perkapalan internasional Rotterdamsche Lloyd tiba di Makassar untuk mengangkut kopra. Ungkapan itu sebenarnya memberikan gambaran bahwa kopra dari Makassar telah terintegrasi dengan pasaran dunia. Para eksportir yang berdiam di Makassar menampung kopra dalam gudang-gudang penimbunan, sehingga merupakan suatu hal yang wajar bila seorang eksportir memiliki lebih dari dua gudang ekspor kopra. Laporan perdagangan Makassar menunjukkan bahwa pada tahun 1895 Makassar memiliki tujuh tempat tujuan ekspor kopra, kemudian naik menjadi dua puluh tempat tujuan ekspor kopra pada tahun 1920.
Selama kurang lebih "delapan dasawarsa" (1883-1958), komoditas ekspor Makassar banyak tergantung dari kopra (Bugis: kaloko) yang berasal dari "emas hijau". Bagaimana pun penduduk Indonesia bagian timur, khususnya Sulawesi Selatan, kopra telah menjadi komoditi dagang yang penting, sejak tahun 1880-an yaitu, ketika bangsa-bangsa Eropa menggunakan kopra sebagai bahan dasar yang penting dalam pembuatan sabun dan mentega. Sekitar 60 persen jumlah ekspor kopra Timur Besar berasal dari kopra yang pada umumnya diekspor melalui pelabuhan Makassar.5 Karena itu bukannya tidak beralasan jika J.C. Westermann dan W.C. Houck mengatakan bahwa pada dekade kedua abad ke-20 Makassar tampil sebagai kekuatan perdagangan di Asia Pasifik, bahkan pada fase tersebut Makassar dapat mengurangi laju perkembangan Singapura sebagai kota dagang karena menghasilkan kopra.
Di sejumlah daerah di luar Makassar, kopra juga mempunyai arti penting sebagai komoditi ekspor bagi penduduknya. Di Pulau Toedjoeh Riau pada tahun 1908, sekitar 24 ribu orang mata pencahariannya tergantung dari kopra. Pada umumnya kopra didominasi oleh para keluarga bangsawan. Beberapa keluarga bangsawan memiliki pohon kelapa hingga mencapai 20 ribu pohon. Itulah sebabnya para bangsawan Pulau Toedjoeh, mendatangkan buruh dari Singapura untuk bekerja di kebun mereka. Untuk membatasi lonjakan buruh masuk ke Pulau Toedjoeh, maka Pemerintah Belanda menerapkan biaya imigrasi tinggi yaitu sekitar f 25 setiap orang. Dalam tahun 1919 ekspor kopra dari Pulau Toedjoeh mencapai 12.283 ton dengan nilai f 3,8 juta. Dari ekspor tersebut dapat diperoleh pajak senilai f. 207.000. Tiga puluh lima persen dari hasil itu (f 60.000) digunakan untuk membangun daerah Pulau Toedjoeh.
Mata pencaharian utama penduduk Kalimantan Barat adalah kopra. Kopra di daerah itu banyak dikuasai oleh pedagang-pedagang Cina. Para petani mendapat kredit dari pedagang-pedagang Cina. Di Singkawang, petani kelapa pada umumnya pendatang. Mereka menyewa tanah pada suku-suku Dayak dan Banjar untuk membuka?."
Depok: 2003
D479
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umasih
"Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dengan teori strukturisasi dari Anthony Giddens yang menekankan pada adanya hubungan antara pelaku sejarah (agent) dan struktur (perangkat aturan atau institusi) yang bertupa relasi dualitas. Hasil penelitian mengungkapkan pelaksanaan kebijakan jabatan guru ada yang positif dan ada yang negatif. Yang positif berkenaan dengan adanya peningkatan kualifikasi guru dan minatnya dalam memahami landasan kependidikan serta tanggung jawabnya sebagai seorang guru. Sedangkan yang negatif seperti penyiapan calon guru oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) baik IKIP, FKIP dan PGSLP, terlebih yang hanya mengikuti program darurat. Kekurangan itu lebih disebabkan karena kuriulum, sarana, fasilitas dan perluasan pendidikan LPTK swasta."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
D911
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ricardi S. Adnan
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas dinamika hubungan antar pengusaha di bidang industri otomotif dan penguasa tahun 1969 hingga tahun 1998. Penulis membedakan kajian ini ke dalam tiga periode; mencari format industri, menuju kematangan industri dan mewujudkan kemandirian industri otomotif. Dengan menarik kurun waku ke belakang sebelum masa Orde Baru serta dalam perjalanan industri selama tiga periode tersebut, studi ini menemukan adanya perubahan yang penulis sebut sebagai ?the shifting patronage?. Teori dan pendekatan ?strukturasi? dari Giddens terlihat nyata dalam dinamika hubungan antara pengusaha dan penguasa. Pola yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan tersebut penulis sebut sebagai ?symbiotic relationship?.

ABSTRACT
The focus of this study is the dynamic relationship in automobile industry between entrepreneur and the power in 1969-1998. The length of this study can be divided in three periods; seeking the industrial form, going to maturity, and realizing the industrial autonomous. Looking back to the Old Order and analyzing along three periods, this research has found that the structural transformed the interactions between actors - ?the shifting patronage?. The Giddens approach and theory of ?structuration? is really clear in this industry and the model of this phenomenon is called as ?symbiotic relationship?."
