Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Umar Hasan
Abstrak :
Pada hakekatnya anak adalah tulang punggung pembangunan bangsa di masa yang akan datang. Oleh karena itu anak harus mendapat kesempatan, perhatian dan kesejahteraan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan aspek kesejahteraan lainnya, agar ia dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya seorang anak.
Pada prinsipnya anak tidak boleh melakukan pekerjaan, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Kerja No. 12 Tahun 1948. Namun pada kenyataannya di Indonesia belum memungkinkan untuk itu. Karena latar belakang kondisi ekonomi menyebabkan anak terpaksa bekerja, dan itu pula yang mengilhami dikeluarkannya Permenaker No. 01/Men/1987 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 1997, agar tenaga kerja anak mendapat perlindungan hukum.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara deskriptif tentang bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum tenaga kerja anak yang bekerja di sektor formal di Kota Jambi.
Oleh karena tidak tersedianya data sekunder tenaga kerja anak yang berumur antara 10 - 14 tahun, maka penentuan sampel dilakukan secara random sampling yang ditetapkan berdasarkan temuan di lapangan dengan jumlah sampel 61 orang.
Variabel yang digunakan untuk mengukur sejauhmana perlindungan hukum terhadap tenaga kerja anak adalah: Hubungan kerja, waktu kerja, jenis pekerjaan dan tempat kerja, pengupahan, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja, tunjangan hari raya dan kesehatan dan keselamatan kerja.
Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan cara menganalisis jawaban responden berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
T2358
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Teman
Abstrak :
Ekspor merupakan kegiatan perdagangan internasional yang pada hakekatnya mengirimkan barang ke luar negeri dari suatu negara/wilayah, ke negara atau wilayah di luar suatu negara dalam suatu rangkaian perdagangan. Ekspor merupakan kegiatan yang sangat penting bagi kelangsungan ekonomi nasional, yaitu sebagai penghasil devisa yang sangat diandalkan. Karena itu, pemerintah Indonesia selalu melaksanakan berbagai usaha untuk meningkatkan (transaksi) ekspor (non migas), terakhir dengan mengeluarkan Paket Deregulasi 1996. Salah satu kebijakan tersebut, adalah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 130/MPP/Kep/6/1996 tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin), khususnya surat keterangan asal barang ekspor Indonesia. Surat Keterangan Asal merupakan dokumen penyerta ekspor yang diterbitkan sesuai dengan Ketentuan Asal Barang (Rules of Origin) sebagai kesepakatan dalam perjanjian bilateral, regional, multilateral, maupun ketentuan sepihak dari suatu negara tertentu. Karena sering terjadi permasalahan dalam menentukan asal suatu barang, maka hal itu dibahas dalam Perundingan Putaran Uruguay, yang menghasilkan "Agreement on Rules of Origin". Dalam kesepakatan itu disebut bahwa, pelaksanaan mengenai ketentuan asal barang hendaknya tidak menghambat kegiatan perdagangan negara lain. Di dalam kesepakatan tersebut juga dibahas, apabila timbul sengketa mengenai asal suatu barang, maka penyelesaiannya melalui badan "Dispute Settlement Body". Badan ini akan membentuk Panel, guna melakukan diskusi/dialog untuk mencari penyelesaian atas permasalahan yang timbul dalam perdagangan bilateral Indonesia dan Amerika Serikat, masalah-masalah yang timbul diselesaikan dengan perundingan bilateral kedua negara pada bulan Juli 1996 yang lalu. Indonesia berusaha untuk mengatasi setiap permasalahan perdagangan ekspor, khususnya ekspor ke Amerika Serikat, karena negara ini merupakan pangsa pasar yang besar bagi produk-produk Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T7603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi M. Asrun
Abstrak :
ABSTRAK
Pelaksanaan monopoli Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk pengadaan beras dan tepung terigu dimaksudkan untuk menghadirkan stabilitas harga kedua komoditi tersebut di masyarakat. Pada awalnya, berdasarkan Keppres Nomor 114/U/KEP/5/1967, Bulog hanya ditugasi untuk pengadaan beras. Kemudian, tugas Bulog diperluas sehingga mencakup pengadaan tepung terigu melalui Keppres Nomor 11 Tahun 1969. Sejak diterbitkan keputusan presiden itu, Bulog telah menjadi pemain yang aktif dalam pengadaan kebutuhan sembilan bahan pokok, termasuk beras dan tepung terigu. Dengan perkembangan tersebut, pecan Bulog telah bergeser dari sebuah lembaga non departemen yang hanya mengupayakan stabilitas harga dan mengawasi pengadaan beras telah menjadi semi Badan Usaha Malik Negara (BUMN) yang juga mencari untung dalam pengadaan komoditi pangan. Penelitian ini memperlihatkan adanya distorsi dalam pelaksanaan monopoli pengadaan beras dan tepung terigu, yang ditunjukkan pada pemberian hak eksklusif untuk turut dalam pengadaan impor beras dan impor gandum sebagai bahan tepung terigu. Hal itu jelas bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara (ICW).
