Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112426 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sunaryo
"Stroke merupakan salah satu penyakit akut yang paling besar menimbulkan ketidakmampuan (disabling) (Guccione dkk; dalam Sarafino, 1998). Ketidakmampuan (disabling) yang terjadi adalah adanya hambatan (handicap) dan kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan orang yang sehat seperti: tidak bisa jalan, menelan, dan melihat akibat pengaruh stroke (Misbach, 1999). Sutrisna (2001) mengatakan bahwa banyak penderita stroke menjadi cacat, invalid, tidak mampu lagi mencari nafkah seperti sedia kala, menjadi tergantung pada orang lain, dan tidak jarang menjadi beban bagi keluarganya. Beban ini dapat berupa beban tenaga, beban perasaan, dan beban ekonomi. Anggrahaeni (2003) mengatakan secara lebih gamblang bahwa perubahan yang teijadi akibat stroke juga mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Mereka mengalami stress karena hidup mereka secara keseluruhan berubah. Mereka diharuskan menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan keadaan yang baru. Di samping itu, mereka juga masih harus dihadapkan dengan adanya tambahan tanggung jawab. Tanggung jawab itu tidak hanya sebatas mengurus dan melatih si penderita untuk kembali pulih, namun juga tanggung jawab atas pekeijaanpekeijaan yang tidak dapat dilakukan lagi oleh penderita. Seorang istri yang suaminya menderita stroke misalnya, bisa jadi terpaksa bekeija mencari tambahan penghasilan untuk menghidupi keluarga dan biaya pengobatan (Anggrahaeni, 2003). Oleh karenanya, kehidupan rumah tangga dengan salah satu pasangan menderita penyakit akut, seperti stroke, adalah kenyataan hidup yang pada dasarnya tidak diinginkan oleh setiap pasangan suami istri manapun. Kondisi ini tentunya akan berpotensi menimbulkan masalah dan juga mempengaruhi hubungan atau interaksi pasangan suami istri. Hal ini karena stroke tidak hanya berdampak bagi si penderitanya saja melainkan juga bagi lingkungan terdekatnya yaitu pasangan serta keluarganya (Walerby & Forsberg et al, 1999). Penyakit stroke yang diderita oleh salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional (emolional well-being) anggota keluarga lainnya. Anggola keluarga dari pasien stroke, biasanya akan mengalami kekacauan emosional (emotional turmoil) (Walerby & Forsberg et al, 1999). Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai kesejahteraan psikologis (psychological well-bing) pada istri yang memiliki suami penderita stroke. Secara lebih spesifik penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran keenam dimensi kesejahteraan psikologis yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Ryff (1995) yaitu: dimensi penerimaan diri, dimensi hubungan positif dengan orang lain, dimensi otonomi, dimensi penguasaan lingkungan, dimensi tujuan hidup, dan dimensi pertumbuhan pribadi. Penelitian dilakukan terhadap 4 orang istri yang memiliki pasangan terserang stroke. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang lebih dapat menggambarkan proses yang kompleks dan menyeluruh dibandingkan penelitian lain. Jenis penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam karena peneliti ingin mengetahui pengalaman subyektif subyek. Untuk melengkapi data hasil wawancara, dilakukan observasi terhadap subyek selama proses berlangsungnya wawancara. Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah bahwa kesejahteraan psikologis pada istri yang memiliki pasangan terserang stroke pada penelitian ini tampaknya menunjukkan keragaman kondisi. Secara umum dengan karakteristik demografis yang berbeda, gambaran seluruh dimensi kesejahteraan psikologis 3 subyek menunjukkan kondisi yang relatif sama baiknya. Sedangkan 1 subyek lainnya berbeda dengan ke 3 subyek lainnya pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, otonomi, dan pertumbuhan peribadi. Namun secara umum terlihat kecenderungan bahwa situasi stroke beserta dampak-dampaknya pada awalnya (beberapa minggu setelah kejadian) memberikan tekanan-tekanan psikologis sehingga mereka perlu berproses untuk mendapatkan kesejahteraan psikologis yang saat ini dirasakannya. Para subyek akhirnya menilai pengalaman menjalani kehidupan dengan suami yang terserang stroke dengan suatu pandangan yang positif. Faktor demografis dan klasifikasi sosial ternyata tidak berpengaruh dalam pembentukan kondisi kesejahteraan psikologis para subyek melainkan faktor: karakteristik pribadi, religiusitas (keberagamaan) (Koenig, Kvale, & Ferrel dalam Mardhianto, 1997), dukungan sosial (Robinson 1991), dan evaluasi terhadap pengalaman hidup (Ryff 1995) adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan kondisi kesejahteraan psikologis para subyek. Sehubungan dengan hasil penelitian ini disarankan kepada para istri yang bersuami terkena stroke sebagai orang terdekat penderita untuk dapat mencapai kesejahteraan psikologis yang baik, memaknai peristiwa tersebut dengan penilaian yang positif, dan lebih memberikan dukungan psikologis untuk pemulihan suami yang komprehensif.
