Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Trilaksana
"Pembangunan Pertanian mulai dilaksanakan sejak tahun 1969 bersamaan dengan pelaksanaan Repelita I. Pembangunan pertanian dilaksanakan dengan adanya gerakan Revolusi Hijau, dimana di Indonesia pelaksanaan Revolusi Hijau itu lebih dikenal dengan gerakan Bimas yang berintikan tiga komponen pokok yang meliputi; pertama, penerapan teknologi baru pertanian yang dikemas dalam pelaksanaan program Panca Usaha Tani dalam proses produksi yang harus dilakukan oleh para petani untuk meningkatkan hasil pertaniannya, kedua, kebijakan harga yang ,dilakukan oleh pemerintah baik yang berupa kebijakan harga untuk saprodi maupun harga hasil produksi (harga dasar gabah), ketiga, kebijakan untuk memberikan kredit yang lunak untuk membantu para. petani mendapatkan saprodi yang di perlukan dan juga pembangunan sarana dan prasarana produksi terutama di daerah pedesaan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan dan penerapan teknologi pertanian yang dikemas dalam program Panca Usaha Tani ini dan adanya perubahan dalam sistem penyakapan tanah atau sistem bagi hasil di Kabupaten Ponorogo.
Pelaksanaan program Bimas memang secara nyata telah berhasil untuk meningkatkan hasil produksi pertanian terutama padi, dimana dengan pelaksanaan program Panca Usaha Tani tersebut telah membawa negara Indonesia berswasembada pangan pada tahun 1984. Namun demikian penerapan teknologi pertanian baru yang berupa penerapan Panca Usaha Tani itu ternyata juga banyak membawa akibat yang kurang menguntungkan terutama bagi petani kecil yang hanya memiliki lahan sempit atau petani yang tidak mempunyai lahan sama sekali yang pada umumnya sebagai petani penggarap bagi hasil. Hal ini disebabkan karena ternyata teknologi pertanian baru itu semuanya harus dibeli, baik bibit unggul, pupuk maupun obat﷓obatan kimiawi yang harganya relatif cukup mahal. Penerapan teknologi pertanian baru juga telah membawa perubahan cara bertani yang tradisional, dan menggeser adanya kerja gotong-royong, sistem panenan dari pemberian bawon ke sistem tebasan yang semuanya lebih bersifat rasional dan ekonomis.
Penerapan teknologi baru pertanian juga telah mengakibatkan semakin bergesernya fungsi, arti serta nilai awal yang terkandung dalam sistem penyakapan tanah, yang pada mulanya lebih bersifat untuk menjaga harmoni sosial desa, dengan cara saling membantu antara petani kaya dengan petani miskin yang tidak berlahan atau berlahan sempit yang berperan sebagai petani penggarap. Sistem penyakapan bagi hasil yang mencerminkan adanya hubungan yang saling membantu yang terlihat dalam sistem bagi hasil maro dengan hak dan kewajiban yang sama antara pemilik tanah dan penggarap telah berubah menjadi sangat bervariasi sekali. Di kabupaten Ponorogo sistem penyakapan tanah dengan pola maro itu setelah diterapkannya teknologi pertanian baru telah banyak yang bergeser menjadi sistem bagi hasil dengan pola mertelu atau mrapat yang cenderung sangat merugikan petani penggarap. Hal itu disebabkan karena para petani penyakap tersebut merasa tidak mampu lagi untuk berperan serta dalam membiayai proses produksi pertanian yang semakin mahal. Oleh karena itu para petani kaya pada saat sekarang dianggap kikir, karena segala sesuatunya serba dipertimbangkan secara rasional dan ekonomis bukan berdasarkan pertimbangan sosial lagi.
