Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widya Purnama Sari
"

ABTRAK

Nama : Widya Purnama Sari
Program Studi : Kajian Administrasi Rumah Sakit
Judul : Analisis Keterlambatan Kenaikan Pangkat bagi Staf Medis
di Departemen Mata RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Tahun
2018
Pada peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2000 Tentang
Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil disebutkan Kenaikan pangkat adalah
penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan terhadap Negara. Naik pangkat dapat menjadi dorongan kepada
Pegawai Negeri Sipil untuk lebih meningkatkan prestasi kerja dan pengabdiannya.
Karena kenaikan pangkat merupakan penghargaan dan setiap penghargaan memiliki
nilai apabila kenaikan pangkat diberikan tepat orang dan tepat waktu.
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo merupakan
Rumah Sakit Pendidikan dimana memiliki tenaga medis subspesialistik yang beragam,
memiliki kompetensi dan masa kerja yang cukup lama. Berdasarkan data yang ada pada
Unit Sumber Daya Manusia (SDM) Departemen Mata tercatat 14 Dokter Spesialis
Mata yang berstatus Dodiknis dari 30 Dokter Spesialis Mata yang berstatus PNS
sehingga masih terdapat 16 Dokter yang belum melakukan inpassing dan 10 staf medis
belum memiliki jabatan fungsional pendidikan.
Diketahui Ketepatan kenaikan pangkat bagi staf medis di Departemen Mata
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang adalah variabel penilaian diri
sendiri dengan nilai p=0,015. Dilakukan analisis dengan wawancara mendalam kepada
staf medis dimana diperoleh informasi yang mempegaruhi keterlambatan kenaikan
pangkat bagi staf medis yaitu staf tidak mengerti proses inpassing dan belum memiliki
publikasi sehingga belum dapat mengurus kenaikan jabatan akademik dosen. Rumitnya
proses administrasi baik kenaikan pangkat ataupun proses inpassing membuat sebagian
staf lebih memilih untuk melakukan pelayanan dibandingkan melakukan penilitian.
Kata kunci:
Naik pangkat, staf medis, jabatan fungsional


ABTRACT

Name : Widya Purnama Sari
Program of Study : Hospital Administration Study
Title : Analysis of Delays in Promotion for Medical Staff in
Department of Ophthalmologi RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo in 2018
In the government regulation of the Republic of Indonesia Number 99 of year
2000 concerning the Promotion of Civil Servants mentioned the promotion is an award
given for the work performance and dedication of the concerned Civil Servants to the
State. Promotion can be a boost to Civil Servants to further improve their work
performance and service. Because promotion is an award and each award has a value if
the promotion is given to the right person and on time.
Cipto Mangunkusumo Hospital is a Teaching Hospital where it has a variety of
subspecialty medical personnel, has competency and has a long working period. Based
on the data available at the Department of Human Resources (SDM), there were 14
Dodiknis Ophthalmologists from 30 Ophthalmologists who were civil servant status so
that there were still 16 Doctors who had not done inpassing and 10 medical staff did
not have functional educational positions.
It is known that the accuracy of promotion for medical staff at Department of
Ophthalmology is influenced by several factors, one of the factors is the selfassessment
variable with a value of p = 0.015. An analysis was conducted with in-depth
interviews with medical staff where information was obtained which affected the delay
in promotion for medical staff, staff did not understand the inpassing process and did
not have publications so that they could not take care of the increase in academic
lecturer positions. The complexity of the administrative process both promotion and
inpassing process makes some staff prefer to do service rather than doing research
Keywords: Civil servants, medical staf, fungtional structure

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T51791
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Whisnu Bambang Jatmiko
"Latar Belakang: Limfoma Non-Hodgkin (LNH) sel B merupakan jenis keganasan yang paling sering ditemui di regio adneksa okular, dimana sebagian besar jenisnya merupakan derajat indolen yang memiliki manifestasi klinis yang ringan dan tidak spesifik, sehingga pasien seringkali datang dengan kondisi morbiditas yang buruk disertai dengan turun atau hilangnya fungsi penglihatan.BCL-10 sebagai salah satu biomarker yang diketahui memiliki peranan sebagai agen pro-apoptosis yang seharusnya menekan perkembangan tumor, justru lebih banyak ditemukan pada LNH sel B.
