Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sari Nursita
"Pair programming adalah teknik yang dipakai dalam kegiatan membuat program, di mana dua orang akan bekerja berdampingan pada satu komputer untuk membuat satu rancangan, algoritma, kode program, atau kode tes. Penerapan pair programming dapat dinilai melalui tujuh faktor sinergis, yaitu pair pressure, pair negotiation, pair courage, pair review, pair debugging, pair learning dan pair trust.
Penelitian yang dijadikan tugas akhir ini bertujuan untuk menghasilkan rekomendasi penerapan pair programming pada kelas yang memberikan tugas pemrograman di Fasilkom UI, agar proses belajar menjadi lebih menyenangkan dan kepahaman mahasiswa di kelas tersebut dapat meningkat. Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus. Studi kasus dilakukan pada pengerjaan Tugas 2 kuliah Sistem Terdistribusi semester genap 2003/2004. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan dan wawancara, sedangkan rekomendasi sebagai hasil penelitian diambil dari analisa data selanjutnya. Secara keseluruhan, penerapan pair programming yang diamati dalam penelitian ini ternyata menunjukkan bahwa pair trust dan pair learning merupakan faktor sinergis terkuat sepanjang pengerjaan tugas. Pada kelompok yang nilai pair trust dan pair learning-nya tinggi, ternyata nilai pair courage, pair review, pair negotiation dan pair debugging turut meningkat. Hal ini pada akhirnya membantu meningkatkan pembelajaran (pair learning) mereka. Sedangkan pair pressure pada penelitian ini menurun seiring dengan semakin nyaman dan percayanya seorang subyek terhadap pasangan.
Pada studi kasus ini, penerapan pair programming didukung atau dihambat oleh waktu pengerjaan tugas, kemampuan mengatur jadwal pengerjaan, ketertarikan terhadap topik tugas atau kuliah, jenis dan tingkat kesulitan tugas, serta dukungan dari dosen dan asisten. Selain itu faktor lain yang menghambat atau mendukung pair programming adalah pemilihan pasangan, komunikasi dan komitmen antar pasangan, kepedulian dan kemauan berbagi ilmu, serta sikap yang benar terhadap diri dan ..."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katharina A. Pandegirot
"Seorang dikatakan cerdas, jika selain memiliki kemampuan berpikir yang baik dia juga menampilkannya secara konsisten dalam perilakunya sehari-hari ketika menjalani kehidupan Masalahnya, tidak semua orang yang memiliki kemampuan berpikir, memiliki pula karakter intelektual yang gemar berolah pikir. Dengan ketiadaan karakter ini, maka mustahil seseorang dapat tumbuh menjadi IW-time learner, suatu kualitas yang diperlukan individu untuk meneruskan perkembangannya secara mandiri selepas dari masa sekolah kelak, dan untuk menjalani hidupnya secara cerdas. Diketahui bahwa perkembangan manusia tidak terlepas dari konteks lingkungan tempat individu itu tinggal Dalam konteks lingkungan ini, terdapat pengaruh budaya, belief system dan serangkaian nilai-nilai di dalamnya. Maka universitas, sebagai tempat mahasiswa berkuliah, juga merupakan lingkungan sosial dan budaya, yang memiliki potensi besar sebagai tempat dilakukannya interalisasi budaya berpikir, karena di dalam universitas terdapat berbagai bidang ilmu yang memiliki metode-metode ilmu yang berbeda yang diduga dapat memberikan pengaruh berbeda pula. Institusi Pendidikan sebagai salah satu agen enkulturasi dianggap sebagai pihak yang bertanggung-jawab untuk mengembangkan karakter intelektual ini kepada para siswanya selain memberikan berbagai informasi dan ilmu pengetahuan. Penelitian ini melakukan eksplorasi atas penyebaran disposisi-disposisi Intelektual Character pada tiga metode ilmu yang berbeda yang terdapat dalam universitas, yang diwakili oleh enam (6) fakultas dan jurusan yang berbeda, pada kelompok subyek semester 2 dan semester 6. Dari eksplorasi ini diperoleh gambaran bahwa subjek semester 2 memiliki skor Intelektual Character yang lebih baik dibandingkan subjek semester 6. Dalam suasana belajar yang tidak memberikan orang bagi siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuannya atas materi kuliah yang diberikan melalui berbagai media yang diperlukan seperti diskusi, brainstroming, praktek laboratorium, praktek lapangan; sena tidak memberikan kesempatan untuk melakukan eksplorasi gagasan-gagasan sebagai pendalaman yang relevan atas suatu topik, universitas akan sulit menghasilkan individu berkarakter intelektual."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michiko Listiyo Komala
"Mengambil keputusan merupakan tindakan yang biasa dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari Pengambilan keputusan adalah proses mencari informasi tentang alternatif-alternatif` yang relevan dan membuat pilihan yang tepat (Atwater,1983). Empat tahap pencarian informasi sebelum pengambilan keputusan, meliputi : screening, memilih alternatif yang paling menjanjikan, dominance building, dan jika tidak berhasil, kembali ke masalah dan memilih altenatif yang paling menjanjikan (Montgomery dalam Lewicka, 1997). Menurut teori subjective expecred ulility, variabel yang mempengaruhi pengambilan keputusan adaiah subjective probability dan utility (Lewicka, 1997).
