Latar belakang. Meningkatnya usia harapan hidup menambah jumlah populasi dewasa dan usia lanjut yang menyebabkan meningkatnya gangguan fungsi kognitif, salah satunya adalah fungsi eksekutif. Pemeriksaan Trail Making Test merupakan salahsatu instrumen untuk pemeriksaan fungsi eksekutif. Trail Making Test dapat dipengaruhi faktor demografi seperti usia dan tingkat pendidikan, selain itu, saat ini belum ada nilai normal waktu rerata Trail Making Test di Indonesia.
Metode. Studi ini dilakukan secara potong lintang pada 200 subyek dengan kognitif normal yang terdiri atas 55 subyek laki-laki dan 145 subyek perempuan berusia >18 tahun.
Hasil. Pada penelitian ini, dari keseluruhan subyek didapatkan waktu rerata dari TMT-A adalah 41,39±17,877 detik dan TMT-B adalah 82,82±35,05 detik. Pada kelompok berdasar tingkat pendidikan, waktu rerata TMT-A &TMT-B kelompok dengan tingkat pendidikan ≤12 tahun adalah 47,21±17,97 detik & 98,12±33,70 detik dan kelompok dengan tingkat pendidikan >12tahun adalah 36,62±16,39 detik & 70,29±31.04 detik. Pemeriksaan TMT-A dan TMT-B berdasarkan kelompok usia dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok usia 18-39 tahun, 40-49 tahun, 50-59 tahun, 60-69 tahun dan ≥70 tahun. Untuk kelompok usia 18-39 tahun, waktu rerata TMT-A dan TMT-B adalah 22,85±6,15 detik dan 44,90±14,69 detik, kelompok usia 40-49 tahun 37,45±11,82 detik dan 71,60±25,51 detik, kelompok usia 50-59 tahun 44,15±16,39 detik dan 86,72±27,91 detik, kelompok usia 60-69 tahun 48,52±17,48 detik dan 98,50±27,26 detik, sedangkan kelompok usia ≥70 tahun 53,95±16,97 detik dan 112,35±33,35 detik. Tidak ada perbedaan bermakna waktu rerata TMT-A & TMT-B pada kelompok berdasar jenis kelamin.
Kesimpulan. Telah didapatkan rerata waktu Trail Making Test pada kognitif normal. Usia dan tingkat pendidikan secara bermakna mempengaruhi waktu rerata Trail making Test.
ABSTRACT
Background. With a rapidly aging population would increase the incidence of cognitive impairment, which one of them was executive function. The Trail Making Test is among the most widely used neuropsychological assesment instrument as an indicator of executive functioning. The demografic factor such as age and level of eductaion could effect on the performance of the trail Making Test and this study would provide normative information in normal cognitive population in Indonesia
Method. The study was a cross sectional study involving 200 normal cognitive subject consist of 55 males and 145 females which age ranging more than 18.
Results. In this study, the whole mean score for TMT-A & TMT-B were 41,39±17,877 sec & 82,82±35,05 sec. Based on level of education, the mean score of TMT-A & TMT-B for education ≤12 years were 47,21±17,97 sec & 98,12±33,70 sec & for education >12 years were 36,62±16,39 sec & 70,29±31.04 sec. The mean score of TMT-A & TMT-B for age 18-39 year, were 22,85±6,15 sec & 44,90±14,69 sec, for 40-49 year were 37,45±11,82 sec & 71,60±25,51 sec, for age 50-59 year were 44,15±16,39 sec & 86,72±27,91 sec, for age 60-69 year were 48,52±17,48 sec & 50±27,26 sec & for age ≥70 year were 53,95±16,97 sec & 112,35±33,35 sec. There is no significant differences of mean scores TMT between male and female.
Conclusion. The mean score of Trail Making Test in normal cognitive has been found. Age as well as level of education have significant effect on mean score of the Trail Making Test.
"
Gambar sadas di Sangkulirang-Mangkalihat, Kalimantan Timur adalah salah satu di antara banyak situs di Indonesia yang memiliki kekhasan dari segi motif dan karakteristiknya. Sementara itu, perkembangan teori tentang gambar cadas saat ini menunjukkan bahwa shamanisme dipercaya sebagai teori paling mutakhir. Atas dasar uraian di atas, penelitian ini berusa untuk mengkaji gambar cadas di Wilayah Sangkulirang-Mangkalihat, Kalimantan Timur, dengan menggunakan teori shamanisme khususnya dengan menggunakan model neuropsychology yang terdiri dari tiga tahapan altered states of consciousness (ASC) dan enam metafora trans. Penelitian ini memfokuskan pada enam situs di Kawasan Gergaji, khususnya pada motif-motif yang memiliki indikasi ASC dan metafora trans di dalamnya. Antara lain Ceruk Tewet Bawah, Ceruk Tewet Atas, Ceruk Karim, Gua Tamrin, Gua Jeriji Saleh, dan Gua Ham. Permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimana bentuk penggamabaran motif-motif yang memiliki indikasi shamanisme di Kawasan Gergaji. Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah formal method, yaitu model neuropsychology yang memfokuskan hanya pada bentuk dan kontekstual dari gambar cadas pada situs. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat represetasi fenomena ASC berupa mental dan hallucinatory imagery pada gambar cadas di Sangkulirang-Mangkalihat
Kata Kunci: Gambar Cadas; Shamanisme; Neuropsikologi Sangkulirang-Mangkalihat; Kalimantan
Indonesia because of the peculiarity based on its images and characteristic. Meanwhile, the development of theory in the study of rock art has shown that shamanism is the most successful theory until now. Based on the above statements, this research tried to study rock art in Sangkulirang-Mangkalihat, East Kalimantan, under the theory of shamanism. Especially, using the neuropsychology model, which consist of three stages of altered states of consciousness (ASC) and six metaphors of trance. The study focused on six caves in Gergaji Regions, i.e. Tewet cave, Karim, Tamrin, Jeriji Saleh, and Ham. The research question is, how is the depiction of images which indicates as a shamanism's imagery, in the rock art of Gergaji Region. This research uses a formal method who study rock art which concerns only to its forms and context. The result of this research shows that there is a representation of the ASC in the form of mental and hallucinatory imagery in Sangkulirang-Mangkalihats rock art.
Keywords: Rock Art; Shamanism; Neuropsychology; Sangkulirang-Mangkalihat; Kalimantan
"