Tujuan: Menilai hubungan antara ekspresi biomarker BCL-10 terhadap prognosis yang berupa overall survival (OS), progression free survival (PFS) dan event free survival (EFS) pada pasien dengan LNH sel B adneksa okular.
Metode: Pewarnaan imunohistokimia menggunakan antibodi BCL-10 dilakukan pada jaringan LNH sel B adneksa okular di blok parafin yang berasal dari data rekam medis sejak Juni 2016 – Juni 2021 di RSCM. Penilaian ekspresi dilakukan pada nukleus dan sitoplasma dengan metode manual dan semi-kuantitatif pada 5 lapang pandang dari hasil foto dan diproses ke dalam peranti lunak Qupath. Hasil penilaian selanjutnya di cek silang dengan data klinis pasien yang sudah dicatat di tabel induk dan kemudian dianalisa secara statistik untuk mengetahui hubungan keduanya
Hasil: Total 47 pasien dengan ketersediaan blok parafin dianalisa berdasarkan data klinis dan ekspresi BCL-10 serta hubungannya dengan prognosis. Kelompok usia > 61 tahun saat terdiagnosis limfoma memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk meninggal (p=0,03). Jenis histopatologi terbanyak adalah Extranodal Marginal Zone Lymphoma (EMZL) sebanyak 83%. Ekspresi BCL-10 pada nukleus dan sitoplasma lebih banyak ditemukan pada LNH sel B derajat agresif (p<0,01 dan p=0,01). Persentase masing-masing prognosis adalah OS 80%, PFS 55%, dan EFS 82%. Tidak terdapat hubungan antara ekspresi BCL-10 pada prognosis (p>0,05), namun uji Regresi-Cox menunjukkan bahwa ada kecenderungan hubungan antara jenis histopatologi dengan semakin rendah nilai OS, PFS, dan EFS berdasarkan nilai hazard ratio. (HR=1,07; HR= 0,74; HR=0,08)
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi BCL-10 di nukleus dan sitoplasma dengan prognosis baik OS, PFS, dan EFS. Namun terdapat kecenderungan hubungan antara ekspresi positif dan intensitas kuat pada sitoplasma dengan semakin rendah nilai laju kesintasan, laju bebas progresivitas, dan laju bebas kejadian. Sementara itu, terdapat korelasi kuat antara semakin tua pasien saat terdiagnosis limfoma dengan risiko yang lebih besar untuk meninggal dan ekspresi BCL-10 lebih banyak ditemukan pada LNH sel B derajat agresif.

Background: B-cell Non-Hodgkin Lymphoma (NHL) is the most common type of malignancy in the ocular adnexa region. Most types are indolent grades with mild and non-specific clinical manifestations, so patients often come with poor morbidity accompanied by a decrease or loss of visual function. BCL-10, known as one of the biomarkers which have a role as a pro-apoptotic agent that suppresses tumor development, is even more found in B-cell NHL.
Objective: To assess the relationship between the expression of the BCL-10 and the prognosis in the form of overall survival (OS), known progression-free survival (PFS) and event-free survival (EFS) in patients with ocular adnexal B-cell NHL.
Methods: Immunohistochemical staining using BCL-10 antibody was performed on ocular adnexal B cell NHL tissue in paraffin blocks derived from medical record data from June 2016 – June 2021 at RSCM. Expression assessment was carried out on the nucleus and cytoplasm by manual and semi-quantitative methods in 5 fields of view from the photographs and processed into Qupath software. The assessment results were then cross-checked with the patient's clinical data recorded in the main table and then statistically analyzed to determine the relationship between the two.
Results: A total of 47 patients with paraffin block availability were analyzed based on clinical data and BCL-10 expression and its relationship with prognosis. When diagnosed with lymphoma, the age group > 61 years had a ten times greater risk of dying (p=0.03). The most common histopathological type was Extranodal Marginal Zone Lymphoma (EMZL), with 83%. BCL-10 expression in the nucleus and cytoplasm was found more in aggressive B cell NHL (p<0.01 and p=0.01). The percentage of each prognosis is OS 80%, PFS 55%, and EFS 82%. There was no relationship between BCL-10 expression and prognosis (p>0.05). However, the Cox-Regression test showed a tendency for a relationship between the type of histopathology and lower OS, PFS, and EFS values based on the hazard ratio. (HR=1.07; HR=0.74; HR=0.08).