Untuk meningkakan kesejahteraannya, maka banyak dari anggota keluarga petani miskin yang lahannya sangat sempit dan petani penyakap kemudian melakukan migrasi keluar negeri dengan menjadi Tenaga Kerja di luar negeri (baik TKI maupun TKW), yang kemudian dengan modal yang diperolehnya mereka akan membuka usaha diluar sektor pertanian, misalnya; membuka toko makanan, menjadi pedagang gabah, pedagang ayam, membeli mobil omprengan baik mobil angkutan barang maupun angkutan penumpang umum, membuka wartel, membuka bengkel, membuka usaha penggergajian, membuka usaha penggilingan padi dan wiraswasta industri rumah lainnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T10937
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Wasith Albar
"Munculnya industri rokok kretek di Kudus dapat dikatakan telah muncul pada pertengahan abad ke-19 (1870) yaitu ditandai dengan hasil penemuan ramuan dari H. Djamhari. Rainuan yang pada awalnya hanya dimaksudkan untuk mengobali penyakit dadanya yang sudah menahun, dengan cara mengolesi dadanya dengan minyak cengkeh yang berhasil dibuatnya. Kesehatan H Djamhari lebih membaik lagi ketika mencoba menyembuhkan penyakitnya dengan mengunyah cengkeh. Secara mengejutkan informasi tenting diketemukannya sebuah ramuan yang dapat mengobati penyakit dada menyebar ke tengahtengah masyarakat dan akhirnya diminati banyak kalangan dalam masyarakat atas saran para anggota keluarga dan para kenalannya, H Djamhari mulai memproduksi hasil ramuannya secara massal untuk komersialisasi.
Bentuk produksi massal hasil ramuan obat H Djamhari yaitu dengan mempertimbangkan kepraktisan dan ketahanan agar hasil ramuannya dapat dinikmati sebagai obat dimanapun mereka parapemakai ingin menikmalinya. H. Djamhari berhasil menemukan sebuah cara dengan memproduksinya yaitu dengan merajang cengkeh secara halos dan mencampiunya dengan tembakau tmtuk dijadikan rokok Hasi`1 I oduksi semacam ini, akan Ieblh memudahkan dan memberikan keralanatan tersendiri bagi peminatnya dan asap rokok cengkeh (kretek) tersebut, juga akan lebih mudah dapat masuk ke dalam tenggorokan hingga ke paru-paru.
Setelah hasil ramuan obat H. Djamhari diproduksi secara macsal wrtuk diperdagangkan dan mendatangkan keuntungan Berta kesuksesan, men buat sebagian anggota masyarakat lainnya baik dari kalangan pribumi dan non-pnbumi-ingin mengikuti jejak dan membuat produksi serupa. Misalnya, dari kalangan pribumi lain Nasilah-M Nitisemito (1908), Atnzowidjojo bin Tmenodiwongso (1913), H.M. Ashadie Atrno (1914), Moectadi-menantu Almo (1926), H. Ali Asikin (1926), HM Moeslich (1927), Nadliroen Alma (1927), Rusdi Atmo (1927), H Ma'roef Roesjdi (1937), Mc. Wartono (1949), dan lain-lainnya. Sedangkan dari kalangan non-pnbumi tercatat dari kelompok NV. Trio/Maeda (1918), Nojorono (1932), dan Djaroem (1951).
Pertumbuhan dari perkembangan industri rokok kretek di Kudus didalam perjalanannya, kalangan pribumi mendapatkan pesaing dari kalangan. non pnbumi, baikl di Kudus sendiri maupun dari wilayah Timur Jawa yaitu Surabaya, Malang dan Kediri. Dimana wilayah tersebut pada awalnya, merupakan pasar terbesar bagi industri rokok kretek Kudus. Ekspansi industriawan rokok kretek Kudus ke wilayah Barat Jawa, mendapatkan saingan dari penisahaan rokok di Semarang, Cirebon , dan di Batavia.