Pcngambilan keputusan terdiri dari yang sederhana. sampai yang kompleks,seperti memutuskan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Saat ini, remaja kota dan daerah banyak yang telah melakukan hubungan seksual pranikah (“Prilaku’°, 2001; “93%”, 2001; “Remaja”, 2001). Padahal banyak akibat negatif yang dapat ditimbulkan dari hubungan seksual pranikah (Sarwono, 1991). Salah satunya adalah kehamilan di Iuar nikah_ Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mencatat bahwa setiap tahunnya diperkirakan terjadi 1,5 juta kehamilan yang tidak dikehendaki dan sebagian besar dialami oleh remaja yang belum menikah (“Banyak", l999). Dibandingkan dengan remaja awal, remaja akhir lebih kompeten dalam mengambil keputusan (Rice, 1999). Jadi seharusnya remqa akhir sudah lebih mampu membuat keputusan daripada remaja awal. Tetapi mengapa ada remaja akhir yang memutuskan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran proses pengambilan keputusan remaja akhir untuk melakukan hubungan seksual pranikah,dan faktor-faktor yang mempengaruhinya Pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran proses pengambilan keputusan yang lebih menyeluruh, dan sesuai dengan makna yang dirasakan individu. Subyek penelitian ini berjumlah sepuluh orang, lima perempuan dan lima laki-laki. Karakteristik subjck penelitian ini meliputi 2 remaja yang bemsia 16 - 24 tahun,berjenis kelamin perempuan dan laki-laki, belum pernah menikah, yang sudah melakukan hubungan seksual pranikah, dan remaja yang bukan melakukan hubungan seksual pranikah sebagai pekerjaan Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan pengisian kuesioner (motivasi dan religiusitas). Analisa data dilakukan secara dua tahap, Tahap pertama, analisa dilakukan pada masing-masing kasus. Tahap kedua, analisa dilakukan secara antar kasus.
Dengan demikian, peneliti berharap dapat diperoleh suatu pola proses pengambilan keputusan untuk melakukan hubungan seksual pranikah secara individu dan secara ummm. Pada penelitian ini ditemukan bahwa masalah umum yang dialami remaja akhir adalah adanya ajakan untuk melakukan hubungan seksual dari pacar. Dalam proses pengambilan keputusan, remaja akhir dipengaruhi oleh emosional utility sehingga mereka memberikan nilai positif terhadap hubungan seksual pranikah Remaja akhir juga merasa yakin terhadap kemungkinan keberhasilan mereka dalam mencapai tujuan (subjeclive probability) jika melakukan hubungan seksual pranikah Temuan lain penelitian ini adalah faktor-faktor penyebab remaja akhir melakukan hubungan seksual pranikah, motivasi remaja akhir untuk melakukan hubungan seksual pranikah, religiusitas remaja akhir dan hubungan seksual pranikah, penilaian remaja akhir tentang hubungan seksual pranikah, inisiatif pihak perempuan untuk melakukan hubungan seksual pranikah, keutuhan keluarga dan hubungan seksual pranikah remaja akhir, dan keterbukaan subjek dalam menjawab pertanyaan peneliti
Saran praktis yang didapat dari penelitian ini meliputi : informasi tentang hubungan seksual pranikah diberikan sejak dini mengikuti perkembangan seksual remaja; perbanyak kesempatan untuk latihan dan diskusi tentang pengambilan keputusan dengan topik fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan schari-hari orangtua dan anggota keluarga lain mengawasi perilaku seksual anak mereka di rumah dan memberikan kegiatan kepada remaja yang sesuai dengan minat dan hobi sehingga remaja dapat menggunakan waktu mereka dengan kegiatan yang berguna."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Redatin Retno Pudjiati
"Perkembangan berfikir pada manusia telah menarik perhatian para filsuf berabad-abad lamanya, dan dalam dekade terakhir ini penelitian-penelitian mengenai hal tersebut berkembang lebih pesat dibandingkan dengan aspek-aspek perkembangan lainnya. Kegiatan berfikir atau juga dikenal dengan kognisi, mudah dan banyak diamati dalam penerapannya pada situasi belajar dan mengajar di sekolah.
Para ahli saat ini melihat belajar sebagai suatu proses membangunpengetahuan, seperti yang dikatakan oleh Resnick (1989) belajar adalah suatu proses untuk membangun pengetahuan, tergantung kepada pengetahuan terdahulu yang sudah dimiliki dan terkait dengan situasi dimana belajar itu terjadi. Sehingga dengan demikian anak dituntut memiliki kemampuan untuk mengarahkan dan mengatur proses belajar mereka atau dikenal juga sebagai kemampuan
metakognisi, yang didalamnya tercakup mekanisme-mekanisme self- regu!ation seperti melakukan pengecekan (checking), perencanaan (plaming), pemantauan (monitoring), pengujian (testing), perbaikan (revising) dan evaluasi (evaluating).
Bertitik tolak dari pemikiran Piaget yang mengemukakan bahwa kesiapan anak secara berbed untuk belajar metakognitif berada pada tahap formal operasional, sementara dipihak lain para ahli menemukan bahwa dalam usia yang lebih muda anak ternyata sudah lebih siap untuk mengerti bahan bacaan, maka penulis tertarik unluk meneliti “Proses perkembangan self-regulated learning yang diperoleh melalui pemahaman bacaan dan membuat ringkasan pada anak
SMU Dalam penelitian ini, anak akan diberi pelatihan yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan sley-regulated learning mereka. Pelatihan diberikan pada anak SMU karena diperkirakan mereka berada pada rentang usia 14 sampai dengan 18 tahun. Pada rentang usia ini diharapkan kemampuan anak untuk beriikir abstrak lebih berkembang. Jumlah sample dalam penelitian adaiah 16 orang.
Penelitian ini menemukan bahwa latihan memahami bacaan dan membuat ringkasan ternyata meningkatkan kernampuan self regulalea' learning anak secara umum. Ada peningkatan penggunaan strategi pada sesi setelah latihan dibandingkan sebelum latihan pada pertemuan kedua mulai nampak peningkatan penggunaan strategi terutama pada strategi evaluasi diri dan pemantauan (self-evaluation & moniroring) serta penetapan tujuan dan perencanaan (goal selling & straregic planning). Dalam penelitian ini ternyata anak palling banyak menggunakan strategi evaluasi diri dan pemantauan (self evaluation & monitoring), sementara yang paling sedikit digunakan adalah pemantauan strategi keluaran (strategic out come monitoring). Sebelum pelatihan rata-rata jumlah strategi anak berada dibawah 2, sementara setelah pelatihan jumlah strategi yang digunakan oleh anak mengalami kenaikan berkisar antara 1 - 4. Sedangkan jumlah kenaikan pcnggunaan slrategi yang paling menonjol terjadi pada pelatihan keempat.
Sementara itu perkembangan anak membuat ringkasan setelah pelatihan secara umum juga mengalami kenaikan dibandingkan sebelum pelatihan, begitu juga dengan nilai ulangan biologi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T38773
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Zabrina Ispratami Budi Sulistiyanti
"