Conclusion: There is no significant relationship between BCL-10 expression in the nucleus and cytoplasm with OS, PFS, and EFS prognosis. However, there is a tendency for a relationship between positive expression and strong intensity in the cytoplasm with lower survival rates, progression-free rates, and event-free rates. Meanwhile, there is a strong correlation between the older the patient when diagnosed with lymphoma and the greater risk of death and BCL-10 expression is found more in aggressive B-cell NHL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinand Inno Luminta
"Latar Belakang: Karsinoma sel sebasea adalah keganasan yang cukup sering ditemukan pada populasi Asia dan bersifat agresif dengan tingkat rekurensi lokal dan metastasis jauh yang tinggi. Peningkatan ekspresi pulasan imunohistokimia (IHK) tumor suppressor gene p53 dan Ki-67 sebagai penanda aktifitas proliferasi pada tumor kepala dan leher menunjukkan adanya korelasi antara aktivitas proliferasi dengan buruknya prognosis.
Tujuan: Menilai ekspresi p53 dan Ki-67 pada karsinoma sel sebasea yang dihubungkan dengan faktor prognostik klinis dan histopatologi pada karsinoma sel sebasea yaitu ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening (KGB), metastasis jauh, diferensiasi, penyebaran pagetoid, dan invasi perineural.
Metode: Pulasan IHK menggunakan antibodi p53 dan Ki-67 dilakukan pada jaringan karsinoma sel sebasea di blok parafin yang berasal dari data rekam medis sejak Juni 2017 – Juni 2022 di RSCM. Penilaian ekspresi dilakukan pada nukleus dengan metode manual dan semi-kuantitatif pada 1 lapang pandang dengan minimal jumlah sel sebanyak 500 sel dari hasil foto dan diproses ke dalam peranti lunak Qupath. Hasil penilaian selanjutnya di cek silang dengan data klinis pasien yang sudah dicatat di tabel induk dan kemudian dianalisa secara statistik untuk mengetahui hubungan keduanya.
Hasil: Total 34 pasien dengan ketersediaan blok parafin dianalisa berdasarkan data klinis dan ekspresi p53 dan Ki-67. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi p53 pada hasil penelitian menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu adanya metastasis, invasi perineural, dan penyebaran pagetoid. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi Ki-67 pada penelitian ini menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu ukuran tumor yang lebih besar, metastasis, diferensiasi buruk, dan invasi perineural.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ekspresi Ki-67 dan p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi buruk pada karsinoma sel sebasea. Terdapat proporsi sampel dengan ekspresi Ki-67 tinggi yang lebih banyak dan nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor, metastasis, berdiferensiasi buruk, serta invasi perineural, meskipun hasil yang didapatkan tidak jauh berbeda dan secara statistik tidak bermakna. Pada pulasan p53 terdapat perbedaan yang cukup besar dalam hal proporsi pulasan dengan ekspresi tinggi serta nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor.

Sebaceous cell carcinoma is a relatively common malignancy in the Asian population, characterized by aggressive behavior with high rates of local recurrence and distant metastasis. Increased expression of immunohistochemical marker such as tumor suppressor gene p53 and Ki-67, a proliferation marker, in head and neck tumors suggests a correlation between proliferation activity and poor prognosis.
Objective: This study aims to evaluate the expression of p53 and Ki-67 in sebaceous cell carcinoma and its association with clinical and histopathological prognostic factors, including tumor size, lymph node involvement, distant metastasis, cell differentiation, pagetoid spread, and perineural invasion.
Methods: Immunohistochemical staining using p53 and Ki-67 antibodies was performed on paraffin-embedded sebaceous cell carcinoma tissues obtained from medical records between June 2017 and June 2022 at RSCM. Expression assessment was conducted on nuclei using manual and semi-quantitative methods on 500 cells per field processed with Qupath software. The results were cross-checked with patients' clinical data recorded in a master table and statistically analyzed to determine their relationship.
