Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104882 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ketut Puji Rahmanto
"Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sebuah kebutuhan daerah dan kehendak masyarakat DIY itu sendiri dalam upayanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dijamin oleh konstitusi. Status istimewa yang dimiliki oleh DIY merupakan fakta sejarah yang tidak akan terhapus oleh kondisi jaman yang berubah.
Fungsi membentuk undang-undang (legislasi) yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masih sangat lemah jika dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Padahal melalui fungsi legislasi, DPD diharapkan menjadi lembaga yang dapat menjembatani kepentingan daerah di tingkat pusat salah satunya adalah pembentukan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY).
Hal yang menarik terkait dengan peran DPD di dalam pembentukan UUK DIY adalah keterlibatan DPD yang cukup jauh padahal selama ini keterlibatan DPD dalam setiap pembahasan rancangan undang-undang hanya sebatas menyampaikan pandangan dan pendapat akhir saja.
Keterlibatan DPD yang cukup jauh tersebut tidak lepas dari pendekatan politik yang dilakukan oleh Pimpinan Komite I DPD kepada Pimpinan Komisi II DPR. Undang-Undang No. 27 Tahun 2009, UU No. 12 Tahun 2011, dan Tata Tertib DPR, belum memberikan ruang kepada DPD untuk ikut membahas secara penuh dalam proses Pembicaraan Tingkat I. Padahal keberadaan DPD terbukti dapat meningkatkan ketahanan nasional melalui pemberdayaan daerah-daerah.

The specialty of Yogyakarta Special Region is a regional needs and desires Yogyakarta community itself in its efforts to improve the welfare of the people guaranteed by the Constitution. Special status held by Yogyakarta is a fact of history that will not be erased by the time the conditions change.
Functions make statutes (legislation) that is owned by the Regional of the Representative Council of the Republic of Indonesia (Senate) is still very weak in comparison to the House of Rerepsentative and the President. Through the legislative function, Senate of Indonesia is expected to be an institution that can bridge the interests of the region at the central one of which is the establishment of the Law Privileges Yogyakarta. (UUK DIY).
The interesting thing related to Senate's role in the formation of UUK DIY engagement Senate is quite far but so far Senate involvement in any discussion of the draft law was limited to conveying the views and opinions of the end of the course.
Involvement Senate could not be separated far enough from the political approach taken by the Chair of Committee I Senate to the Chair of Commission II House. Law No. 27 In 2009, Law no. 12 In 2011, and the Discipline of the House, not to give space to discuss the Council to participate fully in the Discussion Level I. Though the presence of Senate proven to improve national defense through empowerment of the regions."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2008
S25440
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Eddie
"Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia sebagai lembaga baru dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia merupakan fenomena menarik. Secara teoretis, kehadiran kamar kedua dalam parlemen dimaksudkan untuk mewakili ruang (daerah) dan memberikan pendapat kedua dalam pembuatan undang-undang atau melakukan checks and balances kepada kamar pertama. Fungsi dan wewenang DPD yang ditetapkan dalam UUD 1945 adalah fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan yang sangat terbatas, dan bahkan dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD semakin dibatasi lagi dengan keterlibatan DPD dalam pembahasan hanya pada tahap pembicaraan tingkat I.
Sehubungan dengan itu, menarik untuk dikaji pembentukan DPD, bagaimana bikameralisme di negara-negara lain, bagaimana kamar kedua melaksanakan checks and balances kepada kamar pertama atau upper house dan bagaimana implementasinya dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia. Karena itu, tesis ini mencoba membahas bentuk bikameralisme di Indonesia dan bagaimana DPD melaksanakan checks and balances kepada DPR. Penelitian dilakukan dengan tipe kualitatif deskriptif sebagai upaya eksplorasi dan klarifikasi kehadiran DPD yang dilakukan secara intensif, mendalam, terinci dan komprehensif. Pengumpulan data diiakukan dengan pengamatan langsung, studi pustaka, wawancara mendalam dengan pakar terkait, serta anggota DPD dan DPR.
Berdasarkan teori bikameralisme yang dikembangkan oleh Sartori, Lijphart, Ellis dan C.F. Strong serta melakukan perbandingan dengan bikameralisme di beberapa negara, bikameralisme di Indonesia termasuk dalam kategori yang berbeda atau bikameralisme yang Iain dari yang lain. Meskipun dengan kewenangan yang sangat terbatas, DPD - yang anggotanya dipilih Iangsung oleh rakyat dalam, pemilihan umum legislatif - masih dapat melaksanakan fungsi-fungsinya dalam kerangka checks and balances terhadap DPR melalui pengusulan RUU di bidang tertentu, pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu dan fungsi pertimbangan dalam APBN ."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Delima Panella
"Penelitian ini membahas 3 masalah yaitu mengenai keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta,  hak politik perempuan dan suksesi kepemimpinan di provinsi DIY pasca putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi terhadap Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa salah satu keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah tentang pengisian jabatan Gubenur dan Wakil Gubenur. Sultan Keraton Yogyakarta akan secara otomatis menjadi Gubernur dan Adipati Paku Alam akan menjadi Wakil Gubernur. Penghapusan frasa istri dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UUKDIY memberikan peluang bagi perempuan untuk menjadi Gubernur di provinsi DIY. Walaupun kepemimpinan perempuan masih mendapatkan pertentangan dari banyak pihak dikarenakan nilai-nilai yang hidup dalam Keraton. Sultan sebagai pemimpin Keraton memiliki wewenang penuh untuk menunjuk penerus tahtanya. Sebagai daerah istimewa, Keraton memiliki hak untuk mengajukan siapa saja menjadi Gubernur sepanjang ia adalah pemimpin Keraton yang sah. Negara akan menetapkan Gubernur yang diajukan oleh Keraton.

