Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140433 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ujang Sumarwan
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004
658.8342 UJA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho J. Setiadi
Jakarta: Kencana , 2003
658.834 2 NUG p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho J. Setiadi
Jakarta: Kencana, 2005
658.834 2 NUG p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho J. Setiadi
Jakarta: Kencana, 2008
658.834 3 NUG p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Danang Sunyoto
Yogyakarta: CAPS, 2012
658.834 2 DAN k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kemala Sovia
"Pertamina mmepunyai kekuasaan monopoli (monopolistic power) dalam manajemen pelumas di tanah air, yakni menguasai pasokan bahan baku, produksi, impor, dan jaringan pemasaran. Menurut konsep biaya transaksi (transaction cost, Willamson, 1990), konsep monopoli (monopolistic), Chamberlein (1977), Joan Robinson (1987), Krugman dan Obstfeld (1988), dan Sumitro Djodjohadikusumo (1991), monopoli dapat membuat efisien biaya transaksi, sehingga meningkatkan keuntungan bagi perusahaan serta memenangkan persaingan melalui penguasaan pasar sebagai market leader.
Konsep ilmiah seperti ini belum terbukti pada pemasaran pelumas Pertamina, terutama dengan terjadinya penurunan penjualan sebesar 600 milyar rupiah atau penurunan angka penjualan sebesar 34% dalam kurun waktu 1989-1992, disisi lain konsumsi BBM meningkat tajam sekitar 10% pertahun. Secara teoritis konsumsi BBM dan konsumsi pelumas berkolerasi positif linier. Pertamina telah berupaya meningkatkan penjualan melalui kebijakan yang pada umumnya diarahkan pada pengendalian pelumas palsu , namun hal ini belum berhasil meningkatkan penjualan sementara pelumas palsu masih tetap menjadi masalah.
Ternyata kekuatan monopoli tidak cukup menjamin suatu perusahaan bertahan sebagai pemimpin pasar, dengan keuntungan yang maksimal. Lingkungan perusahaan terutama lingkungan teknologi, pesaing, dan lingkungan sosioekonomis berpengaruh dominan terhadap efektifitas strategi dan kebijakan perusahaan (Glueck dan Jauch,1987). Disamping itu perubahan sikap dan perilaku konsumen sangat menentukan terhadap tingkat penjualan pelumas Pertamina terutama dengan banyaknya pilihan pelumas yang beredar, karena persaingan merek saat ini bukan lagi antar perusahaan dalam negeri, tetapi persaingan merek secara global, karena produksi dari suatu negara telah menghapus batas ruang sehingga dapat masuk ke negara manapun diseluruh dunia.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk analisis strategi, kebijaksanaan pemasaran, dan lingkungan perusahaan serta metode kuantitatif untuk analisis sikap dan perilaku konsumen melalui 500 sampel yang ditetapkan secara unpropotioned stratified random sampling (Parasuraman, 1990). Diagnosis masalah, dan analisis dilakukan berdasarkan deskripsi data dan fakta aktual, dengan menjelaskan (eksplanasi) hubungan casual dan corelasional atas variabel yang mempengaruhi kinerja (performance) pemasaran. Dari penjelasan hubungan variabel yang dibuktikan melalui tes hipotesis dilakukan beberapa teknik analisis seperti; cause and effect analysis, corelasional analysis, situation analysis and trend analysis berdasarkan konsep Bovee, 1992. Dari temuan dan hasil penelitian secara umum dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Telah terjadi penerunan penjualan pelumas otomotif Pertamina. Penurunan penjualan ini disebabkan oleh adanya perubahan sikap dan perilaku konsumen, yaitu berpindahnya sebagian kostumer Pertamina kepada merek pelumas lain. Perpindahan pemakaian merek ini juga didorong oleh perubahan lingkungan perusahaan terutama lingkungan kompetitor, teknologi otomotif, dan lingkungan sosioekonomis.
Adanya kesenjangan antara strategi pemasaran Pertamina dengan pengetahuan, kebutuhan, keinginan dan harapan konsumen terhadap suatu produk pelumas, yang belum sepenuhnya disadari. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya orientasi Pertamina terhadap konsumen dan lingkungan perusahaan. Pada umumnya budaya (corporate culture) perusahaan negara cenderung berorientasi pada perusahaan yang menyebabkan over convidence, yaitu menganggap produk Pertamina pasti dibutuhkan dan dibelu konsumen.