Results: A total of 34 patients were analyzed based on clinical data and p53 and Ki-67 expression. There was no statistically significant association between p53 expression and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). However, high p53 expression was associated with a higher proportion of poor prognostic factors, such as metastasis, perineural invasion, and pagetoid spread. Similarly, there was no statistically significant association between Ki-67 expression categories and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). High Ki-67 expression was more frequently observed in cases with larger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion.
Conclusion: This study found no significant statistical association between Ki-67 and p53 expression with poor prognostic factors in sebaceous cell carcinoma. Nonetheless, a higher proportion of samples with high Ki-67 expression and higher median values were observed in cases with bigger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion, although these differences were not statistically significant. For p53 expression, significant differences were found in terms of proportion and median values concerning tumor size prognostic factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Indira Sari
"Tujuan: Menganalisis efek pemberian sitikolin terhadap kerusakan sel ganglion tikus pada Etambutol Optik Neuropati (EON).
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan hewan coba tikus. Lima belas ekor tikus Wistar dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok tanpa perlakuan (A), kelompok etambutol (B), kelompok etambutol dan sitikolin (C). Kelompok B dan C diberikan perlakuan selama 30 hari, kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menilai densitas sel ganglion retina, dan imunohistokimia untuk menilai ekspresi bcl-2 dan caspase-3.
Hasil: Densitas sel ganglion retina tikus dengan intoksikasi etambutol yang mendapat sitikolin lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapatkan sitikolin (p=0,001). Lapisan ganglion tikus yang mendapat sitikolin lebih tipis dibandingkan yang tidak mendapatkan sitikolin (p=0,005), peningkatan ketebalan lapisan sel ganglion ini karena pembentukan vakuola pada sitoplasma sel ganglion. Tikus dengan sitikolin didapatkan ekspresi bcl-2 ganglion yang lebih tinggi (p=0,001), dan ekspresi caspase-3 yang lebih rendah (p=0,02) dibandingkan tikus yang tidak mendapatkan sitikolin.
Simpulan: Sitikolin memberikan efek proteksi terhadap sel ganglion retina dengan EON, dinilai dari morfologi sel ganglion dan ekspresi caspase-3 dan bcl-2.

Objective: To analyze the effects of citicoline administration on rat ganglion cell damage in Ethambutol Optic Neuropathy (EON).
Method: This study was an experimental study with rat experiments. Fifteen Wistar rats were divided into three groups, the non-treatment group (A), the ethambutol group (B), the ethambutol and citicoline group (C). Group B and C were given treatment for 30 days, then histopathological examination was performed to assess retinal ganglion cell density, and immunohistochemistry to assess bcl-2 and caspase-3 expression.
Result: retinal ganglion cell density of rat with ethambutol intoxication that received citicoline were higher than those who did not get citicoline (p = 0.001). The rat ganglion layer that received citicoline was thinner than those who did not get citicoline (p = 0.005), the increase in thickness of the ganglion cell layer was due to the formation of vacuoles in the cytoplasm of ganglion cells. Rat with citicoline obtained higher bcl-2 ganglion expression (p = 0.001), and lower caspase-3 expression (p = 0.02) than rat that did not get citicoline.
