Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 227870 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christina Aryani
"Kartel dipersepsikan sebagai bentuk paling berbahaya dari tindakan anti persaingan dan di beberapa yurisdiksi menerima penanganan dari perspektif hukum pidana. Sifat kerahasiaan kartel menjadi hambatan terbesar bagi otoritas persaingan usaha untuk membuktikan keberadaan kartel, hal mana juga dialami oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha di Indonesia. Untuk alasan ini, sejumlah besar yurisdiksi telah mengadopsi leniency program untuk mengungkapkan keberadaan kartel.Tesis ini membahas pengaturan dan implementasi leniency program dalam Antitrust Law di Amerika Serikat dan Antimonopoly Law di Jepang serta kemungkinan penerapannya dalam hukum persaingan di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang menggunakan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian menyarankan untuk menerapkan leniency program melalui amandemen Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan sejalan dengan itu meningkatkan sanksi denda administratif yang diterapkan KPPU terhadap pelaku kartel.

Cartels are perceived as the most dangerous form of anti-competitive conduct and in some jurisdiction subjected to the criminal penalty regime. The confidential nature of cartel has been the biggest obstacle in proving their existence, which is also experienced by the Business Competition Supervisory Commission in Indonesia. Leniency programs uncover conspiracies that would otherwise go undetected and for this reasons numerous jurisdictions have adopted leniency program within their competition law regime. The study discussed the regulation of leniency program and its implementation both in the United States Antitrust Law and in Japan Antimonopoly Law. The study also addressed the possibility of leniency program? application in Indonesia. The study used juridical-normative research method which emphasis on the use of statute and comparative approach. The result suggest to implement leniency program in Indonesia through the amendment of Law No. 5 of 1999 and to increase the administrative fines imposed by the Commission against perpetrators of cartels."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T30950
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Ana Wijayanti
"Penanganan perkara kartel merupakan bagian dari penegakan hukum persaingan usaha. Di Indonesia, penanganan perkara kartel yang dilakukan oleh KPPU memiliki banyak permasalahan terutama berkenaan dengan pembuktian kartel yang masih sulit dan kewenangan KPPU sebagai penegak hukum persaingan usaha. Sedangkan negara lain seperti Amerika Serikat telah melakukan penanganan perkara kartel dengan lebih baik. Untuk itu, penelitian ini akan membahas perbandingan penanganan perkara kartel di Indonesia dengan Amerika Serikat. Melalui perbandingan tersebut, penulis mengungkapkan berbagai hal dalam penanganan perkara kartel di Amerika Serikat yang dapat diaplikasikan di Indonesia antara lain penggunaan circumstantial evidence, penerapan program leniency, dan kewenangan upaya paksa oleh lembaga penegak hukum persaingan usaha.

The handling of cartel case is part of the enforcement of competition law. In Indonesia, the handling of cartel cases which is conducted by the KPPU has several problems, especially in connection with the difficulty of proving of cartel and the authority of the KPPU as a competition law enforcement agency. Whereas, other countries such as the United States has had the handling of cartel cases better. Therefore, this research will discuss the comparison of the handling of cartel case in Indonesia and the United States. Through this comparison, the authors explain several things from the handling of cartel case in United States that can be applied in Indonesia, among others, the use of circumstantial evidence, the application of leniency programs, and the authority of competition law enforcement agencies to do forceful measures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57129
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Anjaswari
"Dari semua praktik bisnis yang tidak sehat, Kartel dipersepsikan sebagai bentuk paling berbahaya dari tidakan persaingan usaha karena para pelakunya sepakat melakukan konspirasi mengenai hal-hal yang bersifat sangat pokok dalam suatu transaksi bisnis. Kartel akan menyebabkan kerugian bagi konsumen. Sifat kerahasiaan kartel menjadi hambatan terbesar bagi otoritas persaingan usaha untuk membuktikkan eksistensi kartel, Indonesia juga mengalami hal tersebut. Untuk sejumlah alasan tersebut, beberapa negara di Barat menggunakan pendekatan per se illegal. Per se illegal memiliki beberapa keunggulan dibanding rule of reason dalam mengungkap keberadaan kartel.
Tesis ini membahas mengenai pengaturan penerapan pendekatan per se illegal dalam Anti Monopoly Act (AMA) di Jepang dan The Regulation of Monopolies and Fair Trade Act (FTA) di Korea Selatan serta kemungkinan penerapan pendekatan per se illegal dalam hukum persaingan di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang menggunakan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian menyarankan untuk menerapkan ketentuan mengenai pendekatan per se illegal melalui amandemen Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 sejalan dengan itu menambahkan kewenangan KPPU terkait penggeledahan.

