Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ainanur Aurora Setianingsih
Abstrak :
Masalah malnutrisi pada remaja merupakan salah satu kesehatan global utama yang dapat menyebabkan mortalitas, morbiditas, dan gangguan perkembangan. Gizi kurang merupakan salah satu masalah kesehatan pada anak-anak di Indonesia dengan prevalensi 11,1 anak berusia 13-15 tahun dan 9,4 anak berusia 15-18 tahun. Kebutuhan energi remaja perempuan berbeda dengan laki-laki sebagai persiapan kehamilan. Salah satu cara untuk mencapai kebutuhan gizi optimal dengan menerapkan prinsip keragaman makanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keragaman makanan dengan status gizi remaja perempuan di Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan dengan studi cross-sectional menggunakan data sekunder 24-h recall pada 335 remaja perempuan berusia 12-18 tahun di provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi status gizi pada remaja perempuan adalah 17 gizi lebih dan 3,6 gizi kurang. Prevalensi keragaman makanan rendah atau 5 kelompok makanan adalah 42,7. Analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara keragaman makanan dengan status gizi p=0.825. Hasil analisis multivariat dengan penyesuaian variabel perancu mendapatkan tidak ada hubungan antara keragaman makanan dengan status gizi dengan OR1.112 95 IK 0.619-1.997. Tidak didapatkannya hubungan antara keragaman makanan dengan status gizi remaja perempuan. ...... Malnutrition in adolescent is one of the global health problem that could cause mortality, morbidity, and development problem. Thinness is one of the childhood health problem in Indonesia. Prevalence of thinness in Indonesia among 13 15 years old was 11,1 , while 15 18 years old was 9,4. Demand of nutritional requirement and energy for adolescent girls are more higher as preparation for pregnancy. Balance nutrition could be optimize through implement dietary diversity. Aim of this study to seek association between dietary diversity and nutritional status among adolescent girls in West Java Province. A cross sectional study using secondary data from 24 h recall was performed on 335 adolescent girls aged 12 18 years old in West Java Province. The result showed prevalence of nutritional status among adolescent girls in West Java were 17 overweight, 3,6 thinness. Prevalence of low dietary diversity or 5 food category was 42,7. Through bivariate analysis, no association between dietary diversity and nutritional status p 0.825. Multivariate analysis with adjustment for confounding variable showed no association beteween dietary diversity and nutritional status with AOR 1.112 95 CI 0.619 1.997. It is concluded that there is no association between dietary diversity and nutritional status.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairun Nadiya
Abstrak :
Anemia merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi meningkat di Indonesia dan berisiko tinggi pada kelompok remaja putri salah satunya karena penurunan asupan makanan. Kualitas diet merupakan salah satu alat yang dapat menilai kecukupan asupan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kualitas diet dengan kejadian anemia pada remaja putri. Studi cross-sectional dilakukan pada 335 remaja putri di Provinsi Jawa Barat. Data asupan makanan didapatkan dari 24-hour recall dua hari berbeda kemudian dinilai menggunakan Diet Quality Index for Adolescents DQI-A. Status anemia ditentukan dari data konsenterasi Hb kapiler diukur menggunakan HemoCue. Analisis bivariat dan multivariat regresi logistik dilakukan untuk menentukan hubungan kualitas diet dan anemia. Rerata skor DQI-A adalah 43,8 dari maksimal 100 dengan prevalensi kualitas diet berisiko buruk sebanyak 61,8. Median kadar Hb adalah 12,2 g/dL dengan prevalensi anemia sebesar 45,4. Tidak terdapat hubungan antara kualitas diet dengan anemia berdasarkan hasil analisis bivariat p=0,487 dan multivariat p=0,229 setelah disesuaikan dengan faktor perancu, yaitu usia, tingkat pendidikan, suku, frekuensi membaca koran, akses internet, dan penggunaan media sosial. Tidak adanya hubungan antara kualitas diet dan anemia mungkin terjadi karena kualitas diet hanya menggambarkan asupan makanan jangka pendek sedangkan kejadian anemia terjadi akibat kurangnya asupan makanan jangka panjang. ...... Anemia, a global health problem, have an