This study discusses 3 problems, namely about the privileges of the Special Region of Yogyakarta, women's political rights and leadership succession in DIY Province after the verdict of the Constitutional Court regarding the judicial review on the Privileges of the Special Region of Yogyakarta. The type of research used in this study is normative legal research. This study concluded that one of the privileges of the Special Region of Yogyakarta was about filling in the position of Governor and Deputy Governor. Sultan Keraton Yogyakarta will automatically become governor and Adipati Paku Alam will become deputy governor. The elimination of wife phrases in Article 18 paragraph (1) letter m UU KDIY provides an opportunity for women to become governors in DIY Province. Although women's leadership still gets conflicts from many parties due to the values ​​that live in the palace. The Sultan as the Keraton leader has full authority to point to the successor to his throne. As a special area, the palace has the right to submit anyone as governor as long as it is a legitimate palace leader. The state will determine the governor submitted by the Keraton."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Delima Panella
"Penelitian ini membahas 3 masalah yaitu mengenai keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, hak politik perempuan dan suksesi kepemimpinan di provinsi DIY pasca putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi terhadap Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normative. Penelitian ini menyimpulkan bahwa salah satu keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah tentang pengisian jabatan Gubenur dan Wakil Gubenur. Sultan Keraton Yogyakarta akan secara otomatis menjadi Gubernur dan Adipati Paku Alam akan menjadi Wakil Gubernur. Penghapusan frasa istri dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UUKDIY memberikan peluang bagi perempuan untuk menjadi Gubernur di provinsi DIY. Walaupun kepemimpinan perempuan masih mendapatkan pertentangan dari banyak pihak dikarenakan nilai-nilai yang hidup dalam Keraton. Sultan sebagai pemimpin Keraton memiliki wewenang penuh untuk menunjuk penerus tahtanya. Sebagai daerah istimewa, Keraton memiliki hak untuk mengajukan siapa saja menjadi Gubernur sepanjang ia adalah pemimpin Keraton yang sah. Negara akan menetapkan Gubernur yang diajukan oleh Keraton.

This study discusses 3 problems, namely about the privileges of the Special Region of Yogyakarta, women's political rights and leadership succession in DIY Province after the verdict of the Constitutional Court regarding the judicial review on the Privileges of the Special Region of Yogyakarta. The type of research used in this study is normative legal research. This study concluded that one of the privileges of the Special Region of Yogyakarta was about filling in the position of Governor and Deputy Governor. Sultan Keraton Yogyakarta will automatically become governor and Adipati Paku Alam will become deputy governor. The elimination of wife phrases in Article 18 paragraph (1) letter m UU KDIY provides an opportunity for women to become governors in DIY Province. Although women's leadership still gets conflicts from many parties due to the values that live in the palace. The Sultan as the Keraton leader has full authority to point to the successor to his throne. As a special area, the palace has the right to submit anyone as governor as long as it is a legitimate palace leader. The state will determine the governor submitted by the Keraton."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noverva Pradina Pramesti
"Skripsi ini memberikan gambaran mengenai kedudukan DPRD yang selama ini disebut sebagai lembaga “legislatif” daerah oleh masyarakat, ternyata bukanlah demikian. DPRD adalah salah satu unsur dari penyelenggara pemerintahan daerah bersama-sama dengan Kepala Daerah, sehingga DPRD merupakan lembaga eksekutif daerah. DPRD hanya menjalankan fungsi legislasi di daerah dengan membentuk peraturan-peraturan perundang-undangan tingkat daerah bersama Kepala Daerah, seperti Peraturan Daerah. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Hasil Penelitian menunjukan bahwa DPRD Kabupaten Banyumas telah menjalankan fungsi legislasi di daerah dengan baik, dimana hal ini terlihat dari peraturan-peraturan daerah yang telah dihasilkan. Oleh karena peraturan daerah adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem peraturan perundang-undangan nasional maka harus ada mekanisme pengawasan terhadapnya, baik melalui lembaga eksekutif (executive review) maupun lembaga peradilan (judicial review). Hal ini perlu dilakukan agar Pemerintah Daerah tidak menyalahgunakan wewenangnya dalam melakukan tugasnya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah.

