Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79292 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ferza Rachmadianto
"Kanker Iaring adalah suatu ienis kanker yang menyerang pada bagian pangkal tenggorok si penderitanya. Dampak dari kanker Iaring tersebut adalah tidak bisa berbicara dan terdapat lubang pada lehemya akibat operasi pengangkatan tumor pada laring. Tidak bersuara membuat pasien sulit untuk berkomunikasi, sehingga dapat menimbuikan perasaan iidak berguna, cepat marsh, dan menurunnya rasa percaya diri (Smee & Bridger, 1994). Adanya dampak tersebut membuat seorang penderita kanker laring harus menghadapi masa sulit dalam kehidupannya dan tidak sedikit diantara mereka yang menga1ami keterpurukan.
Penderita kanker laring harus melewali masa sullt dan awal diagnosis hingga kembali bisa bersuara. Butuh perjuangan ketika mereka hams melewati masa sulit tersebut. Perjuangan melawan penderitaannya diperlukan agar mereka hangkit kembali dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Kebangkilan dari keadaan yang tidak menguntungkan disebut dengan resiliensi (Siebert, 2005).
Penelitian ini berlujuan untuk menggali bagaimana seorang pasien kanker Iaring dapat bangkit dari kondisi yang tidak menguntungkan dan hal-hal apa saja yang mereka lakukan agar bisa beradaptasl dengan hilangnya pita suara akibat operasi lafingektomi. Penelitian ini menggunakan melode kuaiitatif dengan rnelibalkan 2 partisipan bemsia 39 dan 59 tahun dan dengan pengumpulan data melalui wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua partislpan memiliki tujuh karakteristik resiliensi dalam dirinya, dimana ketujuh karaktenstik tersebut mereka gunakan untuk mangatasi semua permasalahan yang berhubungan dengan kanker larngnya. Analisa hasil menunjukkan bahwa pada subjek pertama ditemukan karakteristik insight, kemandirian, hubungan, inisiatif, kreatif dan moralitas sangat berperan besar dalam dirinya. Untuk karakteristik humor tidak ditemukan pada subjek pertama. Sedangkan untuk subjek kedua ditemukan ketujuh karakteristik tersebut dalam dirinya.

Larynx cancer refers to specific cancer that attacking throat areas. The adverse effects of this cancer for the patient including loosing their ability to speak and there is a hole in the patient's neck as a part of tumor’s surgery. The loosing of one's ability to speak makes the patient facing hard to communicate. This situation arising feeling of worthless, irritable, and decreasing self confident (Smee & Bridger, 1994).
Furthermore, those adverse effects makes the larynx cancer patient facing hard situation in their life. In a few cases, they often feel that their life had ruined. Person who suffering from larynx cancer has through hard situation from the first they get the diagnose until they can get back their ability to speak. To handling with the hard situation, the patient should striving for all the struggle. The patient's striving against their suffering is needed to get back their normal lives. The bounce back from the adverse situation is called resiliency (Siebert, 2005).
The purpose of this study are to find out how the patient can bounce back from the adverse situation and what they do to adapt the situation that differ from their past lives including loosing of their ability to speak. This study using qualitative approach on two subject (age 39 and 59) by interviews and observations.
The result shows that both subject has seven resl|ient’s characteristics. Also, both of the subject uses that characteristic to handling all the problems that related to their larynx cancer. The analysis result found that in the first subject, his insight, independency, relation, creativity. and morality characteristics has a major contribution to his lives. Furthermore, the humor characteristics did not found in the first subject. While, inthe second subject has all the characteristics in his lives.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T34163
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Hasriyati
"Mual dan muntah akibat kemoterapi merupakan salah satu efek samping kemoterapi yang paling sering terjadi dan terbukti secara signifikan menurunkan kemampuan pasien dalam melakukan aktifiyas sehari-hari, beresiko menimbulkan komplikasi fisik seperti malnutrisi dan dapat mempengaruhi kesediaan pasien menyelesaikan pengobatan primer kanker. Tujuan penerapan EBN ini adalah menilai efektifitas posisi semi fowler m mengurangi mual dan muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker, dan menemukan berbagai kelebihan dan kekurangan posisi semi fowler dalam mengurangi mual dan muntah akibat kemoterapi. Hasil penelusuran database didapatkan satu jurnal utama yang dijadikan acuan penanganan mual muntah akibat kemoterapi. Posisi semifowler diberikan selama 3-4 jam dimulai saat kemoterapi dimulai. Skala mual muntah diukur saat kemoterapi dimulai dan setiap 3 jam setelah kemoterapi diberikan sampai dengan 24 jam dengan menggunakan VAS dan catatan harian muntah pasien. 17 pasien dilibatkan dalam penerapan EBN ini. Hasil penerapan EBN ini menunjukkan peningkatan rata-rata keparahan mual dan muntah mulai jam ke 3 dan mencapai puncaknya pada jam ke 18, namun selanjutnya mulai terjadi penurunan keparahan mual dan muntah, demikian juga dengan rata-rata frekuensi mual dan muntah, terjadi peningkatan rata-rata frekuensi mual dan muntah pada jam ke 18 dan selanjutnya mulai terjadi penurunan rata-rata frekuensi mual dan muntah. Berdasarkan hasil penerapan EBN ini menunjukkan posisi semi fowler dapat diterapkan dalam menurunkan keparahan mual dan muntah pada pasien kemoterapi.