Pada akhirya mereka dan kalangan industriawan rokok kretek pribumi di Kudus, hanya mampu sebagai penemu (inventor), hum sebagai pengembang menjadi patens (continuation, sequel atau resumption) dari hasil jerih payah mereka sebagi penemu awal. Namun, sebaliknya dari kalangan non priburni (Cina) yang datang belakangan sekitar tahun 1932 (Nojorono), semakin dapat mendasari produksi dan industri rokok kretek di Kudus. Artinya, Pengusaha pribumi memang pada awalanya sebagai `promoters", selanjutnya menjadi "parasites". Sedangkan etnis Cina dari "pariah" menjadi "paragon"."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11913
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeni Wijayanti
"Masagung is one of success Chinese enterpreuner. Beginning from sate brother's books untii have a big company and foundations. People didn't suppose that Masagung only educated until fifth class of elementary school. Nevertheless, Masagung was not hopeless. He always try to get a better life.
Masagung has done much work, sold books, be acrobat, said cigarettes on the road, and then had a company that called "Gunung Agung". For the first, Gunung Agung sold cigarettes, books, stationery, and publishing. Masagung expand his business such as having duty free, money changer, hotel and etc. Masagung's successful in his business because of his enterpreunership, consciousness to get better life, courage in speculation to open other business, keep connection with the important person in the government. Masagung also can adapt with a new government and new policy.
After Masagung to be a Moslem, he established Masagung Foundation, inside that bookshop Wali Songo, Islamic Centre, and Wali Songo Project or Islamic Fragnant Project."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Indrahti
"Perkembangan industri kerajinan ukir di Jepara tahun 1945 - 2001 memberikan pengaruh pada orientasi aktivitas ekonomi masyarakatnya. Terutama setelah terjadinya promosi pemasaran pada pesanan internasional pada sekitar periode tahun 1980-an. Industri kerajinan ukir telah menjadi mata pencaharian utama masyarakat Jepara meskipun pemanfaatan laharnya lebih banyak pada bidang pertanian. Kemampuan menampung angkatan kerja yang ada sebanding dengan semakin meningkatnya angka eksportir. Menandakan bahwa dari segi kuantitas tampak bahwa industri kerajinan ukir mengalami perkembangan yang pesat terutama setelah datangnya eksportir ke daerah produsen (Jepara). Upaya antisipasi perlu dilakukan rnenyangkut hak paten, ketersediaan bahan-bahan dasar untuk produksi, keterampilan tenaga kerja serta jaringan pemasaran yang memadai.
Pendekatan historis pada penelitian ini digunakan untuk memahami perkembangan industri kerajinan seni ukir Jepara tahun 1945 - 2001. pendekatan historis ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang berbagai kondisi yang melatarbelakangi proses perkembangan itu sendiri, serta dampak dari perkembangan bagi masyarakat pendukungnya secara khsus dan umum.
Pada periode tahun 1945 - 1979, perkembangan kerajinan ukir masih dalam lingkup lokal, terutama untuk memenuhi permintaan pasaran dalam negeri. Hal ini disebabkan keterbatasan modal, promosi serta jaringan pema saran. Wilayah kecamatan yang ada di kabupalen Jepara, hanya tiga kecamatan yaitu Tahunan, Jepara dan Batealit yang menjadi aktivitas kerajinan ukir.
Ketiga kecamatan tersebut menjadi tempat memproduksi kerajinan ukir sekaligus memasarkannya. Pada tahun 1980 - 1990 terjadi pertambahan wilayah produksi yang hampir merata pada seluruh kecamatan yang ada di kabupaten Jepara. Perkembangan ini juga ditandai dengan semakin berperannya eksportir dan PMA. Lonjakan perkembangan sangat cepat pada periode tahun 1991 - 2001, terutama akibat krisis moneter. Peningkatan jumlah eksportir dan PMA diikuti dengan peningkatan jumlah volume dan nilai ekspor. Keberhasilan ini berpengaruh dalam nilai total ekspor di Jawa Tengah.