Depok: 2010
D01001
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
G. Ambar Wulan
"Sejak awal pembentukannya Jawatan Kepolisian Negara RI sebagai organisasi pemerintah menggunakan konsep veiligheid, rust en orde (keamanan, ketenangan dan ketertiban) dari Kepolisian Pemerintah Hindia Belanda. HIR (Herziene lnlichtingen Dienst) merupakan pedoman dalam melaksanakan fungsi kepoiisian, yaitu mengamankan pemerintah dan Iembaga-Iembaganya dari ancaman yang membahayakan.
Sebagai organ pemerintah yang memiliki kontinuitas dengan pemerintah kolonial, pada permulaan republik Kepolisian Negara Rl mengalami penolakan dari rakyat di tengah situasi yang menuntut perubahan nilai-nilai lama yang tidak sesuai dengan ideologi revolusioner. Dalam situasi yang diwarnai oleh pergolakan politik menyebabkan kepolisian negara melakukan konsolidasi organisasi sebagai kepcmlisian nasional. Hal ini terwujud dengan keluarnya Penetapan Pemerintah (PP) No. 11/SD Tahun 1946 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1946 yang berisi perubahan kedudukan kepolisian dari Departemen Dalam Negeri kemudian berada di bawah Perdana Menteri, PP tersebut merupakan pangkal dan munculnya tindakan-tindakan kepolisian masuk ke dalam ranah politik. Perubahan ini terepresentasikan dan pemberdayaan Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) yang bertugas sebagai poiisi preventif dan represif.
Dalam situasi revolusi kekuatan kepolisian bergantung pada bagian penyelidikan di bidang ekonomi, sosial dan politik, di samping Mobrig (Mobile Brigade) yang berperan di garis depan pertempuran. Kapasitas PAM tersebut membawa pada munculnya pertanyaan terhadap penelitian, yaitu mengapa PAM berperan menonjol dalam pelaksanaan fungsi keporisian di tengah intensitas perpolitikan pada masa revolusi.
Dalam fungsinya sebagai badan penyelidik dengan tugas utama sebagai penyelidik dan pengawas pelbagai aliran-aliran poiitik yang tumbuh secara pesat di tengah masyarakat menyebabkan kepolisian melakukan tindakan-tindakan politik terhadap pengamanan kebijakan pulitik pemerintah. Meskipun demikian tindakan-tindakan PAM digunakan pula bagi institusinya sendiri guna rnemperkuat Kepolisian Negara RI yang pada awal pembentukannya mengalami krisis kepercayaan dari rakyat.
Pada masa revolusi organ PAM secara struktur adalah PID (Politieke Inffchtingen Dienst = Dinas Intelijen Politik), dalam kerangk RI PAM mengalami perubahan fungsi guna menyesuaikan situasi revolusi saat itu. Keberadaan PAM dan fungsinya hanya berlangsung pada rnasa revolusi, karena pasca 1950 polisi preventif dan represif berganti nama menjadi Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) yang mengalami perluasan tugas guna menyesuaikan situasi dernokrasi yang berlangsung saat itu.
Since the establishment of the National Police Service ofthe Republic of Indonesia as an organization, the govemment had applied the concept of veiligheid, rust en orde (security, peace, and order) adopted from the Police of the Netherlands East Indies Government. HIR (Herziene lnlichtingen Dienst) was guidance in implementing the duty of the police that was to preserve the government and its institutions from any threats.
As a government organization which had continuity with the colonial govemment, at an earlier date of the republic, the National Police Service of the Republic of Indonesia underwent resistance from the people amid the situation demanding the change of the old value which was no longer in line with the revolutionary ideology. The situation colored with turbulence had made the government do organizational consolidation as the national police. lt became a reality when the government decision N0.11/SD was issued on July 1, 1946. The decision had oflicially stated that the police was no longer subordinate to the Department of Home Affairs but the Prime Minister. The decision had also become the starting point for the penetration of the police into politics. The change was later represented by the empowerment of the Societal Ideology Supervision (PAM) which was in charge for being preventive and repressive police.
In the revolutionary era, the power of the police so much depended on the investigation division of economy, social, and politics, and the mobile brigade, which played crucial duty on the battle frontline. The capacity of PAM had resulted in questions around the research that is why PAM played prominent role in the implementation of the police function amid political intensity in the revolutionary era.
Functioning as investigation service whose primary duty was to be investigator and supervisor, had made the police do political acts against the security of the political police ofthe government. However, the PAM acts were used in order to strengthen the National Police of the Republic of Indonesia whose establishment at first underwent trust crisis from the people.
In the revolutionary era, PAM organization was structurally PID (Poiiiieke Inlichtingen Dienst = Political lnteligent Senrice). PAM underwent shift in function in order to make some adjustment to the revolution. PAM and its function established only in the revolutionary era because after 1950 the preventive and repressive police had changed its name into the National Security Supervision Agency (DKPN) which later had duty expansion to meet the situation of the democracy at that time.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D1609
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
G. Ambar Wulan
"Sejak awal pembentukannya Jawatan Kepolisian Negara RI sebagai organisasi pemerintah menggunakan konsep veiligheid, rust en orde (keamanan, ketenangan dan ketertiban) dari Kepolisian Pemerintah Hindia Belanda. HIR (Herziene lnlichtingen Dienst) merupakan pedoman dalam melaksanakan fungsi kepoiisian, yaitu mengamankan pemerintah dan Iembaga-Iembaganya dari ancaman yang membahayakan.
