Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ikhlas Arief Bramono
"Batu saluran kemih (BSK) didefinisikan sebagai pembentukan batu pada ginjal, ureter, atau kandung kemih. Beberapa penelitan menunjukkan bahwa ketidaknormalan parameter metabolik merupakan hal yang umum pada pasien BSK. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara indeks massa tubuh (IMT), asam urat serum, glukosa serum, dan tekanan darah dengan opasitas batu pada pasien BSK. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan melihat data rekam medis dari pasien BSK yang menjalani prosedur ESWL pada Januari 2008-Desember 2013 di Departemen Urologi RS Cipto Mangunkusumo. Data yang yang diambil adalah indeks masa tubuh (IMT), kadar asam urat serum, glukosa serum, tekanan darah, dan opasitas BSK. Hubungan antara IMT, kadar asam urat serum, glukosa serum, dan tekanan darah, dengan opasitas batu dianalisis menggunakan uji chi-square. Terdapat 2.889 pasien yang menjalani prosedur ESWL pada Januari 2008-Desember 2013. Analisis dilakukan terhadap 242 pasien yang memiliki rekam medis lengkap. Rerata usia adalah 48,02±12,78 tahun. Rasio laki-laki terhadap perempuan adalah 2,27:1. Rerata IMT adalah 29,91±3,78 kg/m2. IMT berisiko didapatkan pada 66,52% pasien. Proporsi batu radioopak adalah 77,69% (188 pasien). Dua puluh dua pasien (9,1%) memiliki tekanan darah normal. Pasien dengan kadar serum asam urat tinggi sebanyak 34,30% (83 pasien). Secara statistik didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar serum glukosa sewaktu dengan opasitas batu (p < 0,05). Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar serum glukosa sewaktu dengan opasitas batu pada pasien BSK. Pasien hiperglikemia cenderung memiliki batu radiolusen. Sementara pasien normoglikemia cenderung memiliki batu radioopak.

Urolithiasis refers to formation of stone in the kidney, ureter, or bladder. Several studies showed metabolic abnormalities were common in urolithiasis patients. The aim of this study was to describe the association between body-mass-index (BMI), serum uric acid, serum glucose, and blood pressure toward stone opacity in urinary tract stone patients. This study was done retrospectively by reviewing registry data of urinary tract stone patients that had undergone ESWL on January 2008-December 2013 in Department of Urology Cipto Mangunkusumo Hospital. Data concerning body mass index, serum uric acid, serum glucose, blood pressure, and urinary tract stone opacity were recorded. Associations between body mass index, serum uric acid, serum glucose and blood pressure with urinary tract stone opacity were using chi-square test. There were 2,889 patients who underwent ESWL on January 2008-December 2013. We analyzed 242 subjects with complete data. Mean age was 48.02 (± 12.78 years). Male-to-female ratio was 2.27:1. Mean BMI was 29.91 (± 3.78) kg/m2. High risk BMIs were found in 161 patients (66.52%). The proportion of radioopaque stone was 77.69% (188 patients). Twenty two patients (9.1%) had normal blood pressure. Patients with high serum uric acid were 34.30 % (83 patients). We found a significant association between random serum glucose level and stone opacity (p < 0.05). There is significant association between random serum glucose level and stone opacity in urolithiasis patients. Hyperglycemia patients tend to have radiolucent stone, whereas normoglycemia patients tend to have radioopaque stone."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maruto Harjanggi
"Pengantar: Batu saluran kencing adalah salah satu penyebab yang paling sering dari nyeri kolik yang muncul pada layanan kesehatan primer. Penanganan dari kasus batu saluran kemih dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu operatif dan juga konservatif. Cystone adalah salah satu terapi tambahan yang dapat ditambahkan pada regimen penanganan konservatif untuk ukuran batu dan memudahkan pengeluaran batu saluran kemih. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keamanan dan efektivitas dari pemberian Cystone ini pasca tindakan ESWL. Metodologi : Penelitian ini dilakukan antara bulan Mei 2014-November 2015, jumlah sampel yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah 81 sampel, 42 berada pada grup cystone dan 39 dalam grup placebo. Setelah dilakukan ESWL, satu grup diberikan tablet cystone 2 x 2 setiap hari selama 4 minggu, grup lain diberikan placebo. Penanganan lanjutan seperti KUB radiografi, CT urografi dan juga pemeriksaan USG dilakukan setelah mengkonsumsi obat-obatan ini.Hasil: Dari 84 sampel yang berpartisipasi dalam penelitian ini, karkteristik demografik dan baseline antara grup tatalaksana dan grup placebo mirip satu sama lain. Tidak ada perbedaan statistic yang signifikan antara besar batu sebelum dan sesudah konsumsi cystone baik pada grup cystone ataupun placebo. Satu kejadian efek samping yang serius dilaporkan pada grup cystone, tidak ada kejadian efek samping yang berat terlihat pada grup placebo. Diskusi: Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa cystone ini secara signifikan dapat memperkecil besar batu ginjal dan mengubah komposisi batu ginjal. Hasil yang berbeda ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan besar batu ginjal baik pada riset ini maupun literature-literatur sebelumnya. Berdasarkan penelitian ini, kami tidak merekomendasikan penggunaan cystone sebagai terapi adjunctive- management conservative dari batu ginjal ini.

