Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisaa Yuneva
Abstrak :
Saat ini, banyak pekerjaan yang dapat dilakukan dengan aktivitas fisik yang minimal dalam durasi yang cukup lama. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab munculnya sindroma metabolik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan aktivitas fisik antara karyawan FKUI dengan dan tanpa sindroma metabolik. Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang. Data penelitian diambil dari medical check-up tahun 2012 dan pengisian kuesioner Bouchard pada April-Mei 2015. Hasil analisis menunjukan tidak adanya perbedaan bermakna aktivitas fisik antara kedua kelompok (p>0,050). Dapat disimpulkan bahwa sindroma metabolik merupakan penyakit multifaktorial yang dapat disebabkan kurangnya aktivitas fisik dan faktor-faktor metabolik lainnya. ......These days, there are plenty jobs that involve mild physical activity for long periods of time. It can be one of the causes of metabolic syndrome. This research was done to find out whether the physical activity between employees of FMUI with and without metabolic syndrome were different using cross-sectional method. The data were collected from medical check-up results in 2012 and filled-out questionnaire in April-May 2015. The analysis results showed that the physical activity between the two groups (p>0.050). It was concluded that metabolic syndrome is a multifactorial illness caused by the lack of physical activity, as well as another metabolic factors.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhira Nuraini Afifa
Abstrak :
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit dengan prevalensi yang terus meningkat setiap tahunnya. Indonesia terbukti sebagai negara keenam dengan prevalensi DM tipe 2 terbesar di dunia. Sebagai penyakit multifaktorial, salah satu faktor yang disebutkan berpengaruh dalam kejadian DM tipe 2 adalah aktivitas fisik, yang didefinisikan sebagai pergerakan badan yang diproduksi kontraksi otot rangka yang meningkatkan konsumsi energi di atas level basal. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan aktivitas fisik antara karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia penderita DM tipe 2 dan tanpa DM tipe 2. Pengambilan data dilakukan dengan rekam data aktivitas fisik selama 2 hari kerja dan 1 hari libur melalui kuesioner Bouchard dan anamnesis. Hasil pengolahan data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna tingkat aktivitas fisik pada subjek DM tipe 2 dan tanpa DM tipe 2 (p = 0,988). Melalui penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa aktivitas fisik tidak menjadi variabel tunggal dalam menyebabkan DM tipe 2. ......Diabetes mellitus type 2 is a disease whose prevalence is increasing every year. Indonesia is considered as the 6th country of highest prevalence of DM type 2. As a multifactorial disease, one of factors that believed to be involved in causing DM type 2 is physical activity, which defined as bodily movement produced by skeletal muscle which increases energy expenditure above basal level. This research aims to know whether there is different physical activity level between DM type 2 and non DM type 2 employees of Faculty of Medicine Universitas Indonesia. Collecting data is performed by recording of the physical activity in 2 weekdays and 1 weekend through Bouchard questionnaire and anamnesis. The result of data analysis using Kolmogorov-Smirnov test showed that there was no significant difference of physical activity level of the subjects (p = 0,988). According to this research, physical activity level is not the only contributing factor of DM type 2.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meuthia Rana Amira Primaputri
Abstrak :
ABSTRAK
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit nomor satu penyebab kematian di Indonesia, dengan prevalensi 20-35% diantaranya disebabkan oleh hipertensi. Prevalensi hipertensi meningkat tiap tahunnya. Meningkatnya prevalensi hipertensi dapat dikarenakan pertambahan populasi, degeneratif, gaya hidup, dan kurangnya aktivitas fisik. Berdasarkan WHO, ketidaaktifan secara fisik menjadi empat faktor risiko utama yang menyebabkan mortalitas di dunia, hingga menyebabkan 3,2 juta kematian. Maka itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan aktivitas fisik antara karyawan dengan hipertensi dan tanpa hipertensi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari hasil medical check-up karyawan dan data primer mengenai aktivitas fisik yang didapatkan dari pengisian kuesioner Bouchard selama dua hari hari kerja dan satu hari libur. Data dianalisis dengan Uji Kolmogrov-Smirnov. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna tingkat aktivitas fisik antara karyawan dengan hipertensi dan tanpa hipertensi (p=1,00). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kejadian hipertensi tidak hanya dipengaruhi oleh kurangnya aktivitas fisik, terdapat banyak faktor lainnya.