Conclusions: Citicoline have a protective effect on retinal ganglion cells with EON, judged by the morphology of ganglion cells and caspase-3 and bcl-2 expressions.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Cleveriawan Arviputra
"ABSTRAK
Nama : Andi CleveriawanProgram studi : Ilmu Kesehatan MataJudul : Perbandingan Hasil Trabekulektomi MMC Dengan Dan Tanpa Viskoelastik Sodium Hyaluronat Terhadap Morfologi Bleb Pada Glaukoma PrimerPembimbing : Widya Artini, Joedo Prihartono Penelitian ini bertujuan mengetahui manfaat pemberian viskoelastik sodium hyaluronat pada pasien glaukoma primer yang dilakukan bedah trebekulektomi dengan mitomicin C di RSCM. Desain penelitian ini adalah uji klinis prospektif tersamar tunggal. Sebanyak 34 mata 33 pasien yang masing- masing terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu 17 mata diberikan viskoelastik dan 17 mata pada kelompok yang diberikan tanpa viskoelastik. Pemeriksaan Tekanan bola mata TIO diukur pada hari 1, minggu 1, minggu 2, dan minggu ke 4 pasca operasi. Penilaian bleb dengan menggunakan Moorfield Bleb Grading System MBGS dilakukan pada minggu ke 4.Setelah 1 bulan pasca operasi, pada pemeriksaan MBGS area sentral, area maksimal, ketinggian, dan vaskularitas pada kedua kelompok tidak ditemukan perbedaan bermakna. Namun pada pemeriksaan TIO minggu 1 didapatkan terdapat perbedaan bermakna pada kelompok viskoelastik sebesar 8,94 3,36 dan pada kelompok tanpa viskoelastik sebesar 11,41 3,72 p = 0,034 . Meskipun pada TIO pada minggu ke 4 tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok viskoelastik sebesar 11,70 2,46 dan tanpa viskoelastik sebesar 12,35 3,08 p = 0,504 . Perubahan TIO pada kelompok viskoelastik didapatkan sebesar 21,88 12,29 dan tanpa viskoelastik sebesar 23,29 9,25 p = 0,352 . Pada pemeriksaan OCT ketinggan bleb pada kedua kelompok juga tidak didapatkan perbedaan bermakna yaitu 1,28 0,325 dan 1,17 0,324 p = 0,321 .Tekanan intra okular dan morfologi bleb pasca tindakan trabekulektomi MMC dengan penambahan viskoelastik tidak berbeda bermakna statisik namun memiliki kecenderungan lebih baik dibandingkan tanpa vikoelastik. Kata kunci :Glaukoma primer, MBGS, sodium hyaluronat, trabekulektomi, viskoelastik

ABSTRACT
Name Andi CleveriawanStudy Program OphthalmologyTitle Comparison Of Trabeculectomy MMC With And Without Sodium Hyaluronate Viscoelastic Results To Bleb Morphology In Primary GlaucomaCounsellor Widya Artini, Joedo Prihartono To determine the benefits of viscoelastic sodium hyaluronate in primary glaucoma patients performed by trebeculectomy surgery with mitomycin C in RSCM. Clinical prospective single blinded clinical trial. A total of 34 eyes 33 patients , each split into 2 groups, 17 eyes were given viscoelastic and 17 eyes in the group administered without viscoelastic. Examination of Eye Pressure IOP was measured on day 1, week 1, week 2, and week 4 postoperatively. Assessment of bleb using Moorfield Bleb Grading System MBGS was performed at week 4. After 1 month postoperatively, MBGS examination of central area, maximal area, height, and vascularity in both groups found no significant difference. However, at week 1 IOP examination, there were significant differences in the viscoelastic group of 8.94 3.36 and in the no viscoelastic group of 11.41 3.72 p 0,034 . Although in the IOP at week 4 there was no significant difference in the viscoelastic group of 11.70 2.46 and without viscoelastic at 12.35 3.08 p 0,504 . IIO changes in the viscoelastic group were found to be 21.88 12.29 and without viscoelastic at 23.29 9.25 p 0.352 . In the OCT examination, bleb height in both groups also did not get significant difference that is 1.28 0.325 and 1.17 0.324 p 0.321 . Intraocular pressure and bleb morphology post trabeculectomy MMC action with viscoelastic addition did not differ significantly statistically but had a better tendency than without vicoelastic. Keywords MBGS, primary glaucoma, sodium hyaluronate, trabeculectomy, viscoelastic"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindita Wicitra
"ABSTRAK
Latar Belakang: terapi injeksi intravitreal bevacizumab monoterapi pasien edema makula diabetik dengan ketebalan makula sentral lebih dari 400 µm dinilai kurang efektif. Kortikosteroid dinilai dapat membantu mencegah progresifitas edema makula diabetik terkait proses inflamasi.