Upaya menumbuhkan mitra kerja antara PMA dan pengusaha lokal di lakukan oleh pemda dan masyarakat, dengan strategi, PMA yang melakukan aktivitas produksi di Jepara harus mematuhi peraturan yang telah ditetapkan. Pengusaha lokal meningkatkan sikap yang lebih aktif untuk mengambil peluang-peluang yang ada terutama alih teknologi, promosi dan pema saran Dari segi modal, keterampilan, teknologi serta desain maka dapat dikatakan bahwa PMA mempunyai keunggulan dibanding dengan pengusaha lokal. Di sisi lain pengusaha lokal juga menguasai keterampilan di bidang pengembangan keterampilan ukir. Kedua kelebihan tersebut apabila dipadukan, maka dapat menghasilkan mitra usaha yang baik.

The development of carving industry in Jepara 1945 - 2001 influenced the orientation of economic activities of the local society. Especially, after marketing promotion, international orders increased in 1980-s period. Carving industry had been the main work of Jepara society although agriculture used more lands. The capacity of receiving workers was in line with the increase of export rate. Quantitatively, it seemed that carving industry developed rapidly especially after the exporters had come to the producers' area, Jepara. To anticipate the development, it is necessary to handle copyrights, raw material supplies, workers' skill, and marketing networks.
Historical method used in this research is to understand the development of carving art in Jepara 1945 - 2001. By using this method it is expected to give a comprehensive understanding on several conditions that had been the background of the development process itself, and the impact of the development on the supporting society in part and in general.
In 1945 - 1979 periods, the development of carving industry was still in the local scope, especially to fulfill domestic orders. It was caused by the limited capital, promotion and marketing network. The carving activities in Jepara Regency were held only in three sub-districts -Tahunan, Jepara and Batealit.
In 1980 - 1990 periods, the production areas extended to all sub-districts of Jepara Regency. It was also signed by the participation of exporters and foreign investments. The development increased rapidly in 1991 - 2001 because of monetary crisis. The quantitative increase of exporters and foreign investments implicated to the quantitative increase of export volumes and values. This success influenced on the total export values in Central Java.
In order to develop join venture between foreign investment and local businessmen was done by the local govemment and society. E.g., the foreign investors who hold production activities in Jepara should obey the given rules. The local businessmen should increase their business manner more actively to take opportunities such as technology, promotion, and marketing. In dealing with captal, skill, technology, and design, it could be concluded that the foreign investors had more superior qualities than those of local businessmen did. On the other hand, the local businessmen had good skills of carving. lf both of the excellent qualities unite, they will be a good join venture."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T3095
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shanty Setyawati
"Pasang Surut Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936. Penelitian bertujuan mencari faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, stagnasi dan kemunduran industri perikanan Bagansiapiapi. Analisa penelitian ditempatkan dalam kerangka kausalitas atau keterkaitan sebab-akibat antar peristiwa. Selama kurun waktu 1898 sampai 1936, industri perikanan Bagansiapiapi mengalami pasang surut. Pertumbuhan, stagnasi dan kemunduran dipengaruhi oleh keadaan muara Sungai Rokan, ketersediaan dan harga garam, ketersediaan modal, keadaan pasar dan tingkat permintaan di Jawa. Industri perikanan Bagansiapiapi mengalami pertumbuhan pesat pada tahun 1898-1909 karena kekayaan ikan dan udang di muara Sungai Rokan, tersedia garam murah, modal yang cukup dan pasar yang besar dan terbuka yaitu Jawa. Pada tahun 1910-1919 ekspor ikan kering mengalami stagnasi disebabkan tangkapan ikan berkurang karena pendangkalan di muara Sungai Rokan, kenaikan harga garam dan pachter memperketat pinjaman. Ekspor terasi meningkat tapi harga turun karena dicampur dengan tepung sagu. Pada tahun 1920-1930 secara umum industri perikanan mengalami pertumbuhan. Ekpor terasi meningkat karena penangkapan udang meningkat sedangkan ekspor ikan tetap stagnan. Pedangkalan