Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Miftahus Surur
Abstrak :
Salah satu persoalan yang menghinggapi negara-bangsa Indonesia hingga saat ini adalah sulitnya untuk mempercepat upaya reformasi birokrasi, suatu kata kunci yang diyakini sebagai gerbang utama pembesutan kesejahteraan dan ?kemajuan? masyarakat. Pendekatan sistem yang menghendaki keteraturan dalam memandang persoalan yang satu ini bukan hanya kurang memadai, melainkan juga kerap terpeleset ketika yang muncul dan beredar di wilayah publik justru ketidakteraturan-ketidakteraturan. Aparatur birokrasi yang sedari awal diharapkan menjadi entitas mumpuni pelayan publik justru berbalik arah menjadi sosok yang tidak sepenuhnya tepat seperti yang diimajinasi masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang menjaja birokrasi sebagai ruang pertarungan memperebutkan sumberdaya/modal, dan dengan sumberdaya/modal itu melakukan praktik yang meneguhkan otoritas mereka untuk menguasai pihak lain. Kajian ini ingin beringsut dari telaah birokrasi sebagai sistem keteraturan ke arah praktik sosial para aparaturnya yang sangat menentukan wajah dan potret birokrasi itu sendiri. Dengan menggamit perspektif teoretik tentang kemampuan agent mengarungi samudera struktur, kajian ini memperlihatkan adanya jalin-jemalin antara agent dan struktur sebagai proses timbal-balik yang menampakkan sisi-sisi khas dari wajah birokrasi di Indonesia. Proses-proses itu menunjukkan adanya kemampuan berstrategi para aparatur (agent) untuk meneguhkan, merespon, atau melampaui struktur yang ada. ......One of the main problem of Indonesian nation state is the difficulty to accelerate and speed up bureaucracy reform, a keyword to raise prosperities and developments of the people. The system method to create regularities precisely enlarges irregularities among public life. The bureaucracy apparatus who was expected as excellent public servant changed into the vague entities and become strangers among the people imagination. Most of them make bureaucracy as a contestation field to reach and raise the resources/modals then use it to strengthen their domination on the other. This study shifts from system approach to social practices of the apparatus in term of their capacities to determine the face of bureaucracy. Regarding with referring to the conception of agent power in relation to structure, this study shows the thick relation between agent and structure as duality processes and indicates the uniques of Indonesian bureaucracy. These processes show the capacities of agents strategies to strengthen and respond the structures.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
T29821
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Badrika
Abstrak :
Penelitian ini menemukan bahwa kegiatan pariwisata di Pura Tanah Lot, Desa Beraban, Kecamatan Kederi, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali telah menimbulkan respons dari warga masyarakat atau krama desa adat Beraban dalam aspek kehidupan ekonomi, sosial dan budayanya. Keindahan Pura Tanah Lot dan alam sekitar lingkungannya dijadikan produk wisata oleh warga masyarakat desa Beraban untuk memperoleh penghasilan tambahan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (kuren). Hasil penelitian ini sekaligus mengungkapkan suatu pola perubahan kebudayaan melalui akulturasi. Prilaku orientasi pasar dari warga masyarakat desa Beraban pada bidang jasa kepariwisataan di obyek wisata Pura Tanah Lot menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan inipun dipengaruhi oleh semakin bertambahnya kunjungan para wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara ke Pura Tanah Lot. Pendapatan yang diperoleh oleh warga masyarakat desa Beraban diutamakan untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonominya. Sedang pendapatan yang diperoleh oleh Pesa Adat Beraban sebagai pengelola obyek wisata melalui pemasukan dana dari kunjungan para wisatawan diutamakan untuk pelaksanaan upacara ritual atau piodalan di Pura Tanah Lot dan pura-pura lainnya yang ada di desa Beraban. Juga, pendapatan itu dapat digunakan untuk pembangunan Pura Tanah Lot maupun pura-pura yang ada di desa Beraban. Hal ini dapat mengurangi pemungutan iuran-iuran untuk kepentingan upacara ritual maupun pembangunan pura atau kebutuhan desa.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T1173
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzia Asyiek
Abstrak :