Stroke is one of the most severe acute diseases that causes disability (Guccione et al; in Sarafino, 1998). The disability that occurs is the presence of handicap and loss of ability to do something that healthy people should be able to do such as: not being able to walk, swallow, and see due to the effects of stroke (Misbach, 1999). Sutrisna (2001) said that many stroke sufferers become disabled, invalid, no longer able to earn a living as before, become dependent on others, and often become a burden for their families. This burden can be in the form of physical burden, emotional burden, and economic burden. Anggrahaeni (2003) said more clearly that the changes that occur due to stroke also affect other family members. They experience stress because their lives as a whole change. They are required to adjust to the demands of new circumstances. In addition, they also still have to face additional responsibilities. The responsibility is not only limited to taking care of and training the patient to recover, but also the responsibility for the jobs that the patient can no longer do. A wife whose husband has a stroke, for example, may be forced to work to find additional income to support the family and medical expenses (Anggrahaeni, 2003). Therefore, household life with one partner suffering from an acute illness, such as a stroke, is a fact of life that is basically not desired by any married couple. This condition will certainly have the potential to cause problems and also affect the relationship or interaction of the husband and wife. This is because stroke not only affects the sufferer but also the closest environment, namely the partner and family (Walerby & Forsberg et al, 1999). Stroke suffered by one family member can affect the emotional well-being of other family members. Family members of stroke patients usually experience emotional turmoil (Walerby & Forsberg et al, 1999). The purpose of this study was to obtain an in-depth description of psychological well-being in wives whose husbands had strokes. More specifically, this study aims to see the description of the six dimensions of psychological well-being that refer to the theory proposed by Ryff (1995), namely: the dimension of self-acceptance, the dimension of positive relationships with others, the dimension of autonomy, the dimension of environmental mastery, the dimension of life goals, and the dimension of personal growth. The study was conducted on 4 wives who had partners who had strokes. This study used a qualitative approach that could better describe complex and comprehensive processes compared to other studies. The type of qualitative research used was a case study. The data collection technique used was in-depth interviews because the researcher wanted to know the subjective experiences of the subjects. To complete the interview data, observations were made of the subjects during the interview process. The conclusion obtained from the results of this study is that the psychological well-being of wives who had partners who had strokes in this study seemed to show a variety of conditions. In general, with different demographic characteristics, the description of all dimensions of psychological well-being of the 3 subjects showed relatively equally good conditions. While 1 other subject was different from the other 3 subjects in the dimensions of positive relationships with others, autonomy, and personal growth. However, in general, there is a tendency that the stroke situation and its impacts initially (several weeks after the incident) provide psychological pressures so that they need to process to obtain the psychological well-being that they currently feel. The subjects finally assessed the experience of living with a husband who had a stroke with a positive view. Demographic factors and social