Tujuan: Mengetahui hasil terapi injeksi intravitreal kombinasi bevacizumab dan deksametason dibandingkan dengan injeksi intravitreal bevacizumab monoterapi pada pasien dengan edema makula diabetik derajat sedang hingga berat
Metodologi: penelitian eksperimental randomisasi acak terkontrol dua kelompok yaitu: kelompok dengan terapi intravitreal bevacizumab 1,25mg (kelompok A) dan terapi injeksi intravitreal bevacizumab 1,25mg dan deksametason 0,5mg (kelompok B). Luaran sensitifitas retina, ketebalan makula sentral serta tajam penglihatan dievaluasi pada minggu pertama dan keempat.
Hasil: sebanyak masing-masing 22 orang diteliti di kelompok A dan kelompok B. Median usia pada kelompok A adalah 53,1 + 8,4 dan kelompok B adalah 55,1 + 8. Terdapat perbaikan sensitifitas retina sebanyak 2,1 dB di kelompok A dan 2,03 dB di kelompok B (p=0,673). Perbaikan ketebalan makula sentral didapatkan sebanyak 217µ m pada kelompok A dan 249 µm pada kelompok B (p=0,992). Perbaikan tajam penglihatan dengan koreksi pada kelompok A sebanyak 8,5 huruf dan 7,5 huruf pada kelompok B (p=0,61). Analisis intragroup menunjukkan perbaikan yang signifikan di masing-masing luaran penelitian pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Terapi kombinasi bevacizumab dan deksametason menjunjukkan perbaikan secara klinis pada luaran sensitivitas retina, ketebalan makula sentral serta tajam penglihatan dengan koreksi. Perbandingan antara kedua grup tidak signifikan secara statistik. Tren positif tampak kategori adanya kista pada Spectrum Domain Optical Coherence Tomography (SD-OCT) dan pasien dengan Non-Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR).

ABSTRACT
Background: Bevacizumab intravitreal injection therapy in patients with diabetic macular edema (DME) especially with a central macular thickness more than 400 μm is considered ineffective. Corticosteroid addition to the standard therapy can help prevent the inflammation that happens in the progression of diabetic macular edema
Objective: to compare the result of combination of bevacizumab and dexamethasone intravitreal injection with bevacizumab monotherapy in patient with moderate to severe diabetic macular edema.
Methods: randomized controlled trial in two parallel group. Group A received bevacizumab intravitreal 1.25mg in 0.05cc, group B received bevacizumab 1.25mg and dexamethasone 0.5mg. Retinal sensitivity, central macular thickness (CMT) and visual acuity (VA) are evaluated in first and fourth week after injection.
Result: 22 patients from each group were evaluated. Median of age was 53,1+ 8,4 in group A and 55,1 + 8 in group B. Improvement of retinal sensitivity was 2.1dB and 2.03dB in group A and B respectively (p=0,673). There was reduction in CMT about 217µm in group A and 249 µm in group B (p=0,992). Visual acuity (VA) outcomes showed little difference between groups; +8.5 letter and +7.5 letter in group A and group B respectively. Intragroup analysis shows significant differentiation in each outcome in both groups.
Conclusion: combination of intravitreal bevacizumab and dexamethasone clinically improved retinal sensitivity, CMT and VA in patient with DME. There was no statistical difference between in retinal sensitivity, CMT and VA after therapy in both groups. Positive trend was showed especially in patient with cyst appearance in Spectrum Domain Optical Coherence Tomography (OCT) and Non-proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) patient. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parulian, Eko
"Latar belakang: Kelainan kornea merupakan salah satu penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di Indonesia. Penanganan gangguan penglihatan karena kornea terhambat karena terbatasnya jumlah donor kornea. Pendekatan rumah sakit yang dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan perilaku tenaga kesehatan terhadap pelayanan donor kornea dapat menjadi strategi mengatasi kekurangan donor kornea. Tujuan: Mengetahui gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku perawat di Rumah Sakit dr. Cipto Mangukusumo (RSCM) terhadap pelayanan donor kornea. Metode penelitian: Pemilihan subjek menggunakan teknik quota sampling dan pengisian kuesioner yang teruji validitas dan reliabilitasnya. Hasil: Terdapat 422 responden dengan proporsi unit instalasi gawat darurat, ruang rawat inap intensif, ruang rawat inap non intensif, rawat jalan, dan ruang operasi secara berurutan sebesar 8,3%, 13,7%, 50%, 16,6%, dan 11,4%. Sebagian besar responden memiliki pengetahuan kurang (55,4%), sikap positif (50,2%), dan perilaku baik (59,5%). Terdapat hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan dan sikap responden terhadap perilaku, namun tidak terdapat hubungan antara faktor demografi dengan perilaku. Usia ≤ 36 tahun, pengetahuan baik, dan sikap positif merupakan faktor prediktor perilaku baik. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku perawat RSCM terhadap pelayanan donor kornea di rumah sakit.