tidak menyebabkan jumlah udang berkurang. Ekspor kulit udang dan isi perut ikan meningkat tajam karena permintaan meningkat. Pada tahun 1920 pemerintah menghapus pacht dan menunjuk sebuah perusahaan di Bagansiapiapi untuk mendistribusikan garam dengan harga tetap. Kebijakan pemerintah menstabilkan harga garam membuat industri perikanan Bagansiapiapi bisa mempertahankan ekspor. Pemerintah mendirikan bank yang memberi pinjaman dengan bunga rendah. Untuk mencegah harga ikan jatuh, para pedagang ikan membentuk sebuah organisasi untuk mengatur ekspor ikan ke Jawa dan mendirikan kantor pemasaran di Batavia. Sebagai dampak dari krisis ekonomi dunia, industri perikanan Bagansiapiapi mengalami kemunduran. Mulai tahun 1931 sampai 1936 ekspor ikan kering, terasi dan udang kering mengalami penurunan tajam karena kenaikan harga garam dan bank mengurangi pemberian kredit. Harga ikan dan terasi di Jawa mengalami penurunan karena daya beli penduduk Jawa menurun. Pada tahun 1932 dan 1933 ekspor ikan meningkat karena hasil tangkapan nelayan meningkat setelah menggunakan alat tangkap yang disebut cici. Ekspor terasi terus menurun karena nelayan udang memilih menangkap ikan. Untuk membantu nelayan membeli garam, pemerintah membentuk visscherijfonds dengan memberikan pinjaman.

The Up and Down of the Fishing Industry of Bagansiapiapi 1898-1936. This research aims to find factors that control the growth, stagnation and set back of Bagansiapiapi fishing industry using the causality analysis or the cause and effect correlation of events. Between 1898 and 1936, the the fishing industry of Bagansiapiapi experienced the up and down of export. The growth, stagnation and set back controlled by the condition of the estuary of Rokan river, the supply and the price of salt, the availability of capital, the condition of market and demand in Jawa. The fishing industry of Bagansiapiapi experienced rapid growth in 1898 and 1909 due to the richness of fish and shrimp in Rokan river estuary, cheap salt, high investment and big and open market in Jawa. In the years of 1910-1919, export of dried fish was stagnant due to sedimentation in Rokan river estuary, high price of salt and reduction of credit by pachter. Export of terasi increased but the price felled because terasi was mixed with sago flour. In general in 1920-1930 the fishing industry experienced growth. Export of terasi increased because the catch of shrimp was raised but the export of dried fish was remaining stagnant. The sedimentation did not decrease the amount of shrimp. The export of shrimp-waste and fish-refuse increased. The government abolished pacht in 1920 and appointed a company in Bagansiapiapi to distributed salt in fixed price. This policy enabled the fishing industry to sustain its export. The government established a bank that granted low rent credit. To prevent the reduction of price, the fish dealer established an organization which regulates the export of dried fish and opened a sales agent in Batavia. As the effect of world economic crisis, the fishing industry of Bagansiapiapi experienced set back. From 1931 to 1936 the export of dried fish, terasi and dried shrimp decreased because of the high price of salt and bank reduced its credit. The price of dried fish and terasi in Jawa sank because the purchasing power of Jawa reduced. In 1932 and 1933 the export of dried fish increased because the increase of catch since the fishermen used cici. The export of terasi remaining decreased because the fishermen prefer to catch fish over shrimp. To help the fishermen bought salt, the government established visscherijfonds which grants loan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
T24622
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Sumardiati
"ABSTRAK
Beberapa studi tentang nelayan pada umumnya selalu dikaitkan dengan masalah kemiskinan, artinya nelayan identik dengan kemiskinan. Kondisi ini nampak pada kehidupan nelayan, terutama pada masa sebelum adanya modernisasi. Pada masa itu tingkat pendapatan nelayan masih rendah, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila nelayan di Muncar mudah terjerat hutang kepada pengambak ataupun juragan darat guna memenuhi kebutuhan hidupnya maupun untuk bekal melaut. Kehidupan semacam itu diperparah dengan adanya sifat-sifat hidup boros. Keadaan ini disebabkan adanya image masyarakat nelayan yang percaya bahwa "esok pasti ada ikan". Artinya meskipun sekarang uang dihabiskan, tetapi dengan pergi melaut mereka pasti mendapatkan penghasilan lagi.