classification turned out to have no effect on the formation of the psychological well-being of the subjects, but factors: personal characteristics, religiosity (religiousness) (Koenig, Kvale, & Ferrel in Mardhianto, 1997), social support (Robinson 1991), and evaluation of life experiences (Ryff 1995) are factors that influence the formation of the psychological well-being of the subjects. In connection with the results of this study, it is suggested that wives whose husbands have had a stroke as the closest people to the sufferer can achieve good psychological well-being, interpret the event with a positive assessment, and provide more psychological support for their husbands' comprehensive recovery."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3423
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emilia Siswadi Naland
"Salah satu masalah yang dapat timbul dalam bubungan suami isteri adalah perselingkuhan di mana suami atau isteri terlibat dalam hubungan seksual dan terikat secara emosional dengan orang lain yang bukan pasangannys. Perselingkuhan meaimbulkan hetbsgai dampsk negatif dalam kehldupan berkeluarga karena suami atau isteri yang herselingkuh akan membagi babkan mengalihkan cinta kasih, perhatian, dana dan kebutuban keluarga yang lain dari pasangannya dan anak-anaknya, kepada orang ketiga yang menjadi pasangan selingkuhnya. Akibatnya kehldupan keluarga menjadi terganggu, suami-isteri kehilangan kepeccayaan tecbadsp pasangannya dan hubungan keduanya menjadi tidak harmonis. Perselingkuhan menurut catatan beheraps penelitian lebih banyak dilskukan oleh suami daripada baeri dan menimbulkan dampak lebih buruk pada isteri karena isteri memandang makna perselingkuhan dari sisi kesalahan ataupun kekurangan di dalam dirinya. Isteri akan merasa dirinya tidak berharga, kehilangan kasih sayang, perharian dan dulrungan dari suami sehingga mereka mudah menjadi depresi. Akibat lebih lanjut, isteri mungkin menjadi kurang mampu menjalankan fungsi-fungsi psilrologisnya dengan baik. Ia sendiri kurang dapat melihar kebaikan dirinya, enggan membina hubungan yang akrab dan bangat dengan orang lain, kurang mampu mengambil keputusan sendiri, sulit mengatur berbagai aktivitas yang hams dilakukannya, kehilangan minat untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, bahkan dapat kehilangan makna dan tujuan hidupnya sehingga dapat dikatakan merasa tidak sejahtera secara psikologis. Penelitian ini mengkaji kesejahteraan paikologis isteri yang mempunyai pengalaman suami berseelingkuh dengan membedakan isteri usia dewasa muda dan isteri usia dewasa madya, mengingat karakteristik dan tugas perkembangan kedua tahapaa usia tersebut berhada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Pada awal perselinglroban terungkap, kesejahteraan psikologis isteri terganggu baik pada isteri usia dewasa madya atau muda. Namun demikian, kesejahteraan psikologis dapat pulib kembali setelah mereka dapat menerima kenyataan yang terjadi, mengambil keputusan mangenai kelanjulan kehidupan perkawinan dan menyesuaikan diri dengan 'kehidupannya yang baru' yaitu tetap mempertahankan perkawinan alan bereerai. Empat responden dewasa madya dalam penelitian ini terdiri dari 2 responden yang telah bercerai dan 2 respnnden yang mempertahankan perkawinan merasa sejahtera secara psikologis Kedua responden dewasa madya yang memutuskan bercerai, secara umum memiliki kesejahteraan psikologis lebih baik dibandingkan dengan dua responden dewasa madya yang mempertahankan perkawinan. Hal ini antara lain disebabkan karena kedua responden yang mempertahankan perkawinan. belum dapat menyelesaikan masalah parselingkuhan suarni secara tuntas. Seorang responden, suarninya tetap berselingkuh dan seorang. yang Jain mempunyai anak di luar perkawinan mereka. Kadua responden dewasa muda merasa tidak sejahtera