Sebagai organ pemerintah yang memiliki kontinuitas dengan pemerintah kolonial, pada permulaan republik Kepolisian Negara Rl mengalami penolakan dari rakyat di tengah situasi yang menuntut perubahan nilai-nilai lama yang tidak sesuai dengan ideologi revolusioner. Dalam situasi yang diwarnai oleh pergolakan politik menyebabkan kepolisian negara melakukan konsolidasi organisasi sebagai kepcmlisian nasional. Hal ini terwujud dengan keluarnya Penetapan Pemerintah (PP) No. 11/SD Tahun 1946 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1946 yang berisi perubahan kedudukan kepolisian dari Departemen Dalam Negeri kemudian berada di bawah Perdana Menteri, PP tersebut merupakan pangkal dan munculnya tindakan-tindakan kepolisian masuk ke dalam ranah politik. Perubahan ini terepresentasikan dan pemberdayaan Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) yang bertugas sebagai poiisi preventif dan represif.
Dalam situasi revolusi kekuatan kepolisian bergantung pada bagian penyelidikan di bidang ekonomi, sosial dan politik, di samping Mobrig (Mobile Brigade) yang berperan di garis depan pertempuran. Kapasitas PAM tersebut membawa pada munculnya pertanyaan terhadap penelitian, yaitu mengapa PAM berperan menonjol dalam pelaksanaan fungsi keporisian di tengah intensitas perpolitikan pada masa revolusi.
Dalam fungsinya sebagai badan penyelidik dengan tugas utama sebagai penyelidik dan pengawas pelbagai aliran-aliran poiitik yang tumbuh secara pesat di tengah masyarakat menyebabkan kepolisian melakukan tindakan-tindakan politik terhadap pengamanan kebijakan pulitik pemerintah. Meskipun demikian tindakan-tindakan PAM digunakan pula bagi institusinya sendiri guna rnemperkuat Kepolisian Negara RI yang pada awal pembentukannya mengalami krisis kepercayaan dari rakyat.
Pada masa revolusi organ PAM secara struktur adalah PID (Politieke Inffchtingen Dienst = Dinas Intelijen Politik), dalam kerangk RI PAM mengalami perubahan fungsi guna menyesuaikan situasi revolusi saat itu. Keberadaan PAM dan fungsinya hanya berlangsung pada rnasa revolusi, karena pasca 1950 polisi preventif dan represif berganti nama menjadi Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) yang mengalami perluasan tugas guna menyesuaikan situasi dernokrasi yang berlangsung saat itu.
Since the establishment of the National Police Service ofthe Republic of Indonesia as an organization, the govemment had applied the concept of veiligheid, rust en orde (security, peace, and order) adopted from the Police of the Netherlands East Indies Government. HIR (Herziene lnlichtingen Dienst) was guidance in implementing the duty of the police that was to preserve the government and its institutions from any threats.
As a government organization which had continuity with the colonial govemment, at an earlier date of the republic, the National Police Service of the Republic of Indonesia underwent resistance from the people amid the situation demanding the change of the old value which was no longer in line with the revolutionary ideology. The situation colored with turbulence had made the government do organizational consolidation as the national police. It became a reality when the government decision N0.11/SD was issued on July 1, 1946. The decision had oflicially stated that the police was no longer subordinate to the Department of Home Affairs but the Prime Minister. The decision had also become the starting point for the penetration of the police into politics. The change was later represented by the empowerment of the Societal Ideology Supervision (PAM) which was in charge for being preventive and repressive police.
In the revolutionary era, the power of the police so much depended on the investigation division of economy, social, and politics, and the mobile brigade, which played crucial duty on the battle frontline. The capacity of PAM had resulted in questions around the research that is why PAM played prominent role in the implementation of the police function amid political intensity in the revolutionary era.
Functioning as investigation service whose primary duty was to be investigator and supervisor, had made the police do political acts against the security of the political police ofthe government. However, the PAM acts were used in order to strengthen the National Police of the Republic of Indonesia whose establishment at first underwent trust crisis from the people.
In the revolutionary era, PAM organization was structurally PID (Poiiiieke Inlichtingen Dienst = Political lnteligent Senrice). PAM underwent shift in function in order to make some adjustment to the revolution. PAM and its function established only in the revolutionary era because after 1950 the preventive and repressive police had changed its name into the National Security Supervision Agency (DKPN) which later had duty expansion to meet the situation of the democracy at that time.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D910
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Iskandar
2007
D1848
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wagiono Sunarto
"Soekarno adalah tokoh nasional yang kontroversial yang tak dapat dipisahkan dari sejarah Pergerakan Nasional dan lahirnya Bangsa Indonesia. Pada usia 20an ia telah dikenal karena tulisan-tulisan yang menggugah dan pidatonya yang piawai menuntut kebebasan Indonesia dari kolonialisme Belanda. Ia menggerakkan berbagai perkumpulan politik untuk kemerdekaan pada akhir usia 20an. Walaupun pada usia 30an ia banyak mendekam di penjara atau pembuangan, mitos dan kharismanya sebagai pahlawan pembebas dan pemimpin `revolusioner berkembang di antara rakyat dan politisi di seluruh Indonesia. Cerita dan sejarah (biografi) Soekarno selalu diliputi mitos tentang kekuatan supernatural dan takdirnya sebagai pembebas bangsa.
Mitos dan kharisma Soekarno telah menempatkannya dalam berbagai pusat peristiwa yang menentukan dalam sejarah ayval bangsa Indoensia. Setelah kedaulatan R.I diakui oleh Belanda dan oleh masyarakat internasional, Soekarno tetap terpilih memimpin bangsa Indonesia. Pada waktu ia menjalankan politik Demokrasi terpimpin, ia mencoba mempersatukan tiga kekuatan politik yang sebelumnya tak pemah rukun yaitu kelompok nasionalis, kelompok agama (temtama Islam) dan kelompok komunis. Walaupun selalu mendapat tantangan dari Angkatan Darat yang tak pernah mempercayai PKI, Soekamo tetap mendekatkan din pada PKI dan negara negara Blok Timur penganut ideologi Komunisme dan Sosialisme.
