Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 85156 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mindardjito
Jakarta : Wedatama Widya Sastra, 2002
732.4 MIN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Saringendyanti W., 1959-
"ABSTRAK
Dalam waktu cukup lama, penelitian arkeologi di Jawa Barat terasa tidak terlalu marak sebagaimana penelitian-penelitian di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, khususnya penelitian terhadap sisa-sisa peninggalan dari masa Hindu-Buda. Dalam hal ini, bukti-bukti peninggalan dari masa itu pun terasa memiliki tingkat kesulitan berbeda dibanding kedua bagian pulau Jawa tadi; kendatipun dalam banyak hal situs-situs tersebut diduga masih disitu.
Demikian pula halnya dengan penyebutan tempat-tempat suci keagamaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dikenal dengan nama candi, patirthan dan patapan. Lebih lanjut, menurut kitab Nagarakertagama dan kakawin Arjunawijaya yang berasal dari jaman kerajaan Majapahit di Jawa Timur, tempat-tempat suci keagamaan itu terbagi tiga, yaitu dharma hap, dharma Ipas, dan sekelompok tempat suci yang belum jelas statusnya, antara lain tempat suci karesyan. Sementara sumber tertulis berupa prasasti dan karya sastra Sunda menyebut sejumlah tempat suci dengan nama lemah dewasasana, kabuyutan, kawikwan, mandala, dan parahiyangan. Penyebutan tempat-tempat suci di Jawa Barat sedikit banyak mempunyai persamaan dengan sebutan tempat-tempat suci di Jawa Timur, yang sebagian besar mengacu pada tempat-tempat suci karesyan, terutama kawikwan dan mandala yang berlatar keagamaan Hindu (Saiwa). Dalam pada itu, penyebutan terhadap tempat-tempat suci secara umum dikenal dengan nama kabuyutan. Umumnya berbentuk bangunan batur tunggal, bangunan teras berundak, dan altar, yang sedikit banyak masih dipengaruhi oleh budaya tradisi megalitik.
Dengan keterbatasan-keterbatasan demikian, penelitian Penempatan Situs Upacara Masa Hindu-Buda: Kajian Lingkungan Fisik Kabuyutan di Jawa Barat ini merupakan sebuah kajian testing-hipotesa yang mengajukan pendekatan ekologi untuk mengerti hubungan antara situs dengan sumberdaya sebagai faktor lingkungan fisiknya. Lingkungan fisik yang mendasari penelitian ini dengan lima variabel utama terdiri dari letak, geomorfologi, ketinggian tempat, kemiringan lereng, jenis tanah, serta sumber air, sampai pada kesimpulan bahwa penempatan situs-situs itu berada pada lima pilihan lahan. Situs upacara yang diduga sebagai tempat dilakukannya tapa berada pada tempat lebih tinggi dan curam dibanding tempat-tempat untuk melakukan pemujaan pada Zat Tertinggi. Demikiaan pula situs-situs yang diduga sebagai tempat pengajaran ajaran-ajaran rahasia --dalam hal ini disebut kawikwan--, sudah barang tentu pemilihan lahan dilatarbelakangi oleh putusan-putusan para shtapaka dan sthapati. Sebagai contoh, lahan harus berada dekat pada sumber air dan tanahnya harus subur.

ABSTRACT
In many time, the archaeological research in West Java is not so brightness as well as in Central Java or East Java, especially in study of the Hindu-Buddha remains on the same termination, such as Candi, Patirthan, and Patapan. Archaeological re-searches generally are based on the termination of the prehistoric ceremonial site. Many of the Hindu-Buddha's ceremonial site are the prehistoric ceremonial site too which usually signed on Hinduism or Buddhism symbolic, such as pseudo-lingga, a statue or some statues -- at least in very simple-- of the Hinduism or Buddhism pantheon, or a fragment or some fragment of ceremonial tool kit.