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh parental belief terhadap perilaku bermain online games anak remaja serta menguji apakah regulasi diri anak remaja berperan sebagai mediator pada hubungan kedua variabel. Alat ukur yang digunakan adalah Parental Belief Questionnaire, Adolescent Self-Regulatory Inventory, dan Internet Gaming Disorder 20 Test. Hasil penelitian terhadap 64 pasangan orang tua dan anak remaja awal menunjukkan bahwa aspek kreativitas dan kemampuan praktis pada parental belief berpengaruh terhadap perilaku bermain online games, sedangkan aspek-aspek lain (kemampuan pemecahan masalah, konformitas, kemampuan kognitif, kemampuan sosial, kemampuan praktis di sekolah) tidak berpengaruh. Di samping itu, regulasi diri berpengaruh terhadap perilaku bermian online games namun tidak berperan sebagai mediator pada pengaruh variabel parental belief terhadap perilaku bermain online games.


This study aimed to examine the influence of parental belief on adolescents’ online gaming behavior and whether self-regulation took the role as mediator. The instruments used for this study were Parental Belief Questionnaire, Adolescent Self-Regulatory Inventory, and Internet Gaming Disorder 20 Test. Result from 64 pairs of parent-early adolescent child shows that two aspects of parental belief (creativity and practical skill) influence the online gaming behavior while other aspects (problem-solving skill, conformity, cognitive skill, social skill, and practical skill at school) do not. In addition, self–regulation influences the online gaming behavior but does not take the role as the mediator for the influence of parental belief on adolescents’ online gaming behavior.