Pada tanggal 30 September 1965, terjadi usaha perebutan kekuasaan oleh sekelompok pemuka PKI dan organisasi massanya serta perwira Angkatan Bersenjata yang didukung beberapa batalion yang kebetulan sedang berada di Jakarta untuk merayakan Hari Ulang Tahun ABRI. Kudeta ini berhasil menculik dan membunuh 6 pimpinan puncak Angkatan Darat, namun tak berhasil melaksanakan tahap berikutnya. Jendral Soeharto yang tidak masuk daftar target penculikan, berhasil melakukan konsolidasi semua kekuatan militer yang ada dan pada hari kedua ia sudah mengamankan ibu kota dan selumh fasilitas telekomunikasi dan infrastruktur kota. Selanjutnya setelah mengamankan kepala negara, tanpa segan-segan ia melarang kegiatan PKI dan menghancurkan kekuatan pemberontak di daerah. Sesudah Itu kelompok-kelompok militer yang dikirim dan dibantu oleh kelompok para-militer Islam, menangkap anggota PKI dan afiliasinya di pelosok-pelosok. Dalam penangkapan-penangkapan ini banyak yang dibunuh tanpa punya kesempatan membela diri. Menurut catatan para peneliti dalam dan luar negeri korban yang terbunuh berjumlah antara 400.000-1.000.000 jiwa.
Sesudah peristiwa naas tersebut, secara perlahan Soeharto mulai dianggap sebagai pemimpin baru, dan secara bertahap naik sampai pada puncak pimpinan tertinggi negara. Soekarno harus menghadapai berbagai pertanyaan dan tututan mengenai keterlibatannya dalam G-30-S dan tanggung jawabnya terhadap kemunduran kehidupan sosial-ekonomi dan buruknya keamanan negara. Dengan tekanan dad DPRGR dan MPRS yang anggotanya sudah diperbarui, dan karena gelombang demonstrasi yang dipelopori KAMI, maka sejak awal 1966 secara bértahap Suekamo kehilangan mitosnya sebagai pemimpin yang tak tergantikan, kharismanya dan haknya untuk membela diri. Akhlmya, setelah Soeharto dikukuhkan sebagai pejabat presiden, Maret 1967. Soekamo tersingkir dari panggung politik dan terisolasi dari kehidupan soslal sampai wafatnya tahun 1970.
Rangkaian gejolak peristiwa yang dinamis ini terekam dalam koran-koran yang terbit 1959. 1967. Dengan cara unik, interpretasi dan opini mengenai peristiwa politik tersebut dituangkan dan diekspresikan dalam karikatur-karikatur yang terhit di koran-koran tersebut. Kumpulan karikatur tersebut merefleksikan emosi-emosi dan persepsi politik yang berkembang pada masyarakat sebagai reaksi atas peristiwa politik yang terjadi. Sebagai peninggalan sejarah, karikatur-karikatur tersebut harus di intepretasikan dan dimaknai sesuai dengan konteks zaman (tempat dan peristiwanya). Karena itu pemahaman mengenai perkembangan politik yang terjadi pada tahun 1959 gampai 1967 di Indonesia merupakan landasan terpenting pemahaman karikaturnya.
Dalam penelitian ini, definisi dan fungsi mitos yang dipakai adalah :
(1) Mitos adalah konsep tentang kebenaran, atau khazanah kepercayaan atau suatu hal luar biasa yang dipercaya sebagai penentu keberlangsungan kehidupan (Spencer 1961).
(2) Mitos berfungsi sebagai pelembagaan sistem tata nilai dan justifikasi sosial dalam suatu masyarakat (Campbell 1988).
(3) Mitos terbentuk karena pergeseran makna dalam proses semiosis berlanjut (Barthes dan de Sausurre, 1956).
Tujuan penelitian ini adalah :
(1) Memahami Karikatur sebagai wacana pembentuk mitos dan perombak mitos, melalui telaah contoh karikatur yang dikumpulkan.
(2) Memahami penggunaan karikatur dalam proses pemitosan dan proses perombakan mitos Soekarno (1959-1967)
(3) Mernahami korelasi antara gaya ungkap dan pesan-pesan yang disampaikan dalam karikatur yang diteliti (1_959-1967)
Untuk dapat memahami karikatur tersebut dalam konteks historis melalui telaah akademik maka penelitian ini didahului oleh studi awal mengenai Sejarah Politik Indonesia, Sejarah dan Biografi Soekarno, Sejafah Pers Indonesia, Sejarah dan referensi mengenai Seni Karikatur di Indonesia dan luar negeri serta referensi teoritis ilmu sosial, ilmu sejarah, dan ilmu budaya.
Dari penelitian yang dilakukan akhimya dapat disimpulkan bahwa karikatur yang terbit di Indonesia 1959-1967 memang mencerminkan adanya pemitosan dan perombakan mitos Soekarno dan ideologinya. Pada karikatur tersebut tergambar pelembagaan kekuasaan Soekarno dan kemudian kejatuhan citra Soekamo secara dramatik.
Pada karikatur yang terbit 1959-1965 ditemukan karikatur-karikatur yang mencitrakan Soekarno sebagai tokoh superhuman, penganyom yang bijak, tokoh perkasa dan energetik serta pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya. Sebaliknya, pada karikatur yang terbit 1966-1967 ditemukan penggambaran Soekamo sebagai manusia biasa yang berseragam kebesaran, ia terlihat tua, lemah, kesepian dan tak punya kekuasaan. Ia tidak lagi digambarkan sebagai orang kuat yang digdaya, tetapi sebagai manusia yang bersalah dan tak berdaya serta tidak bisa mernpertanggung jawabkan perbuatannya. Kontra mitos yang diungkapkan adalah Soekarno tidak pantas lagi memimpin.