From of all the unfair business practices, Cartel are perceived as the the most dangerous from of competitive business, because the principals agreed the conspiracy on matters that are staples in a business transaction. Cartel would cause harm to consumers. The confindential nature of cartel has been the biggest obstacle for the Competition authority?s effort to prove the existence of the cartel, Indonesia also experienced it. From some reasons, numerous jurisdictions have adopted approach of per se illegal. Per se illegal has several advantages compared to a rule of reason in expose the existence of cartel.
This study discussed the rule on Anti Monopoly Act (AMA) in Japan and The Regulation of Monopolies and Fair Trade Act (FTA) in South Korea also addressed the possibility application Per Se illegal approach in Indonesia. The study used juridical-normative research method which emphasis on the use of statute and comparative approach. The result suggest to implement provisions concerning Per Se Illegal approach trough amandement Law Number 5 year 1999 and in line with the added KPPU?s authority related search and seizure.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T42653
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Haifa Arief
"Kartel adalah salah satu praktik anti persaingan yang dapat merugikan perekonomian, pelaku usaha, maupun konsumen. Kesulitan mengungkap praktik kartel di antara pelaku usaha adalah karena sifat kerahasiannya. Hal-hal tersebut menjadi alasan berlakunya leniency program di berbagai negara sebagai salah satu instrumen untuk membuktikan kartel. Penelitian ini akan membahas pengaturan leniency program di berbagai negara yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, dan Jepang serta penerapannya menurut hukum persaingan usaha Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan analisa kualitatif. Leniency program yang diatur dalam leniency policy di berbagai negara memiliki desain yang berbeda-beda disesuaikan dengan kebutuhan hukum masing-masing negara. Di Indonesia leniency program sempat diatur dalam Perkom No. 4 Tahun 2010 namun ketentuan mengenai leniency tersebut dicabut karena tidak ada landasan hukumnya. Untuk itu perlu dilakukan amandemen terhadap UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai payung hukum berlakunya leniency program sebagai salah satu pilihan instrumen pembuktian kartel di Indonesia.

Cartel is one of practices to restrict competition from economic loss that could harm entrepreneurs or even consumers. Difficulty in revealing cartel practice among entrepreneurs is due to its confidentiality which gave birth to leniency program enactment in several countries as an instrument to verify cartel. This research will discuss leniency program in several countries, such as United States, European Union, Australia and Japan, as well as its implementation according to competition law in Indonesia. This research is a normative legal research which uses qualitative analysis. In Indonesia, leniency program once regulated in KPPU Regulation Number 4 Year 2010, but it was revoked due to the absence of legal basis. Therefore Law Number 5 Year 1999 needs amendment as the umbrella act of leniency program enactment which acts as one of cartel verification instruments in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Fachri Barmansyach
"Pembuktian dan pemberantasan kartel merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi hukum persaingan usaha di Indonesia akibat sulitnya upaya untuk membuktikan keberadaan mengingat sifat dasar kartel yang seringkali dilakukan secara diam-diam. Oleh karena itu, timbul model pembuktian menggunakan circumstantial evidence yang dilakukan menggunakan analisis ekonomi dan komunikasi. Meskipun demikian, selama dua dekade terakhir, hanya sepersekian dari kasus kartel yang terjadi dapat dibuktikan. Penelitian ini akan memfokuskan pembahasan terkait kemungkinan penerapan sistem whistleblower protection sebagai pendukung circumstantial evidence sebagai alat bukti dalam pemberantasan kasus kartel di Indonesia. Penelitian ini akan melakukan perbandingan dengan penerapan sistem whistleblower protection yang telah berlaku di Indonesia serta leniency program yang berlaku di Amerika Serikat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif, yang menggunakan data sekunder yang berasal dari studi pustaka dalam menganalisis pokok permasalahan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa meskipun memiliki konsep yang serupa, penerapan whistleblower protection system tidak serta merta dapat diaplikasikan ke dalam hukum persaingan usaha dikarenakan keberlakuan whistleblower protection di Indonesia pun belum berlangsung secara maksimal. Penelitian ini memberikan saran kepada Pemerintah untuk mendalami urgensi sistem pengampunan dalam pemberantasan kartel, dengan menyempurnakan aplikasi whistleblower protection system yang berlaku di Indonesia.