Dalam melibatkan pemindahan penduduk ke daerah baru yang tadinya belum digarap, sudah dilaksanakan di banyak negara di dunia, yang disebut dengan istilah pemukiman. Proyek-proyek pemukiman dapat dijumpai di berbagai daerah seperti Afrika, Amerika Selatan, Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Proyek-proyek pemukiman tersebut sekaligus pula digunakan untuk membantu tercapainya sasaran-sasaran berbagai kebijakan dimulai dari penyebaran penduduk, penyediaan tanah dan penghasilan yang lebih baik, sampai pada masalah-masalah yang berkaitan dengan keamanan nasional. Masalah kependudukan identik dengan masalah pemukiman. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa masalah kependudukan merupakan masalah yang menimpa hampir seluruh negara di dunia. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya usaha-usaha penanganan masalah kependudukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Konferensi Kependudukan Sedunia (United Nations World Population Confrence) yang diselenggarakan pada tahun 1965 di Belgrado. Dalam menangani masalah kependudukan di negara berkembang lebih mudah memecahkannya dibandingkan dengan negara yang sedang berkembang. Hal tersebut disebabkan karena pada negara berkembang, hal yang dihadapi hanya terbatas pada masalah kependudukan saja. Sedangkan pada negara yang sedang berkembang, bukan saja usaha pemecahan masalah tersebut di atas, tetapi lebih kompleks lagi, baik menghadapi usaha-usaha konsolidasi politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain maupun lajunya perkembangan penduduk yang pesat per tahunnya. Program pemukiman pedesaan di negara-negara Asia Tenggara telah lama sekali dilaksanakan dengan berbagai alasan-alasan kebijakan (alasan ekonomi, sosial, politik dan strategi) dalam menangani masalah kependudukan yang dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan pembangunan nasional. Misalnya di Indonesia, program pemukiman telah berlangsung sejak tahun 1905, yaitu pada waktu pemerintahan Belanda dengan istilah kolonisasi. Program ini dimaksudkan untuk mengurangi tekanan penduduk di pulau Jawa yang merupakan salah satu faktor penyebab meningkatnya kemiskinan di pulau tersebut. Demikian pula di Filipina, sejarah pemukiman di mulai sejak tahun 1930-an, Malaysia pada tahun 1957 sedangkan Muangthai sejak tahun 1940-an. Pemerintah kolonial Belanda pada abad kedua puluh, telah menyadari meningkatnya kemiskinan di pulau Jawa akibat dari kepadatan penduduk. Dari hasil sensus yang diselenggarakan pada tahun 1905, menunjukkan bahwa terdapat 30,1 juta jiwa penduduk yang berdiam di pulau Jawa sedangkan 7,5 juta jiwa penduduk berada di luar pulau Jawa. Namun terjadinya ketimpangan penyebaran jumlah penduduk di atas bukan hanya alasan satu-satunya penyebab kemelaratan di pedesaan Jawa, akan tetapi perubahan-perubahan yang terjadi pada ekonomi pedesaan sebagai akibat dari kegiatan perusahaan-perusahaan asing yang bekerja di bidang produksi dan ekspor tanaman perdagangan seperti tembakau dan tebu, membawa akibat buruk bagi penduduk pulau Jawa. Walaupun perusahaan-perusahaan perkebunan telah mulai mengubah fokus kegiatannya ke pulau Sumatera sesudah tahun 1900, namun keadaan sosio-ekonomi di pedesaan Jawa tetap suram. Di dalam usaha memperbaiki kondisi rakyat pedesaan Jawa, pemerintah kolonial Belanda melaksanakan kolonisasi, yaitu penempatan petani-petani dari daerah yang padat penduduknya di Jawa ke desa-desa baru yang berada di luar Jawa yang disebut koloni sebagai salah satu jalan untuk memecahkan masalah kemiskinan di pulau Jawa.
Depok: Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Eka Yulian
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas proses kebangkitan Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Menggunakan pendekatan penelitian etnografi. Secara mendalam melihat bagaimana prosesnya, siapa yang membangkitkan, apa tujuannya dan apa implikasinya. Proses kebangkitan itu kemudian dilukiskan sebagai Re-Invensi Kesultanan yang didalamnya terdapat rekacipta tradisi. Dalam upaya membangkitkan kesultanan, terdapat kepentingan politik dari aktor di luar kesultanan yang bertemu dengan kepentingan kesultanan. Pasca kebangkitan kesultanan, lembaga-lembaga adat di tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten ikut dibangkitkan. Selain itu juga muncul klaim-klaim tanah adat dengan mengatasnamakan tanah hibah sultan baik yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok.