secara psikologis. Mereka berdua merasa kurang dapat menerima diri mereka dengan baik dan lebih banyak melihat kekurangan diri. Keduanya belum dapat mengambil keputusan mengenai kelanjutan parkawinan mereka apakah akan dipertahankan atau bereerai dan sedang mempertimbangkan berbagai konsekuensi yang menyenainya. Beberapa karakteristik dan tugas perkembangan dewasa madya tampaknya Jebih memudahkan untuk merasa sejahtera. Hal ini antara lain disebabkan karena semua responden dewasa madya mandiri secara ekonomi, mereka mempunyai peeghasilan atau pekerjaan yang dapat diandalkan. Dalam menjalankan peran sebagai orang tua atau ibu, dewasa madya khususnya mereka yang mempunyai anak sudah cukup besar tidak Jagi banyak disibukkan oleh tugas-tugas mengurus dan merawat anak sehingga mereka dapet melakukan berbagai aktivitas sebagaimana dibutuhkannya, termssuk bekerja tanpa banyak mengalami konflik peran. Selain itu, sebagian respondan dewasa madya mempunyai anak-anak yang sudah berusia remaja atau dewasa muda sehingga dapat memberikan dukungan kepada ibunya dalam bentuk saran, kerja sama dan saling tolong menolong memenuhi berbagai kebutuhan atau mengatasi kesulitan. Selanjutnya dikemukakan saran agar penelitian ini dapat dikembangkan dengan menambah responden yang bentda dalam kondisi lebih bervariasi. Seperti misalnya, panting ditelaah kesejabteraan psikologis responden dewasa madya yang tidak mempunyai pekerjaan atau penghasilan yang dapat diandalkan, responden dewasa muda yang bercerai agar dapat dipelajari cara mereke mengatasi masalah finansial dan kesibukan mengurus anak tetapi tetap mampu merasa sejahtera secara psikologis. Hasil penelitian akan lebih kaya apabila dilakukan pula penelitian terhadap kesejahteraan psikologis suami yang isterinya berselingkuh agar dapat diketabui pengaruh dari peran jender Selanjutnya dikemukakan juga saran praktis untuk isteri yang mempunyai pengalaman suarni berselingkuh agar tidak berlarut-Iarut tenggelarn dalarn depresi dengan membuka diri dalarn mengatasi berbagai masalah yang mungkin timbul dan segera menata diri kembali dengan kebidupan yang baru bersama atau tanpa suami. Isteri dewasa muda yang belum bekerja dapat segera membekali diri dengan ilmu dan keterampilan agar dapat memberdayakan diri dan tidak seterusnya bergantung kepada suarni, terutama hila perkawinan tidak dapat dipertabakankan Mendekatkan diri kepada Tuhan akan menambah ketegaran serta memberikan pengharapan dalam mengatasi kesulitan yang mungkin dihadapi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
T37885
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carlson, Karen J.
London : Harvard University Press, 1997
616.89 CAR w
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ayesha Kartika Ratri
"Individu yang telah menikah cenderung kurang memiliki kesiapan dalam membangun rumah tangga sedangkan untuk menciptakan kualitas keluarga memerlukan kesiapan yang matang. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara tingkat kesiapan menikah dengan kualitas kesehatan keluarga pada pasangan baru. Jenis penelitian analitik yang digunakan adalah studi observasi cross-sectional dengan metode pengambilan sampel Simple Random Sampling terhadap 108 responden individu yang telah menikah di tahun 2020-2023. Instrumen penelitian yang digunakan adalah instrumen mengenai skala kesiapan menikah yang diadaptasi dari penelitian Rislicha (2020) dan Family Health Scale yang kemudian ditranslasi ke bahasa indonesia dengan penerjemah tersumpah. Analisis uji statistik yang digunakan yakni Uji Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara tingkat kesiapan menikah dengan kualitas kesehatan keluarga pada pasangan baru (p = 0,000). Peneliti merekomendasikan kepada tenaga kesehatan untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada pasangan yang akan menikah.

