Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kevin Ramadhino
"Tulisan ini menganalisis bagaimana penerapan justice collaborator di dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, khususnya dalam penerapan status justice collaborator di dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.798/Pid.b/PN.Jkt.Sel. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Penerapan justice collaborator semula muncul dalam United Nations Convention Against Corruption 2003, di dalam UNCAC sebutan justice collaborator muncul untuk memerangi kasus-kasus pidana yang sulit dipecahkan hingga memerlukan orang dari dalam kasus tersebut yang bisa memberikan keterangan untuk membuka seterang-terangnya kasus tersebut, UNCAC 2003 ini kemudian di ratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi. Penerapan justice collaborator ini kemudian dijelaskan tentang bagaimana penerapan, batasan serta pengecualian di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta didukung peraturan mengatur teknis justice collaborator bari para penegak hukumseperti di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator) dan juga Peraturan Bersama Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th.2011; Nomor: PER-045/A/JA/12/2011; Nomor: 1 Tahun 2011; Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011; Nomor: 4 Tahun 2011. Dalam praktiknya penerapan justice collaborator di Indonesia bisa diterapkan di dalam kasus tindak pidana umum, penerapan ini membuka banyak kemungkinan penyelesaian masalah pidana yang sulit dipecahkan.

This article analyzes how justice collaborator is applied in criminal law provisions in Indonesia, especially in the application of justice collaborator status in the murder case of Brigadier Yosua in South Jakarta District Court Decision No.798/Pid.b/PN.Jkt.Sel. This article was prepared using doctrinal research methods. The application of justice collaborator originally appeared in the 2003 United Nations Convention Against Corruption, in UNCAC the term justice collaborator emerged to fight criminal cases that were difficult to solve and required people from within the case who could provide information to reveal the case as clearly as possible, UNCAC 2003 This was then ratified into Law Number 7 of 2006 concerning the UN Convention Against Corruption. The application of justice collaborator is then explained about how to apply, limitations and exceptions in Law Number 7 of 2006 concerning the UN Convention Anti-Corruption, Law Number 31 of 2014 concerning Amendments to Law Number 13 of 2006 concerning Protection of Witnesses and Victims, and supported by regulations governing technical justice collaborators for law enforcers, such as in the Supreme Court Circular Letter Number 4 of 2011 concerning the Treatment of Criminal Whistleblowers and Cooperating Witnesses (justice collaborators) and also Joint Regulation Number: M.HH- 11.HM.03.02.th.2011; Number: PER-045/A/JA/12/2011; Number: 1 of 2011; Number: KEPB-02/01-55/12/2011; Number: 4 of 2011. In practice, the application of justice collaborator in Indonesia can be applied in general criminal cases, this application opens up many possibilities for resolving criminal problems that are difficult to solve."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Kusuma Amanda
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S21794
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sylvia
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21682
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faiza Bestari Nooranda
"Dalam penulisan skripsi ini, penulis membahas mengenai pandangan hakim tentang rehabilitasi bagi terdakwa yang terbukti sebagai pecandu narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika dalam teori pemidanaan. Hal ini penting untuk menjawab sebenarnya dimana posisi rehabilitasi jika dibandingkan dengan teori pemidanaan. Dalam menemukan jawabannya, penulis menganalisis tujuh putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang didapat secara acak yang dakwaannya berkaitan dengan Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika. Selain menganalisis putusan, penulis juga melakukan wawancara untuk mendukung data-data sekunder yang penulis temukan dan pergunakan. Melalui metode tersebut, penulis mendapatkan suatu kesimpulan bahwa seorang yang menjadi pecandu narkotika pada dasarnya memiliki kewajiban untuk melaksanakan rehabilitasi. Selanjutnya, bagi sebagian besar hakim itu sendiri, rehabilitasi bagi Terdakwa yang terbukti sebagai pecandu narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika dipandang sebagai sanksi dalam golongan tindakan.