Penelitian ini dilakukan dengan menelaah 1444 karikatur yang dipilih dari 14 surat kabar terkernuka Indonesia, yang terbit antara April 1959 sampai 1967. Tahap pertama adalah melakukan pengamatan umum atau 'overview' untuk mendapat kesan dan pesan-pesan yang terkandung dalam koleksi tersebut. Setelah itu terpilih 386 karikatur yang temanya sesuai dengan judul disertasi. Kumpulan karikatur ini ditabulasi untuk menganalisa kandungan tema, mitos, simbol dan ikon yang ada. Selanjutnya dipilih 44 karikatur yang dapat memperlihatkan perubahan terma dan gaya visual, sesuai dengan topik penelitian untuk dianalisa dan dimaknai lebih mendalam mernakai teori Barthes dan de Sausurre mengenai pemitosan melalui proses semiosis berlanjut.
Tahap akhir adalah memakai semua hasil tabulasi dan analisa tersebut untuk membuat kesimpulan akhir yang dapat menjawab pertanyaan penelitian. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah pemahaman Sejarah Nasional, Sejarah Karikatur dan Bidang Studi Seni Komunikasi.
Soekarno is a controversial Indonesian founding father inseparable from the history of freedom movement and the birth of the nation. He was already an outstanding political figure in his 20's, when he published his inspiring writings and delivered moving rhetorical speeches against the Dutch Colonialism. He also led a militant political movement for Indonesian independence in his late 20?s. Spending most of his 30's in prisons or in exile, his myths and charisma as revolutionary hero and messiah continued to grow among ordinary people and politician as well. The story and history (biography) of Soekamo were shrouded with myths of his superhuman power and legitimate destiny to free the country.
Soekarno's myths and charisma has support his leadership and placed him in the center of all decisive historical events during the revolution and after Indonesia has gained international recognition as a new republic. In the era of Guided Democracy, he declared a political decree to impose a balance power between three unlikely united political group in Indonesia which were the nationalist, the religion parties (mostly Moslem?s) and the communist. Despite opposition from the Army which never trusts the Communist party, Soekarno continues to tighten his political relation with the National Communist Party and International Communist-Socialist Block.
In September 30th, 1965 an attempt to take over the country was undertooked by a group of Communist party leader supported by a number of high ranking Armed Force officers and some armed battalions. This coup was successful in the initial stage of kidnapping and killing top Am|y?s officers (6 generals and 1 officers), but failed to brought the movement to the next stages. In a very short time alerted General Soeharto who was not in the target list, was able to consolidate remaining Armed Forces power and in the second day he has thoroughly secure the capital and all strategic telecommunications and other vital infrastmcture of the city. In the next step he secures the president and his aides, and without slight hesitation he banned the communist party activities, cmshed the organization and its affiliations and closed their media. In the following uncontrolled events, platoons of army were sent to the countryside. Supported by Islamic militia-group they search and captured many Communist party member or suspected communist activist throughout the country. In many cases the victim were killed without proper justice and legal process. in many studies, the death toll was estimated between 400.000 to 1.000.000.
After the fateful day, Soeharto was slowly stepping up to higher power and Soekamo was forced to face the growing negative opinion of his involvement in the coup attempt, and his other political an economical failure which bring down the country to continuous social and economic difficulties and instability. Through political pressure of the new Parliament and National Assembly, and because of consistence student demonstration on the streets of Jakarta, Soekamo slowly and painfully was loosing his myths and charisma, and his right to defend himself. Eventually he was ousted from the power and after Soeharto was inaugurated as the Acting President in March 1967, he was isolated from political scene until his death in 1970.
All the dramatic and dynamic successive political events was reported and recorded in the national newspaper published between 1959-1967. In a very specific and interesting way the historic events also captured and expressed in political caricatures published in the newspapers. These caricatures were form of communication which convey the messages of the time, shared- by the creator and the spectator alike. They were statement of emotions and opinions growed and developed in particular community about particular political and social events that happened in the history of the society.§They can serve as authentic historical artifacts for academic research.
The focus of this research was caricatures that conveyed messages which were related to the process of the myth making and the myth breaking of Soekamo. As a historic reminiscence, these caricatures has to be interpreted and understood in context with political background occurred in the time of the publication. Knowledge and reference of historical developments that happened in 1959-1967 were very important in the process of collecting, verifying and understanding of the research materials.
The definitions and fuction of myth used in this research are:
(1 ) Myth is a concept of truth and; a body of belief (Spencer, 1961).
(2) Myths functioned as a value system to established social justification system in a society (Campbell, 1988)
(3) As a form of communication, myth was formed through continuous process of switch of meaning that happened in a community because of semiotic process (Barthes and de Saussure, 1956)
The objective of the research were:
(1) To understand the way a caricature works in building a myth or breaking a myth, through example collected in the research.
(2) To understand the use of caricatures in the process of Soekarno's myth building and myth-breaking (process of creating his myths and his counter-myths).
(3) To understand the correlation between the pictorial style (visual language) and the message conveyed in the caricatures published between 1959-1967.
To be able to understand and describe these caricatures in historical contexts, the research was conducted based on studies of Indonesian Political History; History and Biography of Soekarno; History of Indonesian Joumalism and Historical reference about Indonesian and intemational caricatures.