Merek pelumas Pertamina merupakan jumlah terbesar yang dipalsukan, kenyataan ini dapat menurunkan kepercayaan dan kesetiaan konsumen kepada produk Pertamina yang turut mendorong berpindahnya kostumer Pertamina kepada merek yang dianggap lebih aman.
Kesimpulannya adalah bahwa telah terjadi perubahan pasar pelumas otomotif Pertamina dari captive market kepada competitive market. Oleh karena itu budaya perusahaan yang firm centeredness, perlu diarahkan kepada costumer centeredness, menuju kepuasan konsumen (consumer satisfaction) untuk mengantisipasi pasar pelumas yang akan datang. Disamping itu strategi pemasaran tidaklah monoton, tetapi disesuaikan dengan sikap dan perilaku konsumen serta lingkungan perusahaan yang selalu berubah. Hal ini diperlukan agar produk pertamina tetap dicintai, dan tetap bertahan sebagai market leader kini dan yang akan datang. Untuk mencapai hal ini perlu peningkatan kualitas secara menyeluruh (total quality management) dan kunci utama kearah itu adalah sumber daya manusia yang berkualitas."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peter, J. Paul
Jakarta: Salemba Empat, 2013
658.834 2 PET p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Marketing strategy that concerns about comsumer behavior can generate a better strategy and output. Generally, consumer bahavior is affected both by inernal factors and also by externals factors...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Vera Sari Arta
"Adapun isu-isu yang melatarbelakangi penulisan karya akhir ini antara lain, yaitu; perubahan perilaku konsumen secara umum akibat menurunnya daya beli pada masa krisis ekonomi di Indonesia, kemudian peningkatan persaingan iklan dan promosi yang dilakukan oleh antar merek akibat banyaknya merek handset yang beroperasi di Indonesia. Sejak krisis ekonomi, penjualan handset telepon sellular di Indonesia mengalami penurunan hingga 36% dari tahun 1997 ke tahun 1998. Salah satu penyebab penurunan tersebut ialah akibat depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, yang mengakibatkan peningkatan harga jual handset hingga tiga kali lipat.
Karya akhir ini membahas tiga masalah. Masalah pertama yaitu bagaimana persaingan industri handset telepon sellular (ponsel) di Indonesia. Dengan menggunakan analisa industri dari Porter, ditemukan bahwa intensitas persaingan antar perusahaan tinggi, Hal ini antara lain disebabkan karena kekuatan tawar menawar pembeli yang cukup besar sehingga memungkinkan mereka mendapatkan harga yang paling menguntungkan selain itu juga akibat dari banyaknya pemain yang bersaing dalam industri ini yang memungkinkan mereka untuk menentukan pilihan merek dan features yang paling disukai. Pembahasan persaingan industri ini menjadi langkah awal untuk menganalisa perilaku konsumen handset telepon sellular di Indonesia pada masa krisis ekonomi dan sebagai pertimbangan untuk kebijakan strategi komunikasi.
Masalah kedua yaitu, bagaimana perilaku konsumen di Indonesia secara umum pada saat krisis ekonorni . Untuk pernbahasan masalah ini dilakukan analisa teori perilaku konsumen. Kemudian masalah ketiga, yaitu bagaimana perilaku konsunen handset telepon sellular di masa krisis ekonomi. Untuk pembahasan masalah ini dilakukan studi perilaku konsumen handset telepon selular.
Studi perilaku konsumen handset telepon selular pada masa krisis ini dilakukan pada tingkat industri, dan dimulai pada bulan Juni hingga Oktober 1998. Variable dependen yaitu perilaku konswnen telepon sellular, sedangkan variable independen yaitu ada sebanyak 27 variable. Jenis desain riset yang digunakan yaitu deskriptif, dengan mengambil sebanyak 165 responden yang komposisinya masing-masing 55 orang dari Telkomsel, 55 orang dari Satelindo dan 55 orang dari Exelcomindo. Definisi responden ialah responden yang memiliki sekaligus menggunakan telepon sellular pada masa krisis ekonomi di Jakarta. Metode sampling yang digunakan dalam rancangan sample yaitu judgment sample. Perangkat yang digunakan untuk menganalisa perilaku konsumen secara kuantitatif yaitu cross tabulation. Dari hasil studi analisa perilaku konsumen telepon selluler pada masa krisis ini ditemukan bahwa merek telepon sellular yang terpilih seandainya responden ingin mengganti telepon sellulernya ialah Nokia (40%), Kemudian Ericsson (38,2 %) akhirnya Motorola (16,4 %). Di tahun 1998 semester I, dari hasil penelitian ini diketahui bahwa posisi Ericsson saat ini kemungkinan besar dapat dikalahkan oleh Nokia. Kemudian ditemukan pula bahwa positioning ponsel Nokia dan Ericsson relatif bersifat underpositioning. Karena menawarkan diferensiasi produk yang kurang lebih sama, misalnya warna produk, service yang ditawarkan dan alternatif beberapa bahasa. Sedangkan positioning Motorola cukup tepat dengan menekankan pada daya tahan ponselnya terhadap gangguan fisik. Selain itu, dari penelitian ini juga diketahui bahwa Image pengguna telepon sellular terhadap merek ponsel NOKIA yaitu pada model dan warna, MOTOROLA pada daya tahan terhadap benturan, daya tahan stand by time, dan ketahanan talking time. ERICSSON pada ketersediaan di pasar, preferensi konsumen, layanan puma jual, dan kelengkapan aksesories.