Perhaps, the limitation on the archaeological research in West Java cause of the archaeological data itself; many of them have been destroy by the time or tophonomy process and suggest abandoned in-situ. To identify site like that as a Hindu-Buddha's ceremonial site which could be placed as sample is one of this research goals. According to Central Java and East Java, the archaeological remains such as Candi, PathW tan, and Patapa as ceremonial site more refer to dharma haji, dharma !pas, and several of holy-place which could not be identify yet, such as karesyan. By the way, they could not be found in West Java's history resources. There are many different to the other one, both by the name or by form. In the ancient literature, especially in West Java's ancient manuscript or inscriptions, ceremonial remains are called by lemah dewasasana, kabuyutan, kawikwan, mandala, and parahiyangan. Kawikwan and mandala could be similarity with the ceremonial site in East Java who called by karesyan, especially in Hinduism (Saiva). Today's, all of archaeological remains, holy-place as area to hold an ceremonial event, or be a holy-place by some reasons, such as a grave of ancestor, Islamic religionist, or a place regarded has supra-natural, are called kabuyutan. Usually they are single sanctuary, terrace, and altar
Rest on this constraint as long as the inclination of the archaeological research today's, the placement of Hindu-Buddha's ceremonial site: study of physical environment of kabuyutan in West Java is a testing hypothesis to carry on the ecological determinants approach to understand the relationship between the archaeological site with the resource space as its physical environment. In this case, the resource space are restriction at lay, elevated place, slope steepness, soil, geomorphology, and distance to water-resources. The main goals of this research succeed five inclinations clustering of kabuyutan which in basically show that the placement of the ceremonial site consider the resource space in the own restriction. The ceremonial site as area to hold live as an ascetic more higher and steepness than the ceremonial site as area to hold an worship to Supreme Being. And so that the placement of a ceremonial site as a place to learning the secret doctrine --in some case called by kawikwan--, there are some consideration behind the siha`paka's (and sthapati's) decision. For a sample, they are must be near by a water-resources and the soil must be a fertile soil.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soeroso
"ABSTRAK
Dalam sejarah Indonesia kuno diketahui bahwa awal mula berkembangnya pengaruh kebudayaan India di Nusantara telah berlangsung cukup lama. Dari sumber-sumber tertulis yang sampai ke tangan kita dapat diketahui bahwa awal mula munculnya peradaban yang bercorak Hindu di Indonesia itu berlangsung di dua pusat ialah di Jawa Barat dan di Kalimantan Timur. Dan prasasti-prasasti yang paling awal yang ditemukan di wilayah Jawa Barat, meskipun secara keseluruhan tidak menyebut angka tahun yang lengkap, dapat diketahui bahwa kerajaan yang pertama kali berkembang di wilayah ini ialah kerajaan Tarumanagara I. Prasasti-prasasti tertua yang menyebutkan keberadaan kerajaan tersebut antara lain adalah Prasasti Lebak, yang menyebut kebesaran seorang raja yang bernama Sri Purnawarman2; Prasasti Jambu (Koleangkak), yang menyebut seorang raja yang bernama Purnawarman dan memerintah di Taruma3; Prasasti Ciaruteun, yang menyebut raja yang mulia, yang bernama Sang (Sri) Purnawarman;4 Prasasti Kebon Kopi, yang menyebut keagungan seorang penguasa Taruma5; Prasasti Muara Cianten, yang gaya tulisannya berasal dari masa Taruma 6; Prasasti Pasir Awi, dalam bentuk gambar (pictograph) yang diperkirakan berasal dari masa Taruma7 serta yang terakhir Prasasti Tugu,8 yang ditemukan di Desa Tugu tidak jauh dari Kampung Cilincing, Jakarta sekarang.