The conclusion of this research is in depth understanding of the phenomena of myth-malring and myth-breaking in the history of tI1e rise and fall of Soekamo, observed through Caricatures which were published in 1959-1967. Between 1959-1965, while Soekarno is in the height of his power, he was often pictured as a superhuman, wise, powerful, affectionate and energetic leader loved by all. In these caricatures he also often appeared as a healthy and powerful leader younger than his real age. In the caricatures published between 1966(1967 Soekamo was often pictured as ordinary man in uniform, old, weak, helpless and lonely. He was no longer visualized as invincible leader, but as vulnerable human being, not free form mistakes and weakness and incapable to lead the country. His myths and charisma had gone and he was sized down to powerless person who lost his right to command.
The research was based on selected 1444 caricatures from 14 leading Indonesian newspaper published between April 1959 and March 1967. The first step of the research was a general overview of the 1444 caricatures, followed by further selection of 368 caricatures which more clearly related to the title of the research. The result was a tabulation of the myths, the symbols and the icons recognized in the caricatures. The next step was further selection of 44 caricatures, which were then analyzed and interpreted according to Barthes Theory of reading and deciphering myth through semiotic process. The final step was drawing conclusion and reflection by further analyzing and evaluating all the result of the research. It was hoped that the findings will contribute new insight to further understanding of Indonesian political history, the history of caricatures and the study of communication arts.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D852
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
I Gde Nyoman Arsana
"Hubungan sipil-militer di setiap negara berbeda satu sama lain karena adanya perbedaan latar belakan perkembangan bangsa, bentu negara, ideologi, dan falsafah negara, dan budaya bangsa. Jenis hubungan sipil-militer bervariasi mencerminkan ideologi poitik, orientasi-orientasi, dan struktur organisasi modern. Hubungan sipil-militer di Indonesia sejak 1945-1998 mengalami pasang surut sejalan dengan sikap politik penguasa pemerintah, sikap, dan solidaritas kaum militer pada periode yang bersangkutan.
Dwifungsi ABRI merupakan salah satu doktrin dasr bagi ABRI dalam melaksanakan tugasnya khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan sipil-militer. Doktrin ini secara evolusi mengalami perkembangan sejak awal revolusi 1945. Dwifungsi ABRI memperoleh roh dans emangatnya pada masa gerilya antara Desember 1948 sampai Juli 1949, dimana saat itu TNI bersama PDRI di Bukittinggi mempertahankan keberadaan Republik yang masih muda. Doktrin ini kemudian secara perlahan berkembang dari era Soedirman (1945-1949), era Nasution (1958) sampai dengan era Soeharto (1966-1988).
Soeharto sebagai pendiri Orde Baru telah berperan sentral dan memberi warna dan bentuk hubungan sipil-militer yang dilaksanakan dengan doktrin Dwifungsi ABRI karena dia menduduki posisi kunci sudut pandang tersebut dalam studi ini dilakukan kajian untuk mengenali sejauh mana Soeharto (agency) mempengaruhi produk-produk peraturan-peraturan (struktur) tentang kedudukan militer dalam Negara sampai kepada saat dimana terjadi dominasi militer dalam politik di Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Kajian ilmu sejarah yang menggunakan metodologi strukturis sebagai sebuah kajian yang mengedepankan bagaimana kuatnya pengaruh human agency yang memberi bentuk pada perubahan struktur yang berupa peraturan-peraturan tentang kedudukan militer dalam Negara RI. kajian ini menjabarkan periodesasi hubungan sipil-militer dalam tiga periode yaitu: (1) 1966-1975, disebut periode pengendalian militer dengan patner (memupuk kekuasaan), (2) 1976-1988, disebut periode pengendaliaan militer dengan patner, dan (3) 1988-1998, disebut periode pengendalian militer tanpa patner. Studi ini penting dilakukan sebagai salah satu upaya untuk memaknai kembali kedudukan militer yang demikian dominan selama lebih dari tiga dekade, pada saat mana Republik ini sedang dalam pencarian bentuk demokrai yang cocok bagi bangsa Indonesia yang berfalsafah pancasila. Hasil kajian ini diharapkan dapat menumbuhkan inspirasi bagi generasi penerus bangsa, agar dapat menundukkan militer pada posisinya yang tepat sesuai jiwa dan semangat UUD 1945 dalam NKRI yang menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai demokrasi.
Dengan menggunakan teori sipil-militer Samuel P. Huntington dengan merujuk kepada model The Continuum of Military in Politics dari Claude E. Welch dan konsep kekuasaan dalam mempengaruhi proses perumusan dan implementasi Dwifungsi ABRI, sedemikian jauh, luas dan mendalam sehingga berdampak pada intensitas sifat dan corak hubungan sipil-militer di Indonesia ; kedua, hubungan sipl militer di Indonesia dalam era Soeharto, merupakan salah satu varian Subjective CIvilan Control; ketiga, terdapat tiga perbedaan prinsip pandangan antara Nasution dengan Soeharto mengenai Dwifungsi ABRI yang disebabkan adanya beberapa faktor yang berpengaruh antara lain perbedaan latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman, dan cara pandang; keempat, Soeharto sangat dipengaruhi nilai-nilai budaya Jawa dalam pelaksanaan kekuasaan dan penerapan kepemimpinannya; dan kelima, Dwifungsi ABRI digugat karena adanya faktor-faktor dari luar dan dari dalam negeri, khususnya karena implementasinya yang demikian meluas dan mendalam, serta pemanfaatannya oleh Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya.

The relationships between civil and military varies in every country because of the difference of the nation's background, the shape ol the country, the ideology and philosophy, and the culture of the nation- The variation of civil-military relationships reflected the political ideology, orientations, and the modern structure of organization, The relationships of civil military in Indonesia since 1945 ~ 1998 went ups and downs in accordance to the political attitude of the ruling government, the attitude and solidity of the military community ln that period.