Introduction: Urinary stone is one of the most common cause of colicky pain in primary care. Management of urinary stone is divided into operative management and conservative management. Cystone is one of the traditional adjunctive therapy that may added to conservative management regiment to reduce kidney stone size and speed-up the stone passing. This study aims to see the efficacy and safety of Cystone after Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy. Methods : This clinical trial was conducted from May 2014-November 2015, the total sample for this research are 81 samples, 42 in cystone group and 39 in placebo group. After undergoing ESWL procedure, one group were given 2 x 2 cystone tables daily for 4 weeks, and the other were given placebo. Further examination such as KUB radiography, CT urography, USG examination were conducted after consumption of the drugs. Results : Among 84 subjects that participated in this research, demographic charcteristics and baseline disease were comparable. No statistically significant changes on the stone size in both cystone and placebo group. One serious adverse event appeared in cystone group compared to none in the placebo group. Discussion: Previous research showed that cystone made significant changes on the renal stone size and composition. This differing results may be caused by different stone sizes in both this research and previous literature. Based on this research’s result we do not recommend using cystone as an adjunctive conservative management of renal stone"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhlas Arief Bramono
"

Batu saluran kemih (BSK) didefinisikan sebagai pembentukan batu pada ginjal, ureter, atau kandung kemih. Beberapa penelitan menunjukkan bahwa ketidaknormalan parameter metabolik merupakan hal yang umum pada pasien BSK. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara indeks massa tubuh (IMT), asam urat serum, glukosa serum, dan tekanan darah dengan opasitas batu pada pasien BSK. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan melihat data rekam medis dari pasien BSK yang menjalani prosedur ESWL pada Januari 2008 – Desember 2013 di Departemen Urologi RS Cipto Mangunkusumo. Data yang yang diambil adalah indeks masa tubuh (IMT), kadar asam urat serum, glukosa serum, tekanan darah, dan opasitas BSK. Hubungan antara IMT, kadar asam urat serum, glukosa serum, dan tekanan darah, dengan opasitas batu dianalisis menggunakan uji chi-square. Terdapat 2.889 pasien yang menjalani prosedur ESWL pada Januari 2008 – Desember 2013. Analisis dilakukan terhadap 242 pasien yang memiliki rekam medis lengkap. Rerata usia adalah 48,02±12,78 tahun.  Rasio laki-laki terhadap perempuan adalah 2,27:1. Rerata IMT adalah 29,91±3,78 kg/m2. IMT berisiko didapatkan pada 66,52% pasien.  Proporsi batu radioopak adalah 77,69% (188 pasien). Dua puluh dua pasien (9,1%) memiliki tekanan darah normal. Pasien dengan kadar serum asam urat tinggi sebanyak 34,30% (83 pasien). Secara statistik didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar serum glukosa sewaktu dengan opasitas batu (p < 0,05). Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar serum glukosa sewaktu dengan opasitas batu pada pasien BSK. Pasien hiperglikemia cenderung memiliki batu radiolusen. Sementara pasien normoglikemia cenderung memiliki batu radioopak.