Namun penelitian di atas masih memiliki banyak kelemahan antara lain, hasil penemuan di atas masih belum dapat dikatakan sangat signifikan sehingga harus digunakan sebagai judgment dalam mengambil kebijakan pada tingkat coorporate. Kalaupun hal itu diperlukan, maka sample size yang akan digunakan untuk penelitian selanjutnya harus diperbesar. Bahkan lebih baik jika mengambil jumlah populasi sebagai responden."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Esty Wiria Savitri
"Dunia fashion adalah dunia yang dinamis. Kedinamisan tersebut karena hasrat alami manusia yang selalu ingin tampil menarik. Manusia tidak sekedar ingin mengenakan baju yang nyaman, memilih tas yang sesuai kebutuhan, ataupun memakai sepatu yang berukuran tepat. Lebih dari itu, manusia ingin setiap yang dipakainya menjadi simbol agar diterima oleh lingkungannya.
Kedinamisan dunia fashion tersebut pun terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia semakin peduli terhadap fashion. Hal ini dapat dilihat dari pertambahan jumlah pusat perbelanjaan yang notabene menandakan semakin bertambah pula gerai-gerai yang menjual produk fashion baik yang bermerek maupun tidak bermerek.
Namun demikian, peluang pertambahan pusat Perbelanjaan tersebut dikeluhkan oleh sebagian perilaku usaha Iokal karena yang lebih menguasai tiap area di pusat perbelanjaan tersebut adalah pelaku usaha yang menjual produk fashion bermerek global.
Untuk melihat peluang pelaku usaha lokal, maka dilakukan penelitian ANALISIS PERILAKU KONSUMEN TERHADAP IMAGE COUNTRY-OF-ORIGIN DALAM PASAR MASS-FASHION INDONESIA --STUDI ANALISIS GIORDANO, GUESS, DAN ZARA--. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui faktor apa yang mempengaruhi konsumen dalam memutuskan membeli produk fashion dan bagaimana faktor-faktor tersebut memberi masukan bagi pelaku usaha fashion untuk meningkatkan usahanya.
Penelitian perilaku konsumen ini dilakukan dengan memakai riset eksploratori dan riser deskriptif. Penelitian dilakukan di DKI Jakarta dengan alasan kemajemukan penduduk DKI Jakarta dapat mewakili opini beragam konsumen fashion. Selain itu, DKI Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia diasumsikan penulis sebagai magnet fashion Indonesia. Adapun sample yang digunakan berasal dari 100 responden yang diperoleh secara convenience sampling. Data yang didapat dari 100 responden tersebut diolah penulis dengan menggunakan metode analisis deskriptif dan analisis tingkat kepentingan atribut.
Berdasarkan data penelitian, diperoleh input bahwa responden cenderung mengutamakan atribut tangible daripada intangible suatu produk fashion. Yang dimaksud atribut tangible adalah atribut-atribut yang menunjukkan gambaran kualitas suatu produk seperti kualitas jahitan, warna, dan keaweran produk, serta ukuran yang beragam. Sementara itu, penulis melihat atribut intangible adalah atribut-atribut yang mengemas atribut tangible, seperti harga produk yang cukup reasonable, tempat penjualan produk yang cukup nyaman, dan pelayanan memuaskan yang diberikan oleh shop assistant, dan merek.