The Author discusess about judge viewpoint on rehabilitation of drug addicts which proven as drug addicts which convicted narcotics crime using punishment theory. This discustion will appear the position of rehabilitation in punishment theory. For finding the answer, the author analyses seven decisions which have been binding which is gotten at random which the indictment use article 127 paragraph (1) Narcotics Act. In addition, analyzing the decision, the authors also conducted interviews to support secondary data. Through these methods, the authors obtain a conclusion that a drug addict who became basically have the obligation to carry out the rehabilitation. Furthermore, for most of the judges themselves, rehabilitation for defendant proven a drug addict who was convicted of narcotics crime is seen as a punishment in action."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1300
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Harwati Lestari
"Skripsi ini membahas mengenai praktik perdagangan dengan objek perdagangan berupa organ tubuh manusia yang tengah marak terjadi di dunia baik itu yang dilakukan di dalam wilayah suatu negara maupun yang bersifat transnasional. Beberapa kasus yang sering terjadi ialah penculikan orang yang disertai dengan pengambilan organ, penjualan anak atau pengadopsian anak untuk kemudian dibunuh, penipuan terhadap calon tenaga kerja yang akan dipekerjakan di wilayah atau negara lain yang berakhir pada hilangnya organ tubuh mereka, transplantasi ilegal yang dilakukan secara lintas negara dengan melibatkan adanya pembayaran uang tertentu, dan sebagainya.
Pada umumnya masyarakat menyebutnya sebagai perdagangan organ tubuh manusia oleh karena objek yang diperdagangkan adalah organ tubuh manusia dan terdapat pemberian sejumlah uang tertentu. Menanggapi situasi demikian, beberapa negara seperti Indonesia dan India membuat regulasi yang mengatur mengenai tindak pidana perdagangan pada organ tubuh manusia. Namun permasalahan kembali timbul dalam internal Indonesia mengenai peraturan apa yang harus digunakan oleh aparat untuk menjerat pelaku perdagangan ini yakni apakah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 mengenai perdagangan orang atau Undang-Undang Kesehatan 36 Tahun 2009 yang mengatur larangan mengenai transplantasi organ yang dilakukan secara komersil.
India yang merupakan negara yang memiliki masalah perdagangan organ ilegal telah menerapkan beberapa peraturan untuk mengatasi hal ini. Namun, ketatnya hukum di India yang mengatur hal ini memiliki beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Untuk meneliti kedua permasalahan tersebut, metode penelitian yang dipakai adalah studi kepustakaan dan wawancara terhadap narasumber yang memahami topik skripsi ini. Dari hasil penelitian, penulis mengetahui bahwa perdagangan organ dan perdagangan orang untuk tujuan pengambilan organ merupakan dua perbuatan yang berbeda.

This thesis discusses about the practice of trading in which human organs as the object of trade that was rife in the world, whether it is carried out within the territory of a country or transnationally. Some cases that often occur is accompanied by kidnapping people for organ harvesting, the sale of children or the adoption of a child for later to be killed, fraud against prospective workers promised to be be employed in the territory or another country but ended in a loss of their organs, illegal transplants which performed across countries by involving the payment of certain money, and so on.
In general, people call it as a trade in human organs because of the object being traded is the organs of human body and there is a certain amount of money given. Responding to this situation, some countries such as Indonesia and India have made regulations to regulate the criminal trade in human organs. But problems arised again in Indonesia's internal rules regarding which one of the regulations that should be used by officials to punish the perpetrators of this trade, whether the Trafficking in Persons Act No. 21 of 2007 or the Health Act 36 of 2009 which set the ban on organ transplants performed commercially.
India as a country which has the problem of illegal organ trade have implemented several rules to overcome this. However, the strict laws in India that regulates this has some constraints in its implementation. To investigate these two problems, the research method used is bibliography study and interview with some informants because their understanding of the topic of this thesis. From this research, the authors find that the organ trafficking and trafficking for the purpose of organ harvesting are two different actions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1578
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rikwan Yuda Pratama
"Alasan penghapus pidana merupakan alasan-alasan yang memungkinkan seseorang tidak dijatuhi hukuman terhadap orang yang melakukan perbuatan pidana. Adanya alasan penghapus pidana dalam KUHP merupakan cara untuk mengubah persepsi pandangan tersebut jika benar memenuhi syarat-syaratnya. Alasan Noetoestand dapat digunakan untuk membantu pasal 48 KUHP sebagai bentuk untuk menjalankan hukum yang tidak kaku agar suatu putusan dapat benar-benar terasa adil. Pada kasus Fidelis seorang yang menggunkan Ganja untuk alsan medis yang merupakan Narkotika Golongan-I untuk mengobati istrinya yang telah didiagnosa mengidap penyakit Syringomyelia. Fidelis dikenakan pasal 116 ayat (1) UU Narkotika divonis hukuman 8 bulan penjara serta dedenda Rp. 1.000.000.000 subsider 1 bulan penjara tanpa menghiraukan adanya noodtoestand (keadaan darurat) yang dialami oleh Fidelis. Kemudian pada kasus serupa yang dialami oleh Rossy dipidana penjara selama 10 bulan karena dianggap melanggar pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika karena mengkonsumsi racikan tanaman ganja untuk mengobati penyakit syaraf terjepit yang dialaminya. Rehabilitasi baik secara medis dan sosial diharapkan dapat dijadikan terobosan hukum yang dapat diterapkan bagi pelaku ganja medis sebagai bentuk hukuman yang bertujuan untuk memberikan manfaat kepada pelaku. Dalam memahami kebijakan penanggulangan kejahatan melihat tujuan pemidanaan dengan berbagai teori yang ada seharusnya dapat membuka pemikiran baru bagi para penegak hukum dalam hal menanggulangi kejahatan. Kemudian tujuan pemidanan pada KUHP Baru juga kedepannya perlu diperhatikan pada pelaksaannanya, karena jika hakim tidak mendalami dalam menggali suatu permasalahan maka pertauran yang ada pada KUHP Baru hanya merupakan tulisan kaku.