Urolithiasis refers to formation of stone in the kidney, ureter, or bladder. Several studies showed metabolic abnormalities were common in urolithiasis patients. The aim of this study was to describe the association between body-mass-index (BMI), serum uric acid, serum glucose, and blood pressure toward stone opacity in urinary tract stone patients. This study was done retrospectively by reviewing registry data of urinary tract stone patients that had undergone ESWL on January 2008 – December 2013 in Department of Urology Cipto Mangunkusumo Hospital. Data concerning body mass index, serum uric acid, serum glucose, blood pressure, and urinary tract stone opacity were recorded. Associations between body mass index, serum uric acid, serum glucose and blood pressure with urinary tract stone opacity were using chi-square test. There were 2,889 patients who underwent ESWL on January 2008 – December 2013. We analyzed 242 subjects with complete data. Mean age was 48.02 (± 12.78 years). Male-to-female ratio was 2.27:1. Mean BMI was 29.91 (± 3.78) kg/m2. High risk BMIs were found in 161 patients (66.52%). The proportion of radioopaque stone was 77.69% (188 patients). Twenty two patients (9.1%) had normal blood pressure. Patients with high serum uric acid were 34.30 % (83 patients). We found a significant association between random serum glucose level and stone opacity (p < 0.05). There is significant association between random serum glucose level and stone opacity in urolithiasis patients. Hyperglycemia patients tend to have radiolucent stone, whereas normoglycemia patients tend to have radioopaque stone.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mananagka, Rumuat Semuel Wullul
"Latar belakang dan tujuan : Persiapan pada calon pasien yang akan menjadi pendonor ginjal memerlukan penilaian fungsi dan anatomi organ ginjal. Korelasi antara fungsi dan anatomi ginjal dapat membantu untuk prediksi fungsi dan anatomi ginjal, oleh karena itu dibutuhkan penilaian rerata volume parenkim ginjal dan pada stadium CKD 1, 2 dan 3 serta korelasi antara volume parenkim ginjal dengan rerata estimasi laju filtrasi glomerulus pada stadium CKD 1, 2 dan 3.
Metode : Penelitian cross sectional ini menggunakan data sekunder berupa nilai estimasi laju filtrasi glomerulus yang dihitung dengan rumus MDRD. Subyek penelitian yang sesuai dengan kriteria dihitung volume parenkim ginjalnya menggunakan CT scan. Teknik pengukuran menggunakan cara disc summation. Korelasi dengan tes pearson digunakan untuk menilai hubungan antara estimasi laju filtrasi glomerulus dengan volume parenkim ginjal.
Hasil : Kelompok CKD stage 1 didapatkan volume rerata parenkim ginjal kanan 132,04 cc, ginjal kiri 134,71 cc dan ginjal total 266,75 cc. Kelompok CKD stage 2 didapatkan rerata parenkim ginjal kiri 112,83 cc, ginjal kanan 110,44 cc dan ginjal total 223,28 cc. Kelompok CKD stage 3 rerata parenkim ginjal kiri 100,21 cc, ginjal kanan 101,4 cc dan ginjal total 201,61 cc. Tes pearson memperlihatkan korelasi yang signifikan (p < 0,001) dan kekuatan sedang (r = 0,554) dengan persamaan: y = 0,326x + 16,13.
Kesimpulan : Korelasi antara nilai estimasi laju filtrasi glomerulus pada CKD stage 1, 2 dan 3 menunjukan signifikansi kuat dan korelasi sedang dengan persamaan: y = 0,32x + 16,13. Persamaan yang didapat berguna untuk estimasi nilai laju filtrasi glomerulus maupun estimasi volume parenkim ginjal total apabila nilai salah satunya diketahui.

Background and objective : Preparation to a kidney donor will need assessment of the kidney's function and anatomy. The correlation between the function and anatomy can help to predict the function and anatomy. That is why the measurement of kidney’s volume is needed (in average and in CKD stage 1, 2, and 3) and the correlation between kidneys parenchyme volume and the average estimated glomerulus filtration rate during CKD stage 1,2, and 3.
Method : Cross sectional research using secondary data of estimated glomerulus filtration rate, calculated by MDRD formula. Kidneys parenchyme volume of the subjects were measured using CT scan. Disc summation technique was applied for the measurement. Correlation with Pearson test was made to assesst the correlation between estimated glomerulus filtration rate and kidneys parenchyme volume.