Para pengambak maupun juragan darat pemberi pinjaman umumnya terdiri dari orang-orang kaya pemilik modal. Mereka memberi pinjaman dan nelayan akan menjual hasil tangkapannya kepada mereka dengan harga yang ditentukan oleh para pemberi pinjaman tersebut. Karena merasa telah dibantu, yang berarti telah "berhutang budi" maka para nelayan menerima saja kenyataan tersebut. Dengan demikian maka para nelayan menjadi memiliki ketergantungan yang berkepanjangan, sehingga sulit bagi para. nelayan membebaskan diri dari lingkaran hutang piutang.
Pada masa tahun 1960-an hasil produksi per unit alat tangkap rata-rata mencapai 4 kwintal. Hal ini tentu saja sangat kecil, dibandingkan dengan potensi ikan diperairan Muncar yang melimpah.
Keadaan semacam itu telah mendorong timbulnya ide melakukan modernisasi alat tangkap, berupa unit jaring purse seine. Tahap awal diberikan oleh pihak Pemda Tingkat II Banyuwangi sebanyak 7 unit Kehadiran unit alat tangkap baru ternyata telah menimbulkan sifat-sifat iri hati dan kecemburuan sebagian para. pengambak dan juragan darat yang selama ini merupakan patron nelayan. Kemudian mereka melakukan provokasi kepada para nelayan untuk melakukan gerakan penolakan terhadap unit alat tangkap baru tersebut. Karena gerakan penolakan tersebut tidak diperhatikan, akhirya para nelayan tersebut melakukan kerusuhan-kerusuhan dengan melakukan pembakaran jaring dan kapal yang ada disepanjang pantai. Gerakan itu dilakukan pada tanggal 30 September 1974, pukul 06.00. Seorang penanggu.ng jawab unit alat tangkap bernama Mursid mengalami cedera.
Akibatnya muncul adanya spekulasi tentang penyebab atau pendorong timbulnya kerusuhan tersebut. Hal ini guna mendengar langsung faktor-faktor yang mendorong terjadinya kerusuhan.
Setelah dipahami bahwa kerusuhan yang terjadi disebabkan oleh perasaan iri hati dan kecemburuan sosial maka Gubernur Jawa Timur memberikan bantuan kredit sebanyak 50 unit alat tangkap purse seine, yang diberikan dalam tiga tahap. Tahap pertama 20 unit, tahap kedua 10 unit dan tahap ketiga 20 unit.
Adanya bantuan kredit telah meningkatkan produksi nelayan. Setiap unit alat tangkap purse seine dengan awak kapal sebanyak 15 orang menghasilkan tangkapan sebanyak 1,36 ton per hari. Alat tangkap tersebut juga mendorong ikan tetap segar sampai ke darat sehingga harga juga relatif naik.
Dari segi produksi terjadi peningkatan pendapatan, akan tetapi apabila di amati lebih lanjut, telah terjadi perbedaan pendapat yang cukup besar antara juragan darat dengan alat tangkap modern dengan juragan darat alat tradisional. juga terjadi kesenjangan pendapatan antara pandega dengan juragan darat. Hal ini telah menunjukkan bahwa adanya alat tangkap modern, akumulasi kekayaan menumpuk pada kelompok kecil masyarakat. Artinya modernisasi yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nelayan secara merata tidak terwujud.
Kelompok pemilik modal mengalami peningkatan pendapatan yang cukup besar, akan tetapi para nelayan pekerja (pandega) yang jumlahnya cukup besar justru tidak dapat menikmati manfaat modernisasi tersebut.