Walaupun atribut intangible dipersepsikan responden tidak terlalu penting, penulis melihat atribut intangible, khusunya merek, adalah knowledge awal yang menjadi screening awal konsumen dalam membeli produk fashion, yang mana proses evaluasi ini tedadi di luar kesadaran konsumen atau dengan kata lain menjadi habit. Pemyataan di atas didasari dari kecenderungan konsumen memilih berbelanja produk fashion di pusat perbeianjaan terkemuka dibandingkan di pusat-pusat grosir dan awareness konsumen terhadap fashion brands yang terbilang tinggi.
Berdasarkan data juga didapati informasi bahwa COO tidak terlalu dipedulikan oleh konsumen. Walaupun konsumen mempunyai pemahaman terhadap kualitas tiap-tiap COO, konsumen tidak terlalu menaruh perhatian tentang asal negara suatu produk fashion. Namun demikian, berdasarkan analisis korelasi COO dengan brand didapati kesamaan persepsi kualitas antara COO dengan brand.
Untuk itu, saran yang diajukan oleh penulis bagi pelaku usaha produk fashion lokal adalah menjadikan produk-produk mereka sarat akan kualitas sehingga dapat menimbulkan perceived quality yang positif bagi konsumen dalam kemasan branding yang mudah untuk mendapatkan atensi konsumen, seperti merek dengan western name ataupun yang mudah untuk dilafalkan dan diingat. Selain itu, konsep atmosfer gerai yang nyaman juga perlu mendapat perhatian karena konsumen menyukai suasana gerai yang nyaman.
Di luar strategi branding dan konsep gerai, pelaku usaha dapat pula menjadikan INDITEX -pembuat merek ZARA- sebagai benchmark. Dalam hal ini ZARA lebih mengutamakan kuantitas desain dibandingkan kuantitas produk. Keunggulan dari perilaku usaha ZARA ini adalah mengantisipasi kedinamisan dunia fashion yang cukup cepat dan mengurangi over stock yang dapat menjadi beban pelaku usaha.
Oleh karena penelitian ini bersifat kuantitatif, maka keterbatasan dalam penelitian ini tidak didapat terlalu mendalam consumer insight dari konsumen tentang perceived quality tiap-tiap atribut. Sehubungan dengan hal tersebut, diharapkan dilakukan penelitian Ianjutan yang lebih bersifat kualitatif agar tercapainya consumer insight dari konsumen fashion di Indonesia dalam hal mass-fashion.

World of fashion is a dynamic world. The dynamic of it is because the human desire to look more attractive. A person does not wantjust to wear comfortable clothes, choose the right bag or wear the precise shoes. ln addition to, a person wants everything he wears to be a symbol of acceptance of his social life.
The dynamic world of fashion is also happening in Indonesia. The society cares more about fashion. We can see this from the growth of shopping centers which means more of fashion outlet with kind?s famous brand or not.
But the growth of them is often complained by some of local retailers because the portion of them is dominated by global fashion brands.
The research of Analysis of Consumer?s Behaviors towards Image Country of Origin in Indonesian Mass Fashion Market -Analysis Study of GIORDANO, GUESS, and ZARA- is to know the opportunity of local retailer. The purpose of this research is to know what factors influence the consumer?s choice in buying fashion products and how the factors give input to the fashion industry to promote and develop market.
The consumer?s behavior research is using the exploratory research and descriptive one. The research was conducted in Jakarta mainly because of its diversity can represent differences in fashion opinion. Beside that, Jakarta as The Republic of indonesia capital city is assumed by the writer as magnet of lndonesia?s fashion. The samplings are from |00 respondents got by convenience sampling. The 100 respondents? data are then analyzed using the descriptive method and attribute rate analysis.
Based on the research data, the writer then gets to know why the respondents prefer to choose the tangible attribute rather than the intangible of a fashion. The means of tangible attributes are attributes that show the quality images such as the quality of the stitches, colors, durability, choices of size. The means of intangible attributes are attributes that cover the tangible attributes such as a reasonable price, a comfortable outlet, a warm service, and brand.
Although the intangible attributes are often perceived not too important, the writer sees it, especially of brand attribute, is initial knowledge of consumer?s screening in buying fashion products, proceed by the evaluation beyond the consumer?s mind as a habit. For country-of-origin?s image, the data shows that the consumers do not really evaluate it although they also have the initial knowledge about COO of the fashion brand.
From the research, some ofthe suggestions are:
1. branding strategy using western name is a good idea for local brand
2. making ZARA strategy as a benchmark, which is produce more design quantities rather than product quantities Because this research is using quantitative research, this paper has a limitation.
The writer could not get deep consumer?s insight, which can get from qualitative research."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T23219
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>