Result : Group of CKD stage 1 had an average kidneys parenchyme volume 134,71 cc (left), 132,04 cc (right), and 266,75 cc (total). Group of CKD stage 2 had an average kidneys’ parenchyme volume 112,83 cc (left), 110,44 cc (right), and 223,28 cc (total). Group of CKD stage 3 had an average kidney's parenchyme volume 100,21 cc (left), 101,4 cc (right), 201,61 cc (total). Pearson test shows a significant correlation (p < 0,001) and moderate strength (r = 0,554) with the equation y = 0,326x + 16,13.
Conclusion : Correlation between estimated glomerulus filtration rate in CKD stage 1, 2, and 3 showed strong significancy and moderate correlation with the equation y = 0,326x + 16,13. This equation can be useful to estimate glomerulus filtration rate and total kidneys’ parenchyme volume if one of the number is known.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59120
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firtantyo Adi Syahputra
"ABSTRAK
Salah satu komplikasi tersering PCNL adalah perdarahan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor prediktor jumlah total perdarahan PCNL, dan mengevaluasi pola transfusi darah. PCNL dilakukan acak oleh dua konsultan endourologi dan dianalisa prospektif. Pasien dewasa dengan batu ginjal pielum > 20 mm, kaliks inferior >10 mm, atau staghorn dijadikan sampel. Pasien dengan koagulopati, pengobatan antikoagulan, atau dilakukan konversi operasi terbuka dieksklusi. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan pada awal dan 12, 24, 36, 72 jam paska-operasi. Faktor-faktor seperti stone burden, jenis kelamin, luas permukaan tubuh, perubahan kadar hematokrit dan jumlah transfusi darah dianalisa regresi untuk mendapatkan prediktor total blood loss (TBL). Didapatkan rerata TBL 560,92±428,43 ml dari total 85 pasien. Stone burden merupakan faktor paling berpengaruh terhadap TBL (p=0.037). Kebutuhan transfusi darah diprediksi dengan menghitung TBL (ml) = -153,379 + 0,229 stone burden (mm2) + 0,203 baseline serum hematokrit (%). Sebanyak 87,1% pasien tidak menerima transfusi peri-operatif, 3,5% menerima transfusi intra-operatif, 7,1% menerima transfusi post-operatif, 2,3% menerima transfusi intra dan post-operatif; sehingga menghasilkan cross-matched transfusion ratio 7,72. Rerata tranfusi darah peri-operatif 356,00±145,88 ml. Stone burden menjadi faktor prediktif paling berpengaruh terhadap jumlah perdarahan. Jumlah darah yang ditransfusikan dan dilakukan cross-matched ditemukan tinggi. Formula yang kami usulkan dapat mengurangi kejadian transfusi yang tidak dibutuhkan.

ABSTRACT
The most common complication of PCNL is bleeding. We aimed to identify predictive factors of PCNL blood loss and evaluate transfusion practice. A prospective study was randomly performed by two consultants of endo-urology. Adults with kidney stones in pelvic >20mm, inferior calyx >10mm or staghorn were included; those with coagulopathy, under anti-coagulant treatment or open conversion were excluded. Full blood count was taken at baseline and during 12, 24, 36, 72-hours post-operatively. Factors such as stone burden, sex, body surface area, hematocrit level shifting and amount of blood transfused were analyzed statistically using regression to identify predictive factors of total blood loss (TBL). Mean TBL was 560.92±428.43 ml from 85 patients enrolled. Our results revealed that TBL (ml): -153.379 + 0.229xstone burden (mm2) + 0.203xbaseline serum hematocrit (%); considerably predicted the need for blood transfusion. Amount of 87.1% patients did not receive perioperative transfusion, 3.5% received intra-operative transfusion, 7.1% post-operative, 2.3% both intra and post-operative, giving a cross-matched transfusion ratio 7.72. Mean peri-operative blood transfused was 356.00±145.88 ml. Stone burden was the most influential PCNL blood loss predictive factor. Amount of blood transfused and cross-matched was relatively high. An appropriate blood order using our equation would reduce any unnecessary transfusions.;;;;"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vinny Verdini
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan nilai Efficacy Quotient EQ?? dari tindakan ESWL Extracorporeal Shockwave Lithotripsy menggunakan mesin Piezolith Richard Wolf 3000 pada batu ureter. Desain penelitian adalah metode survei yang bersifat deskriptif dan analisis multivariat. Terdapat 113 95 dari 119 pasien yang dinyatakan bebas batu setelah tindakan ESWL pertama. Didapatkan nilai EQ 0,89. Hanya ukuran batu yang mempengaruhi angka bebas batu dalam penelitian ini P < 0,05 . Disimpulkan bahwa prosedur ESWL menggunakan mesin Richard Wolf Piezolith 3000 memiliki nilai efficacy quotient dan angka bebas batu yang lebih baik daripada mesin-mesin sebelumnya dan yang sejenis.Kata KunciBatu ureter, ESWL, efficacy quotient, angka bebas bat.