ABSTRACT
Some studies of fishermen are always connected with the poverty, this means that the fishermen indicates with the poverty. This condition appears in their life, mainly in the time where the modernization had not been occurred. At that time, the fishermen's income was low, the they could not fulfill their daily need. Therefore, no wonder that the Muncar fishermen was easy to have debts to "pengambak" or "juragan darat". This kind of life was getting worse because they were wasteful also. This was caused by their thinking that tomorrow, there were fish. This meant that even though they used all of their money, but by going to the sea, they could get additional income.
"Pengambak" or "juragan darat" who lend money, generally were the rich who had capital. They would lend money and the fishermen had to sell their fish to them with the cost which they had had determined. Because the fishermen supposed that they had helped them, they received this fact. So the fishermen depended on them, and it was difficult to get free from this debt circle.
In 1960s, the production result per catching tool unit for average was 400 kg. This was surely little, comparing with the fish potential in the Muncar waters.
This condition encouraged the modernization in the catching tool, that was purse seine. The first step, the Pemda Banyuwangi gave 7 units. The "pangambak" and "juragan darat' were envy because of this. Then, they provoked the fishermen to refuse that new catching tool unit. Because the government ignored this movement, then they made some riot . This riot was burning seine and ships which were along the beach. This movement was done on September 30, 1974, at 06.00. Mursid one of the persons who was responsible for this tools was hurt.
Consequently, it emerged speculation concerning the cause of this riot _ This caused the Governor of East Java went to the location to know supporting factors of this mess.
After knowing that the mess was caused by the envy and social jealousy, the East Java Governor then gave loan assistance for about 50 units of purse seine catching tools, which were given in three steps. The first step was 20 units, the second step was 10 units and the last step was 20 units.
This loan assistance increased the fishermen production. Every purse seine catching tool with 15 fishermen could get 136 ton per day. This tool kept the fish still in the fresh condition until getting to the land so the price was getting higher.
From the production side, their income increased but if it was observed further, there was a great different opinion between .the 'juragan darat' with traditional tools and they with the modem ones. This showed that the richness accumulation was getting on this minor group of society. This meant that the modernization which was expected to be able to increase the fishermen income could not be developed.
The capital owners got improvement in their income, but the working fishermen who were big in numbers, could not taste the modernization.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abrar
"Transportasi mempunyai fungsi yang sangat penting dalam segala aktivitas kehidupan rnanusia. Ada berbagai macam jcnis iransportasi dalain icalitas kehidupan manusia. Salah satunya yang diperkenalkan pemerintahan kolonial Belanda dalam kehidupan masyarakat Sumatra Barat adalah kereta api.
Adanya transporiasi keiela api ui Sumatra Barat yang sebelumnya hanya nicngenal jenis alat angkut tradisional, tentu mcmbawa pengaruh tertentu terhadap aktivitas kchidupaii masyarakat Sumatra Barat. Oleh karena itu ada dua pokok permasalahan yang perlu dicari jawabannya dalam penelitian ini, yaitu: Pertama, bagaimana proses dan perkembangan pembangunan jalan kereta api di Sumatra Barat? Kedua, bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Sumatra Barat? Untuk mendapatkan pemahamafi secaia baik pennasalahan ini digunakan teori inovasi sebagaimana diungkapkan Marcel Clement dan teori perkembangan ekonomi seperti yang dijcWf.*m Liudblad. Penelitian ini menempuh tahapan sesuai metode sejarah yaitu, heuristik, kritik, interpretasi dan penulisan. Data-data yang digunakan terdiri dari data primer dan sektmder. Data primer meliputi arsip, dokumen, koran, majalah sezaman. Sedangfcan data sekunder terdiri dari buku-buku dan artikel.
