Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ivan Ghifari Sigit
Abstrak :
Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi menyebabkan perusahaan asuransi menjual produknya (polis asuransi) secara digital. Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana menerapkan prinsip itikad baik dalam proses penutupan asuransi berbasis digital, bagaimana melindungi tertanggung jika terjadi sengketa klaim dalam perjanjian asuransi berbasis digital, dan permasalahan hukum apa saja yang terjadi. dalam asuransi berbasis digital. Dalam membahas materi pokok, penulis menggunakan metode penelitian yuridis - normatif dengan analisis data kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penerapan prinsip itikad baik yang paling baik dalam asuransi berbasis digital dilakukan sejak tertanggung melakukan registrasi pada aplikasi asuransi secara digital dan tertanggung wajib mengungkapkan seluruh informasi yang terkait dengan objek asuransi dan mengikuti setiap tahap aplikasi asuransi secara digital. Perlindungan hukum bagi tertanggung atas asuransi berbasis digital dalam hal terjadi sengketa klaim telah diberikan dan diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, bahwa penanggung wajib menangani klaim melalui proses yang cepat, sederhana, terjangkau, dan adil. Selanjutnya Pasal 18 POJK Nomor 23 / POJK.05 / 2015 yang memberikan pilihan kepada Tertanggung untuk memilih lembaga penyelesaian sengketa di pengadilan atau di luar pengadilan, dan tidak membatasi pemilihan pengadilan hanya pada pengadilan negeri tempat perusahaan asuransi berselisih. resolusi melalui pengadilan. Kemudian permasalahan hukum pada asuransi berbasis digital terkait dengan masih adanya kewajiban penanggung untuk memberikan ringkasan polis dalam bentuk hardcopy kepada tertanggung, penerapan customer due diligence pada asuransi jiwa digital yang masih sulit dilakukan apabila yang diasuransikan adalah pemilik manfaat, dan penjualan produk asuransi secara digital oleh aggregator insurance yang belum terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. ......The rapid development of technology and information causes insurance companies to sell their products (insurance policies) digitally. The main problem in this research is how to apply the principles of good faith in the digital-based insurance closing process, how to protect the insured in the event of a claim dispute in a digital-based insurance agreement, and what legal problems occur. in digital based insurance. In discussing the subject matter, the author uses juridical - normative research methods with qualitative data analysis. The results of the study concluded that the best application of the principle of good faith in digital-based insurance is carried out since the insured registers the insurance application digitally and the insured must disclose all information related to the object of insurance and follow each stage of the insurance application digitally. Legal protection for the insured for digital-based insurance in the event of a claim dispute has been provided and is regulated in Article 31 paragraph (3) of Law no. 40 of 2014 concerning Insurance, that insurers are required to handle claims through a fast, simple, affordable, and fair process. Furthermore, Article 18 POJK Number 23 / POJK.05 / 2015 which gives the Insured the option to choose a dispute resolution institution in court or outside the court, and does not limit court elections to only district courts where the insurance company disputes. resolution through court. Then the legal problems in digital-based insurance are related to the insurer still having the obligation to provide a hardcopy of the policy summary to the insured, the application of customer due diligence in digital life insurance which is still difficult to do if the insured is the beneficial owner, and the sale of insurance products digitally by the aggregator insurance that has not been registered with the Financial Services Authority.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lalita Amalia
Abstrak :
Indonesia adalah negara dengan tingkat risiko tertinggi, hal ini menyebabkan Indonesia mengeluarkan kerugian yang sangat besar dari Indonesia risiko yang terjadi. Asuransi properti negara adalah salah satu caranya cara yang efektif dan efisien untuk mengurangi nilai cakupan risiko suatu negara itu mungkin muncul. Pada 4 Januari 2017, Peraturan tersebut dikeluarkan Menteri Keuangan No. 246/PMK.06/2016 tentang Asuransi Properti Negara. Salah satu ketentuan dalam PMK dinyatakan sebagai Barang Barang Milik Negara (BMN) harus berada di daerah rawan menurut indeks Risiko bencana Indonesia (IRBI) ditentukan oleh lembaga respons bencana (BNPB). Selain itu, hanya BMN yang ada di IRBI tinggi saja bisa diasuransikan. Di dunia asuransi, ada prinsip dikenal sebagai prinsip Hukum Angka Besar. Apakah ketentuan di dalamnya Apakah PMK ini sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum Sejumlah Besar. Kemudian Negara sebagai entitas tidak dapat mengambil tindakan apa pun, dalam hal ini Negara memberikan tanggung jawab dan wewenang kepada manajer Barang, Pengguna Barang, dan Kekuatan Pengguna Barang untuk dikelola oleh BMN Jadi mereka memiliki kepentingan yang dapat diasuransikan dalam BMN. APA PUN Penerapan Prinsip Kepentingan yang Dapat Diasuransikan dalam asuransi BMN ini? Berkaitan dengan Izin diminta oleh BMN di daerah rawan bencana, lebih disukai Karena PMK semakin menyempit Izin untuk BMN itu sendiri.