increasing prevalence in Indonesia and a higher risk among adolescent girls, causes including lack of nutritional intake. Diet quality can be used to assess the adequacy of nutritional intake. The aim of this study is to know the association between diet quality and anemia among adolescent girls. A cross sectional survey was conducted involving 335 adolescent girls living in West Java Province. Dietary intake data was collected using 2 day nonconsecutive 24 hour recall and scored for Diet Quality Index for Adolescents DQI A. Anemia status was determined by capillary hemoglobin concentration measured using HemoCue device. Bivariate and multivariate logistic regression were applied to determine the association between diet quality and anemia. The mean score for DQI A is 43.8 of 100 with 61.8 subjects are at risk of poor diet quality. The median Hb level is 12.2 g dL with 45.4 were anemic. The main results showed no significant association between diet quality and anemia based on bivariate p 0.487 and multivariate analysis p 0.229 after adjusting for confounders, such as age, level of education, ethnicity, frequency of reading newspaper, access to internet, and use of social media. It is possible that no association were found because diet quality only reflects short term nutritional intake while anemia happened due to long term nutritional deficiency.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
El Alsha Andini
Abstrak :
Anemia merupakan masalah kesehatan besar, termasuk di Indonesia. Remaja putri berisiko lebih tinggi mengalami anemia. Karakteristik meal patterning menggambarkan konsumsi makanan yang dilakukan, sehingga dapat berhubungan dengan asupan nutrisi dan masalah kesehatan, termasuk anemia. Penelitian merupakan studi cross-sectional pada 335 remaja putri berumur 12-18 tahun yang bersekolah di Jawa Barat. Karakteristik meal patterning didapatkan dari hasil 24-hour recall yang diambil pada dua hari berbeda, yaitu hari kerja dan akhir pekan. Meal patterning terdiri dari frekuensi makan, jarak antar makan dan melewati waktu tiga makanan utama dengan satu kejadian makan didefinisikan sebagai konsumsi makanan ge;50 kcal dan terpisah ge; 15 menit diantaranya. Anemia adalah keadaan kadar hemoglobin 4 kali p=0,043, AOR 2,4, 95 CI:1,03-5,84 pada hari kerja masing-masing memiliki kecenderungan mengalami anemia 2,7 dan 2,4 kali dibandingkan dengan remaja dengan frekuensi makan kurang dari itu. ...... Anemia is a major health problem, including in Indonesia. Adolescent girls have higher risk for being anemic. Meal patterning characteristics shows how meal consumed, thereby may associated with nutrition intake and health problem, including anemia. This was a cross sectional study among 335 adolescent girls aged 12 18 years old in West Java. Meal patterning characteristics is measured from 24 hour recall which taken repeated on two different days, weekday and weekend. Meal patterning consisted of meal frequency, meal spacing, and meal skipping in three main meal which one eating occasion defined by consumption of ge 50 kcaland sepearted ge 15 menit each. Anemia is condition of hemoglobin level 4 times on weekday have risk 2.7 and 2.4 times each rather than which ate less frequent.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Kristiningrum
Abstrak :
Latar Belakang: Pandemi Covid-19 telah menyebabkan perubahan budaya, termasuk bekerja dari rumah dan pola makan. Meningkatnya penggunaan aplikasi pesan antar makanan selama pandemi Covid-19, mengakibatkan lebih banyak konsumsi makanan jauh dari rumah/food away from home (FAFH), terutama di kalangan pekerja kantoran, dapat berdampak pada kualitas diet, yang dapat berkontribusi pada obesitas dan penyakit tidak menular (PTM) yang berhubungan dengan diet. Namun, hubungan antara FAFH dan faktor sosiodemografis yang memengaruhi kualitas diet pada pekerja kantoran masih belum jelas. Studi ini mengeksplorasi hubungan antara frekuensi konsumsi FAFH dan sosiodemografi terhadap kualitas diet pada pekerja kantoran. Metode: Data cross-sectional dikumpulkan dari 220 pekerja kantoran di Jakarta, Indonesia, mengenai informasi tentang sosio-demografis dan frekuensi konsumsi FAFH menggunakan kuesioner online terstruktur dan berpartisipasi dalam wawancara food recall 2x24 jam melalui wawancara online. Alternative Healthy Eating