Berdasarkan wilayah persebarannya, juga ukuran batunya, dapat diketahui bahwa prasasti-prasasti itu dibuat in situ.9 Dan wilayah persebarannya itu juga dapat diperkirakan bahwa wilayah pengaruh kekuasaan kerajaan Tarumanagara pada masa pemerintahan raja Purnawarman setidak-tidaknya mencakup sebagian wilayah Jawa Barat mulai dari daerah Kabupaten Pandeglang di bagian barat, Kabupaten Bogor di bagian selatan dan daerah Bekasi sampai Jakarta di bagian utara. Apabila diperhatikan gaya tulisannya, gaya bahasanya, bentuk tulisannya serta jenis metrumnya1° dapat diketahui bahwa tulisan-tulisan pada prasasti-prasasti tersebut berasal dari pertengahan abad V. Tulisan yang digunakan seluruhnya menggunakan huruf Pallawa dengan bahasa Sansekerta serta kebanyakan berbentuk sloka dengan metrum sragdara dan anustubh. Adanya penggunaan bahasa Sansekerta serta huruf Pallawa tersebut merupakan bukti bahwa pada masa itu telah terjadi kontak budaya antara Tarumanagara dengan kerajaan-kerajaan di India. Bahkan dengan dikeluarkannya prasasti-prasasti yang berbahasa Sansekerta, pengenalan metrum serta dikenalnya bentuk tulisan gambar (pictograph) tersebut di atas membuktikan bahwa pada masa itu pengetahuan masyarakat dalam bidang kesusasteraan sudah cukup maju.
Di antara tujuh buah prasasti yang dikeluarkan oleh raja Purnawarman, Prasasti Tugu merupakan satu-satunya yang paling istimewa oleh karena beberapa hal. Pertama, Prasasti Tugu merupakan satu-satunya prasasti yang ditemukan di wilayah pantai utara Jawa Barat (Jakarta). Kedua, Prasasti Tugu merupakan prasasti yang memuat angka tahun terlengkap dibandingkan dengan prasasti yang lain karena menyebut beberapa unsur penanggalan dari peristiwa-peristiwa panting pada masa pemerintahan Purnawarman. Ketiga, Prasasti Tugu menginformasikan tentang dilakukannya dua kegiatan pembuatan saluran masing-masing saluran Sungai Candrabhaga dan Sungai Gomati. Keempat, di dalam Prasasti Tugu juga diinformasikan pemberian hadiah 1000 ekor lembu kepada para brahmana.l Kelima, Prasasti Tugu merupakan satu-satunya prasasti dari masa pemerintahan raja Purnawarman yang paling banyak datanya.
Berdasarkan keterangan yang disebutkan di dalam Prasasti Tugu tersebut dapat diketahui bahwa pada masa pemerintahan raja Purnawarman sistem pemerintahannya sudah sangat maju. Upaya pembuatan saluran yang panjangnya hampir mencapai sekitar 11 kilometer 12 hanya dalam waktu 21 hari jelas memerlukan tenaga yang tidak sedikit serta memerlukan kemampuan teknologi yang maju. Demikian pula halnya dengan pemberian hadiah sebanyak 1000 ekor lembu kepada para brahmana memperlihatkan kepada kita bahwa pada masa itu domestikasi hewan sudah sangat berkembang."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Santoso
"ABSTRAK
Prasasti merupakan artefak bertulisan dari masa lampau yang dipahatkan di atas logam, batu, tanduk den sebagainya. Di Indonesia prasasti banyak ditemukan yaitu sejak abad V. Prasasti, terutama yang dipahatkan di atas batu dapat dikaji dari dua aspek yaitu pertama dari aspek isi. Dari isi dapat diketahui berbagai hal seperti struktur pemerintahan, ekonomi, agama, dan lain sebagainya. Aspek kedua adalah wujud atau fisik prasasti. Dari wujud prasasti batu mempunyai bentuk yang beraneka ragam yaitu mulai dari bentuk yang sederhana sampai bentuk yang rapi. Pada umumnya penelitian terhadap prasasti menitikberatkan pada isinya. Selain isi, masih banyak unsur-unsur lain yang terda_pat dalam prasasti seperti bahasa yang dipergunakan, huruf, bentuk atau wujud prasasti, hiasan den bidang yang dipergunakan untuk memahatkan keterangan dan lain sebagainya, tetapi unsur-unsur tersebut belum tentu ada pada setiap prasasti.