ABRI double-function is one of the doctrines of ABR! to lullil their duties especially in compliance with civil-military relationships. This doctrine developed evolutionary since the beginning of the 1945 revolution. ABRI double-function was motivated during the 'guerrila?s era", between December 1948 and July 1949, when TNI together with PDRI defended the existence of this new and young Republic, in Bukittinggi, West Sumatera. The doctrine then developed slowly in the era of Soedirman (1945-1949), the era of Nasution (1958), until the era of Soeharto (1966-1998).
Soeharto, as the founder of the New Order. played as the central role in shaping and colouring the civil-military relationships that acted upon the ABRI double-function doctrine, because Soeharto was in the key position as the President of Republic indonesia, as ABRI Commander-in-chief, and as a more than three period Mandatory of MPR Rl. From this point of view. this study is trying to analyze Soehands deeply influence in the products of regulations about the military position in the country until the military domination in politics in Indonesia for more than three decades.
The study of the history using structurist methodology was a study that brought up the strong influence of human agency that gave shape to the change of structure of regulations about the position of military in the Republic of Indonesia. This study explained the periodicity about the relationship between civil-military : (1) 1966-1975, as the period of military with partner { to strengthen power), (2) 1976-1988, still as the period of military with partner, (3) 1988-1998, as the period of military without partner. This important study has done as an effort to signify the military position that had been so dominant for more than three decades, while this Republic was looking for the come out best democratic system for the nation, as it has Pancasila as its philosophy. We hope this analysis will develop an inspiration to the young generation to put military in accurate position in accordance to the morale of UUD 1945 in NKRI that uphold law and democratic values.
With applying the theory of civil-military relationships of Samuel P. Huntington, and with references of The Continuum of Military Involvement in Politics model of Claude E.Wetch, the concept of power in Javanese tradition, and the concept of ABRI double- function, this analysis will uncover that : first, Soeharto was proved of having deep influence in the conception and in implementing the ABRI double-function, that influenced also the character and the pattern of civil-military relationships in Indonesia; second, civil-military retationships in Indonesia in the era of Soeharto, was a variant of Subjective Civilian Control; third, there were three principal different views between Nasution and Soeharto about ABRI double-function, because of some factor of influences e.g. different background of culture, educations, experiences, and mind set; forth, Soeharto was deeply influenced by Javanese cultural values in implementing his power and leadership; fifth, ABRI double-function was claimed because of internal and external factors, especially the wide and deep implementation to stand up for Soeharto's power.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
D747
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuke Ardhiati
"Arsitektur, tata ruang kota, interior dan kria karya Soekarno yang terbentang di seluruh wilayah Indonesia merupakan salah satu bentuk kekayaan intelektual Indonesia, dan sebagian besar telah menjadi simbol dari Soekarno, karena selain memiliki ?memori kolektif bangsa' yang merekam peristiwa-peristiwa unik, juga merupakan pintu bagi peradaban baru di bidang rancang bangun di Indonesia secara revolusioner.
Soekarno, telah berperan sentral dalam perubahan di bidang rancang bangun tersebut karena peranan uniknya sebagai negarawan sekaligus arsitek perancang. Melalui sudut pandang tersebut dalam disertasi ini dilakukan kajian untuk mengenali mentalite artistik Soekarno, yaitu sesuatu yang tidak kasat mata berupa alam bawah sadar dan perilaku otomatis yang mendorong tindakan Soekarno dalam merancang arsitektur. Mentalite tersebut muncul berupa peran, norma, interaksi, dan makna yang mencuat (emergent), yang tercermin melalui artefak peninggalannya berupa karya arsitektur, perancangan tata kota, interior dan kria.
Kajian ilmu sejarah yang mempergunakan metodologi strukturis sebagai sebuah kajian yang mengedepakankan hubungan dualisme simbiosis antara individu dan struktur dengan mengungkapkan mentalite seorang tokoh yang disebut agency. Kajian ini menjabarkan periodisasi karya Soekarno melalui tiga periode, yaitu (1) 1926-1945 disebut periode Murid Sang Profesor, (2) 1945-1959 disebut periode Sang Padma, Sang Arsitek, dan (3) 1959-1965 disebut periode Sang Arsitek Maestro. Kajian ini penting dilakukan sebagai salah satu upaya untuk memaknai kembali tokoh sejarah Soekarno dari sudut pandang yang khas, yang diharapkan dapat menumbuhkan inspirasi berkarya serta sumber ilham dalam proses artistik kreatif para praktisi di bidang arsitektur, perancangan tata kota, interior dan kria dengan basis spirit national pride dalam bentuk yang baru.