Kesepakatan Pemerintah Indonesia dan Dana Moneter Internasional (IMF) pada tanggal 15 Januari 1998 telah menyetujui untuk menghapuskan monopoli Bulog untuk pengadaan tepung terigu. Kemudian, menurut Keppres Nomor 19 Tahun 1998, Bulog hanya ditugasi untuk mengendalikan harga dan mengelola persedian beras.
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nelli Herlina
Abstrak :
Tesis ini merupakan suatu mendeskripsikan keberadaan bisnis dengan sistem franchise yang berkembang di Indonesia, khususya yang berkaitan dengan aspek hukum perjajian dan hukum hak milik. intelektual di Indonesia. Aspek hukum perjanjian dan hak milik intelektual merupakan unsur pokok keberhasilan suatu bisnis franchise, karena bagi seorang franchisor yang akan memfranchise usahanya terlebih dahulu harus mampu menunjukkan keberhasilan dan keunggulan sistem bisnis yang dimilikinya, dan telah memikili merek dagang yang cukup terkenal (Brand Image). Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Pertama, dalam praktik bisnis franchise ditemukan bahwa kontrak franchise selalu dibuat dalam bentuk standar, dan ada kecenderungan dominasi franchisor terhadap franchisee. Kedua, dalam kontrak franchise terdapat banyak lisensi yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee tertutama lisensi yang berkaitan dengan hak menggunakan merek, cipta, paten, trade secret dan know-how, sistem menejemen, teknik pemasaran, pola operasional bisnis milik franchisor. Namun, dari semua lisensi tersebut hanya lisensi yang menyangkut hak penggunaan merek, hak cipta dan hak paten yang dapat dilindungi oleh Undang-Undang Hak Milik Intelektual Indonesia, dan aspek lisensi lainnya hanya dilindungi berdasarkan kontraktual. Ketiga, dalam menjalankan bisnisnya ternyata franchisee tidak dapat menggunakan sepenuhnya seluruh lisensi yang diperolehnya dari kontrak franchise, karena franchisee selalu mendapatkan pengawasan ketat dari franchisor. Keempat, tanggung jawab hukum franchisor maupun franchisee terhadap pihak konsumen dapat dilihat dari klasifikasi franchisor ataupun franchisee sebagai produsen yang memiliki tanggung jawab produk (product liability) terhadap produk yang dihasilkannya, yang secara hukum tanggung jawab produk ini akan timbul bila pada produk tersebut terdapat cacat atau membahayakan orang lain, dalam hal ini franchisee ataupun franchisor harus bertanggung jawab secara hukum pidana atau perdata. Dari hasil penelitian ini disarankan tiga hal: Pertama, karena bisnis franchise ada kecenderungan memiliki sifat monopoli penguasaan pasar, maka bisnis franchise ini perlu diatur secara khusus dalam bentuk peraturan tersendiri. Kedua, perlu ada ketentuan yang melarang penggunaan klausul kontrak yang bersifat berat sebelah (secara hukum dapat memberatkan franchisee). Ketiga, perlu ada kriteria yang jelas dari Pemerintah untuk menilai atau menentukan layak tidaknya suatu kontrak franchise dapat dilaksanakan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompoel, Ria Hetharia
Abstrak :
ABSTRAK
Perkembangan Industri yang terjadi hampir di semua negara di dunia, telah mendorong persaingan yang semakin ketat, terutama dalam memasarkan produk sejenis ke negara lain. Dalam dunia bisnis seringkali ditemukan praktek-praktek yang dikategorikan sebagai persaingan curang seperti antara lain memalsu merek. Praktek-praktek demikian sangat dikhawatirkan oleh negara-negara penghasil barang, terutama bagi negara-negara manufaktur atau jasa-jasa tertentu yang datang dari negara maju. Negara-negara maju mendesak negara-negara berkembang untuk mengatur perlindungan merek di negaranya. Adanya pengertian, pemahaman, pengetahuan, persepsi serta kesadaran masyarakat, khususnya kelompok-kelompok yang berkepentingan seperti pemilik merek, Pimpinan Perusahaan, dan aparat penegak hukum berkenaan dengan merek serta perlindungan yang berlaku terhadapnya mempunyai arti serta pengaruh yang besar dalam membangun suatu Sistem Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI), dalam hal ini mengenai merek. Hal ini penting, mengingat bahwa perlindungan hukum terhadap merek merupakan komitmen nasional dalam pembangunan dan perkembangan ekonomi yang berlaku dengan pesat.