Chemotherapy-induced nausea and vomiting (CINV) is one of the most common side effects of chemotherapy and has been shown to significantly reduce the patient's ability to carry out daily activities, at risk of causing physical complications such as malnutrition and can affect the patient's willingness to complete primary cancer treatment. The aim of the EBN implementation is to assess the effectiveness of semi fowler's position to reduce chemotherapy nausea and vomiting in cancer patients, and find various advantages and disadvantages of semi fowler position in reducing nausea and vomiting due to chemotherapy. The search results of the database found that one main journal was used as a reference for handling nausea and vomiting due to chemotherapy. The semifowler position is given for 3-4 hours starting when chemotherapy starts. The scale of nausea vomiting was measured when chemotherapy was started and every 3 hours after chemotherapy was given up to 24 hours using VAS and the patient's vomiting diary. 17 patients were involved in implementing the EBN. The results of the EBN implementation showed an increase in the severity of nausea and vomiting starting at 3 o'clock and reaching its peak at 18 o'clock, but subsequently it began to decrease the severity of nausea and vomiting, as well as the average frequency of nausea and vomiting. the average frequency of nausea and vomiting at the 18th hour and subsequently began to decrease the average frequency of nausea and vomiting. Based on the results of the EBN application, the semi fowler position was effective in reducing the severity of nausea and vomiting in chemotherapy patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Rizki Wijayani
"Penggunaan cadar menimbulkan adanya konflik yang bersifat internal (within people) maupun eksternal (between people) pada diri seorang muslimah. Konflik yang ada, kerap mengharuskan seorang muslimah untuk berhadapan dengan kondisi yang sulit dan menekan dalam hidupnya. Di tengah kondisi tersebut, terdapat sebagian dari mereka yang mampu untuk bangkit dan bertahan dari masalah yang ada serta berhasil menjadi individu yang lebih baik. Mereka adalah individu yang dapat mengembangkan kemampuan resiliensinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran kemampuan resiliensi pada muslimah dewasa muda yang menggunakan cadar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi yang dilakukan terhadap empat orang muslimah dewasa muda yang menggunakan cadar dengan karakteristik yang telah ditentukan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan resiliensi yang dimiliki oleh keempat subjek sangat bervariasi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa berkembangnya kemampuan resiliensi yang dimiliki oleh perempuan bercadar dipengaruhi oleh faktor protektif yang dimiliki oleh subjek. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menggunakan dua pendekatan yaitu kuantitatif dan kualitatif. Hal ini dimaksudkan agar hasil penelitian yang didapatkan dapat saling mendukung, sehingga menghasilkan data yang lebih akurat mengenai gambaran resiliensi subjek.

Veil uses cause life conflict in some moslem women. The conflict is happen rather inside the person (within people) or between the person with her environment (between people). The confilct forces the moslem women to face difficult and stressfull situation. However, some of them can bounce back and hold out from the setbacks in their live. They are the people who can increase their resiliency abilities. The purpose of this research is to give the description about resiliency abilities among young adulthood veil moslem women. It use qualitative approach with interview and observation techniques which is utilized to the four people of young adulthood veil moslem women.
The results shows variation resiliency abilities between four veil moslem women. The resiliency abilities is also influenced by their protective factors which they have. For the next study, qualitative and quantitative approach are suggested. Each of them could be important to another to get more complete and accurate informations about resiliency of the people.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
305.242 WIJ g
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Julian Fitra
"ABSTRAK
LatarBelakang: Menentukan prediktor yang paling akurat dalam menilai
sulitvisualisasi laring(DVL) dengan menggunakan skor mallampati (MMT) ,
Jarak sternomental(SMD) dan jarak buka mulut(IIG), baik secara tunggal maupun
dalam kombinasi.