Abolishing cartels is one of the most pressing issues regarding competition law in Indonesia simply due to the fact that there is a difficulty in detecting cartels as it is done quietly between competitors. Due to the pressing issues that occur, a new form of evidence develops which applies economic and communication analysis called circumstantial evidence. In spite of that, during the last two decades, only a few number of cartels have been proven and dealt with by corresponding law enforcers. This research focuses on a possibility of applying the whistleblower protection system in Indonesia as a means to support circumstantial evidence in abolishing cartels. This research will compare the application of Indonesia’s whistleblower protection system with the USA’s leniency program for cartels. The method used in this research is a juridical-normative approach, using secondary data from literature reviews to analyse the subject at hand. The result of this study indicates that even though the whistleblower protection system and the leniency program share similarities and base themselves on a comparable concept, applying one to the other would result poorly, as the whistleblower protection system in Indonesia still has its issues beforehand. This study provides suggestions to the government of Indonesia to increase its awareness on the urgency of an amnesty system on cartel abolishment by perfecting the whistleblower protection system that is applied in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Quintha Viona Aprileta
"Praktik kartel dalam persaingan usaha seringkali sulit untuk diungkap keberadaannya, karena pada umumnya kartel dilakukan dengan kerahasiaan tingkat tinggi. Menanggapi hal tersebut, muncul leniency program yang pertama kali digagas oleh Antitrust Division Amerika Serikat sebagai suatu kebijakan pemberian insentif terhadap pelaku kartel yang mengakui keikutsertaannya dalam praktik kartel secara sukarela kepada otoritas persaingan usaha, yang kemudian diikuti oleh banyak yurisdiksi sebagai alat pengungkapan dan pembuktian kartel. Indonesia yang juga telah mengatur ketentuan leniency dalam RUU tentang Larangan Praktik Monopoli UU No. 5 Tahun 1999 menemui sejumlah hambatan dalam proses penerapannya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan analisa kualitatif mengenai penerapan leniency program di Inggris, Korea selatan, Singapura, dan Australia. Desain pengaturan dan teknis pelaksanaan leniency program pada keempat negara tersebut dijadikan sebagai bahan rujukan terhadap rencana penerapan leniency program di Indonesia dan sekiranya dapat menjadi jalan keluar terhadap hambatan dalam penerapannya di Indonesia.

Practice of cartels in competition law are difficult to detect, since cartels are generally carried out with high degree of confidentiality. In response, the US Antitrust Division initiated the leniency program as a policy of incentives for cartel actors who acknowledged their participation by voluntary to competition authorities, then it has followed by many jurisdictions as a means of disclosure and proof of cartels. Indonesia which has also regulated the leniency provisions in RUU tentang Larangan Praktik Monopoli UU No. 5 Tahun 1999 encountered a number of obstacles in its implementation process. This study is a normative legal research using qualitative analysis of leniency program implementation in United Kingdom, South Korea, Singapore, and Australia. The regulatory and technical design of leniency program implementation in those countries are used as reference material to the plan of leniency implementation in Indonesia and if it can be a solution to obstacles in its application in Indonesia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Nova
"ABSTRAK
Sulitnya pembuktian kartel, terutama di Indonesia diyakini karena para pelaku usaha berada dalam pasar yang oligopoli dan berkolusi secara diam-diam. KPPU pada tahun 2010 mengeluarkan pedoman yang sangat baru berkaitan dengan Kartel dengan mengadopsi suatu program yang telah lama dikenal di negara-negara maju lainnya, yaitu Leniency Program. Namun, Leniency Program yang dikeluarkan KPPU pada tahun 2010 yang berbentuk pedoman, memiliki hambatan dalam pelaksanaannya terkait dengan payung hukum yang menaunginya.