Sebagai negara hukum, maka setiap langkah perkembangan di bidang hukum yang dilakukan di Indonesia merupakan hal yang harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh, hal itu disebabkan karena upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang akan memberi pengaruh yang luas terhadap nama baik bangsa dan negara dalam pergaulan Internasional.
Salah satu pembangunan hukum yang menuntut perhatian serius dewasa ini adalah pengembangan implementasi oleh perangkat hukum dalam penegakan hukum hak merek, karena adanya keterkaitan antara kebutuhan-kebutuhan ekonomi dengan perlindungan hukum yang semakin tajam dalam era globalisasi.
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui:
1. Apakah peraturan hukum di Indonesia, khususnya mengenai merek, telah sesuai dengan yang diinginkan dalam Persetujuan TRIPs ?
2. Bagaimanakah pengaruh dari Persetujuan TRIPs terhadap perlindungan hukum, khususnya mengenai merek, di Indonesia
3. Bagaimana usaha Indonesia mengantisipasi Persetujuan TRIPs dalam perlindungan hukum terhadap merek ?
Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap ak merek telah sesuai dengan ketentuan yang terkandung dalam TRIPs.
Untuk mengantisipasi berlakunya pelaksanaan TRIPS di Indonesia, maka langkah-langkah yang ditempuh:
Memerlukan prasarana yang tangguh, tetapi sesuai dengan kandungan dan standar yang ditetapkan dalam persetujuan internasional, dalam hal ini persetujuan TRIPS.
Pemasyarakatan dan penerapan perlindungan hukum terhadap merek harus terus dilakukan supaya dapat mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran, balk antar sesama pengusaha nasional maupun antara pengusaha nasional dan mitra asing.
Pelanggaran terhadap perlindungan hukum, seperti pemalsuan merek, biasanya bermotifkan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mau membayar kompensasi. Untuk itu, semua merek yang ada supaya didaftarkan dalam melaksanakan TRIPs.
Menjalin dan mengefektifkan jaringan informasi dan kerjasama antara departemen yang terkait di Indonesia. Hal ini penting, mengingat bahwa dalam pengoperasian masalah merek sangat dekat dengan perilaku ekonomi dan perdagangan. Dengan berlakunya Persetujuan TRIPs, maka keterkaitan antar masalah akan semakin erat, sehingga diperlukan adanya aparat di lingkungan departemen-departemen teknis yang terkait.
Melengkapi dan menyempurnakan peraturan-peraturan HAKI, khususnya merek, dengan mengacu pada perkembangan peraturan HAKI, khususnya merek, dengan mengacu pada perkembangan peraturan HAKI secara internasional, dalam hal ini Persetujuan TRIPs. Indonesia perlu terus aktif di forum-forum Internasional, sehingga dapat berkesempatan menyuarakan kepentingan nasional di dalam penyusunanpenyusunan internasional.
Dengan demikian kepercayaan dunia perdagangan internasional terhadap Indonesia menjadi kuat, yang pada akhirnya akan membuka pasar yang lebih luas.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malik Ibrahim
Abstrak :
Persaingan usaha jasa konstruksi dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan sudah dimulai sejak pengurusan Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) di Kantor Wilayah Departemen Pekerjaan Umum. Perusahaan yang tidak dapat memenuhi persyaratannya, tidak akan diberikan izin, sehingga tidak dapat beroperasi/melakukan kegiatan usaha jasa konstruksi. Sedangkan perusahaan yang dapat memenuhi persyaratannya akan diberikan SIUJK. Sesudah SIUJK diperoleh, barulah perusahaan tersebut dapat melakukan kegiatan usaha jasa konstruksi, bersaing dengan perusahaan-perusahaan jasa konstruksi yang sudah ada, maupun dengan perusahaan-perusahaan yang kemudian masuk ke arena persaingan.