ABSTRACT
This thesis describes the revival process of Kutai Kartanegara Ing Martadipura Sultanate. Using ethnographic research approach, this thesis provides an in-depth explanation about the rise-up process, who revived the Sultanate, what is the goal, and what are the implications. The process of revival was later described as a re-invention of the Sultanate in which there is a rekacipta of tradition. In order to revive the Sultanate, there are political interests from outside actors that would meet the interests within the Sultanate itself. After the revival, traditional institutions in the village, kecamatan, and kabupaten are also resurrected along with the Sultanate. There are also claims over the customary lands on behalf of the Sultan’s grant, coming from either individuals or groups.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41646
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lala Siti Sahara
Abstrak :
[ABSTRAK
Tesis ini memfokuskan diri pada bagaimana penegasan identitas diri komunitas lokal Sentani yang dieskpresikan di dalam ritual pembayaran harta kepala pada festival danau Sentani.

Para pelaku komunitas lokal Sentani menggunakan ritual dalam rangka menegosiasikan dan menyiasati penegasan kembali identitas diri mereka dan komunitasnya dalam menghadapi pelaku dan kelompok lain.

Ritual pembayaran harta kepala dalam festival danau Sentani mengalami beberapa perubahan dibandingkan ritual pembayaran harta kepala yang dilakukan di luar festival, karena para pelaku komunitas Sentani berhadapan dengan kekuatan dari luar diri mereka, seperti negara dan pasar global, sehingga mereka harus menegosiasikan, menyiasati dan menegaskan ekspresi identitas diri mereka sesuai dengan peluang yang ada.

Kepentingan pasar lebih berperan dominan atas kepentingan kelompok lokal Sentani. Pasar memiliki kemampuan mendikte atau menentukan unsur-unsur prosesi ritual yang harus melakukan penyesuaian dengan kepentingan pasar yang lebih luas.
ABSTRACT
This thesis is focused on the personal identity affirmation of local community Sentani, which expressed in the ritual of head rendering on Sentani lake festival. The doer of community local are using the ritual in order to negotiate and to deal with the reaffirmation of their personal identity and their community in facing the other doer and groups.

The head rendering ritual in Sentani lake festival has been changed a lot compared to the head rendering out of festival because the doer of the ceremony have to dealing with forces outside themselves, such as countries and global markets, so they have to negotiate, deal with and affirm the expression of their personal identity according to the existing opportunities.

The interest of the markets play more dominant role of the local community Sentani. The market has the ability to dictate or the determine the elements of ritual procession which should make the adjustments to the interest of the broader market;This thesis is focused on the personal identity affirmation of local community Sentani, which expressed in the ritual of head rendering on Sentani lake festival. The doer of community local are using the ritual in order to negotiate and to deal with the reaffirmation of their personal identity and their community in facing the other doer and groups. The head rendering ritual in Sentani lake festival has been changed a lot compared to the head rendering out of festival because the doer of the ceremony have to dealing with forces outside themselves, such as countries and global markets, so they have to negotiate, deal with and affirm the expression of their personal identity according to the existing opportunities. The interest of the markets play more dominant role of the local community Sentani. The market has the ability to dictate or the determine the elements of ritual procession which should make the adjustments to the interest of the broader market, This thesis is focused on the personal identity affirmation of local community Sentani, which expressed in the ritual of head rendering on Sentani lake festival. The doer of community local are using the ritual in order to negotiate and to deal with the reaffirmation of their personal identity and their community in facing the other doer and groups. The head rendering ritual in Sentani lake festival has been changed a lot compared to the head rendering out of festival because the doer of the ceremony have to dealing with forces outside themselves, such as countries and global markets, so they have to negotiate, deal with and affirm the expression of their personal identity according to the existing opportunities. The interest of the markets play more dominant role of the local community Sentani. The market has the ability to dictate or the determine the elements of ritual procession which should make the adjustments to the interest of the broader market]
2015
T42937
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Geger Riyanto
Abstrak :
ABSTRAK