ABSTRACT
The difficulties of proving cartel availability especially in Indonesia is believed because the entrepreneurs are competing in an oligopoly market and they are making tacit collusion among others. Indonesian Competition Authority (KPPU) has recently in the year of 2010 issuing a new Guidelines regarding Cartel by adopting a program called Leniency Program, which had been known for long in other countries. However, The Guidelines which issued by KPPU in 2010 has some obstacles regarding the law enforcement since it has no law basis to be enforced. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S403
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Santoso
"Penulisan tesis ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan metode pendekatan perbandingan hukum. Pengalaman negara-negara yang telah mengaplikasikan Program Leniency menunjukkan bahwa Program Leniency bukan hanya berhasil memberantas praktek kartel, tapi juga mencegah praktek baru untuk berkembang. Semakin banyak pelaku kartel yang melaporkan aktivitas kartelnya, sehingga resiko yang dihadapi pelaku kartel lainnya juga semakin besar. Mengingat sulitnya memperoleh informasi karena KPPU tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan, Program Leniency adalah salah satu amunisi yang harus dipertimbangkan. Program Leniency dapat memberikan tekanan yang intensif kepada anggota kartel untuk melapor atau memberikan pengakuan. Namun bagaimanapun, kesuksesan memperoleh informasi juga tergantung pada besaran sanksi dan insentif yang diberikan kepada pelaku usaha. Penelitian ini akan menjelaskan mengenai tantangan dan prosedur pembuktian kartel dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, perbandingan penerapan Program Leniency di Amerika Serikat, Jepang dan Brazil, serta menjelaskan kemungkinan penerapan Program Leniency dalam hukum persaingan usaha di Indonesia.

This thesis is a normative legal research with emphasis on the use of comparative law. Experience of countries that have applied Leniency Program shows that the Leniency Program is not only successful in combatting cartels, but also preventing new cartel practices to flourish. More and more members are reporting cartel activities, so that the risks faced by other cartel members are also getting bigger. Given the difficulty of obtaining information as the Commission (KPPU) does not have authority to conduct search and seizure, Leniency Program is one effective ammunition that should be considered. Leniency Program can give intense pressure to cartel members to report and give confession. However, success also depends on the size of sanctions and incentives given to businesses. This research will explain the challenges and procedures of proving cartel in accordance with the Competition Law Act No. 5 of 1999, the implementation and comparison of Leniency Program in the United States, Japan and Brazil, and describes the possible implementation of Leniency Program in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzaki Prakoso Wicaksono
"Pasar bersangkutan di dalam hukum persaingan usaha dapat meliputi berbagai macam bentuk menyusul adanya perkembangan pasar yang dinamis. Di Amerika Serikat, salah satu bentuk pendefinisian pasar bersangkutan dapat berupa single-brand aftermarket, yang mana pasar bersangkutan ini hanya mencakup produk lanjutan dari produk merek tertentu. Pasar bersangkutan jenis ini pada mulanya timbul di dalam perkara Eastman Kodak v. Image Technical Services (Supreme Court, Certiorari to The United States Court of Appeals for The Ninth Circuit, 1992), yang mana hakim di dalam perkara tersebut mendefinisikan pasar bersangkutan hanya berupa servis dan suku cadang dari mesin fotokopi dan micrographic Kodak. Dalam perkembangannya, penentuan single-brand aftermarket sebagai pasar bersangkutan disempurnakan oleh hakim di dalam perkara Newcal Industries, Inc. v. IKON Office Solution (United States Court of Appeals, Ninth Circuit, 2008), yang mana perkara ini mengeluarkan suatu pertimbangan khusus untuk menentukan aftermarket sebagai pasar bersangkutan yang dikenal dengan Newcal factors. Adapun di Indonesia, pengaturan hukum persaingan usaha tidak meliputi secara spesifik terkait dengan single-brand aftermarket sebagai pasar bersangkutan, sebagaimana dicakup di dalam hukum persaingan usaha di Amerika Serikat. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan mencoba menganalisis bagaimana single-brand aftermarket diterapkan sebagai pasar bersangkutan di dalam penegakan hukum persaingan usaha di Amerika Serikat, sekaligus membahas bagaimana ia diterapkan di dalam kasus aktual dan bagaimana single-brand aftermarket diadaptasikan ke dalam hukum persaingan usaha di Indonesia.