The criminal elimination ground is the reason that allows a person not to be convicted of the perpetrator of a crime. The existence of a criminal abolition rationale in the Code of Criminal Procedure is a way of changing the perception of such views if correctly fulfilling the conditions. Noetoestand's argument can be used to help enforce article 48 of the Covenant as a form of enforcing a law that is not rigid so that a judgment can really feel fair. In the case of Fidelis, a man who uses Ganja for medical purposes that are Group I Narcotics to treat his wife who has been diagnosed with Syringomyelia. Fidelis was sentenced to 8 months in prison and a fine of Rp. 1,000,000,000 subsider of 1 month in jail, regardless of the emergency situation experienced by Fidelis. Later in a similar case, Rossy was sentenced to 10 months in prison for allegedly violating article 127, paragraph 1, letter a of the Narcotic Drugs Act for consuming cannabis plants to treat the severe nervous disease he suffered. Rehabilitation, both medically and socially, is expected to be a legal breakthrough that can be applied to medical marijuana perpetrators as a form of punishment (sanctions/acts) aimed at benefiting the perpetrator. In understanding the crime policy, looking at the purposes of mediation with the various existing theories should open up new thoughts for law enforcement in terms of combating crime. Then the purposes of the investigation on the New Covenant should also be taken into account in the prosecution, because if the judge is not thorough in digging a problem then the statements in the New covenant are only rigid writing."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Janitra Jaya Negara, Author
"Penggunaan hukum pidana untuk mengatasi kejahatan, termasuk penyalahgunaan narkotika, mendapat perhatian dan kontroversi. Dalam penelitian ini, alternatif di luar sistem peradilan pidana juga penting. Penggunaan hukum pidana sebaiknya dihindari jika ada sarana lain yang lebih efektif. Kejahatan adalah masalah kemanusiaan, dan hukum pidana sendiri bisa menyebabkan penderitaan. Oleh karena itu, penggunaan hukum pidana harus digabungkan dengan instrumen di luar sistem peradilan. Dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika oleh anak, pengalihan proses dari yustisial ke non-yustisial adalah upaya untuk menghindari penerapan hukum pidana pada anak-anak. Diversi juga memiliki tujuan agar anak-anak terhindar dari dampak negatif pidana dan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik secara fisik dan mental. Hal ini relevan dengan konsep tujuan pemidanaan, yang melibatkan perlindungan masyarakat dan individu. Restorative Justice di Indonesia, terdapat mekanisme penyelesaian hukum berdasarkan kearifan lokal. Sila Keempat Pancasila memungkinkan penerapan keadilan restoratif karena mengedepankan musyawarah dan kebaikan bersama. Implementasi keadilan restoratif terutama untuk kasus anak tidak sulit jika mengacu pada filosofi bangsa dan menghormati hukum adat sebagai hukum dasar nasional. Selain itu terdapat pengalihan perkara anak dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara pelaku dan korban yang difasilitasi oleh keluarga, masyarakat, dan penegak hukum. Proses diversi harus dilakukan dalam 30 hari untuk mencapai kesepakatan. Hal ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa penanganan anak melalui sistem peradilan anak lebih berpotensi negatif dari pada positif dalam perkembangan anak. Masalah yang muncul dalam penanganan anak penyalahguna narkotika adalah stigma yang melekat pada mereka setelah proses peradilan selesai. Tingginya kasus penyalahgunaan narkotika oleh anak mendorong upaya penanggulangan pidana anak dalam bidang hukum, baik secara formal maupun materiil. Penanggulangan kejahatan, termasuk penyalahgunaan narkotika, adalah usaha rasional masyarakat dalam menangani kejahatan dan harus dilakukan dengan diagnosis yang tepat.