Index (AHEI) yang dimodifikasi digunakan untuk menilai kualitas diet. SPSS Versi 22 digunakan untuk semua analisis statistik dalam penelitian ini. Hasil: Kualitas diet yang secara signifikan lebih rendah ditemukan pada pekerja kantoran laki-laki dan pekerja kantoran yang mengonsumsi FAFH frekuensi tinggi (p < 0.05). Dalam model regresi linier, kualitas diet berhubungan signifikan dengan jenis kelamin (β = -3.567; 95% CI = (-6.190) - (0.945); p = 0.008) dan frekuensi konsumsi FAFH (β = -7.853; 95% CI = (-10.081) - (-5.625); p = 0.000). Kesimpulan: Pekerja kantoran, terutama pekerja kantoran laki-laki, sebaiknya membatasi konsumsi FAFH dan memilih opsi yang lebih sehat saat mengonsumsi FAFH. Pemerintah sebaiknya memberikan program pendidikan gizi berorientasi FAFH untuk industri makanan. ......Background: The Covid-19 pandemic has led to cultural changes, including working from home and eating patterns. The increased use of food delivery during the Covid-19 pandemic, which resulted in more consumption of food away from home (FAFH), especially among office workers, may have an impact on diet quality, which may be contributed to obesity and non-communicable diseases (NCD) related to diet. However, the relationships between FAFH and sociodemographic factors influencing diet quality among office workers are still unclear. This study explored the association between the consumption frequency of FAFH and sociodemographics on the diet quality among office workers. Methods: Cross-sectional data were collected from 220 office workers in Jakarta, Indonesia, regarding information about the socio-demographics and consumptionfrequency of FAFH using a structured online questionnaire and participating in the 2x24-hour dietary recall interview through an online interview. A modified Alternative Healthy Eating Index (AHEI) was used to assess the diet quality. SPSS Version 22 was used for all statistical analyses. Results: Significantly lower diet quality was found in male office workers and office workers consuming high-frequency FAFH (p < 0.05). In the logistic linear regression model, the diet quality was significantly associated with gender (β = -3.567; 95% CI = -6.190 to -0.945; p = 0.008) and consumption frequency of FAFH ( β = -7.853; 95% CI = -10.081 to -5.625; p = 0.000). Conclusions: Office workers, especially male office workers, should limit their consumption of FAFH and choose healthier options when consuming FAFH. The government should give FAFH-oriented nutrition education programs for the food industry.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Nuraini
Abstrak :
Resistensi insulin adalah penurunan kemampuan jaringan (otot, hati, dan jaringan adiposa) untuk merespon insulin yang bersirkulasi secara normal dalam darah yang berisiko berkembang menjadi penyakit diabetes melitus tipe 2. Rasio tinggi asupan asam lemak omega-6/omega-3 diduga berperan dalam menurunkan sensitivitas insulin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara rasio asupan omega-6/omega-3 dan HOMA-IR pada perempuan usia reproduktif. Studi potong lintang ini dilakukan di Jakarta, pada bulan Juli sampai Oktober 2021. Pengambilan sampel menggunakan metode consecutive sampling dan diperoleh 79 subjek perempuan yang memenuhi kriteria penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara 24-hours food recall sebanyak 3 kali, pengukuran antropometri untuk menilai status gizi, dan pengambilan serum untuk mengukur kadar glukosa darah puasa dan insulin. Rerata asupan omega-6 pada subjek adalah 9.43 ± 3.69 gram/hari, median asupan omega-3 pada subjek adalah 0.79 (0.23–3.53) gram/hari, dan rerata rasio asupan omega-6/omega-3 adalah 12.32 ± 4.32. Rerata HOMA-IR pada subjek adalah 3.04 ± 1.24. Terdapat korelasi positif lemah antara rasio asupan omega-6/omega-3 dan HOMA-IR, namun tidak signifikan (r=0.161, p=0.157). Ditemukan hubungan signifikan antara DHA dan HOMA-IR setelah mengontrol faktor perancu (p=0.014). Tidak ada hubungan antara rasio asupan asam lemak omega-6/omega-3 dan HOMA-IR pada perempuan usia reproduktif. Namun, ditemukan hubungan antara asupan DHA dan HOMA-IR yang menunjukkan bahwa peningkatan asupan asam lemak tidak jenuh dapat mencegah terjadinya resistensi insulin. ......Insulin resistance is a decrease in the ability of tissues (muscle, liver, and adipose tissue) to