"
2020
T55383
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muthia Dwi Larasati
"Temperamen dan pengasuhan reflektif (Parental Reflective Functioning/PRF) merupakan faktor internal dan eksternal pada anak yang berkontribusi dalam memengaruhi kemampuan regulasi emosi anak. Namun belum diketahui faktor mana yang memberikan kontribusi lebih besar dalam memengaruhi regulasi emosi. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan faktor mana di antara temperamen anak dan parental reflective functioning (PRF) ibu, beserta dimensi-dimensinya, yang memberikan kontribusi terbesar dalam memengaruhi regulasi emosi pada anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD), berdasarkan perspektif ibu. Desain penelitian non-experimental dan pendekatan kuantitatif digunakan dalam penelitian ini dengan total partisipan penelitian berjumlah 76 orang yang merupakan ibu yang memiliki anak dengan ASD. Alat ukur yang digunakan adalah Emotion Regulation Checklist (ERC) untuk mengkur regulasi emosi, Child Behavior Questionnaire (CBQ) untuk mengukur temperamen, dan Parental Reflective Functioning Questionnaire (PRFQ) untuk mengukur PRF. Teknik olah data statistik yang digunakan adalah hierarchical multiple regression - stepwise method. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa dua dimensi dari temperamen, yaitu effortful control dan negative affect, serta dua dimensi dari PRF, yaitu certainty of mental states dan interest and curiosity memberikan kontribusi secara signifikan dalam memengaruhi regulasi emosi, dengan dimensi yang memiliki kontribusi tertinggi adalah dimensi effortful control. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling berkontribusi dalam memengaruhi regulasi emosi pada anak dengan ASD adalah faktor effortful control yang merupakan bagian dari temperamen.