Indonesia is a country with the highest level of risk, p this causes Indonesia to incur very large losses from Indonesias risks. State property insurance is one of the effective and efficient ways to reduce the value of a countrys risk coverage it might appear. On January 4, 2017, the regulation was issued by the Minister of Finance No. 246/PMK.06/2016 concerning State Property Insurance. One of the provisions in the PMK stated as State Property (BMN) must be in vulnerable areas according to the Indonesian disaster risk index (IRBI) determined by the disaster response agency (BNPB). In addition, only BMNs in high IRBI can be insured. In the insurance world, there is a principle known as the Law of Large Numbers. What are the provisions in it. Is this PMK in accordance with the principles of the law of a large number? Then the State as an entity cannot take any action, in this case the State gives responsibility and authority to the Property manager, Property User, and Property User Strength to be managed by BMN. So they have insurable interests in BMN. WHAT IS THE APPLICATION OF INSURED PRINCIPLES OF INTEREST IN THE BMN INSURANCE? With regard to permits requested by BMN in disaster-prone areas, it is preferred because PMK is increasingly narrowing Licenses for BMN itself.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahardiyanto
Abstrak :
ABSTRAK
Pada tanggal 21 April 1999, Departemen Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK.00.063.5.1866 Tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent). Surat Keputusan ini memberikan standar contoh untuk formulir surat izin atau surat persetujuan tindakan medis pada informed consent. Namun pada prakteknya terdapat rumah sakit yang memiliki variasi sendiri terhadap formulir surat izin atau surat persetujuan tindakan medis pada informed consent tersebut. Skripsi ini membahas informed consent dari aspek hukum perdata. Fokus dari penelitian ini nantinya akan diarahkan kepada kekuatan hukum dan substansi materiil dari informed consent dengan menganalisa formulir surat izin atau surat persetujuan di sebuah rumah sakit.
ABSTRACT
In 21 April 2009, Department of Health of Republic of Indonesia issued the Decision Letter of Directorate General of Medical Services Number: HK.00.063.5.1866 concerning the Guideline on Medical Action Acceptance (Informed Consent). This decision letter gives the example for the form of permit letter or acceptance letter of medical action upon informed consent. However, in practice there is a hospital which has their own varied for the form of permit letter or acceptance letter of medical action upon such informed consent. This mini thesis discusses inform consent from the aspect of private law. The focus of this mini thesis will be directed to the legal binding and the material substance of informed consent by analyzing the form of permit letter or acceptance letter in said Hospital.
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2010
S21496
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dodi Oscards Sirkas
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai pemutusan hubungan kerja secara sepihak berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Suatu perjanjian kerja dilandasi dengan adanya kata sepakat antara pihak pengusaha denga pihak pekerja. Sebagai suatu perjanjian, perjanjian kerja harus memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian. Pemutusan hubungan kerja tidak dapat dilakukan secara sepihak karena alasan tidak ada perjanjian kerja diantara kedua belah pihak yang dibuat secara tertulis. Undang-undang menjamin lahirnya suatu perjanjian baik secara tertulis maupun lisan. Untuk mengantisipasi suatu kedudukan yang tidak berimbang antara pihak pengusaha dengan pekerja dan mengantisipasi kesewenangan pihak pengusaha yang dapat merugikan pihak pekerja, maka undang-undang menekankan dibuat suatu perjanjian kerja secara tertulis. Keberadaan perjanjian kerja membuat kedudukan antara pihak pengusaha dengan pihak pekerja sebagai kepastian hukum, terutama saat terjadi sengketa pemutusan hubungan kerja. Dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, hal itu menandakan sudah terjadinya suatu hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja sebelumnya. Pemutusan hubungan kerja dianggap ada jika ada kesepakatan kedua belah pihak untuk sepakat membuat perjanjian, begitu juga sebaliknya. Namun, kesepakatan para pihak untuk menciptakan terjadinya suatu perjanjian dimungkinkan terjadi secara tidak tertulis maupun tidak langsung diucapkan secara lisan, yakni dengan adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Dimana pihak yang satu menyatakan kehendaknya.