Perusahaan jasa konstruksi yang ingin mengerjakan proyek-proyek milik Pemerintah harus mengikuti prakualifikasi. Prakualifikasi ini dapat disebut sebagai persaingan kedua. Perusahaan yang tidak lulus seleksi pada prakualifikasi, tidak dapat mengikuti persaingan berikutnya pada waktu ada pelelangan/tender. Sedangkan perusahaan yang lulus seleksi prakualifikasi dapat mengikuti persaingan selanjutnya yaitu pada saat ada pelelangan suatu proyek. Pada saat pelaksanaan tender itulah yang merupakan puncak persaingan bagi perusahaan-perusahaan jasa konstruksi guna mendapatkan pekerjaan/ proyek.
Persaingan itu sendiri merupakan metode atau alat bagi penyeleksian dan efisiensi; penentuan tampilan kerja (apa) yang terbaik, di dalam lingkungan tertentu; pemastian siapa yang merupakan penampil kerja terbaik; penyeleksi cara pemecahan yang optimal dari suatu masalah.
Keuntungan dari adanya persaingan dalam tender suatu proyek adalah untuk mendapatkan harga yang paling menguntungkan bagi pemilik proyek (swasta atau negara) dengan kualitas hasil proyek yang baik. Akan tetapi, sering terjadi persaingan yang tidak sehat/tidak jujur dalam pelaksanaan tender proyek milik Pemerintah, seperti kolusi dengan pimpinan proyek (pimpro); ada persekongkolan di antara para kontraktor; ada interlocking directores dalam berbagai kualifikasi perusahaan jasa konstruksi dan lain-lain.
Penulisan tesis ini bertujuan untuk membahas mengenai : 1) Pengaturan persaingan usaha di Indonesia; 2). Aspek-aspek hukum usaha jasa konstruksi; 3). Hubungan hukum para pihak dalam pelaksanaan pembangunan suatu proyek; 4). Penyelesaian perselisihan/sengketa; 5). Peranan asosiasi profesi dan Kadinda terhadap usaha jasa konstruksi; 6). Persaingan usaha jasa konstruksi; 7). Dampak persaingan usaha jasa konstruksi; dan 8).Upaya pencegahan dan penanggulangan persaingan tidak sehat di bidang usaha jasa konstruksi. Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif, yang dianalisis secara normatif kualitatif.
Persaingan yang sehat di bidang usaha jasa konstruksi dapat menimbulkan dampak positif, baik bagi perusahaan itu sendiri maupun bagi pemilik proyek. Bagi perusahaan akan ada peningkatan efisiensi dan daya saing, sedangkan bagi pemilik proyek akan mendapatkan harga yang lebih wajar dari pada harga yang didapat dengan tanpa persaingan, dan mutu pekerjaan yang dapat dipertangungjawabkan. Sebaliknya, persaingan yang tidak sehat di bidang usaha jasa konstruksi dapat menimbulkan dampak yang negatif. Bagi perusahaan akan mengakibatkan lemahnya daya saing, karena perusahaan beroperasi secara tidak efisien. Sedangkan bagi pemilik proyek tidak akan mendapatkan hasil pekerjaan dengan kualitas yang memadai. Selain itu, masyarakat pemakaipun dapat dirugikan. Misalnya, karena kualitas pekerjaan tidak baik, lalu jalan menjadi cepat berlobang-lobang dan mobil pemakai jalan tersebut lebih cepat rusak, dan sebagainya.