respond to insulin that circulates normally in the blood which is at risk of developing type 2 diabetes mellitus. A high ratio of omega-6/omega-3 fatty acid intake is thought to play a role in reducing insulin sensitivity. This study aims to determine the association between the ratio of omega-6/omega-3 intake and HOMA-IR in reproductive-aged women. This cross-sectional study was conducted in Jakarta, from July to October 2021. Sampling used the consecutive sampling method and obtained 79 women subjects who met the research criteria. Data was collected through 24-hour food recall interviews 3 times, anthropometric measurements to assess nutritional status, and serum sampling to measure fasting blood glucose and insulin levels. The mean omega-6 intake in the subjects was 9.43 ± 3.69 grams/day, the median omega-3 intake in the subjects was 0.79 (0.23–3.53) grams/day, and the mean ratio of omega-6/omega-3 intake was 12.32 ± 4.32. The mean HOMA-IR in the subjects was 3.04 ± 1.24. There was weak positive correlation between the ratio of omega-6/omega-3 intake and HOMA-IR, but not significant (r=0.161, p=0.157). A significant relationship was found between DHA and HOMA-IR after adjusted confounding factors (p=0.014). There was no association between the ratio of omega-6/omega-3 fatty acid intake and HOMA-IR in reproductive-aged women. However, it was found that there was a assocation between DHA intake and HOMA-IR which indicated that increasing intake of unsaturated fatty acids could prevent insulin resistance
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Karla Athiyyah
Abstrak :
Pangan olahan adalah pangan yang telah melalui proses pengolahan dengan atau tanpa bahan tambahan. Berbagai jenis pangan olahan dijual di warteg-warteg sekitar Stasiun Universitas Indonesia (UI) dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat. Cemaran biologis dalam pangan olahan apabila terkonsumsi dapat menyebabkan penyakit bawaan pangan. Uji mikrobiologi pangan olahan dilakukan sesuai dengan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) No. 13 Tahun 2019. Total Plate Count (TPC) dan biakan media selektif dilakukan pada 5 sampel menu populer pangan olahan yang diperoleh dari 3 warteg yang berbeda, yaitu capcay dan telur dadar dari warteg A, ayam bumbu kecap dan kentang mustofa dari warteg B, dan tumis kangkung dari warteg C. Hasil TPC dengan jumlah mikroorganisme tertinggi terdapat pada sampel capcay yaitu 3,1x105 koloni/g yang melebihi ambang batas maksimum cemaran, sedangkan telur dadar, kentang mustofa, dan tumis kangkung memiliki hasil TPC di bawah ambang batas maksimum. Pada pemeriksaan media selektif, terdapat pertumbuhan koloni khamir dan kapang pada sampel capcay di agar Sabouraud sebesar 5,2x104 koloni/g. Tidak terdapat pertumbuhan koloni pada pemeriksaan media selektif sampel telur dadar, ayam bumbu kecap, tumis kangkung, dan kentang mustofa. Satu dari lima sampel pangan olahan, yaitu sampel capcay dari warteg A, tergolong tidak layak konsumsi karena tidak memenuhi ambang batas maksimum cemaran yang telah ditentukan oleh Peraturan BPOM No. 13 Tahun 2019. ......Processed food is any food that has been altered in some way during preparation with or without any additional ingredients. A variety of processed foods are sold in wartegs around the Universitas Indonesia Station and are consumed by all sort of people. Biological contaminations in processed foods, if ingested, can cause a foodborne illnesses. Microbiological examination of processed foods are carried out in accordance with Indonesian Food and Drug Supervisory Agency (BPOM) No. 13 of 2019. Total Plate Count (TPC) and selective media culture were carried out on 5 sample of popular processed foods menu obtained from 3 different wartegs, namely capcay and omelette from warteg A, soy sauce seasoned chicken and mustofa potatoes from warteg B, and sauteed water spinach from warteg C. The highest microorganism growth in TPC result was found in capcay sample with 3,1x105 colonies/g which exceeded the maximun contamination threshold, while omelette, mustofa potatoes, and sauteed water spinach had TPC results below the maximum threshold. In selective media culture, capcay sample had yeast and mold colony growth with 5,2x104 colony/g. Selective media culture growth are negative in omelette, soy sauce seasoned chicken, sauteed water spinach, and mustofa potatoes sample.One of the five processed food samples, namely the capcay from warteg A, was classified as unfit for consumption.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhanis Adrianto Setyawan