Studi ini akan mengulas bagaimana penalaran asosiatif memungkinkan diskursus kebudayaan Indonesia bergulir dan membingkai para pelakunya dalam satu proyek kehidupan sosial bersama. Penalaran asosiatif, sejauh beberapa kajian antropologi terdahulu memperlihatkan, dikonseptualisasi sebagai fitur cara berpikir masyarakat primitif yang cacat dalam menangkap realitas khususnya ketika dibandingkan dengan modus berpikir modern yang saintifik. Telusur-telusur antropologis lainnya terhadap bentuk rasionalitas yang berbeda dari rasionalitas yang identik dengan masyarakat Barat cenderung mengabaikan konseptualisasi ini dan lebih berfokus memperlihatkan bagaimana penalaran liyan yang dikajinya juga logis dan masuk akal. Namun, penulis melihat konsep penalaran yang juga galib dianggap tak menaati prinsip kemasukakalan ini mempunyai faedah justru memungkinkan hubungan sosial yang ekstensif terselenggara, dan ini terlihat dari bagaimana tubuh pengetahuan diskursus kebudayaan Indonesia yang metaforis memungkinkan para pelaku yang tak sulit dikatakan bagian dari kehidupan modern sekalipun membayangkan keterlibatan dirinya dalam diskursus ini. Dibayangkan sebagai watak dari sebuah bangsa, kebudayaan senantiasa memperoleh tempat sebagai topik yang urgen karena dianggap variabel yang tak bisa tidak diperhitungkan bila bangsa bersangkutan ingin menaja diri menjadi bangsa yang unggul, betapapun dalam praktiknya kita tak bisa mempertanggungjawabkan adanya entitas empiris kebudayaan Indonesia. Kapasitas analogi antropomorfistis kebudayaan yang membuat para pelaku secara imajiner merasa berada dalam kompetisi konstan dengan entitas kebangsaan lainnya, dalam praktiknya, jauh lebih berarti untuk menggerakkan mereka sebagai kolektivitas alih-alih plausabilitasnya.
ABSTRACT
This study will examine the way associative reasoning enacting the discourse of Indonesian culture and involving the actors in a common social life project. Associative reasoning, in numbers of past anthropological studies, was commonly conceptualized as primitive society?s mode of false thinking which is unable to perceive objective reality especially when it came under comparison with modern scientific reasoning. The more recent anthropological studies on different form of rationalities compared to the Western one tend to dismiss this conceptualization and took more interest in showing how the other mode of reasoning is also logical and making sense in its own term. I, however, thought that the mode of thinking which disregard the rule of coherence is essential in enabling extensive social relationship, and this case is being shown by how the discourse of Indonesian culture make it possible for its actors to imagine his or her involvement in the discursive community. Imagined as the character of a nation, culture is always having a central place in common conversations due to it being considered as inseparable aspect for a nation which strives to be greater than the other, even though, in practice, I suspect, we could never prove the empirical presence of Indonesian culture. This anthropomorphist analogy of culture, which imaginarily providing the actors with a sensation of being in a constant competition with other national communities, in practice, is a far more important capacity in mobilizing people as a collectivity rather than its plausibility;This study will examine the way associative reasoning enacting the discourse of Indonesian culture and involving the actors in a common social life project. Associative reasoning, in numbers of past anthropological studies, was commonly conceptualized as primitive society?s mode of false thinking which is unable to perceive objective reality especially when it came under comparison with modern scientific reasoning. The more recent anthropological studies on different form of rationalities compared to the Western one tend to dismiss this conceptualization and took more interest in showing how the other mode of reasoning is also logical and making sense in its own term. I, however, thought that the mode of thinking which disregard the rule of coherence is essential in enabling extensive social relationship, and this case is being shown by how the discourse of Indonesian culture make it possible for its actors to imagine his or her involvement in the discursive community. Imagined as the character of a nation, culture is always having a central place in common conversations due to it being considered as inseparable aspect for a nation which strives to be greater than the other, even though, in practice, I suspect, we could never prove the empirical presence of Indonesian culture. This anthropomorphist analogy of culture, which imaginarily providing the actors with a sensation of being in a constant competition with other national communities, in practice, is a far more important capacity in mobilizing people as a collectivity rather than its plausibility.
2015
T43549
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Arum Kusumawardhani
Abstrak :
ABSTRAK
Arsitektur rumah Betawi sangat erat terkait dengan liyan. Hal ini jelas terlihat bila membandingkan arsitektur Betawi hasil reka cipta dengan arsitektur rumah Betawi Ora sebagai salah satu studi kasusnya. Temuan penelitian berupa adanya bangunan blandongan sebagai ruang publik dan pangkeng pendaringan sebagai ruang sakral pada rumah Betawi Ora yang tidak muncul pada arsitektur rumah Betawi hasil rekacipta, mempertegas adanya keliyanan tersebut. Rumah yang bagi masyarakat Betawi Ora merupakan bagian dari diri dan identitas mereka, menjadi liyan di tengah representasi formal yang menutupi keberadaan mereka.