Oleh karena persaingan yang tidak sehat di bidang usaha jasa konstruksi menimbulkan dampak negatif, maka perlu ada upaya pencegahan dan penanggulangannya. Upaya penanggulangan dapat dilakukan dengan mengadakan undangundang yang mengatur mengenai Persaingan Usaha (termasuk di dalamnya diatur mengenai persaingan usaha jasa konstruksi) sejenis Anti Trust Law di Amerika Serikat atau sejenis Undang-undang Anti Monopoli di Jepang, dan sekaligus membentuk badan pengawas persaingan, yang berfungsi untuk mengawasi jalannya persaingan usaha, dan milakukan tindakan terhadap setiap pelanggaran ketentuan undang-undang tersebut.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunial Laili Mutiari
Abstrak :
Musik rekaman suara, merupakan karya cipta seseorang atau lebih, di mana untuk menciptakannya orang harus mengeluarkan pikiran berdasarkan kemampuan, imajinasi, tenaga, keterampilan, waktu, dan biaya-biaya. Di samping mempunyai nilai moral, karya musik rekaman suara juga mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena mempunyai segmen pasar yang begitu luas. Apalagi pada era globalisasi saat ini yang sedang melanda dunia, dan diiringi kemajuan di bidang iptek, maka orang lebih mudah merekam karya seseorang, baik untuk diri sendiri maupun untuk diperdagangkan. Untuk itu bagaimana perlindungan hukum pencipta musik rekaman suara di Indonesia, dan apakah UD No. 7/1987 tentang Hak Cipta masih berlaku efektif, serta bagaimana jalan keluarnya apabila sudah tidak efektif lagi.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perlindungan si pencipta musik rekaman suara di Indonesia. Sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Menurut analisis penulis maka perlindungan hukum pencipta musik rekaman suara tidak disertai kepastian hukum, dan UUHC Indonesia tidak efektif lagi, serta diperlakukan penyempurnaan sebagai jalan keluar yang ditempuh. Hal ini dapat dilihat dari sistem pendaftaran yang dianut oleh undang-undang ini, yaitu "Negatif Deklaratif", di mana pendaftaran bukan merupakan keharusan, serta antara tujuan dan maksud pendaftaran tidak sejalan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan perlindungan hukum, dan maksudnya adalah untuk mengejar kebenaran, prosedur formal. Selain itu, UUHC yang berlaku sekarang ini sudah memberikan perlindungan hukum yang tidak tepat, karena hak atas karya rekaman suara mendapat perlindungan sebagai hak cipta, seharusnya hak yang berdampingan dengan hak cipta. Karena itu sering menimbulkan kerancuan dan pelanggaran-pelanggaran, misalnya pembajakan kaset. Begitu juga aparat penegak hukum, dalam melakukan tugasnya tidak mempunyai keseragaman dalam mengambil keputusan. Masyarakat pun masih beranggapan, jika karya cipta tidak didaftarkan adalah milik bersama, dan masyarakat lebih merasa diuntungkan dengan membeli kaset hashl bajakan daripada kaset aslinya. Selain harganya lebih murah, juga kualitasnya sama dengan yang asli. Selanjutnya dalam melakukan operasi di lapangan terhadap pembajakan, petugas tidak mempunyai fasilitas pendukung, misalnya dana, pakaian seragam dan lain sebagainya. Pembahasan di atas memberikan kesimpulan, perlindungan hukum karya musik rekaman suara tidak mempunyai kepastian hukum, dan UU No. 7/1987 tidak berlaku efektif lagi, serta jalan keluar yang ditempuh adalah mengadakan penyempurnaan terhadap undangundang tersebut dengan menghadapi era globalisasi. Sebagai saran, perlu diadakan penyuluhan hukum Hak Cipta kepada masyarakat dan aparat penegak hukum, sebagai fasilitas pendukung digunakan sistem komputerisasi terpadu di setiap Kantor Wilayah Departemen Kehakiman di seluruh Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugandi Ishak
Abstrak :
Iklan adalah salah satu alat informasi dan promosi yang digunakan oleh para pengusaha/pengiklan (baik produsen, grosir atau pedagang eceran, dan penyelenggara jasa). Dalam memasarkan dan meningkatkan penjualan barang dan jasa, maka iklan sebagai bagian dari periklanan, yang meliputi proses penyiaran, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, serta penyampaiannya, sangat efektif digunakan, khususnya iklan televisi. Mengenai pihak-pihak periklanan di media televisi yang terlibat, selain pengusaha pengiklan, perusahaan periklanan, media televisi, adalah juga Lembaga Sensor Film (LSF), dan Direktorat Jendral POM Departemen Kesehatan RI. Karenanya jika terjadi pelanggaran terhadap etika periklanan dan hak-hak konsumen dalam iklan televisi (yang menyangkut kreativitas dan informasi produk), maka pihak konsumen mendapat perlindungan darn, hokum positif, baik oleh KUHPerdata, KUHPidana, maupun oleh beberapa keputusan Menteri di bidang periklanan, dan penyiaran televisi, yang bersifat administratif. Pihak-pihak yang dapat dituntut tanggungjawab hukum