Individuals who are married tend to be less prepared to build a household, while creating a quality family requires careful readiness. This study aims to identify the relationship between the level of readiness for marriage with the quality of family health in new couples. The type of analytical research used is a cross-sectional observation study with the Simple Random Sampling sampling method of 108 married individual respondents in 2020-2023. The research instrument used was an instrument on the marriage readiness scale adapted from research by Rislicha (2020) and the Family Health Scale which was then translated into Indonesian with a sworn translator. The statistical test analysis used is the Chi Square Test. The results showed that there was a relationship between the level of readiness for marriage and the quality of family health in new couples (p = 0.000). Researchers recommend health workers to provide health education to couples who are getting married."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Limpah Kurnia
"Latar Belakang.
Tujuan dari operasi bibir sumbing adalah untuk memperbaiki celah bibir/ sumbing bibir dengan mencapai hasil yang baik yaitu bentuk bibir yang simetris kiri - kanan dan juga kualitas parut yang halus, dengan alasan tersebut maka keberhasilan operasi tidak hanya bergantung pada kemampuan teknik operasi yang baik dan peralatan serta benang yang digunakan dalam operasi tersebut melainkan juga perawatan luka pascaoperasi yang sangat berpengaruh terhadap kualitas .Perawatan luka pascaoperasi dilakukan oleh pengasuh anak yaitu ibu kandung yang memiliki peran penting dalam proses perawatan luka pascaoperasi. Pengetahuan ibu tentang tata cara perawatan luka dan status kejiwaan ibu memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Pada studi ini kami akan mencari hubungan diantara keduanya yaitu status kejiwaan ibu dan kualitas dari perawatan luka/ parut pascaoperasi bibir sumbing.
Bahan dan Metode
Studi ini adalah studi potong lintang, dilakukakn di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada periode Januari ? Desember 2014 dengan partisipasi dari ibu yang memiliki anak bibir sumbing yang secara sukarela menyetujui untuk dilakukan tindakan operasi bibir sumbing pada anak mereka yang dibuktikan dengan menandatangani lembar persetujuan. Partisipan diwawancarai dan mengisi kuisioner Self Reporting Quistionnaire-20 (SRQ-20) dan Mini International Neuropsychiatric Interview Versi on International Classification of Disease X ( M.I.N.I ICD X) yang diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia sebagai uji diagnosti untuk gangguan jiwa. Pemeriksaan pada ibu dilakukan sebelum operasi pada penderita bibir. Pada studi ini kami menggunakan The Stony Brook Scar Evaluation Scale sebagai nilai ukur terhadap kualitas parut.
Hasil
Didapatkan 5 orang ibu yang terdiagnosa menderita gangguan jiwa berdasarkan pemeriksaan dengan menggunakan Self Reporting Questioneer - 20 yang menjawab pertanyaan dengan jawaban "ya" yang mempunyai nilai lebih dari 5, dan kami melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan menggunakan M.I.N.I ICD X untuk mengetahui jenis dari gangguan jiwa tersebut yang dilakukan 2 bulan pascaoperasi didapatkan hasil bahwa seluruh ibu yang awalnya terdiagnosa menderita gangguan jiwa dianggap sehat dan seluruh gejala klinis sebagai gangguan jiwa telah menghilang. Kualitas parut dari 22 operasi bibir sumbing didapatkan hasil 6 anak dengan parut yang memiliki kualitas kurang baik dengan nilai The Stony Brook Scar Evaluation Scale kurang dari 5 ( nilai 3 sebanyak 5 orang anak dan 1 orang anak memiliki nilai 4 ). Data dianalisa dengan menggunakan SPSS dan diuji dengan menggunakan Chi Square test ( Fisher's exact Test ), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi kesehatan jiwa ibu dengan kualitas perawatan parut pascaoperasi bibir sumbing (Exact sig 1.00).

Background
The aim of cheiloplasty is correcting of cleft lip with the good quality to achieve symmetrical on left and right side and also with the finest scar. Hence those reason not only depend on excellent surgery procedural skill and materrial used by surgeon but also caring of wound after surgery which most influential the healing of scar. Postoperative wound care by mother as a caregiver. Mother participation as a caregiver for caring the wound is the most important thing. Mother knowledge of wound care and mental health of mother are both closely relationship. This study, we are looking for Relation between mental health of Mother and quality caring of scar after cheiloplasty.