Temperament and reflective parenting (Parental Reflective Functioning/PRF) are contributing internal and external factors that influences child's emotion regulation. However, which factor that give larger contribution is remain unknown. This study aims to see which factor between temperament and mother's PRF, along with dimensions respectively, give larger contribution on influencing emotion regulation among children with Autism Spectrum Disorder (ASD), based on mothers perspective. Using non-experimental and quantitative design, with total 76 mothers who has children with ASD age 6-12 as participant, given three parent-report instruments, which are Emotion Regulation Checklist (ERC) to measure child's emotion regulation, Child Behavior Questionnaire (CBQ) to measure child's temperament, and Parental Reflective Functioning Questionnaire (PRFQ) to measure mother's PRF. Hierarchical multiple regression - stepwise method was used in this study. Result showed that two of three dimensions of temperament which are effortful control and negative affect, also two of three dimensions of PRF which are certainty of mental states and interest and curiosity significantly contribute in influencing emotion regulation among ASD children, with effortful control as the largest contributor. Thus, it can be concluded that the most contributing factor in influencing emotion regulation among ASD children is effortful control as part/dimension of temperament."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T51715
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Detricia Tedjawidjaja
"Tahap perkembangan remaja seringkali ditandai dengan peningkatan kecemasan sosial. Meskipun Social Anxiety Disorder (SAD) merupakan gangguan yang umum terjadi pada remaja, SAD cenderung sulit untuk diidentifikasi. Faktor budaya diduga berpengaruh terhadap batasan antara tingkat kecemasan sosial yang normal dan patologis. Penelitian ini menggunakan explanatory sequential design (kuantitatif-kualitatif) untuk (1) menguji pengaruh self-construal terhadap kecemasan sosial melalui peran mediasi emosi malu pada remaja etnis Jawa dan (2) menjelaskan penghayatan kecemasan sosial remaja etnis Jawa yang dibandingkan dengan gejala SAD dalam DSM-5. Dalam penelitian kuantitatif, pengukuran terhadap kecemasan sosial, self-construal, dan emosi malu melibatkan 37 remaja berusia 14-17 tahun dengan kedua orang tua beretnis Jawa dan berdomisili di Provinsi DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hasil uji mediasi menggunakan causal steps approach menunjukkan bahwa emosi malu tidak berperan dalam hubungan antara self-construal dengan kecemasan sosial. Selain itu, independent construal secara signifikan berpengaruh negatif dan emosi malu berpengaruh positif terhadap tingkat kecemasan sosial. Selanjutnya, empat partisipan dengan kecemasan sosial yang tinggi berdasarkan pengukuran pada penelitian kuantitatif diikutsertakan dalam wawancara mendalam tentang gejala kecemasan sosial yang mereka alami. Hasil dari inductive analysis menunjukkan bahwa tingginya kecemasan sosial tidak selalu mengarah pada penegakan diagnosis SAD. Norma dalam budaya Jawa yang cenderung menerima gejala kecemasan sosial menyebabkan dampak negatif tidak muncul terhadap fungsi sehari-hari remaja. Implikasi dari hasil penelitian ini menekankan pada pentingnya mempertimbangkan konteks budaya remaja dalam menegakkan diagnosis SAD.

Adolescence is often marked by increased social anxiety. Even though Social Anxiety Disorder (SAD) is one of the most common disorders among adolescents, SAD is likely to be difficult to recognize. Cultural factors may influence the boundary between the normal and pathological level of social anxiety to be ambiguous. Using an explanatory sequential design (quantitative-qualitative), the aims of this study were to (1) examine whether self-construal influence social anxiety through mediating role of and (2) explore the meaning and experience of social anxiety symptoms among Javanese adolescents by comparing them with SAD symptoms in DSM-5. For quantitative study, measurement of social anxiety, self-construal, and shame involved 37 adolescents aged 14-17 year-old with both parents are Javanese and settle in DI Yogyakarta, Central Java, and East Java Province. The result of mediation analysis using causal steps approach indicated that there is no mediation effect of shame in the relationship between self-construal and social anxiety. In addition, only independent construal have a negative effect and shame have a positive effect significantly on social anxiety intensity. Furthermore, four participants with high social anxiety based on measurement in the quantitative study were joined an in-depth interview about their social anxiety symptoms. Results of the inductive analysis indicated that high social anxiety does not necessarily lead to the diagnosis of SAD. Norms in Javanese culture that tends to tolerate social anxiety symptoms causes no negative impact on adolescents' functions of daily life. The findings suggest that considering adolescent cultural context is essential for diagnosing SAD."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davrina Rianda
"

LATAR BELAKANG: Berbagai studi telah menunjukkan efek potensial probiotik terhadap luaran neuropsikologis melalui aksis usus-otak. Akan tetapi, studi yang menilai efek suplementasi probiotik terhadap fungsi kognitif pada populasi anak dan remaja masih terbatas.