Background: Corneal blindness is one of the leading cause of blindness and visual disturbances in Indonesia. The management of corneal blindness in Indonesia is impeded by the rarity of corneal donor. Hospital approach affected by knowledge, attitude, and practice of health workers could be a strategy to improve the scarcity of corneal donor. Purpose: Determine the knowledge, attitude, and practice of nurses in RSCM toward hospital corneal procurement Methods: Subjects are chosen by quota sampling and surveyed with a valid and reliable questionnaire. Results: There were 422 respondents with the proportion of emergency ward, intensive care, non-intensive care, polyclinics of 8.3%, 13.7%, 50%, 16.6%, and 11.4% respectively. Most of the respondent were lacking in knowledge (55.4%), had positive attitude (50.2%), and had good practice (59.5%). There were significant correlation between knowledge and attitude towards practice but no significant correlation found between demographic factors to practice. Age ≤ 36 years old, good knowledge, and positive attitudes are predictor factors for good practice. Conclusion: There were correlation between knowledge and attitude of health workers in RSCM towards practice of corneal donor procurement in hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Setiawati
"Tujuan: menilai prevalensi katarak terinduksi radiasi, serta menghubungkannya dengan dosis paparan radiasi dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi.
Metode: Studi potong lintang dan studi kasus-kontrol. Seratus delapan puluh subyek
berpartisipasi dalam penelitian. Prevalensi katarak terinduksi radiasi dinilai menggunakan analisis Scheimpflug pada alat Pentacam® Oculus. Dosis paparan radiasi kumulatif dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi pada subyek diidentifikasi melalui kuesioner dan personal dosimeter"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Dio Syaputra
"Latar belakang: Presbiopia pasca operasi katarak masih menjadi masalah meskipun teknik operasi dan teknologi lensa intra-okular terus berkembang. Teknik mini-monovision dan lensa extended depth of focus (EDoF) murni menjadi alternatif untuk mengkoreksi penglihatan jauh dan menengah dengan biaya relatif ringan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan membandingkan luaran klinis pasca operasi katarak dengan teknik mini-monovision secara binokular dan operasi katarak menggunakan lensa EDoF murni monokular.
Metode: Subjek penelitian dirandomisasi menjadi kelompok mini-monovision (lensa monofokal standar dengan anisometropia -1,25 D) dan kelompok EDoF Murni. Blinding dilakukan pada pemeriksa luaran klinis.
Hasil: Interim analysis dari total 16 pasien didapatkan luaran tajam penglihatan jauh dengan dan tanpa koreksi(TPJTK dan TPJDK) tidak berbeda bermakna antar kelompok. Median tajam penglihatan menegah tanpa koreksi (TPMTK) dan rerata tajam penglihatan dekat tanpa koreksi (TPDTK) mini-monovision binokular didapatkan 0,10 (0-0,10) LogMar dan 0,26 + 0,12 LogMar. Median TPMTK & rerata TPDTK EDoF monokular didapatkan 0,19 (0,14-0,50) LogMar dan 0,54 + 0,11 LogMar. Uji Mann-Whitney U pada luaran TPMTK didapatkan nilai p=0,001 dan uji T tidak berpasangan terhadap luaran TPDTK didapatkan nilai p=0,000. Kurva defokus lensa -2,50 D kelompok mini-monovision binokular 0,31 LogMar dan EDoF monokular 0,51 LogMar (p=0,019).