ABSTRACT
Cardiovascular disease is one of leading causes of death in Indonesia, with a prevalence of 20-35% of which are caused by hypertension. The prevalence of hypertension increases each year. The increasing prevalence of hypertension can be due to population growth, degenerative, lifestyle, and lack of physical activity. According to the WHO, physically inactive is one of four major risk factors that cause mortality in the world, causing 3.2 million deaths. Thus, this study aims to determine whether there are differences in physical activity among employees with hypertension and without hypertension at the Faculty of Medicine, University of Indonesia. This study was conducted using cross-sectional. This study use secondary data from the results of medical check-ups of employees and primary data on physical activity from Bouchard questionnaires for two days working day and one day off. Data were analyzed using the Kolmogorov-Smirnov test. The result showed that there were no significant differences in levels of physical activity among employees with hypertension and without hypertension (p = 1,00). From this study it can be concluded that the incidence of hypertension is not only influenced by the lack of physical activity, but there are many other factors that contribute to cause hypertension.
2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhika Raspati
Abstrak :
Latar Belakang. Masalah kesehatan yang kerap muncul pada olahraga berlari banyak disebabkan oleh dehidrasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju keringat pelari rekreasional terlatih agar masalah kesehatatan terkait dehidrasi dapat dicegah. Metode. Penelitian eksperimental ini melibatkan 23 pelari rekreasional terlatih yang diminta untuk berlari selama satu jam pada pagi hari di ruang terbuka kota Jakarta. Berat badan subjek ditimbang sebelum dan setelah berlari. Selisih berat badan kemudian dikalkulasikan dengan volume asupan cairan selama latihan untuk memperoleh laju keringat. Hasil. Berdasarkan persentase kehilangan berat badan, 18 dari 23 subjek mengalami dehidrasi setelah berlari selama satu jam, dengan rata-rata mencapai 1.4 (1.4 ± 0,4) %. Selama latihan, rata-rata subjek minum sebanyak 311 mL. Rata-rata laju keringat yang dikeluarkan subjek mencapai 1.2 (1.2 ± 0,3) L/jam. Laju keringat memiliki korelasi positif dengan luas permukaan tubuh (r = 0,71, p < 0,01) dan juga indeks massa tubuh (r= 0,77, p < 0,01) subjek. Tidak ditemukan adanya korelasi signifikan antara laju keringat dengan intensitas dan riwayat latihan subjek. (p > 0,05) Kesimpulan. Tingginya laju keringat subjek masih belum diimbangi oleh asupan minum subjek, sehingga menyebabkan terjadinya dehidrasi. Untuk itu diperlukan edukasi mengenai strategi rehidrasi yang sesuai dengan kebutuhan individual untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan akibat dehidrasi ......Background. Health problems that often appear in running are mostly caused by dehydration. This research aims to know the sweat rate of trained recreational runners so that health problems related to dehydration can be prevented. Method. This experimental study involved 23 trained recreational runners who were asked to run for one hour on the morning day in the open space of the city of Jakarta. Subject was weighed (with precision up to 0,1 kg) before and after running. Body weight that were loss during running is then calculated with the volume of fluid intake to get the sweat rate. Results. Based on the percentage of body weight loss, 18 out of 23 subjects were dehydrated after running for one hour, with the average reaches 1.4 (1.4 ± 0,4)%. During practice, the average subject drinks as much as 311 mL. The average sweat rate of the subject was 1.2 (1.2 ± 0,3) L / hour. Sweat rate has a positive correlation with body surface area (r = 0,71, p <0,01) and also body mass index (r = 0,77, p <0,01). There was no significant correlation found between the sweat rate and the exercise intensity nor training history of the subject. (p> 0,05) Conclusion. The high sweat rate of the subject was still not matched by their fluid intake, causing dehydration. Therefore education is needed regarding the rehydration strategy that suits the individual needs to prevent health problems related to dehydration.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inarota Laily Bt Abd Mukti
Abstrak :
Tingkat aktivitas fisik di kalangan anak remaja semakin menurun. Gaya hidup sedenter, penggunaan gadget dan pola makanan cepat saji menyebabkan anak remaja berisiko menjadi overweight dan obes. Faktor-faktor tersebut mempunyai hubungan dengan peningkatan persentase lemak tubuh. Perlu upaya preventif untuk meningkatkan aktivitas fisik anak, salah satunya dengan melakukan transportasi aktif ke sekolah. Anak kelas 7 dan kelas 8 SMPN7 diminta mengisi lembar pertanyaan data pribadi dan penghasilan orang tua, lembar pertanyaan transportasi, Physical Activity Questionnaire for older Children PAQ-C , 24-hour food recall dan Tanner Stage. Pemeriksan tinggi badan, berat badan serta persentase lemak tubuh menggunakan BIA. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara persentase lemak tubuh dengan transportasi. Indeks massa tubuh IMT yang meningkat akan memberikan nilai persentase lemak tubuh yang turut meningkat. Skor PAQ-C yang meningkat akan memberikan nilai persentase lemak tubuh yang menurun.