METODE: Peneliti melakukan studi tindak lanjut tahun ke-10 dari uji klinis teracak samar suplementasi probiotik Lactobacillus reuteri DSM 17938 atau Lactobacillus casei CRL 431 pada anak terhadap fungsi kognitif. Dari 494 anak yang mengikuti uji klinis pada 2007–2008, sebanyak 160 anak yang telah berusia 11–17 tahun mengikuti studi tindak lanjut. Pada uji klinis terdahulu, subjek diberikan susu dengan kalsium regular sebanyak 440 mg/hari (kelompok KR; = 58), kalsium regular dengan L. reuteri DSM 17938 5x10colony-forming units (CFU) (reuteri; n= 50), atau kalsium regular dengan L. casei CRL 431 5x10CFU (casei; n= 52) selama 6 bulan pada usia 1–6 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek suplementasi probiotik masa kanak-kanak tersebut terhadap tingkat intelegensi berdasarkan Standard Progressive Matricesdan kadar brain-derived neurotrophic factor(BDNF) serum pada masa remaja. Berbagai faktor biomedis (kualitas diet, antropometri, kadar hemoglobin, dan lain-lain) dan faktor lingkungan sosial (status pendidikan orangtua, dukungan lingkungan rumah, depresi, dll) terkait fungsi kognitif turut dinilai sebagai variabel perancu.

HASIL:Kadar BDNF serum masa remaja pada kelompok suplementasi probiotik L. reuteri DSM 17938 lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol yang secara statistik signifikan (p = 0,036), setelah disesuaikan dengan perancu. Tidak terdapat perbedaan proporsi tingkat intelegensi masa remaja yang bermakna berdasarkan riwayat suplementasi probiotik L. reuteri DSM 17938 maupun L. casei CRL 431 masa kanak-kanak. Pada regresi multipel, dukungan lingkungan rumah memiliki hubungan yang signifikan dan konsisten dengan tingkat intelegensi. Kadar BDNF serum berhubungan dengan status gizi dan kualitas diet.

 

KESIMPULAN: Anak yang mendapat suplementasi L. reuteri DSM 17938 memiliki kadar BDNF serum yang lebih rendah pada masa remaja. Hubungan yang konsisten antara faktor lingkungan sosial dengan fungsi kognitif menunjukkan pentingnya mengintegrasikan intervensi biomedis dengan lingkungan sosial untuk mencapai populasi berdaya.


BACKGROUND: Available evidence have shown potential effects of probiotics on neurobehavioral outcomes through ‘gut-brain axis’ mechanism. However, studies on cognitive function in children and adolescents are lacking.

METHODS: We conducted a 10-year follow-up study of randomised controlled trial of 6-month probiotic supplementation of Lactobacillus reuteri DSM 17938 or Lactobacillus casei CRL 431 in children on cognitive function. Of 494 children enrolled in 2007–2008, we re-enrolled 160 subjects at age 11–17 years. Subjects were given regular calcium milk containing 440 mg/d (RC group; n= 58), regular calcium with L. reuteriDSM 17938 5x10colony-forming units (CFU) (reuteri; n= 50), or regular calcium with L. casei CRL 431 5x10CFU (casei; n = 52) for 6 months at the age of 1–6 years. This study aimed to investigate the effect of probiotic supplementation during childhood on cognitive function based on grade of Standard Progressive Matrices and serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) levels in adolescents. We assessed various biomedical factors (ie. diet quality, anthropometry, and hemoglobin level) socio-environmental factors (ie. parental educations, home environment, and depression) related to cognitive outcomes as cofounding variables.

RESULTS: Compared with the RC group, the reuteri group had a significantly lower mean serum BDNF level [adj. difference 3127.5 pg/ml (95% CI: 213,5–6041,6)]. There was no difference in grade of SPM between groups nor difference on serum BDNF level between RC and casei group. In multiple regression models, the home environment had a significant and consistent association with grade of SPM. Serum BDNF level was associated with overweight/obesity and diet quality.

CONCLUSION: L. reuteri DSM 17938 supplementation during childhood was associated with lower serum BDNF level at the age of 11–17 years compared to control. The consistent association between socio-environmental factor and grade of SPM suggests that intervention of biomedical determinants should be integrated with the improvement of socioenvironmental factors to achieve thriving populations.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library