Penelitian prasasti terutama yang dipahatkan di atas batu telah dilakukan misalnya penelitian bentuk-bentuk prasasti batu dari Jawa Tengah, den penelitian bentuk prasasti batu di MNJ. Penelitian tersebut di atas tidak melakukan korelasi antar unsur prasasti. Dan pada kesempatan ini dilakukan penelitian terha_dap prasasti batu dengan mengkorelasikan antara unsur satu dengan lainnya. Unsur-unsur tersebut adalah bentuk, isi, bahasa, huruf, hiasan den bidang penulisan, Permasalahan yang ingin diketahui pertama hubungan bentuk prasasti batu dengan angka tahun atau kronologi dan kedua hubungan bentuk prasasti batu dengan isi serta hubungan yang terjadi antar unsur-unsur yang terdapat pada prasasti batu. Penelitian ini berdasarkan anggapan bahwa artefak merupakan refleksi dari ide atau gagasan manusia dalam bentuk materi dan juga merupakan refleksi den tingkah laku yang berpola yang diterima atau disepakati oleh masyarakat.
Hasil penelitiannya diperoleh bentuk-bentuk seperti tiang, batu alam, lingga, blok, wadah dan area dengan berbagai variasi. Bentuk-bentuk prasasti ini tidak terlepas dari unsur-unsur yang terdapat dalam prasasti seperti bahasa, huruf, bidang penulisan, hiasan dan isi tetapi hubungan yang terjadi antar unsur tidak saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Selain bentuk isi, bahasa, huruf, hiasan dan bidang penuli_san juga mempunyai keanekaragaman. Hasil yang diperoleh ini bersifat sementara, karena masih cukup banyak prasasti batu yang berhasil ditemukan kembali tetapi tidak menjadi sampel penelitian ini. Oleh karena itu penelitian ini memperoleh basil hanya bersifat khusus atau sementara.

"
1995
S11811
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vulovik, Visna
"Penelitian ini mengkaji tentang subsistensi manusia terutama dalam memanfaatkan tulang sebagai bahan baku peralatan. Alat tulang dimanfaatkan manusia sebagai alat bantu dalam melakukan suatu pekerjaan. Adanya pemanfaatan tulang untuk alat dapat dikenali dari bentuk, ukuran, serta ciri-ciri fisik lain yang terlihat pada alat tulang. Hal ini dapat terjadi karena adanya perlakuan tertentu pada tulang pada saat proses pembuatan dan pemakaian alat. Proses tersebut dapat berupa penajaman, penggosokan, pemangkasan, kilapan, peretusan, dan patahan. Usaha untuk menginterpretasikan pemanfaatan alat tulang oleh manusia masa lampau dilakukan dengan beberapa analisis, yaitu analisis khusus yang meliputi analisis fauna dan analisis artefaktual, serta analisis kontekstual. Tujuan analisis ini untuk mendapatkan gambaran pemanfaatan tulang hewan sebagai bahan baku, teknologi dan morfologi alat tulang, serta gambaran perkembangan teknologi alat tulang dalam satuan lapisan budaya. Gambaran pengolahan dan pemanfaatan alat tulang menggunakan teknologi pembentukan tulang yang dikemukakan oleh Eileen Johnson (1985). Gambaran pengolahan dan pemanfaatan alat tulang dilakukan dengan menempatkan unsur tajaman sebagai indikator utama dalam mengamati alat tulang. Berdasarkan bentuk, alat tulang dibagi menjadi dua hentuk utama, yaitu spatula dan lancipan. Berdasarkan indikasi kemunculan dan sebaran, penggunaan elemen tulang hewan untuk dijadikan sebagai alat pada situs Braholo didominasi oleh ulna Macaca sebagai bahan baku lancipan, dan tulang panjang Bovidae sebagai bahan baku spatula. Teknologi dan morfologi alat tulang tampak pada munculnya ciri-ciri luka buat dan pakai yang menimbulkan beberapa bentuk dan variasi. Alat tulang pada Situs Braholo memiliki