Kesimpulan: TPMTK, TPDTK dan kurva defokus lensa -2,50 D kelompok mini-monovision lebih baik dibandingkan kelompok EDoF

Background: Presbyopia after cataract surgery is still a problem despite recent surgical techniques and intraocular lens technology development. Mini-monovision techniques and pure extended depth of focus (EDoF) lenses are alternatives to achieve good distance and intermediate visual acuity at relatively inexpensive.
Purpose: This study aims to compare the clinical outcome after cataract surgery with binocular mini-monovision and cataract surgery using a pure monocular EDoF lens.
Methods: Subjects were randomized into the mini-monovision group (standard monofocal lenses with -1.25 D of anisometropia) and the pure EDoF group. Blinding was performed on the clinical outcome examiners.
Results: Interim analysis of a total of 16 patients revealed the outcome of distance visual acuity with and without correction (UCDVA and BCDVA) was not significantly different between groups. Median of uncorrected intermediate visual acuity (UIVA) and mean of uncorrected near visual acuity (UNVA) of binocular mini-monovision were 0.10 (0-0.10) LogMar and 0.26 + 0.12 LogMar. Median UIVA & mean UNVA monocular EDoF were 0.19 (0.14-0.50) LogMar and 0.54 + 0.11 LogMar respectively. The Mann-Whitney U test of UIVA between groups revealed p=0.001 and the unpaired T-test of UNVA revealed p=0.000. Mean defocus curve of -2.50 D lens were 0.31 LogMar in binocular mini-monovision group and 0.51 LogMar monocular in EDoF group (p=0.019).
Conclusion: UIVA, UNVA and defocus curve of -2.50 D lens in the mini-monovision group were better than EDoF group.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niluh Archi Sri Ramandari
"Penelitian ini bertujuan menilai dan membandingkan efektivitas injeksi subkonjungtiva bevacizumab dosis 5 mg dengan dosis 2.5 mg dalam menurunkan area neovaskularisasi kornea. Sampel adalah dua puluh empat pasien dengan neovaskularisasi kornea oleh karena berbagai etiologi. Pemeriksaan pada sampel dilakukan sebelum, satu minggu setelah injeksi dan empat minggu setelah injeksi yang meliputi penilaian area neovaskularisasi kornea dengan menggunakan image J analysis, pemeriksaan tajam penglihatan tanpa dan dengan koreksi, derajat kekeruhan kornea serta kadar vascular endothelial growth factor (VEGF) air mata. Pada satu minggu dan empat minggu paska injeksi perubahan area neovaskularisasi kornea pada dosis 5 mg (5.21% dan 5.37%) lebih besar dibandingkan dosis 2.5 mg (3.77% dan 4.13%). Hasil yang serupa juga didapatkan pada etiologi non-infeksi dan area neovaskularisasi kornea yang melibatkan lebih dari dua kuadran kornea. Pada keluaran sekunder yaitu tajam penglihatan, derajat kekeruhan kornea dan kadar VEGF air mata di kedua dosis cenderung stabil jika dibandingkan sebelum dan sesudah injeksi. Injeksi subkonjungtiva bevacizumab dosis 5 mg menurunkan area neovaskularisasi kornea lebih banyak dibandingkan dosis 2.5 mg terutama pada etiologi non-infeksi dan keterlibatan kuadran kornea yang meliputi lebih dari dua kuadran.

This study aim to assess and compare the effectiveness of subconjunctival bevacizumab injection 5 mg with 2.5 mg in decreasing the area of corneal neovascularization. Samples consist of twenty-four patients with corneal neovascularization due to various etiologies. The examinations were taken at each visit before injection, 1 week after injection and 4 weeks after injection . Changes in neovascularization evaluated by using image J analysis, visual acuity, density of corneal haziness and level of vascular endothelial growth factor (VEGF) in tears were documented every visit. At 1 week and 4 weeks after injection, changes of neovascularization were higher in 5 mg (5.21% and 5.37%) compare to 2.5 mg (3.77% and 4.13%). The same results were also found in non-infection patient and patient involving more than two quadrants cornea. All of the secondary outcomes showed a stable result before and after injection between the two injections dose. Subconjunctival bevacizumab injection 5 mg is more effective in decreasing corneal neovascularization compare to 2.5 mg especially in non-infection patient and patient involving more than two quadrants cornea. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>