ABSTRACT
The study aim was to determine the Efficacy Quotient EQ of ESWL using Piezolith Richard Wolf 3000 machine for ureteral stone. Design of study was both descriptive statistical and multivariate analytical study. From 113 95 of 119 patients were stated stone free after the first ESWL. EQ value was 0.89. Stone size was the only factor that correlated significantly with stone free rate P 0.05 . It is concluded that ESWL procedure using Richard Wolf Piezolith 3000 machine patients had better efficacy quotient and better stone free rate than previous reports using similar machines. Key WordsUreteral stone, ESWL, efficacy quotient, stone free rate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Lukman Hakim
"Introduction and Objectives: Supine Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) is believed to provide more limited space for percutaneous access than prone position. This disadvantage is usually fixed by modifying the supine position with supporting pad. Our study aims to compare the safety, efficacy, and other surgical outcomes of supine PCNLs performed with and without the use of supporting pad
Method: This study was a retrospective study in patients who undergone PCNL procedure with supine position for renal stones with all sizes between January - December 2019. Divided into two groups, operated with and without supporting pad, with 13 and 14 patients respectively. Several parameters such as operation duration, intraoperative blood loss, post operative double J stent usage, stone free rate dan length of stay were observed.
Results: There were 27 patients, as subjects of the study. Our observation showed no statistically significant difference between the two groups, although blood loss and length of stay in supporting pad showed better results. Statistically significant difference was found in stone-free-rate (P=0.006) favoring in supine PCNL with supporting pad.
Conclusion: Supine PCNL with support padding may be a safe and more effective choice to treat renal stones. Nevertheless, patient’s anatomic variations may influence this. Thus, a prospective study with a larger population is needed to verify our outcomes.

Pendahuluan dan tujuan: Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) posisi supine memiliki kelemahan akses perkutan yang lebih terbatas dibandingkan posisi prone. Hal ini biasanya diatasi dengan modifikasi posisi supine menggunakan bantalan penopang. Penelitian kami bertujuan membandingkan keamanan, efikasi, dan luaran surgikal lainnya dari PCNL posisi supine dengan dan tanpa bantalan penopang.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif terhadap pasien yang menjalani prosedur PCNL posisi supine untuk tatalaksana batu ginjal dengan berbagai ukuran pada Januari-desember 2019. Pasien tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang dioperasi menggunakan bantalan penopang dan kelompok tanpa bantalan penopang, masing-masing berjumlah 13 dan 14 pasien. Beberapa parameter diamati antara lain durasi operasi, perdarahan intraoperatif, penggunaan double J stent post operasi, stone free rate dan lama rawat.
Hasil: Ada 27 pasien yang diteliti pada penelitian ini. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara kedua kelompok dari hasil observasi, meskipun perdarahan dan lama rawatan lebih baik pada kelompok dengan bantalan penopang. Perbedaan yang signifikan secara statistik terlihat pada angka bebas batu yang lebih baik pada kelompok dengan bantalan penopang (P=0.006).