Relevant market definition in the context of antitrust law may consist various forms, following the dynamic of the market development. In the United States, relevant market may also be defined to consist single-brand aftermarket products, in which it encapsulates only the aftermarket products of specific brands. This type of relevant market first invented in Eastman Kodak v. Image Technical Services (Supreme Court, Certiorari to The United States Court of Appeals for The Ninth Circuit, 1992), where the judges defined and limited the relevant market in that case to contain services and spare parts of Kodak’s photocopiers and micrographics. Considerations on defining single-brand aftermarket as relevant market in the subsequent cases developed as judges in Newcal Industries, Inc. v. IKON Office Solution (United States Court of Appeals, Ninth Circuit, 2008) invented several factors in regards of determining aftermarket as relevant market known as Newcal factors. In Indonesia, the laws regarding antitrust enforcement do not specifically include single-brand aftermarket as relevant market, as provided in the antitrust law of the United States. Utilizing normative juridical research method, this writing will attempt to analyze on how single-brand aftermarket is applied as relevant market in the enforcement of antitrust law in the United States. This writing will also discuss on how single-brand aftermarket as relevant market is implemented in actual cases and how it is adapted to antitrust law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Arthur Basa Okuli
"Dalam negara yang mengusung prinsip persaingan usaha, campur tangan pemerintah menjadi esensial untuk mengatur sejauh mana sebuah jenis industri, perdagangan, dan jasa dapat bersaing bebas atau perlu diproteksi. Melihat banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, campur tangan pemerintah ini menjadi krusial untuk mencegah persiangan usaha tidak sehat yang merugikan ekonomi, baik kepada sesama pelaku usaha maupun kepada negara. Salah satu bentuk pelanggaran yang jumlahnya signifikan di Indonesia adalah persekongkolan tender, dengan grafik perkara yang terus meningkat menurut data KPPU beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang lebih efektif. Berkaitan dengan hal tesebut, penting bagi Indonesia untuk merujuk pada Amerika Serikat, yakni negara yang menjadi pelopor pengaturan Undang-Undang Persaingan Usaha. Hal ini juga dilakukan oleh Indonesia pada penyusunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, di mana pengaturan persaingan usaha di Amerika Serikat seperti Sherman Act banyak mempengaruhi pembuatannya. Namun, masih ada pengaturan yang dapat dibuat lebih efektif berkaitan dengan persekongkolan tender. Untuk itu, penelitian ini dilakukan secara doktrinal. Hasil analisis perbandingan konsep penegakan hukum persekongkolan antara Indonesia dan Amerika Serikat, termasuk dengan penerapannya melalui putusan pengadilan, adalah adanya perbedaan yang mencakup kewenangan lembaga penegak hukum persaingan usaha, pendekatan hukum dalam persekongkolan tender, penjatuhan sanksi, serta penerapan leniency program, perlindungan whistleblower, dan consent decree.

In a nation that upholds the principle of fair competition, government intervention becomes essential to regulate the extent to which a particular industry, trade, or service can compete freely or requires protection. Given the numerous violations committed by business entities, government intervention is crucial to prevent unhealthy business competition that adversely affects the economy, both among business entities and the nation as a whole. One significant form of violation in Indonesia is bid rigging, with a continuously increasing case graph according to data from the KPPU in recent years. Therefore, a more effective approach is needed. In connection with this matter, it is crucial for Indonesia to refer to the United States, a pioneer in the regulation of the Antitrust Law. This is also evident in Indonesia's formulation of Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, where the regulation of business competition in the United States, such as the Sherman Act, significantly influenced its creation. However, there are still regulatory aspects that can be made more effective concerning bid rigging. Therefore, this study is conducted in a doctrinal manner. The results of the comparative analysis of the enforcement concept of bid collusion between Indonesia and the United States, including its application through court decisions, reveal differences encompassing the authority of competition law enforcement agencies, legal approaches to bid rigging, imposition of sanctions, as well as the implementation of leniency programs, whistleblower protection, and consent decrees."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>