Abstrak :
Latar Belakang: Di sekitar lingkungan Stasiun Pondok Cina, salah satu stasiun tersibuk di kawasan Jabodetabek, terdapat banyak sekali kudapan yang digemari oleh masyarakat yang melewatinya. Kudapan tersebut tidak terlepas dari ancaman cemaran biologi (mikroorganisme) yang dapat menyebabkan berbagai macam masalah kesehatan seperti keracunan makanan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui cemaran biologi pada beberapa sampel kudapan di sekitar Stasiun Pondok Cina tersebut. Metode: Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Angka Lempeng Total (ALT) untuk mengetahui cemaran biologi secara tidak spesifik dan Biakan Media Selektif untuk mengetahui cemaran biologi secara spesifik sesuai dengan standar BPOM no.13 Tahun 2019. Lima sampel kudapan digunakan dalam penelitian ini didasari atas popularitas kudapan tersebut, yaitu cilok, batagor, kentang goreng, lumpia basah, dan telur gulung. Hasil: Pemeriksan ALT menunjukkan terdapat 3 kudapan yang melebihi batas yang ditetapkan oleh BPOM yaitu kentang goreng, lumpia basah, dan telur gulung dengan hasil berturut-turut 9.5 x 104 koloni/g dari standar 103 koloni/g, 4.1 x 104 koloni/g dari standar 103 koloni/g, dan 7.25 x 104 koloni/g dari standar 103 koloni/g. Sedangkan pada pemeriksaan pembiakan media selektif, tidak terdapat pertumbuhan koloni pada seluruh media biakan. Hasil penelitian menunjukkan ketiga sampel kudapan tersebut tidak memenuhi standar BPOM. Kesimpulan: Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan edukasi untuk penjual kudapan di sekitar Stasiun Pondok Cina guna menurunkan risiko cemaran biologi pada kudapan tersebut. ......Background: Pondok Cina Station is one of the busiest Train Station in the Jabodetabek area. Around that specific station, many food stalls sell street foods that many commuters like. The threats of biological hazards (microorganism) still lurking in those unstandardised street foods, commonly leading to food poisoning and affecting other aspects of human health. Method: To identify those hazards, this  research uses Total Plate Count (TPC) to identify unspecific microorganisms and media selective culture methods to identify specific microorganisms. The results of this examination will be compared with BPOM no. 13 2019 standard to ensure its safety. Five street foods that were examined were selected by their popularity, which are Cilok, Batagor, Potato Fries, Spring Rolls, and Egg Skewer. Result: Based on the TPC examination, three of the five foods that were examined exceeded the standard of the microbiological colony shown on the plate: Potato Fries with a result of 9.5 x 104 colony/g from 103 colony/g baseline, Spring Rolls with a result of 4.1 x 104 colony/g from 103 colony/g baseline, and Egg Skewer with a result of 7.25 x 104 colony/g from 103 colony/g baseline. In comparison, no colony is shown based on the media selective culture method. Conclusion: With those results, three of the five examined foods didn’t meet BPOM’s criteria. In conclusion, there is a need to educate sellers of street foods in Pondok Cina Station to lower the risk of biological hazards.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfi Rahma Putri
Abstrak :
Latar Belakang: Buruknya kualitas pola makan anak-anak dapat berkontribusi terhadap berbagai masalah kesehatan pada anak. Mengontrol salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola makan anak, seperti Appetitive Traits (perilaku makan), mungkin akan berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pola makan anak. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kualitas pola makan dengan appetitive traits (perilaku makan) pada anak usia 2-6 tahun di Jakarta. Metode: Studi potong lintang ini dilakukan di Kelurahan Pejagalan, Jakarta Utara. Studi ini diikuti oleh 263 ibu yang memiliki anak usia 2-6 tahun. Namun untuk analisis data yang berkaitan dengan kualitas pola makan, 68 subjek dikeluarkan karena under/over-reporting asupan energi. Dietary recall 24 jam digunakan untuk menilai asupan pada anak dan Diet Quality Index-Internation digunakan untuk menilai skor kualitas pola makan pada anak-anak. Appetitive traits (perilaku makan) dinilai dengan menggunakan kuesioner perilaku makan anak (Child eating behavior questionnaire). Untuk analisis multivariat, kami juga memasukkan praktik pemberian makan oleh orang tua dan lingkungan makanan rumah sebagai kemungkinan prediktor kualitas makanan di antara anak-anak. Hasil: Total skor dari kualitas pola makan pada subjek studi ini dikategorikan buruk. Peningkatan skor kualitas pola makan berkaitan dengan menurunnya skor sifat makan berlebihan secara emosional (emotional overeating). Selain itu, peningkatan skor komponen moderasi dari kualitas pola makan berkaitan dengan peningkatan skor sifat responsif terhadap rasa kenyang. Berdasarkan analisis linear regresi, usia anak, pendidikan ibu, ketersedian sayur dan buah merupakan predictor signifikan dari kualitas pola makan anak usia 2-6 tahun. Kesimpulan: Selain usia anak, tingkat pendidikan ibu dan ketersediaan sayur dan buah di rumah sebagai prediktor yang signifikan dari kualitas diet pada anak, sifat makan berlebihan secara emosional (emotional overeating) juga memiliki korelasi yang signifikan dengan skor kualitas diet anak. Hal ini menunjukkan adanya potensi penggunaan penilaian sifat makan berlebihan secara emosional atau emotional overeating untuk mengidentifikasi risiko kualitas diet yang buruk pada anak-anak serta untuk merencanakan intervensi terpadu dalam upaya perbaikan pola makan pada anak-anak. ......Background: Poor diet quality can contribute to various health-related problem. Controlling the factors that influence children’s diet such as appetitive traits may contribute to improve quality of diet among children. Therefore, this study aimed to assess correlation between diet quality score and appetitive traits among children aged 2-6 years. Methods: This cross-sectional study was conducted in Pejagalan Village, North Jakarta. Accordingly, 263 mothers with children aged 2-6 years complete the study. But for analysis related to diet quality, 68 respondents were excluded due to under/over-reporting energy intake. Two times 24-hour recall was used to measure dietary intake among children and Diet Quality Index-International was used to assess diet quality score among children aged 2-6 years. Appetitive traits were measured using Child Eating Behavior Questionnaire. For the multivariate analysis, we also included parental feeding practice and home food environment as possible predictors of diet quality among children. Result: Total diet quality score among children in this study was classified as poor. Higher score of diet quality was related with lower score of emotional over eating trait, and higher score of moderation component of diet quality was related with child who were more responsive to satiety. Then, child’s age, mother’s educational level, fruits availability, and vegetables availability were significant predictors of diet quality among our subjects. Conclusion: In addition to child’s age, mothers' education levels and vegetables and fruits availability as the significant predictor of diet quality among the children, child’s emotional overeating has significant correlation with the diet quality score. This finding suggests the potential use of children's emotional overeating assessments to identify the risk of poor diet quality and to plan an integrated intervention for dietary improvement among children.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Mardiyah
Abstrak :
Gangguan kepadatan tulang (osteoporosis dan osteopenia) merupakan masalah kesehatan masyarakat utama yang disebabkan oleh banyak faktor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan kepadatan tulang pada kelompok usia dewasa (30-55 tahun) di daerah urban dan rural terpilih Provinsi Jawa Barat tahun 2012. Disain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional dengan sampel sebanyak 142 responden. Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2012 di Pesona Khayangan, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok sebagai daerah urban dan Desa Pabuaran, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor sebagai daerah rural Provinsi Jawa Barat. Prevalensi gangguan kepadatan tulang dalam penelitian ini sebesar 31,7% (4,2% osteoporosis dan 27,5% osteopenia). Hasil analisis bivariat menunjukkan proporsi gangguan kepadatan tulang lebih banyak pada responden yang berusia ≥50 tahun (p-value=0,047) dan yang memiliki IMT <23,49 kg/m2 (p-value=0,003). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa responden yang memiliki IMT <23,49 kg/m2 akan mengalami gangguan kepadatan tulang sebesar 5,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang memiliki IMT >27,36 kg/m2 dan responden yang memiliki IMT 23,49-27,36 kg/m2 akan mengalami gangguan kepadatan tulang sebesar 2,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang memiliki IMT >27,36 kg/m2 setelah dikontrol variabel usia, asupan vitamin D dan asupan protein. Pada penelitian ini, IMT merupakan faktor yang paling berhubungan dengan gangguan kepadatan tulang setelah dikontrol variabel usia, asupan vitamin D dan asupan protein. Semakin rendah IMT, semakin tinggi risiko gangguan kepadatan tulang. ......Bone density disorder (osteoporosis and osteopenia) is a major public health problem caused by multifactor. The purpose of this study was to find out factors related to adult bone density disorder (30-55 years of age) in the selected urban and rural area, West Java Province, 2012. It used cross-sectional method and the sample was 142 respondents. The data was taken on May-June 2012 in Pesona Khayangan, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok as the urban area and Desa Pabuaran, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor as the rural area. Prevalence of bone density disorder in this study was 31,7% (4,2% osteoporosis and 27,5% osteopenia). Bivariate analysis showed higher proportion of bone density disorder in respondent aged ≥50 years (p-value=0,047) and BMI <23,49 kg/m2 (p-value=0,003). Multivariate analysis verified that respondent with BMI <23,49 kg/m2 will 5,5 times higher to have bone density disorder than respondent with BMI >27,36 kg/m2 and respondent with BMI 23,49-27,36 kg/m2 will 2,2 times higher to have bone density disorder than respondent with BMI >27,36 kg/m2 after controlled by age, vitamin D and protein intake variable. In this study, BMI is the most related factor of bone density disorder after controlled by age, vitamin D and protein intake variable. The lower BMI, the higher risk of bone density disorder.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T32979
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liliana
Abstrak :
[ABSTRAK
Pada kehamilan dibutuhkan asupan zat gizi yang adekuat untuk menunjang pembelahan sel dan pertumbuhan yang cepat. Seng merupakan kofaktor dari hampir sekitar 200 enzim yang berperan penting dalam embryogenesis. Defisiensi seng berhubungan dengan komplikasi pada ibu selama kehamilan dan persalinan serta gangguan pertumbuhan dan kelainan kongenital pada janin. Konsentrasi seng serum menurun sejak kehamilan trimester pertama hingga ketiga. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong lintang yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara konsentrasi seng serum maternal dengan tali pusat pada kehamilan trimester ketiga. Penelitian dilakukan di 10 puskesmas di Jakarta Timur pada bulan Maret 2015 sampai bulan April 2015. Pengambilan subyek dilakukan dengan cara konsekutif dan didapatkan 63 orang subyek yang memenuhi kriteria penelitian. Data dikumpulkan melalui wawancara meliputi data usia, usia kehamilan, paritas, pajanan rokok, pendapatan rumah tangga, pendidikan maternal, serta asupan protein, besi, tembaga dan seng dengan metode Food Frequency Questionnaire (FFQ) semikuantitatif. Pengukuran antropometri untuk menilai status gizi dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi konsentrasi seng serum dan tali pusat. Didapatkan rerata usia 27,63 ± 4,96 tahun dan sebagian besar subjek berada dalam kategori pendidikan tinggi dan pendapatan tinggi. Asupan seng menunjukkan 98,4% subjek memiliki asupan seng kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia. Nilai median konsentrasi seng serum maternal 53,70 (28.18 -67,61) μg/dL dan 82,5% subyek tergolong dalam kategori adekuat. Nilai median konsentrasi seng serum tali pusat adalah sebesar 85,11 (57.54 - 154,88) μg/dL, sedangkan 65,1% subjek tergolong dalam kategori tidak adekuat. Didapatkan rasio di antaranya 0,63 dengan korelasi tidak bermakna antara konsentrasi seng serum maternal dengan tali pusat (r=0,04, p=0,78).