Kesimpulan: PCNL posisi supine dengan bantalan penopang merupakan pilihan yang aman dan lebih efektif dalam mengatasi batu ginjal. Meskipun demikian, variasi anatomi pasien dapat mempengaruhi hal ini. Dibutuhkan penelitian prospektif dengan populasi yang lebih besar untuk verifikasi hasil penelitian kami.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isaac Ardianson Deswanto
"Latar belakang: Batu buli merepresentasikan sekitar 5% dari semua kasus batu saluran kemih. Banyak kondisi medis yang berperan dalam pembentukan batu tersebut. Penanganan batu buli terus berkembang dari sectio alta, intracorporeal lithotripsy dan extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL). ESWL adalah sebuah modalitas yang menjanjikan dalam penanganan batu buli karena dapat ditoleransi dengan baik dan lebih sederhana. Penelitian ini dilakukan untuk mengumpulkan data yang dapat menggambarkan keamanan dan efektifitas dari ESWL dalam penanganan batu buli
Metode: Studi ini merupakan sebuah studi retrospektif yang mengambil data dari rekam medis 92 pasien yang didiagnosa batu buli di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dari Januari 2011 sampai April 2015. Data yang dikumpulkan meliputi usia pasien, jenis kelamin, jenis batu, prosedur yang dilakukan dan status disintegrasi batu, lama rawat dan komplikasi yang mungkin terjadi. Semua data dianalisa secara statistik menggunakan IBM SPSS versi 20.
Hasil: Mayoritas pasien menjalani prosedur ESWL (49 dari 92, 53,3%). Angka bebas batu untuk tindakan ESWL, intracorporeal lithotripsy, dan sectio alta adalah 93,9%, 97,0% dan 100% secara berurutan. Salah satu pasien harus mengulang prosedur ESWL. Rerata ukuran batu ditemukan paling kecil pada kelompok ESWL bila dibandingkan dengan kelompok intracorporeal lithotripsy dan sectio alta (2,5±2,0 vs 4,8±3,7 vs 7,4±5,4 secara berurutan). Perbedaan rerata batu ditemukan signifikan secara statistik antara kelompok ESWL dan intracorporeal lithotripsy (p=0,014). Prosedur ESWL dilakukan pada klinik rawat jalan.
Kesimpulan: ESWL dapat direkomendaasikan sebagai modalitas terapi yang efektif dan non-invasif dalam penanganan batu buli dengan angka bebas batu yang cukup baik (93,9%) dan bisa dilakukan di poliklinik rawat jalan dengan komplikasi yang minimal.

Background: Bladder stone accounts for 5% of all cases of urolithiasis. Many conditions play a role in its formation. Bladder stones management has evolved over the last decades from open bladder surgery (sectio alta) to intracorporeal cystholithotripsy as well as extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL). ESWL presents to be a promising modality in the management of bladder calculi due to its simplicity and well tolerability. This study is thus conducted to present data on the safety and effectiveness of ESWL in the management of bladder stone patients.
Methods: This is a retrospective study evaluating the medical records of 92 bladder calculi patients admitted to Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM) from January 2011 to April 2015. Patient’s age, gender, type of stone and procedure being done, status of stone disintegration, length of hospital stay, and any complications that may occur are noted down and statistically analyzed using IBM SPSS v. 20.
Results: Majority of the patients underwent ESWL (49 out of 92, 53.3%). The stone free rates for ESWL, intracorporeal lithotripsy, and sectio alta are 93.9%, 97.0% and 100% respectively. One patient had to repeat ESWL. The ESWL group had the smallest stone size average compared to the intracorporeal lithotripsy and section alta group (2.5±2.0 vs 4.8±3.7 vs 7.4±5.4 respectively). This difference in average stone size was statistically significant compared to the ESWL and intracorporeal lithotripsy group (p=0.014). The ESWL sessions were conducted in the outpatient clinic, and thus no hospital stay was required.