mengganti kerugian berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata (liability based on fault) dengan unsur kesalahan dalam kasus-kasus tertentu, terhadap pelanggaran etika periklanan dan hak-hak konsumen dalam iklan televisi yang menyangkut informasi produk (misal obat), adalah pihak pengusaha, dan Direktorat Jendral POM Departemen Kesehatan RI. Sedangkan mengenai hal yang menyangkut kreativitas iklan, selain pengusaha, juga pihak perusahaan periklanan, media televisi dan Lembaga Sensor Film (LSF). Namun hal-hal ini hanya berlaku sepanjang memenuhi unsur dari ketentuan-ketentuan tersebut. Untuk membuktikan kesalahan pengusaha terhadap penerapan prinsip Liability based on fault (Pasal 1365 KUHPerdata), dalam praktek di muka Pengadilan, menyulitkan konsumen (penggugat). Untuk mengatasinya perlu dipikirkan dalam pembuatan Undangundang tentang Perlindungan Hak-hak Konsumen mengenai penarapan prinsip Strict Liability pada productnya, yang ditayangkan pada iklan di media televisi tidak sesuai kenyataan (produknya rusak/cacat), sehingga pengusaha tanpa dibuktikan lebih dahulu kesalahannya, bertanggungjawab langsung membayar ganti rugi kepada konsumen. Hanya bila menyangkut pesan iklan produk obat, karena daya tari.knya dokter membuat resep untuk pasien (konsumen), yang lalu membeli obat pada apoteker atau toko obat yang berasal dari industri pabrik obat, namun setelah digunakan menimbulkan akibat yang berbahaya, prinsip yang tepat diterapkan adalah prinsip presumption of liability (praduga adanya tanggung jawab), karena adanya keseimbangan antara kesalahan yang satu dan yang lainnya. Di sini pihak Tergugat dapat diduga menghindarkan diri dari tanggungjawab, bila membuktikan dia tidak bersalah. Sedangkan jika terjadi pelanggaran produk barang, yang jumlah ganti ruginya telah ditetapkan pembatasannya oleh pengusaha penghasil barang, maka yang lebih tepat diterapkan adalah prinsip Limitation of liability.
Berkenaan dengan penerapan ketiga prinsip ini, yang pada dasarnya menekankan pada tanggungjawab pengusaha, namun dalam hal ini sebenarnya konsumen dapat juga menuntut ganti rugi tersebut kepada pihak perusahaan periklanan, media televisi, LSF dan Direktorat Jendral POM Depkes yang melanggar hak-hak konsumen dan etika periklanan dalam iklan televisi, baik menyangkut aspek informasi produk dan kreativitas, dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 22 Algemene Depalingen, dan sistem hukum acara perdata, dimana hakim dapat memutus tidak saja berdasarkan Undang-Undang, tetapi juga berdasarkan kepatutan dan keadilan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Santoso Suryadi
Abstrak :
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas telah diundangkan pada tanggal 7 Maret 1995, dan mulai berlaku satu tahun kemudian. Banyak persiapan dilakukan dalam menghadapi saat diberlakukannya Undang-Undang tersebut, khususnya pembenahan di Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Selain itu Pemerintah mengadakan sosialisasi tentang aturan yang baru ini. Setelah sekian lama kita memakai dasar hukum pendirian perseroan terbatas dari perundang-undangan peninggalan kolonial, maka sekarang kita telah memiliki Undang-undang nasional untuk ini. Kiranya dengan lahirnya Undang-Undang ini akan membawa peningkatan gairah usaha di kalangan pengusaha, baik untuk pengusaha dalam negeri, maupun asing, yang ingin menanamkan modalnya di negara kita yang tercinta ini.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amirizal
Abstrak :
Semenjak diperkenankannya modal asing masuk kembali ke Indonesia, yakni antara lain dengan berlakunya UU No. 1 Th. 1967, maka terbentuklah embrio ekonomi Indonesia yang tumbuh berkembang ke arah sistem perekonomian yang terbuka dengan membentuk ekonomi pasar, serta kegiatan bisnis yang cenderung liberal. Perkembangan ini, lebih dimungkinkan dengan diterbitkannya berbagai tindakan deregulasi di bidang perekonomian yang sudah dilakukan sejak dasa warsa tahun 1960-an, walaupun istilah deregulasi sendiri baru mulai dikenal secara populer sejak tahun 1983. Dan ternyata bahwa kebijaksanaan deregulasi mempunyai dampak terhadap perkembangan hukum bisnis, yaitu misalnya dengan berubahnya ketentuan-ketentuan tentang joint venture ke arah yang lebih menguntungkan bagi PMA, seperti hapusnya diskriminasi kepemilikan modal antara PMA dan PMDN. Namun demikian, kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, khususnya perubahan ketentuan joint venture tadi, banyak mendapat kritikan dari para pakar hukum dan ekonomi berkenaan dengan segi-segi hukumnya, antara lain karena dianggap inkonsisten, dan karena kebijaksanaan tingkat bawahan dapat pula merevisi suatu UU yang lebih tinggi hirarkinya, sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>