jumlah dan bentuk yang beragam. Penyebab keragaman tersebut terutama disebabkan oleh faktor teknologis, antara lain proses pembuatannya yang belum terstandardisasi sehingga menghasilkan cukup banyak subtipe dan varian. Dalam hal ini, spatula memiliki 3 bentuk subtipe dan 19 bentuk varian, sedangkan lancipan memiliki 5 bentuk subtipe dan 13 bentuk varian. Ciri pembentukan alat tulang yang sama pada setiap lapisannya, menunjukkan adanya kelanjutan tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Puncak pemanfaatan alat tulang pada situs Braholo terdapat pada lapisan Preneolitik Holosen dan Preneolitik-Neolitik Holosen, sama halnya dengan situs-situs lainnya di Gunung Sewu. Situs Braholo sendiri mungkin juga mendapat pengaruh tradisi Sampung, di mana alat tulang dari Situs Braholo memiliki kesamaan bentuk dengan alat tulang dari Sampung."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S12042
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mundardjito
"ABSTRAK
Majapahit dikenal sebagai kerajaan Hindu-Budha terbesar yang pernah berperan dalam abad 13-15 di wilayah Indonesia dan kawasan Asia Tenggara. Namun kebesaran tersebut umumnya dikaitkan dengan aspek sejarah, geo-politik, agama maupun kesenian, sedangkan gambaran tentang permukimannya masih sedikit sekali diketahui. Padahal sebagaimana dikemukakan Gordon R. Willey:
"....settlement patterns are, to a large extent, directly shaped by widely
held cultural needs, they offer a strategic starting point for the functional interpretation of archaeological cultures.... " (Willey 1953)
Dengan ungkapan tokoh arkeologi permukiman tersebut jelaslah bahwa pola permukiman merupakan awal yang strategis untuk memahami berbagai aspek budaya dari masyarakat pendukungnya, meliputi sistem teknologi, sistem sosial, dan sistem ideologi. Pala permukiman merupakan wilayah kajian yang diteliti oleh berbagai disiplin selain arkeologi, seperti: antropologi, sejarah, sosiologi, dan arsitektur. Dengan kata lain kajian permukiman merupakan tempat bertemunya berbagai peniikiran dari sejumlah disiplin. Sifat multidisipliner inilah yang mengharuskan arkeologi menggali dan menjajikan data dari kebudayaan mesa lalu untuk selanjutnya dimanfaatkan oleh berbagai disiplin lain.
Sumber-sumber sejarah seperti karya sastra, prasasti, berita asing dan relief relief pada candi memang telah membantu kita mengetahui sebagian kecil atau beberapa hal mengenai permukiman di Majapahit, tetapi gambaran tersebut hanyalah bersifat umum dan belum tentu terkait dengan pemukiman di situs Trowulan. Oleh sebab itu untuk memperoleh bukti konkret yang dapat diamati (observable) dan dapat diukur (measurable) mengenai permukiman Majapahit di situs Trowulan diperlukan tipe penelitian arkeologi dengan cara ekskavasi (digging research).
Situs Trowulan yang letaknya lebih kurang 10 km di sebelah tenggara Mojokerto adalah sebuah situs yang berdasarkan penelitian regional terakhir (Mundardjito dkk. 1995) memiliki luas lebih kurang 9 x 11 km. Sedemikian luasnya sehingga dapat difahami jika sites ini dikategorikan oleh para peneliti sebagai situskota. Kitab Nagarakertagama memberikan gambaran umum tentang pola perkotaan ibukota Majapahit, tetapi struktur setiap satuan bangunannya atau gugusannya tidak dapat diketahui secara pasti. Relief-relief candi memberi bantuan untuk memahami bentuk umum suatu satuan bangunan, tetapi sifatnya yang terbatas tidak memungkinkannya untuk memberikan rincian dari unsur-unsur bangunan itu.