Conclusion: ESWL can be suggested as an effective non-invasive approach in the disintegration of bladder stone of £25 mm with a promisingly high stone-free rate (93.9%) that can be performed on an outpatient basis with minimal complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Basukarno
"Follicle-stimulating hormone (FSH) dan Testosteron merupakan hormon penting untuk spermatogenesis. Peningkatan FSH serum dan penurunan testosteron berhubungan dengan spermatogenesis abnormal. Azoospermia dapat diklasifikasikan sebagai azoospermia obstruktif dan nonobstruktif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai batas untuk pemeriksaan testosteron dan FSH dalam memprediksi azoospermia obstruktif dan non-obstruktif. Dari 1.064 pasien, 120 pasien memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Terdapat 66,7% pada kelompok obstruktif dengan 33,3% pada kelompok non-obstruktif. Tidak ada perbedaan dalam hal usia (36,83 vs 36,62 tahun). Testosteron adalah 405.54 ± 186.14 ng/dL vs 298.84 ± 161.45 ng/dL (p = 0.002) sedangkan FSH adalah 8,53 ± 8,43 mIU/mL vs 20,12 ± 11,89 mIU / mL (p <0,001) untuk azoospermia obstruktif dan non-obstruktif masing-masing. Rata-rata testis 17,74 ± 4,03 cc dan 17,50 ± 4,23 cc sedangkan pada kelompok non obstruktif masing-masing 12,97 ± 5,18 cc dan 13,37 ± 5,31 cc untuk testis kiri dan kanan. Nilai FSH diatas 10,36 mIU/mL mempunyai sensitivitas 82,1% dan spesifisitas 79,5% untuk memprediksi azoospermia non obstruktif. Sayangnya, Testosteron tidak dapat digunakan untuk memprediksi klasifikasi azoospermia. Azoospermia obstruktif dan non-obstruktif dapat diprediksi menggunakan FSH tetapi tidak dengan kadar serum testosteron. Populasi testosteron yang lebih tinggi harus digunakan untuk studi lebih lanjut.

Follicle-stimulating hormone (FSH) and Testosterone are important for spermatogenesis. Increased serum FSH and decreased testosterone are related to abnormal spermatogenesis. Azoospermia can be classified as obstructive and nonobstructive azoospermia. This study aims to discover cut-off value of Testosterone and FSH in predicting obstructive and non-obstructive azoospermia. From 1064 patients, 120 fulfilled inclusion and exclusion criteria. There were 66.7% in obstructive with 33.3% in non-obstructive group. No difference in terms of age (36,83 vs 36,62 y.o). Testosterone were 405.54 ± 186.14 ng/dL vs 298.84 ± 161.45 ng/dL (p = 0.002) while FSH was 8,53 ± 8,43 mIU/mL vs 20,12 ± 11,89 mIU/mL (p < 0.001) for obstructive and non-obstructive azoospermia respectively. Average testicular were 17.74 ± 4.03 cc and 17.50 ± 4.23 cc while in non-obstructive group are 12.97 ± 5.18 cc and 13.37 ± 5.31 cc for right and left testis respectively. FSH value above 10.36 mIU/mL has sensitivity 82.1% and specificity 79.5% for predicting non-obstructive azoospermia. Unfortunately, Testosterone could not be used in predicting azoospermia classification. Obstructive and non-obstructive azoospermia could be predicted using FSH but not testosterone serum level. Higher testosterone population should be used for further study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Daruqutni
"ABSTRAK
Vasektomi sudah diterima masyarakat sebagai metode yang mudah dan efektif untuk kontrasepsi pria. Namun, beberapa pasien ingin mengembalikan kesuburan mereka karena kasus perceraian atau pernikahan kembali. Teknik melakukan vasektomi reversal bervariasi dengan kelebihan dan kekurangannya. Salah satu teknik adalah vasektomi reversal mikroskopik double layer. Kami mengevaluasi tingkat keberhasilan teknik ini didasarkan pad analisis semen. Tingkat keberhasilan baik yaitu sekitar 98,5 pasien dengan tindak lanjut lengkap memiliki sperma berdasarkan analisis sperma. Namun, total keberhasilan tindak lanjut sangat rendah 5 dari 19 pasien meskipun biaya vasektomi reversal cukup mahal sekitar 3.000 USD . Tingkat lost follow up pada vasektomi reversal adalah sekitar 20 .

ABSTRACT
Vasectomy already been accepted by the society as easy and effective method formale contraceptive. However, some patients want to restore their fertility status due to divorce or re marriage cases. Techniques in performing vasectomy revUrologiersal are varying with their own advantages and disadvantages. One of the techniques is double layer microscopy vasectomy reversal. We evaluate the success rate of this technique based on the semen analysis. The success rate was good with around 98.5 patients with complete follow up had sperm in their semen analysis However, total success of follow up were very low 5 out of 19 patients even though the cost of reversal vasectomy was quite expensive around 3.000 USD . Lost to follow up rate of reversal vasectomy was around 20 ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58746
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>