Peminggiran terus menerus terhadap masyarakat Betawi sejak dari masa kolonial Hindia Belanda hingga sekarang ini, ditengarai sebagai faktor utama yang mempertegas keliyanan tersebut. Penghapusan kampung ? kampung Betawi sedikit banyak memaksa masyarakat Betawi untuk mengubah pola hidup dan keruangan mereka, menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru, termasuk juga pada cara mereka berarsitektur.
Keberadaan arsitektur rumah Betawi Ora yang belum diakui sebagai bagian dari kekayaan khasanah arsitektur tradisi Betawi akan dijelaskan melalui pendekatan historiografi arsitektural, terutama yang terkait dengan penyebab liyan serta penyikapan orang Betawi terhadap arsitektur dan keruangan mereka sendiri. Sebuah penelitian dengan menggunakan metode interpretasi menjadi dasar dari tulisan ini, yang bertujuan untuk mengangkat kesejarahan dari masyarakat kebanyakan melalui pendekatan ?history from below?.
Pendekatan teoritis terkait konsep liyan dan subaltern digunakan untuk mengenali masyarakat Betawi yang sering kali dikatakan sebagai kelompok marginal di ibu kota Jakarta. Keberadaan masyarakat Betawi dan kebudayaannya, terutama yang terkait dengan arsitektur rumah dan ruang keterbangunan mereka, akan diamati perubahan dan perkembangannya sejak periode akhir pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga periode reformasi sebagai upaya untuk memperjelas kesejarahan mereka dan liyan yang terkait erat di dalamnya.
Abstract
Betawi house architecture is closely related to ?Otherness?. This is clearly seen when comparing Betawi architecture formal representation with the architecture of Betawi Ora house as a case study. The research findings of blandongan as a public space and pangkeng pendaringan as sacred space at Betawi Ora house which does not appear on the architecture of Betawi house formal representation, confirm the existence of otherness. The house for Betawi Ora people is part of the self and their identity, became ?Others? in the middle of a formal representation that covers their existence. Continuous marginalization of the Betawi people since the colonial Dutch East Indies until now, identified as the main factors that reinforce the otherness. Elimination of the Betawi villages, forced the Betawi people to change their everyday life and spatiality, to adjust to new conditions, including to their architecture
The existence of Betawi Ora house that has not been recognized as part of Betawi architectural traditions will be explained through the historiography architectural approaches, especially those related to the cause of the ?Otherness? and Betawi people attitude towards their own architecture and spatial. A study using the interpretive research method is the basis of this paper, which aims to raise the history of the commoners through a 'history from below' strategy.
Theoretical approach and related concepts of Other and subaltern are used to identify the Betawi people, often said to be a marginal group in the capital city of Jakarta. The existence of the Betawi people and its culture, especially as related to architecture and their built environment, will be observed the changes and developments since the end of the period of the Dutch East Indies colonial rule until the period of reforms in an effort to clarify their historical and ?Otherness? are inextricably linked in it.
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
T31810
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Suratri
Abstrak :

Orang Tengger menarik untuk diteliti karena mereka berbeda dengan masyarakat lain yang hidup di wilayah Provinsi Jawa Timur. Orang Tengger adalah mereka yang sangat patuh menjalankan upacara-upacara adat dan sangat menjunjung tinggi kejujuran. Masalah penelitian dalam disertasi ini adalah orang keturunan Madura lebih memilih identitas utamanya sebagai orang Tengger. Pengumpulan data menggunakan metode pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ethnic boundary atau batas sosial orang Tengger adalah memiliki atribut-atribut seperti sarung, bahasa Tengger, masyarakat petani, dan patuh melaksanakan upacara adat. Orang Tengger adalah mereka yang tinggal di wilayah Tengger, pekerja keras, egaliter, cinta damai dan selalu berbuat baik, patuh pada pemimpin dan patuh menjalankan aturan adat, menjaga ikatan kekeluargaan dan dekat dengan dunia roh. Mereka yang keturunan Madura pada akhirnya melakukan proses ‘menjadi Tengger’ untuk mendapatkan berbagai akses karena hanya orang Tengger yang