Selain data sejarah (historical record) kita masih dapat memanfaatkan data lain, yaitu artefak-artefak, untuk memahami secara lebih faktual dan jelas mengenai pola permukiman masyarakat Majapahit. Sebagaimana diketahui Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buda terakhir yang berkuasa sekitar 200 tahun (1293-1478), dan sites Trowulan adalah satu-satunya contoh situs-kota dari masa Hindu-Buda yang sisa-sisa pemukimannya masih dapat kita lihat sekarang (Bandingkan dengan lokasi sejumlah situs-kota yang sampai kinibelum diketahui seperti dari: kerajaan Mulawarman abad 5 di Kalimantan Timur, Tarumanagara abad 6 di Jawa Barat, Sriwijaya abad 7 di Sumatera, Mataram abad 7--10 di Jawa Tengah, Kediri abad I I dan Singhasari abad 12 di Jawa Timur). Di situs Trowulan, yang merupakan wakil utama dari sisa kegiatan manusia Majapahit, ditemukan sejumlah indikator penting yang dapat membantu kita memahami aspek-aspek permukiman dalam skala mikro secara lebih jelas. Indikator tersebut antara lain berupa sisa-sisa struktur, bailk dari sebuah unit bangunan (household) maupun dari gugusan bangunan (household cluster). Sebagai suatu himpunan temuan data tersebut sesungguhnya mencerminkan satu bagian dari suatu sistem yang kompleks, yaitu sistem kehidupan masyarakat kota Majapahit yang lebih menyeluruh. ltulah sebabnya usaha penelitian yang diawali dari data arkeologi yang paling dasar dalam skala mikro, dapat memberikan sumbangan yang sangat penting untuk memberi isi kepada gambaran dari satuan pemukiman yang lebih besar.
Usaha untuk merekonstruksi pola permukiman ibukota Majapahit telah dilakukan. Namun usaha-usaha tersebut dihadapkan pada banyak masalah. Bukti-bukti fisik yang hingga kini diyakini sebagai sisa ibukota Majapahit tidak menunjukkan kesesuaian dengan uraian sumber-sumber tertulis mengenai tempat tersebut. Usaha untuk menjawab masalah-masalah tersebut tentu tidak dapat dilaksanakan seketika, melainkan memerlukan perencanaan penelitian bertahap dan perlu melibatkan sejumlah disiplin. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Cokki
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penempatan produk merek Indonesia, sikap penonton, dan bentuk sikap penonton terhadap web series di situs web Youtube. Data diambil dari 16 merek yang mencakup 94 episode dalam 21 web series. Data dianalisis dengan distribusi frekuensi dan analisis konten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik penempatan produk merek Indonesia sangat beragam, sikap penonton positif, dan bentuk sikap penonton lebih kuat pada sikap terhadap film, sikap terhadap aktor, dan sikap terhadap karakter dibandingkan dengan sikap terhadap penempatan produk dan sikap terhadap merek."
Tangerang: Business School Universitas Pelita Harapan, 2019
338 DEREMA 14:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ahmad Bagus Santoso
"Skripsi ini membahas data ekofaktual berupa gigi fauna dari situs Gua Braholo untuk mengetahui kondisi lingkungan situs Gua Baraholo, untuk mengetahui kondisi lingkungan situs Gua Braholo pada kala Pleistosen akhir dan Holosen, ketika dimanfaatkan oleh manusia ..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S11464
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Apriani
"ABSTRAK
Meningkatnya aktivitas pembangunan di Kota Yogyakarta menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Hal tersebut dikarenakan aktivitas pembangunan yang berorientasi fisik dianggap cenderung mengejar keuntungan ekonomi dengan kurang mengindahkan dampak social dan lingkungan. Tujuan dari makalah ini akan mendeskripsikan penilaian
masyarakat tentang dampak perkembangan kawasan berdasarkan pertimbangan aspek
lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini berupa penelitian deskriptif kuantitatif. Sebanyak 128 orang (32,0%) menyatakan perkembangan kawasan terbangun memiliki dampak negative terhadap aspek lingkungan dan
sebanyak 272 orang (68%) menyatakan perkembangan kawasan terbangun tidak memiliki dampak negative terhadap lingkungan. Sebanyak 83 orang (20,8%) menyatakan perkembangan kawasan terbangun memiliki dampak negative terhadap aspek social budaya
dan sebanyak 317 orang (79,2%) menyatakan perkembangan kawasan terbangun tidak memiliki dampak negative terhadap aspek social budaya. Sebanyak 147 orang (36,8%) menyatakan perkembangan kawasan terbangun memiliki dampak negative terhadap aspek
ekonomi dan sebanyak 253 orang (63,2%) menyatakan perkembangan kawasan terbangun tidak memiliki dampak negative terhadap aspek ekonomi."
Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (P3M) STTA, 2018
600 JIA X:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>