Material and Methods
The study is cross sectional, in Cipto Mangunkusumo Hospital since on January - December 2014 with participant all of mother who agree her children to perfome cheiloplasty after informed consent. The participant Interviewed and quistionnaired by Self Reporting Quistionnaire-20 (SRQ-20) and of Mini International Neuropsychiatric Interview Versi on International Classification of Disease X ( M.I.N.I ICD X) by World Health Organization for diagnostic of mental health disorder on mother before perfome cheiloplasty. We use The Stony Brook Scar Evaluation Scale as parameter of scar quality.
Result
There are 5 mother's mental health disorder according examinated by Self Requesting Questioneer - 20 who answered "yes" above 5 point, and we perfomed advanced examination using M.I.N.I ICD X to knowing dygnoses of mental health disorder. Mother advaced examination perfomed over 2 month after cheiloplasty on children, and the result are all of clinical sign of mother disorder were disappeared. Quality of caring scar from 22 cheiloplasty, only 6 scar categorised not god below 5 point of The Stony Brook Scar Evaluation Scale (3 point 5 children and 4 point 1 child). Data Analysed by SPSS and tested by Chi Square test (Fisher's exact Test), there is no significance relationship between Mother?s mental health and Quality of caring scar after cheiloplasty (Exact sig 1.00).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuni
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada dewasa madya bersuku Jawa yang menikah dan lajang. Penelitian ini tergolong penelitian kuantitatif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat utama dalam pengumpulan data. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ryff’s Scale of Psychological Well Being (RSPWB) yang telah berhasil diadaptasi oleh kelompok penelitian psychological well-being Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 2012. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan teknik statistik deskriptif. Responden dalam penelitian ini berjumlah 90 orang yang terdiri dari 45 berstatus menikah dan 45 berstatus lajang. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa skor mean psychological well being dewasa madya bersuku Jawa yang menikah dan lajang tergolong tinggi dan tidak berbeda secara signifikan antara mean skor keduanya.

The present research aims to describe the psychological well-being among middle-aged Javanese married and single persons. This research is a quantitative research by collecting data through questionnaires. In this research, The Ryff’s Psychological Well Being Scale is used. This scale was adopted from previous research by a research team of psychological well-being in 2012. The data is analyzed using descriptive statistic technique. The research respondents are 90 middle-aged Javanese persons (45 married and 45 singles). The result shows that the mean value of psychological well-being among middle-aged Javanese married and single persons is high. There is no significant difference in the mean value between the two categories."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S47265
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iffah Karimah Salsabila
"ABSTRAK
Kesiapan menikah merupakan salah satu kunci kesejahteraan dan kesehatan calon pengantin. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran kesiapan menikah dan karakteristik calon pengantin perempuan di Jakarta Selatan. Desain penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif sederhana dengan studi cross-sectional, melibatkan 125 calon pengantin perempuan dari 10 Kecamatan di wilayah Jakarta Selatan yang dipilih dengan teknik consecutive sampling. Kesiapan menikah diukur menggunakan instrumen Criteria for Marriage Readiness yang telah diterjemahkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 56,8 calon pengantin perempuan di Jakarta Selatan mempunyai kesiapan menikah yang baik. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pendidikan, pelayanan, dan penelitian keperawatan untuk meningkatkan kesiapan menikah pada calon pengantin perempuan. Selain itu, perawat dan tenaga kesehatan lainnya sebaiknya memberikan pelayanan kesehatan baik kesehatan reproduksi maupun kesehatan psikologis kepada calon pengantin.

ABSTRACT
Married readiness is one of the keys to the well being and health of the bride. This study aims to identify the description of marriage readiness and characteristics of bride in South Jakarta. The design of this study is a simple quantitative descriptive with cross sectional study, involving 125 bridal candidates from 10 sub districts in South Jakarta selected by consecutive sampling technique. Marital readiness is measured using the translated Criteria for Marriage Readiness instrument. The results showed that 56,8 of bride in South Jakarta have good marriage readiness. This research is expected to be useful for education, service, and nursing research to improve the marriage readiness of the bride. In addition, nurses and health workers should provide health services both reproductive health and psychological health to prospective brides."