memiliki legitimasi untuk mendapatkan akses tersebut. Akses-akses yang didapatkan adalah akses identitas sosial, akses pasar, akses modal, akses pengetahuan, akses melalui negosiasi dari relasi sosial lain, akses kehidupan yang lebih baik dan juga termasuk akses otoritas bagi orang Tengger asli. Upaya kuat orang Tengger untuk mempertahankan batas sosial atau ethnic boundary menghasilkan konstruksi sosial yang menggambarkan wilayah Tengger sebagai wilayah sakral yang hanya orang-orang tertentu yang dapat hidup di dalamnya dan merupakan tempat yang aman dan tentram, yang pada akhirnya memberikan orang Tengger otonomi penuh untuk mengelola wilayahnya dengan intervensi minimal dari pihak luar


Tengger people are interesting to study because they are different from other communities living in the East Java Province. Tengger people are those who are very obedient in carrying out traditional ceremonies and highly uphold honesty. The research problem in  this dissertation is those who are of Madurese descent prefer their main identity as Tengger people. The data collection used the observation method involved and in-depth interviews. The results of the study concluded that the "ethnic boundary" of Tengger people are to have attributes such as sarong, Tengger language, farming community, and obediently carrying out traditional ceremonies. Tengger people are those who live in the Tengger region, are hard-working, egalitarian, peace-loving and always do good, obey the leader and obey the customary rules, maintain family ties and are close to the spirit world. Those who are of Madurese descent eventually carry out the process of 'becoming Tengger' to get various accesses because only Tengger people have the legitimacy to obtain such access. Accesses obtained are access to social identity, market access, access to capital, access to knowledge, access through negotiations from other social relations, access to a better life and also include access to authority for original Tengger people. The Tengger's strong efforts to maintain 'ethnic boundary' resulted in a social construction that depicted the Tengger region as a sacred area that only certain people could live in and is a safe and peaceful place, which then ultimately give Tengger people full autonomy to manage their territory with minimal intervention from outside parties.

 

2019
D2640
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfiah Rachmawati
Abstrak :
ABSTRAK
TIPTOP swalayan berdiri sejak tahun 1971 yang mengedepankan prinsip-prinsip islam di tengah perubahan sosial budaya dan tetap eksis hingga hari ini. Penelitian ini fokus pada implementasi perusahaan dalam menghadapi perubahan sosial dan budaya di setiap periodenya. TIPTOP swalayan menggunakan Budaya yang kuat dalam mengatur aspek internal organisasi. Nilai-nilai perusahaan diimplementasikan melalui ritual kegiatan dan acara kerohanian yang mampu membentuk anggota sehingga terbentuknya budaya dominan yaitu budaya islami. Manajemen pemasaran yang islami merupakan kebudayaan dominan di perusahaan ini. Selain itu, TIPTOP percaya bahwa lingkungan dimana organisasi beroperasi sangat berimplikasi terhadap kemajuan perusahaan. Lingkungan umum dan lingkungan spesifik organisasi perusahaan berkolaborasi untuk mempengaruhi posisi suatu organisasi. Penelitian ini juga membahas hubungan antara lingkungan umum dan spesifik yang mempengaruhi Budaya dominan perusahaan atau sebaliknya dimana, kedua faktor tersebut berpengaruh terhadap eksistensi TIPTOP swalayan.
ABSTRACT
TIPTOP retail store was built in 1971 with the principles of Islam, in the middle of culture and social changes and this store still survives until today. This study focused on the implementation of the company in facing social and culture changes in every period. TIPTOP retail store uses strong culture in managing the internal aspects of the organization. Corporate values through rites religious events and agendas are able to form the members into a dominant culture, in this case Islamic culture. Islamic marketing management is a dominant culture in this organization. Besides, TIPTOP believes that environment, where the organization runs, affects the organization development. General and specific environments combine to affect organization domain. This study also elaborated the relationship between general and specific environments combine to affect dominant culture, and vice versa. Where both of the factors influence the axistence of TIPTOP retail store.