This thesis provides a description of the position of Council as an institution has been called "legislative" by the local community, but it is not so. Council is one of the elements of the regional administration, together with the Regional Head, so the Council is in the executive area. Council only perform the function of legislation in areas with established rules and regulations in regional level together with Regional Head, such as local regulation. This research is a descriptive qualitative research design.
Research results showed that Banyumas Regency has run its legislative function well, where it is seen from local regulations that have been generated. Because of local regulations is an integral part of the system of national legislation there must be monitoring mechanisms to it, either through the executive (executive review) and the judiciary (judicial review). This is necessary so that the local government does not abuse his authority in doing his job as a regional administrator.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47389
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Muhammad Ikhsan
"Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur pada Pasal 22D UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) menempatkan kedudukan DPD tidak setara dengan Presiden atau DPR dalam hal pembentukan undang-undang. Lahirnya, putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah merubah kedudukan dan kewenangan DPD dalam hal pembentukan undang-undang yaitu dengan merumuskan bahwa DPD ikut terlibat sejak tahap pengajuan undang-undang sampai dengan sebelum diambil persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3 2014) yang tidak didasarkan pada putusan Makamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Sehingga, diajukannya pengujian formil dan materiil atas UU MD3 2014 yang kemudian melahirkan putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, membuktikan bahwa UU MD3 2014 tidak dibentuk berdasarkan arahan dari putusan MK nomor 92/PUU-X/2012 karena mengatur kembali hal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Terlebih lagi, terdapat beberapa aturan lainnya pada UU MD3 2014 yang bertentangan dengan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014.

 

Kata Kunci: Kewenangan DPD, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi


DPD authority in the formation of legislation have been regulated in Article 22D UUDNRI 1945, Act No. 27 of 2009 and Act No. 17 of 2014. Act No. 27 of 2009 (Act MD3 2009) locates the position of DPD is not equivalent to the President or the DPR in the formation of legislation. The Constitutional Court decision No. 92 / PUU-X / 2012 has changed his position and authority of the DPD in the formation of the legislation is to formulate that DPD is involved since the submission stage of the legislation before it is taken up by mutual agreement by the Parliament and the President. Formation of Law No. 17 of 2014 (Act MD3 2014) that are not based on the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 resulted in obscurity authority of the DPD in the formation of legislation. Thus, the filing of formal review and substantive review of the Act MD3 2014 which gave birth to the decision of the Court number 79 / PUU-XII / 2014, proving that the Act MD3 2014 are not formed under the direction of the Constitutional Court decision number 92 / PUU-X / 2012 as set back the has been declared unconstitutional by the Constitutional Court in Constitutional Court Decision No. 92 / PUU-X / 2012. Moreover, there are several other rules on MD3 Act 2014 contrary to the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 that should have been declared unconstitutional by the Constitutional Court conditional on Court Decision number 79 / PUU-XII / 2014."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Muhammad Ikhsan
"Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur pada Pasal 22D UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 serta Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) menempatkan kedudukan DPD tidak setara dengan Presiden atau DPR dalam hal pembentukan undang-undang. Lahirnya, putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah merubah kedudukan dan kewenangan DPD dalam hal pembentukan undang undang yaitu dengan merumuskan bahwa DPD ikut terlibat sejak tahap pengajuan undang-undang sampai dengan sebelum diambil persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3 2014) yang tidak didasarkan pada putusan Makamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Sehingga, diajukannya pengujian formil dan materiil atas UU MD3 2014 yang kemudian melahirkan putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, membuktikan bahwa UU MD3 2014 tidak dibentuk berdasarkan arahan dari putusan MK nomor 92/PUU-X/2012 karena mengatur kembali hal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Terlebih lagi, terdapat beberapa aturan lainnya pada UU MD3 2014 yang bertentangan dengan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014.