2017
S68729
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugrohoningtyas
"ABSTRAK
Makna kerja pada perempuan berkeluarga yang bekerja, terutama pada mereka yang berada pada tingkatan manajerial lebih didasari oleh motif atau keinginannya
untuk mengaktualisasikan dirinya. Di Indonesia, kesempatan kerja bagi perempuan
dengan jenjang kedudukan yang tinggi telah mengalami peningkatan. Namun demikian, fenomena yang terjadi di masyarakat barat menunjukkan adanya kecenderungan yang cukup tinggi dari perempuan berkeluarga yang berhenti bekerja pada tingkatan manajerial. Keinginan membesarkan dan mengasuh anak merupakan alasan yang paling banyak mereka kemukakan.
Dilema antara kerja dan rumah tangga tersebut menimbulkan keputusan sebagian perempuan berkeluarga yang bekerja untuk berhenti bekerja. Anggapan bahwa
tugas-tugas dometik dianggap tidak penting menimbulkan rasa kehilangan nilai bagi
individu perempuan ketika mereka berhenti bekerja, yang menyebabkan mereka kehilangan rasa percaya pada diri sendiri, merasa ‘tidak layak’ untuk bergaul karena statusnya yang ‘hanya’ sebagai ibu rumah tangga. Kondisi ini tampak sedikit banyak telah pula mempengaruhi pandangan sebagian masyarakat, terrnasuk perempuan sendiri
tentang peran mereka sebagai ibu mmah tangga. Terdapat anggapan bahwa peran ibu rumah tangga itu ketinggalan Jaman, udak prestisius, dan tidak membutuhkan keterampilan intelektual yang tinggi.
Di sisi lain banyak ibu rumah tangga yang menyukai pekerjaan merawat dan
mengasuh anak. Mereka melihat peran ibu tergolong spesial, dapat memberikan sesuatu yang bermakna yang dapat memperkaya perkembangan anak (Hock dalam
Smolak, 1993) dan keleluasaanya dalam mengatur jadual kerja sendiri (Oakley,
dalam Smolak, 1993). Paling tidak secara sementara, mereka ingin mengorbankan
penghasilan dan keuntungan lain dari kerja luar rumah dengan jalan memberikan
pengaruh mereka terhadap anak.
Kesejahteraan psikologis adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Ryff (1989) memaparkan mengenai karakteristik kesejahteraan psikologis yang
meliputi pemahaman dan penerimaan berbagai aspek dari diri seseorang, hubungan
yang positif dengan orang lain, kemandirian, memilih lingkungan yang sesuai, memi-
liki tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh gambaran secara spesiiik tentang
perempuan khususnya perempuan brkeluarga yang telah berhenti bekerja di suatu
organisasi formal dengan kedudukan terakhir pada posisi setingkat manajer. Adanya
keputusan berhenti bekerja menirnbulkan pertanyaan mengenai bagaimana kondisi
kesejahteraan psikologis perempuan tersebut setelah berhenti bekerja.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan
wawancara mendalam dan Skala Kesejahteraan Psikologis (SPWB) yang diadaptasi
dan Ryff (1989) yang bertujuan mendapatkan gambaran yang mendalam dan bermakna. Subjek penelitian benjumlah 3 (tiga) orang dengan karakteristik usia dewasa madya dengan posisi terakhir setingkat level manajer di suatu organisasi formal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kekhasan penghayatan kesejahteraan psikologis pada ketiga subjek penelitian. Subjek yang mengalami dominasi
dari suami mempunyai kondisi kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang memiliki kebebasan dalam menentukan pi1ihan-pilihannya sendiri. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan kesejahteraan psikologis
merupakan proses untuk ‘menjadi'. Rogers (1995) menggambarkan bahwa aktualisasi
diri merupakan suatn proses, suatu arah bukan suatu tujuan, dimana aktualisasi diri
berlangsung secara terus-menerus, tidak pernah merupakan suatu kondisi yang selesai
atau statis. Oleh karena itu, tidak ada titik puncak dari kesejahteraan psikologis. Yang
mungkin dicapai oleh individu adalah berubah dari kondisi kesejahteraan psikologis
rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan kondisi kesejahteraan psikologis buka.n dipengaruhi oleh faktor bekrja atau tidak bekerja, namun terdapat faktor-faktor lain yang diduga lebih memberikan pengaruh terhadap kondisi ke-
sejahteraan psikologis mereka.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian tentang
faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kondisi kesejahteraan psikologis mantan
manajer yang berkeluarga."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Purbaning Tyas
"Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan dari kesehatan mental ibu terhadap kejadian stunting pada balita di Indonesia yang berkaitan dengan karakteristik ibu, anak, serta rumah tangga berdasarkan kelompok usia balita. Dalam penelitian ini menggunakan data longitudinal dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) tahun 2007 dan tahun 2014 dengan metode Regresi Logistik Biner (logit). Kesehatan mental ibu diukur menggunakan instrumen CESD-10. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kelompok balita usia 0-59 bulan dan 24-59 bulan, peningkatan total skor CESD-10 berhubungan dengan kejadian stunting pada balita setelah dikontrol dengan seluruh karakteristik. Sementara pada kelompok balita usia 0-23 bulan, peningkatan total skor CESD-10 tidak berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. Tinggi ibu, durasi menyusui, usia anak, berat lahir, dan lokasi tempat tinggal berhubungan dengan kejadian stunting di semua kelompok usia. Pendidikan ibu dan kuintil pengeluaran berhubungan dengan kejadian stunting di kelompok usia 0-59 bulan dan 24-59 bulan. Sementara terdapat dua variabel yang hanya berhubungan dengan kejadian stunting di satu kelompok usia balita saja, yaitu usia ibu (kelompok balita 0-59 bulan) dan kondisi sanitasi (kelompok balita 24-59 bulan).

This study aims to study the association of maternal mental health to stunting in children under five years old in Indonesia, which is related to the characteristics of mothers, children, and households based on the age group of children under five years old. This study uses longitudinal data from the Indonesian Family Life Survey (IFLS) in 2007 and 2014 with the Logistic Regression method. Maternal mental health was measured using the CESD-10 instrument. The results showed that in the children's age group of 0-59 months and 24-59 months, an increase in the total CESD-10 score associated with stunting in children after being controlled by all the characteristics. In age 0-23 months, the increase in the total score of CESD-10 was not associated with stunting. Maternal height, duration of breastfeeding, child age, birth weight, and location of residence were associated with stunting in all age groups. Maternal education and expenditure quintiles were associated with stunting in the 0-59 months and 24-59 months age groups. Meanwhile, two variables only relate to the incidence of stunting in one age group of children under five, namely maternal age (0-59 months of children under five) and sanitary conditions (24-59 months of children under five)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hellen Citra Dewi
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran di Jakarta. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan pengumpulan data melalui kuesioner. Penelitian ini menggunakan alat ukur Ryff’s Scale of Psychological Well-Being yang telah diadaptasi oleh kelompok payung penelitian Psychological Well-Being 2012. Pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan teknik statistik deskriptif. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 200 petugas pemadam kebakaran dari lima wilayah di Jakarta. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa skor mean psychological well-being petugas pemadam kebakaran di Jakarta tergolong tinggi.

This research aims to describe the psychological well-being of firefighters in Jakarta. The approach of this research is a quantitative approach by collecting data through questionnaires. This research uses Ryff’s Psychological Well-Being Scale, which is adopted from previous research by a research team of psychological well-being in 2012. The data is analyzed using descriptive statistic technique. Research participants are 200 firefighters from five regions in Jakarta. The results shows that the mean score of psychological well-being of firefighters in Jakarta is high. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45267
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>