Dengan mempergunakan teori arsitektur yang merujuk kepada teori architecture as art and craft and technology dan semiotika bidang visual communication, dalam disertasi ini ditemukan antara lain, Pertama rumusan style rancangan Soekarno yang berupa "padu-padan" gaya, yang ditandai dengan (1) ekspresi arsitektur modern, (2) ekspresi ornamen organik padma dan linggayani, (3) eksplorasi budaya Jawa Kuria, (4) karya tunggal dan unik, dan (5) semangat seorang maestro yang konsisten. Kedua, representasi-diri Soekarno yang ditemukan melalui mode busana yang dikenakannya, berupa "padu-padan" gaya yang ditandai dengan (1) mode busana modern yang berupa kemeja, pantalon, jas dan dasi (2) penggunaan "peci" sebagai lambang kebangsaan. Ketiga, "terminologi arsitektural" dalam beberapa teks pidato Soekarno, membuktikan bahwa Soekarno menggunakan model arsitektural sebagai cara berpikir dalam pembangunan bangsa. Keempat, etis dan estetis karya arsitektur Soekarno dalam sejarah arsitektur, dan Kelima, berdasar temuan-temuan yang dikedepankan dalam kajian di atas disimpulkan bahwa mentalite Soekarno adalah mentalite arsitek seorang negarawan yang memiliki sifat yang khas: mencipta dan merancang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
D469
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anny Wantania
"Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai laut yang luas sehingga merupakan produsen ikan laut yang potensial. Salah satu wilayah produsen ikan laut yang potensial di Indonesia adalah Sulawesi Utara. Kotamadya Bitung merupakan wilayah penghasil ikan laut terbanyak dari aspek jumlah dan nilai produksi se-Sulut. Salah satu potensi perikanan yang dijadikan komoditi perdagangan di Kotamadya Bitung adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) sehingga dikenal sebagai Kota Cakalang. Penelitian tentang perdagangan ikan cakalang di Bitung relatif belum terjamah. Di sisi lain, penelitian tentang sejarah perekonomian Indonesia didominasi hasil perkebunan.
Masalah penelitian ini adalah perkembangan perdagangan ikan cakalang di Bitung, Sulawesi Utara periode tahun 1975 sampai dengan 2001. Secara lebih khusus, penelitian ini difokuskan pada dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap perdagangan ikan cakalang. Penentuan periodesasi itu adalah pada tahun 1975 dibentuknya Kotamadya Bitung dan 2001 adalah dua tahun pelaksanaan otonomi daerah yang menekankan pada desentralisasi pengelolaan potensi kelautan berdasarkan Undang-Undang No.22/1999. Dalam periode itu, kebijakan pemerintah dibagi dalam tiga karakteristik, yaitu kebijakan ekonomi sentralistik (1975-1982), liberalisasi ekonomi (1983-1999) dan otonomi daerah yang menekankan pada desentralisasi kelautan (1999- saat ini) Pertanyaan penelitiaan dalam disertasi ini adalah bagaimana dampak kebijakan pemerintah pada periode ekonomi sentralistik, liberalisasi ekonomi dan otonomi daerah terhadap dinamika perdagangan ikan cakalang di Kotamadya Bitung?
Kebijakan perdagangan perikanan menimbulkan dampak terhadap dinamika perdagangan ikan cakalang pada pada periode ekonomi sentralistik (1975-1982). Kebijakan merupakan intrumen pelestarian kekuasaan. Konteks periode ekonomi sentralistik yang meraup keuntungan adalah pedagang Cina, militer, dan pejabat biokrasi. PT. Perikani, sebagai contoh dikendalikan oleh aparat militer yang relevan sehingga sektor perikanan berada di bawah kontrol negara baik secara politik maupun ekonomi. Temuan itu semakin mendapatkan pembenaran dengan hadirnya perusahaan perikanan yang dikelola oleh Puskopal Armatim. Keterlibatan menimbulkan dampak yang positif dan negatif. Dampak yang ditimbulkan cenderung menguat kepada negatif, yaitu bisnis militer menjadi semakin monopolistik dan otoritarian.
Kemudian, kenyataan itu menimbulkan kesadaran baru untuk menetapkan kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pasar internasional. Keuntungan yang lebih besar akan diperoleh dan bisa menciptakan pemerataan hasil pembangunan. Kebijakan liberalisasi menimbulkan dampak negatif dan positif. Liberalisasi yang diterapkan dijadikan instrumen pelestarian kekuasaan politik oleh penguasa. Kondisi itu saya nyatakan liberalisasi yang berbasis pada pemerintahan pusat. Temuan penelitian saya berbeda dengan Mallarangeng (2002). Pendapatan regional yang tinggi tidak berbanding lurus dengan dana pembangunan yang diterima. Kondisi itu sering menimbulkan kekecewaan dan diekspresikan dalam bentuk kritik-kritik, resistensi simbolik, terselubung maupun yang fisik. Kenyataan itu membutuhkan perubahan orientasi perekonomian dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah. Temuan penelitian saya, liberalisasi yang berdampak positif dipertahankan sedangkan orientasinya berbasis di pemerintahan daerah.
Periode otonomi daerah berlangsung mulai 1999- 2001. Periode ini diawali dengan penetapan Undang-Undang No.22 Tabun 1999 tentang otonomi daerah. Esensi dari otonomi daerah itu sebenarnya penetapan kebijakan liberalisme yang dikendalikan oleh pemerintah daerah. Kebijakan itu berbeda dengan periode sebelumnya yang menerapkan kebijakan liberalisme ekonomi yang dikendalikan oleh pemerintah pusat.
PT. Perikani mengalami kebangkrutan di era otonomi daerah, karena perusahaan itu besar karena dukungan penguasa melalui kebijakan-kebijakan BUMN. Periode otonomi daerah menimbulkan konflik horisontal antarnelayan yang dipicu oleh konstruksi mereka tentang batas teritorial mencari ikan yang dimantapkan dengan mitos Toar dan Limumuut, belum jelasnya undang-undang yang mengatur pembagian hasil kekayaan sumber daya alam, dan ketidakjelasan aturan antara kewenangan pemerintah pusat dan daerah tentang otonomi. Pada periode ini perdagangan perikanan meningkat karena didukung penetapan Bitung sebagai KAPET dan pelabuhan internasional. Perdagangan ikan cakalang memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi regional, tenaga kerja, dan pemenuhan kebutuhan protein."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
D482
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>