ABSTRACT
Pregnancy is a period of rapid growth and cell differentiation, when both of the mother and the fetus are very susceptible to alterations in dietary supply, especially of nutrients which are marginal under normal circumstances. Zinc is required for cellular division and differentiation, and is an essential nutrient for normal embryogenesis. Zinc deficiency has been associated with complications of pregnancy and delivery, as well as growth retardation and congenital abnormalities in the fetus. It has been found that zinc levels keep decreasing during pregnancy from first trimester to third trimester. The aim of this cross sectional study was to find the correlation between serum maternal and cordblood zinc level during third trimester. Data collection was conducted during March 2015 to April 2015 on 10 selected primary health service in East Jakarta. Subjects were obtained using consecutive sampling method. A total of 63 pregnant subjects had met the study criteria. Data were collected through interviews including age, gestation age, parity, tobacco exposure, household income, maternal education, zinc intake, protein intake, iron intake, and copper intake. Anthropometry measurements to assess the nutritional status and laboratory examination i.e blood levels of maternal and cordblood zinc. Mean age was 27.63 ± 4.96 years and majority of the subjects were high-educated and well-income. Intake of zinc showed 98.4% of the subjects were less than recommended dietary allowances (RDA). Median of serum maternal zinc levels was 53.95 (27.97 ? 74.93) μg/dL, while 82.5% the of subjects were categorized as adequate zinc levels. Median of serum cordblood zinc levels was 84.92 (56.95 ? 155.86) μg/dL. No significant correlation was found between serum maternal and cordblood zinc (r=0.04, p=0.78) with the ratio between serum maternal and cordblood zinc was 0.63, Pregnancy is a period of rapid growth and cell differentiation, when both of the mother and the fetus are very susceptible to alterations in dietary supply, especially of nutrients which are marginal under normal circumstances. Zinc is required for cellular division and differentiation, and is an essential nutrient for normal embryogenesis. Zinc deficiency has been associated with complications of pregnancy and delivery, as well as growth retardation and congenital abnormalities in the fetus. It has been found that zinc levels keep decreasing during pregnancy from first trimester to third trimester. The aim of this cross sectional study was to find the correlation between serum maternal and cordblood zinc level during third trimester. Data collection was conducted during March 2015 to April 2015 on 10 selected primary health service in East Jakarta. Subjects were obtained using consecutive sampling method. A total of 63 pregnant subjects had met the study criteria. Data were collected through interviews including age, gestation age, parity, tobacco exposure, household income, maternal education, zinc intake, protein intake, iron intake, and copper intake. Anthropometry measurements to assess the nutritional status and laboratory examination i.e blood levels of maternal and cordblood zinc. Mean age was 27.63 ± 4.96 years and majority of the subjects were high-educated and well-income. Intake of zinc showed 98.4% of the subjects were less than recommended dietary allowances (RDA). Median of serum maternal zinc levels was 53.95 (27.97 – 74.93) μg/dL, while 82.5% the of subjects were categorized as adequate zinc levels. Median of serum cordblood zinc levels was 84.92 (56.95 – 155.86) μg/dL. No significant correlation was found between serum maternal and cordblood zinc (r=0.04, p=0.78) with the ratio between serum maternal and cordblood zinc was 0.63]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>