DPD authority in the formation of legislation have been regulated in Article 22D UUDNRI 1945, Law No. 27 of 2009 and Act No. 17 of 2014. Act No. 27 of 2009 (Act MD3 2009) locates the position of DPD is not equivalent to the President or the House of Representatives in the formation of legislation. The Constitutional Court decision No. 92 / PUU-X / 2012 has changed his position and authority of the DPD in the formation of the legislation is to formulate that DPD is involved since the submission stage of the legislation before it is taken up by mutual agreement by the Parliament and the President. Formation of Law No. 17 of 2014 (Act MD3 2014) that are not based on the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 resulted in obscurity authority of the DPD in the formation of legislation. Thus, the filing of formal review and substantive review of the Act MD3 2014 which gave birth to the decision of the Court number 79 / PUU-XII / 2014, proving that the Act MD3 2014 are not formed under the direction of the Constitutional Court decision number 92 / PUU-X / 2012 as set back the has been declared unconstitutional by the Constitutional Court in Constitutional Court Decision No. 92 / PUU-X / 2012. Moreover, there are several other rules on MD3 Act 2014 contrary to the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 that should have been declared unconstitutional by the Constitutional Court conditional on Court Decision number 79 / PUU-XII / 2014.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Hudiana
"Polemik terkait sah atau tidaknya jabatan pimpinan DPD periode 2017 - 2019 terus menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan, bahkan hingga berakhirnya kepengurusan DPD. Menurut beberapa ahli hukum, pergantian pimpinan DPD yang dilakukan pada tahun 2017 bukan merupakan pergantian pimpinan yang sah, pasalnya pergantian tersebut dianggap menerobos aturan hukum yang ada. Namun yang menjadi masalah adalah sampai saat ini tidak ada pihak yang dapat menyelesaikan masalah ini. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa di internal DPD. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif yaitu dengan mengkaji permasalahan berdasarkan norma hukum yang terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan membandingkannya dengan beberapa negara. Hasil dari penelitian adalah permasalahan yang terjadi merupakan permasalahan etika anggota lembaga perwakilan. Oleh karena itu yang berwenang menyelesaikannya yaitu internal DPD sendiri melalui Badan Kehormatan DPD. Namun karena belum diatur secara rinci mengenai mekanisme evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPD, akhirnya proses penyempurnaan dikembalikan kepada mekanisme politis yang sulit untuk tercapainya keadilan. Adapun alternatif untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan memperkuat peraturan DPD dan membentuk standar etika penyelenggara negara. Dengan demikian, DPD disarankan untuk memperbaiki peraturan tentang tata beracara badan kehormatan DPD. Dan disarankan kepada DPR RI untuk membuat rancangan undang-undang tentang etika penyelenggara negara.

The related polemic whether or not holding the leadership of the DPD for the period 2017 - 2019 continues to be a hot issue to be discussed, even to the end of the management of the DPD. According to some legal experts, the replacement of the leadership of the DPD conducted in 2017 is not a legitimate change of leadership, because the change is considered to break the existing legal rules. But the problem is that there are currently no parties who can solve this problem. Therefore, the author conducted a study to find out how to resolve disputes in the internal DPD. Research carried out by juridical-normative method is by examining problems based on laws related to the laws and regulations that apply in Indonesia and comparing them with various countries. The results of this study are the problems that occur are ethical issues of members of representative institutions. Therefore, what was agreed to solve was the internal DPD itself through the Honorary Board of DPD. DPD, finally the refinement process is related to a difficult political evaluation to achieve justice. As an alternative to resolve this problem by completing the regulations of the DPD and establishing ethical standards for state administration. Thus, DPD agreed to regulate the rules regarding the procedure for the proceedings of  DPD. And agreed to DPR RI to draft a law on the ethics of state administrators."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Oktavina
"ABSTRAK
Tesis ini membahas relasi sosial yang timbul dari desain yang mengacu pada efektifitas organisasi Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) sebagai salah satu pelaksana fungsi hubungan masyarakat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Kerangka teori yang dipakai adalah Teori Etzioni tentang Struktur dan Otoritas, Teori Tindakan Sosial dan Teori Desain organisasi oleh Snyder et al. yang membahas aspek pengelompokan unit kerja, koordinasi, rentang kendali, relasi pelaporan dan standarisasi. Metode yang dipakai adalah metode kualitatif dengan observasi, wawancara mendalam dan studi dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara desain organisasi dengan dampak relasi social dan efektifitas organisasi itu sendiri. Ini mengonfirmasi Teori Etzioni tentang Strukur dan Otoritas. Penelitian ini bersifat kualitatif sehingga diperlukan pengukuran kuantitatif untuk melengkapi temuan-temuan kualitatif tersebut.

ABSTRACT
This thesis discusses the social relations that arise from the design that refers to the effectiveness of the organization of Data and Information Center (Pusdatin) as one of the implementers of the public relations function of the Regional Representative Council of the Republic of Indonesia (DPD RI). The theoretical framework used is Etzionis Theory of Structure and Authority, Social Action Theory and Organizational Design Theory by Snyder et al. which discusses aspects of grouping of work units, coordination, span of control, reporting relations and standardization. The approach used is qualitative method with observation, in-depth interview and document study. The results showed that there is a close relationship between the design of the organization with the impact of social relations and the effectiveness of the organization itself. This confirms Etzionis Theory of Structure and Authority. This research is qualitative, so quantitative measurement is needed to complement these qualitative findings.
"
2018
T51978
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>