Angkutan kereta api iiu scmiiri muncul tidak bisa dilepaskan dari potensi ekonomi yang terdapat di Sumatra Barat. Potensi yang terdapat di wilayah ini tidak saja karena adanya batu bara yang dibutuhkan pada masa itu untuk dunia pelayaran, tetapi juga disebabkan hasil pertanian yang tumbuh menjadi komoditi ekspor. Faktor lainnya yang mempercepat dibangunnya jaringan. laiu lintas kereta api itu adalah kondisi lalu lintas di Sumatra Barat yang masih sederhana dan ditemukannya teknologi kereta api pegunungan. Jalan raya yang ada kurang menguntungkan untuk kepentingan perdagartgan, karena barang-barang yang diperdagangkan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai ke kota Padang sebagai basis ekspor pemerintahan kolonial Belanda.
Dalam membangun jaringan lalu lintas kereta api di Sumatra Barat, dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama tahun 1887-1896 yang mempakan tahap utama dari seluruh rute jaringan lalu lintas kereta api Sumatra Barat. Pada tahap ini pembangunan tertuju kc daerah darek (pedalaman). Tahap kedua tahun 1906-1924 yang dalam pembangunannya merupakan rute tambahan sebagai akibat munculnya sentra ekonomi baru, selain sentra yang telah ada pada tahap pertama, Pembangunan dilaksanakan dengan memberikan kompensasi ganti rugi tanah terhadap tanah rakyat yang digunakan.
Sampai tahun 1910 pemanfaatan angkutan kereta api belum menunjukkan hasil yang maksimal. Setelah itu sejalan dengan makin meningkaifwa jumlan barang yang di ekspor ke pasaran internasional maupun di impor ke pasaran regional
Sumatra Barat dan tingginya mobilhas penduduk yang nampak dari jumlah barang dan penumpang yang dibawa, fungsi ekonomi transportasi kereta api ini meningkat
pesat.
Sejak adanya angkutan kereta api semakin banyak para pemilik modal yang mengembangkan usahanya di Sumatra Barat. Mereka di samping membuka usaha perkebunan, adajuga yang membuka usaha tambang dan pabrik. Kedatangan para investor tersebut ikut mempengaruhi rneningkatnya jumlah ekspor dan impor, juga membuka kesempatan dan lapangan kerja bagi penduduk. Meskipun para pekerja umumnya bekerja sebagai kuli, yang jelas jumlah pekerja meningkat dari waktu ke waktu.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Midawati
"Dalam banyak tulisan tentang Revolusi Hijau selalu dikatakan bahwa Revolusi Hijau telah memarginalisasi perempuan dari pertanian terutama di Jawa. Tulisan ini bermaksud bahwa di daerah tertentu tidak terjadi peminggiran perempuan dari pertanian. Sebagai contoh di Nagari Batuhampar di Sumatera Barat terjadi peningkatan peran perempuan di pertanian pada masa Revolusi Hijau. Untuk melihat peran perempuan di pertanian pada masa Revolusi Hijau menurut Palmer bisa dilihat dalam beberapa hal:
1. Kelas-kelas sosial perempuan.
2. Intensitas kerja untuk penanaman pada kondisi yang telah ada sebelumnya.
3. Persaratan teknis yang objektif dari metoda yang baru (tanaman yang baru)
4. Pembagian kerja secara seksual
5. Bentuk-bentuk mekanisasi yang diperkenalkannya.
Penulisan ini mengaitkan sistem kekerabatan matrilinial yang dianut masyarakat dan budaya merantau. Berdasarkan kerangka pemikiran itu penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa perempuan di Batuhampar tidak tersingkir pada masa Revolusi Hijau bahkan terjadi peningkatan peranan mereka baik dari segi intensitas kerja maupun dalam pendapatan. Penelitian ini, selain menggunakan data kuantitatif juga menggunakan wawancara naratif untuk memperoleh "life history" dari petani itu sendiri, yaitu bagaimana pengalaman, kegembiraan yang mereka rasakan pada saat bekerja."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T4301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library