2017
S68986
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulastriyono
Abstrak :
Pada awalnya, tanah timbul di muara sungai Progo terjadi karena proses alam yaitu akibat banjir yang membawa lumpur dan pasir yang mengendap kemudian muncul di pinggiran dan di tengah aliran muara sungai. Pada tahap berikutnya, dengan dilakukannya pembangunan tanggul pengaman banjir dan krep di sepanjang sisi timur muara sungai Progo mengakibatkan bentuk dan luas tanah timbul semakin bertambah (tahun 1985= 48 Ha. dan tahun 1996= 229,5360 Ha). Keberadaan tanah timbul di muara sungai, Progo sebagai tanah komunal desa (tanah desa) memberikan harapan yang baik bagi para petani dan aparat pemerintah desa Poncosari. Bagi para petani, keberadaan tanah timbul secara ekonomis potensial untuk usaha pertanian dan penambangan pasir. Di lain pihak, bagi aparat pemerintah desa Poncosari, keberadaan tanah timbul sebagai tanah komunal desa (tanah desa) merupakan salah satu asset/ kekayaan desa. Upaya penertiban penguasan tanah timbul oleh aparat pemerintah desa Poncosari didukung oleh para pejabat BPN kabupaten Bantul dengan Proyek Peningkatan Penguasaan hak Atas Tanah (PPPHT) yang dituangkan dalam keputusan desa nomor 4 tahun 1992. Upaya penertiban penguasaan tanah timbul tersebut mendapatkan reaksi atau tanggapan dari para petani penggarap sehingga mengakibatkan permasalahan yaitu konflik atau sengketa antara para petani penggarap dengan aparat pemerintah desa Poncosari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya penertiban penguasaan tanah timbul yang dilakukan oleh aparat pemerintah desa Poncosari menyebabkan konflik atau sengketa antara para petani penggarap dan aparat pemerintah desa Poncosari dan berdampak negatif bagi kehidupan para petani. Masing-masing pihak menggunakan caranya sendiri-sendiri dalam upaya menyelesaikan sengketanya. Konflik atau sengketa tersebut disebabkan oleh: Pertama, perbedaan persepsi kedua belah pihak mengenai penguasaan tanah timbul. Secara historis faktual, para petani penggarap telah terbukti sebagai pemegang hak garap atas tanah timbul yang berlangsung secara turun temurun tanpa ada gangguan dari pihak lain, konsekuensinya mereka tidak mau ditarik retribusi baik oleh aparat pemerintah desa atau negara. Di lain pihak, aparat pemerintah desa Poncosari sebagai pemegang kekuasaan desa merasa berhak merealisir hak ulayat desa untuk mengatur dan menertibkan penguasaan tanah komunal desa yang berupa tanah timbul dengan konsekuensi bahwa para petani yang menerima lahan wajib membayar retribusi kepada aparat pemerintah desa guna mendukung pembangunan desa. Kedua, para petani penggarap tanah timbul dan aparat pemerintah desa Poncosari masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda dalam mempertahankan status sebagai pemegang hak tanah timbul. Ketiga, para petani dan aparat pemerintah desa Poncosari mempunyai persepsi yang berbeda mengenai aturan yang seharusnya berlaku dalam melaksanakan hak penguasaan tanah timbul. Kehidupan para petani di desa Poncosari yang teratur merupakan suatu lapangan sosial yang semi-otonom (semi-autonomous social field). Di lain pihak, lingkungan kerja para aparat pemerintah desa Poncosari juga merupakan salah satu wujud lapangan sosial yang semi otonom (semi-autonomous social field). Kedua lapangan sosial yang semi-otonom tersebut mampu menciptakan aturan-aturan sendiri dan dan ditaati.nya, tetapi keduanya juga dapat menggunakan aturan-aturan tertulis yang dibuat oleh negara yang berujud perundang-undangan. Dalam hal ini, kedua belah pihak tetap rentan terhadap kekuatan dari luar yang lebih besar. Bagi kedua belah pihak, penguasaan aturan-aturan tersebut tergantung kepada kepentingannya, dalam arti mereka akan menggunakan aturan yang lebih menguntungkannya. Konflik atau sengketa penguasaan tanah timbul di desa Poncosari berdampak negatif bagi kehidupan para petani karena konflik atau sengketa 'penguasaan tanah timbul di desa Poncosari antara lain megakibatkan terganggunya keserasian hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari, terutama di dusun Sambeng II. Berbagai strategi untuk menyelesaikan konflik atau sengketa telah dilakukan oleh para pihak yang bersengketa. Di satu pihak, para petani melakukan koalisi secara vertikal dengan para tokoh-tokoh politik, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) serta koalisi secara horizontal dengan membentuk Kelompok Petani Penggarap Tanah Timbul Pinggir Kali (KETALI). Di lain pihak, aparat pemerintah desa Poncosari juga melakukan koalisi secara vertikal dengan para pejabat atasannya seperti camat, aparat keamanan bupati dan gubernur.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>