Level of physical activity among adolescents has declined. Sedentary lifestyle, use of gadgets and fast food causing teenagers at risk of becoming overweight and obese. These factors associated with an increase in body fat percentage. One of preventive efforts in increasing physical activity is with active transportation to school. Seventh and 8th graders of SMPN7 who met the inclusion criterias were asked to fill out questions of personal data and parents income, a transport question sheet, Physical Activity Questionnaire for older Children PAQ C , 24 hour food recall and a personal assessment of Tanner Stage, continued with measurement of height, weight and body fat percentage using BIA. There is no relationship between percentage of body fat and transportation. Increasing of Body mass index BMI will give an increased of body fat percentage. An increase of PAQ C scores will provide a value of decreased body fat percentage.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58936
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leksolie Lirodon Foes
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang hubungan pola aktivitas fisik siswa SMP dengan status gizi, persen lemak tubuh dan Waist to Height Ratio. Fenomena saat ini adalah aktivitas fisik pada anak dan remaja mengalami penurunan sehingga mereka tidak dapat memenuhi rekomendasi aktivitas fisik. Penurunan ini disebabkan bertambahnya usia, kemajuan teknologi dan lamanya belajar di sekolah. Aktivitas fisik sedenter menempati urutan ke empat faktor risiko utama meningkatnya prevalensi berat badan berlebih dan obesitas yang semakin meningkat di populasi ini. Obesitas yang terjadi pada usia 10-14 tahun mempunyai risiko tertinggi (80%) mengalami obesitas saat dewasa, sehingga anak akan semakin dini mengalami penyakit tidak menular (PTM). Metode penelitian adalah potong lintang dengan desain deskriptif analisis. Subyek penelitian adalah siswa kelas 7-8 SMP X Jakarta Timur, usia antara 10-14 tahun. Penilain aktivitas fisik menggunakan metode Bouchard. Hasil penelitian: Status gizi siswa adalah 19,5% mengalami BB lebih dan 20,1% mengalami obesitas. 19,5% termasuk kategori persen lemak tubuh berlebih dan 7,3% obesitas. 32,9% siswa mengalami obesitas abdomen (risiko penyakit kardiometabolik). Pola aktivitas fisik siswa adalah hanya ≤ 18% yang melakukan aktivitas fisik kategori 6-9 (intensitas sedang dan berat) meskipun tidak terdapat hubungan antara pola aktivitas fisik siswa dengan status gizi, persen lemak tubuh serta Waist to Height Ratio. ......The study is about the relationship between physical activity patterns of junior high school students with nutritional status, body fat percentage, and Waist to Height Ratio. Physical activity in children and adolescents has decreased in current, so they cannot meet the physical activity recommendations. The decrease is due to the increasing age, technological advancements, length of study in school. Sedentary physical activity is the fourth major risk factor in elevating the prevalence of overweight and obesity. Obesity that occurs at the age of 10 to 14 years old has the highest risk (80%) of being obese when adults, a risk to earlier have Non-Communicable Diseases (NCD). Method: cross-sectional, descriptive analysis design. Subjects: 7 and 8th grades students of SMP X East Jakarta, aged 10-14 years. An assessment of the physical activity pattern: Bouchard method. Results: The nutritional status: 19,5% overweight and 20,1% were obese. 19,5% excess body fat percentage and 7,3% were obese. 32,9% were abdominal obesity (elevated risk of cardiometabolic disease). Physical activity pattern: less than 18% who do categories 6 to 9th of physical activity (moderate and high intensity), no relationship between the physical activity pattern of students with nutritional status, body fat percent, and Waist to Height Ratio.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marco Ariono
Abstrak :
Latar belakang: Gaya hidup sedenter menjadi topik yang penting karena telah terbukti bahwa terlalu lama duduk dapat menjadi faktor risiko berbagai penyakit. Tenaga Kesehatan memiliki prevalensi gaya hidup sedenter yang tinggi dan merupakan salah satu pekerja yang bekerja dengan sistem kerja gilir sehingga berisiko memiliki kualitas tidur yang buruk. Berjalan kaki memiliki manfaat kesehatan dan diduga dapat memperbaiki kualitas tidur. Jumlah langkah dapat diukur salah satunya dengan activity tracker. Diduga perlu ada edukasi penggunaan activity tracker agar dapat memperbaiki perilaku sedenter. Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh pengaruh edukasi penggunaan activity tracker terhadap jumlah langkah harian, kualitas tidur, dan health related fitness pada tenaga kesehatan kerja gilir Puskesmas Kecamatan X dengan gaya hidup sedenter dibandingkan dengan penggunaan activity tracker tanpa edukasi. Metode: Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimental di dua Puskesmas Kecamatan di Jakarta selama 8 minggu. Lima puluh empat tenaga kesehatan kerja gilir dirandomisasi menjadi dua kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberikan activity tracker serta edukasi mingguan sementara kelompok kontrol hanya diberikan activity tracker. Pada pemeriksaan data dasar dilakukan pemeriksaan jumlah langkah harian selama 1 minggu, kualitas tidur dengan kuesioner PSQI, komposisi tubuh (IMT, persen lemak total, lemak viseral), dan VO2max. Setelah 8 minggu intervensi, dilakukan pemeriksaan data akhir. Hasil: Terdapat peningkatan 1.295 langkah yang signifikan (p=0,004) pada kelompok intervensi bila dibandingkan pemeriksaan data dasar. Seiring dengan peningkatan jumlah langkah, terjadi perbaikan kualitas tidur yang signifikan (skor global PSQI -1,24 dengan p=0,041) pada kelompok intervensi dibandingkan data dasar. Namun, tidak terdapat perbedaan signifikan baik pada komposisi tubuh (IMT, persen lemak total, lemak viseral) maupun VO2max setelah 8 minggu. Kesimpulan: Edukasi penggunaan activity tracker dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan aktivitas fisik dan kualitas tidur pada tenaga kesehatan kerja gilir dengan gaya hidup sedenter. ......Background: A sedentary lifestyle is an important topic because it has been proven that sitting too long can be a risk factor for various diseases. Healthcare workers have a high prevalence of a sedentary lifestyle and they are one of the workers who work with a shift work system so they are at risk of having poor sleep quality. Walking has health benefits and is thought to improve sleep quality. Walking steps can be measured with an activity tracker. It is suspected that there needs to be education on the use of activity trackers in order to reduce sedentary behavior. Objective: To determine the effect of education on the use of an activity tracker on the number of daily steps, sleep quality, and health related fitness in shift work health workers at the Public Health Centers with a sedentary lifestyle compared to the use of an activity tracker without any education. Methods: This study used a quasi-experimental design in two Public Health Centers in Jakarta for 8 weeks. Fifty-four shift work health workers were randomized into two groups: the intervention group and the control group. The intervention group was given an activity tracker and weekly education while the control group was only given an activity tracker. The baseline data examined the number of daily steps for 1 week, sleep quality using the PSQI questionnaire, body composition (BMI, percent total fat, visceral fat), and VO2max. After 8 weeks of intervention, final data were examined. Results: There was a significant increase 1.295 steps (p=0.004) in the intervention group compared to baseline data. As the number of steps increased, there was a significant improvement in sleep quality (PSQI global score -1.24 with p=0.041) in the intervention group compared to baseline data. However, there were no differences in body composition (BMI, percent total fat, visceral fat) and VO2max after 8 weeks. Conclusion: Education on the use of activity trackers can be an alternative to increase physical activity and sleep quality for shift work health workers with a sedentary lifestyle.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Lestari
Abstrak :
Ketersediaan energi yang rendah merupakan gangguan kesehatan yang sering ditemukan pada atlet dan prevalensinya lebih tinggi di olahraga yang mementingkan estetika seperti menari. Karakteristik ketersediaan energi yang rendah yang sering ditemui pada penari itu adalah gangguan menstruasi, cedera muskuloskeletal dan gangguan pencernaan. Untuk pertama kalinya, studi ini mengevaluasi proporsi dan karakteristik ketersediaan energi yang rendah serta melihat korelasinya pada penari elit wanita di sekolah tari X Jakarta. Studi ini merupakan studi potong lintang pada 22 penari elit wanita di sekolah tari X Jakarta. Ketersediaan energi yang rendah dinilai dengan kuesioner ketersediaan energi yang rendah, pengukuran komposisi tubuh dengan metode bioimpedance analysis dan pengambilan biomarker hormon T3 total dan kortisol. Perilaku makan para penari dinilai dengan kuesioner EAT-26. Pengambilan data melalui kuisioner yang disebarluaskan secara daring. Sebanyak 36,3% penari elit wanita memiliki risiko ketersediaan energi yang rendah sehingga kesehatan dan performa mereka bermasalah. Ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara skor EAT-26 dengan penari yang berisiko ketersediaan energi yang rendah (p<0,05). Karakteristik ketersediaan energi yang rendah yang terbanyak adalah gangguan menstruasi, kemudian disfungsi pencernaan dan yang terakhir adalah cedera muskuloskeletal. Sebagai studi pilot, penelitian ini memperlihatkan bahwa kuesioner ketersediaan energi yang rendah dan EAT-26 dapat memaparkan gejala fisiologis dan psikologis pada penari elit wanita. ......Low energy availability is a health problem that is often found in athletes and its prevalence is higher in aesthetic sports, such as dancing. Characteristics of low energy availability that are often encountered in dancers are menstrual disturbance, musculoskeletal injuries, and digestive dysfunction. For the first time, this study evaluates the proportion and characteristics of low energy availability and its correlation between elite female dancers at X dance school in Jakarta. This study is a cross-sectional study with a total sampling of 22 elite female dancers at X dance school Jakarta. Low energy availability was assessed by using a low energy availability questionnaire, the dancer’s body composition was measured using the bioimpedance analysis method and blood sample of total T3 and cortisol were also checked. The dancer’s eating behavior was assessed using the EAT-26 questionnaire. The questionnaires were distributed online. As many as 36.3% of female elite dancers have a risk of low energy availability, thus, they have problem in their health and performance. It was found that there was a significant relationship between the EAT-26 score and dancers with risk of low energy availability (p<0.05). The most common characteristic of low energy availability is menstrual disorders. The second is digestive dysfunction and the last is musculoskeletal injury. As a pilot study, this study demonstrated that the low energy availability questionnaire and the EAT-26 can describe physiological and psychological symptoms in female elite dancers.

 

Keywords: Dancers, low energy availability, menstrual disorders, digestive dysfunction, musculoskeletal injuries

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Santosa
Abstrak :
Kurangnya aktivitas fisik dan meningkatnya gaya hidup sedenter meningkatkan risiko obesitas akibat kelebihan simpanan jaringan lemak. Gaya hidup sedenter salah satunya adalah akibat pekerjaan misalnya pada pekerja kantoran. Kebugaran kardiorespirasi yang rendah adalah prediktor yang kuat dan independen dari kesehatan metabolisme pada orang dewasa. melakukan aktivitas fisik secara teratur dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi sehingga menurunkan akumulasi simpanan jaringan lemak. persentase lemak tubuh dapat menggambarkan tingkat kebugaran kardiorespirasi seseorang. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan persentase massa lemak dengan kebugaran kardiorespirasi serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, subyek pada penelitian ini adalah pekerja kantoran laki-laki dan perempuan dengan usia 19-59 tahun. Persentase lemak tubuh dinilai menggunakan BIA dan kebugaran kardiorespirasi menggunakan YMCA step test. Jumlah subyek yang mengikuti penelitian 94 orang dengan nilai persentase lemak tubuh pada laki-laki dengan rerata 24,02 dan 39,45 pada subyek perempuan. Tingkat kebugaran kardiorespirasi yang paling banyak adalah tingkat kebugaran kardiorespirasi rata-rata yaitu sebesar 69,1% pada laki-laki dan tingkat kebugaran kardiorespirasi baik sebesar 84,6% pada perempuan. Korelasi persentase lemak tubuh dengan kebugaran kardiorespirasi didapatkan nilai r -0,44 (p<0,001). Terdapat multikolinearitas pada faktor IMT, lingkar pinggang dan lemak visceral. Setelah dilakukan analisis multivariat faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebugaran kardiorespirasi adalah jenis kelamin dan aktivitas fisik. ......Lack of physical activity and an increasingly sedentary lifestyle increase the risk of obesity due to excess fat tissue stores. One of them is a sedentary lifestyle due to work, for example in office workers. Low cardiorespiratory fitness is a strong and independent predictor of metabolic health in adults. doing regular physical activity can improve cardiorespiratory fitness thereby reducing the accumulation of fat tissue stores. Body fat percentage can describe a person's cardiorespiratory fitness level. This study was to determine the relationship between fat mass percentage and cardiorespiratory fitness and the influencing factors. This study used a cross-sectional design, the subjects in this study were male and female office workers aged 19-59 years. Body fat percentage was assessed using BIA and cardiorespiratory fitness using the YMCA step test. The number of subjects participating in the study was 94 people with a body fat percentage value in men with an average of 24.02 and 39.45 in female subjects. The highest level of cardiorespiratory fitness was the average level of cardiorespiratory fitness, which was 69.1% for men and the level of good cardiorespiratory fitness was 84.6% for women. The correlation between body fat percentage and cardiorespiratory fitness was obtained with a value of -0.44 (p<0.001). There is multicollinearity in BMI, waist circumference and visceral fat. After multivariate analysis, other factors that influence cardiorespiratory fitness are gender and physical activity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library