Abstract
In this thesis, the unilateral termination of employment by Law Act No. 13 of 2003 About Employement will be discussed. A labor agreement is based on an agreement between employer and employee. As a a kind of agreement, labor agreement has to fulfill the legal substances of a contract. Termination of employment which use the nonexistence of a written contract between employer and employee as an excuse, cannot be done unilaterally Laws guarantee the birth of an agreement whether it is written or spoken. To anticipate imbalance between position of the employer and the employee as well as to prevent employer's arbitrary towards the employee, laws emphasize that a contract has to be made in a written form. The existence of a labor contract can make equality between employer and employee. It also makes position of the employer and employee have a legal security, especially when conflict of termination of employment happens. Termination of employment indicates termination of working relationship between employer and former employee. Termination of employment is recognized if there is an agreement between two parties. Agreement between parties to create a contract is possible to be done in writing or by mouth, though, as long as there is an accord between the wishes of the two parties in which, one party stated their wishes, and the other party willingly fulfill those wishes.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S527
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erick Brian Gananto
Abstrak :
ABSTRAK
Penerapan hygiene sanitasi merupakan hal penting yang diterapkan oleh setiap industri jasaboga tidak terkecuali dengan restoran dan rumah makan. Dibutuhkan manajemen yang baik serta komitmen yang kuat dalam menjalankan industri jasaboga, karena ini menyangkut keamanan makanan yang langsung dapat dikonsumsi oleh konsumen. Maraknya restoran yang menjamur saat ini menjadikan betapa pentingnya penerapan syarat hygiene sanitasi yang mau tidak mau harus dilakukan oleh pelaku usaha dibidang industri jasaboga. Merujuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 yang menekankan pentingnya hak konsumen dalam memperoleh suatu jaminan kepastian hukum dalam mengkonsumsi makanan. Salah satu hak konsumen yang dijamin oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Hak ini memungkinkan konsumen untuk memperoleh barang yang terjamin keamanannya. Konsumen akan menikmati perlindungan tersebut jika barang yang dikonsumsi dan beredar di pasar sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku atau seharusnya berlaku. Maka penulis melakukan penelitian terhadap Pizza Hut Indonesia mengenai penerapan persyaratan hygiene sanitasi dalam rangkaian produksi makanan sampai kepada penyajiannya kepada konsumen. Pizza Hut Indonesia merupakan salah satu restoran yang terbesar di Indonesia, dengan pengalaman di industri makanan selama 26 tahun dan saat ini memiliki 200 restoran yang tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia.
ABSTRACT
Application of hygiene sanitation is an important applied by any food industry is no exception to the restaurant. It takes good management and strong commitment in carrying the food industry, because it concerns food safety which can be directly consumed by consumers. The rise of restaurants at this time makes the importance of the implementation of hygiene sanitation conditions that inevitably must be made by entrepreneurs in the field of food industry. Referring to the Consumer Protection Act No. 8 of 1999 which stressed the importance of consumer rights in obtaining a guarantee of legal certainty in consuming the food. One of the rights of consumers that are guaranteed by the Consumer Protection Act is the right to comfort, security and safety in consuming goods and services . This right allows the consumer to acquire goods for their safety. Consumers will enjoy such protection if the goods consumed and circulated in the market is in conformity with existing regulations or should apply. So the authors conducted a study of Pizza Hut Indonesia regarding the application of hygiene sanitation requirements in food production series up to its presentation to the consumer. Pizza Hut Indonesia is one of the largest restaurant in Indonesia, with experience in the food industry for 26 years and currently has 200 restaurants scattered in almost all provinces in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S462
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library