The use of criminal law to deal with crime, including narcotics abuse, has received attention and controversy. In this research, alternatives outside the criminal justice system are also important. The use of criminal law should be avoided if there are other more effective means. Crime is a humanitarian problem, and criminal law itself can cause suffering. Therefore, the use of criminal law must be combined with instruments outside the justice system. In dealing with narcotics abuse by children, transferring the process from judicial to non-judicial is an effort to avoid the application of criminal law to children. Diversion also has the aim of ensuring that children avoid the negative impacts of crime and can grow and develop well physically and mentally. This is relevant to the concept of the purpose of punishment, which involves the protection of society and individuals. Restorative Justice in Indonesia, there is a legal settlement mechanism based on local wisdom. The Fourth Principle of Pancasila allows the implementation of restorative justice because it prioritizes deliberation and the common good. Implementing restorative justice, especially in cases of children, is not difficult if it refers to the nation's philosophy and respects customary law as the basic national law. Apart from that, there is a transfer of children's cases from the formal criminal process to a peaceful resolution between the perpetrator and the victim which is facilitated by the family, community and law enforcement. The diversion process must be carried out within 30 days to reach an agreement. This is motivated by the assumption that handling children through the juvenile justice system has the potential to be more negative than positive in children's development. The problem that arises in handling children who abuse drugs is the stigma attached to them after the judicial process is completed. The high number of cases of narcotics abuse by children has encouraged efforts to overcome child crime in the legal field, both formally and materially. Crime prevention, including narcotics abuse, is society's rational effort to deal with crime and must be carried out with the right diagnosis."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Lestari Hotmaida
"Pidana denda adalah salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku II dan Buku III KUHP. Menurunnya nilai rupiah mengakibatkan penegak hukum enggan untuk menerapkan pidana denda. Pada tahun 2012, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (PERMA). Salah satu pengaturannya adalah bahwa maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali. Tipologi penelitian ini adalah deskriptif analitis yang bersifat yuridis normatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa Hakim belum menerapkan pidana denda meskipun nilai rupiah telah disesuaikan. Dalam menerapkan PERMA ini, Hakim mengalami beberapa kendala, salah satunya mengenai hierarki PERMA yang lebih rendah dari KUHP. Penelitian ini juga menjabarkan tentang RUU KUHP versi 2013 berusaha untuk mengatasi kendala yang dialami hakim dalam menerapkan PERMA.

Fine punishment is one of the main punishments, which is regulated in Article 10 of Indonesian Criminal Code, it is used as an alternative punishment or as a sole punishment in Book II and Book III of the Criminal Code. The decreasing value of Rupiah caused law enforcers unwilling to apply the fine punishment. In the year of 2012, the Supreme Court released Supreme Court Regulation (PERMA) Number 2 year 2012 about The Limitation Adjustment for Light Criminal Offense and The Amount of Fine in Criminal Code (KUHP). One of its arrangement is that the maximum amount of fine regulated in Criminal Code is to be multiplied by 1.000 (a thousand) times. The typology of this research is descriptive analysis in normative juridical characteristic. The research shows that have not yet applied the fine punishment even when the Rupiah?s value has been adjusted. In applying this PERMA, Judges experienced some problems, one of which is the hierarchial position of PERMA that is lower than KUHP. This research also explains about the 2013 version of the New Criminal Code Draft (RUU KUHP 2013 version) that tried to settle the problems experienced by Judges in applying PERMA.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55637
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bimo Wiroprayogo
"Skripsi ini membahas mengenai diversi yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) berdasarkan pendekatan keadilan restoratif sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012. Pembahasan dilakukan dengan menganalisis teori mengenai perilaku delikuensi anak yang kemudian dapat menghasilkan anak yang berhadapan dengan hukum, diversi, dan pendekatan keadilan restoratif, serta peran serta Balai Pemasyarakatn sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk meneliti kepastian hukum berdasarkan studi kepustakaan (dokumen atau penelitian kepustakaan) dan hukum positif yang ada, serta dengan wawancara dengan narasumber yang mengatakan bahwa Balai Pemasyarakatan tidak mempunyai fungsi diversi secara penuh, dan diversi yang dilakukan tidak menyeluruh memenuhi aspek-aspek dalam pendekatan keadilan restoratif.

This thesis deals with the diversion is done by Balai Pemasyarakatan (Bapas) based on restorative justice approaches in accordance with The Juvenille Justice System Act Number 11 of 2012. The matters are done by analyzing the theories about the behavior of delinquent children who can then produce children who are dealing with the law, diversion, and restorative justice approaches, as well as the role of Balai Pemasyarakatan (Bapas) based on The Juvenille Justice System Act Number 11 of 2012.
This research is juridical normative research that aims to examine the legal certainty based on the study of librarianship (the document or research libraries) and the existing positive law, as well as with interviews with the speakers, conclude that Balai Pemasyarakatan (Bapas) has no function fully versioned, and not done thorough fulfilling aspects of restorative justice approaches.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56722
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>