Metode: Sebanyak 283 pasien ikut serta dalam penelitian dan dievaluasi
kemungkinan mereka mengalami sulit visualisasi laring. Kesulitan visualisasi
laring dinilai dengan laringoskopi langsung berdasarkan klasifikasi Cormack
Lehane (CL). Skor CL derajat III dan IV ditentukan sebagai sulit visualisasi
laring. Kondisi ini juga diperkirakan dengan menggunakan prediktor jalan napas,
yaitu MMT, SMD dan IIG. Titik potong untuk masing-masing prediktor adalah
skor Mallampati III dan IV, ≤ 12,5 cm, dan ≤ 3 cm. Selanjutnya, ditentukan nilai
sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan negatif serta nilai area di bawah
kurva (AUC) dari setiap prediktor tersebut, baik secara tunggal maupun dalam
kombinasi. Prediktor independen DVL ditentukan dengan melakukan analisis
regresi logistik.
Hasil: Sulit visualisasi laring ditemukan pada 29 (10,2%) subyek penelitian. Nilai
sensitivitas, spesifisitas, prediksi positif dan luas AUC prediktor jalan napas
adalah: MMT (20,8%; 99,7%; 71,4%; 68%), SMD (72,4%; 97,2%; 75%; 88%),
dan IIG (41,4%; 99,4%; 85,7%; 73%). Penelitian kami menunjukkan bahwa
kombinasi prediktor terbaik adalah gabungan prediktor SMD + IIG. Kombinasi
tiga prediktor MMT + SMD + IIG ternyata menunjukkan nilai AUC yang sama
dengan kombinasi dua prediktor SMD + IIG.
Kesimpulan: Penelitian ini menganjurkan gabungan prediktor IIG + SMD
sebagai model diagnostik yang optimal untuk memperkirakan sulit visualisasi
laring pada populasi ras Melayu di Indonesia.

ABSTRAK
Background: To determine the most accurate predictor in evaluating difficult
visualization of larynx (DVL) using indicators of modified mallampati test
(MMT), sternomental distance (SMD) and inter incisor gap (IIG), either in
isolation or in combination.
Methods: Two hundred eighty three patients were participated in the study and
evaluated for their possibility of having DVL. The difficulty of larynx visualization
was evaluated using direct laryngoscopy based on grading of the Cormack and
Lehane (CL) classification. The CL grades III and IV were considered as difficult
visualization of larynx. DVL was also predicted using the airway predictors of
MMT, SMD and IIG. The cut-off points for the airway predictors were
Mallampati III and IV; ≤ 12,5 cm, and ≤ 3 cm, respectively. Moreover, sensitivity,
specificity, positive and negative predictive value and area under the curve (AUC)
of each predictor were determined, either in isolation or in combination.
Independent predictors of DVL were determined using logistic regression
analysis.
Results: Difficulty to visualize the larynx was found in 29 (10.2%) subjects. The
sensitivity, specificity, positive predictive value and AUC for the airway
predictors were: MMT (20.8%; 99.7%; 71.4%; 68%), SMD (72.4%; 97.2%; 75%;
88%), and IIG (41.4%; 99.4%; 85.7%; 73%). The best combination of predictors
was SMD + IIG with an AUC of 90.2%. Triple combination of MMT + SMD +
IIG showed the same value of AUC with combination of two predictors, SMD +
IIG.
Conclusion: This study suggests the combination of IIG + SMD predictors as the
optimal diagnostic model to predict DVL in a Malay race population in
Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Riana
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran resiliensi pada perempuan yang putus hubungan setelah melakukan hubungan seksual premarital. Isaacson (2002) mengatakan bahwa implikasi dari resiliensi adalah kemampuan individu tidak hanya dalam mengatasi kesulitan yang traumatis namun juga merespon secara fleksibel tekanan dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat tujuh domain dari resiliensi menurut Reivich & Shatte (2002), yaitu regulasi emosi, impuls kontrol, optimisme, analisa kausal, empati, self efficacy, dan reaching out. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif pada 3 orang subjek. Ketiganya adalah remaja akhir berjenis kelamin perempuan yang pernah melakukan hubungan seksual premarital dan sudah putus hubungan dengan pria yang menjadi partner pertamanya tersebut. Subjek yang dipilih juga memiliki kriteria belum menikah, tidak pernah hamil dan melakukan aborsi.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa jeda putus hubungan dengan saat wawancara mempengaruhi resiliensi subjek, dimana subjek yang sudah lebih lama putus dapat lebih mengembangkan resiliensinya daripada yang baru saja putus hubungan. Ketiga subjek memiliki kesamaan yaitu memiliki reaching out yang tinggi. Perbedaan ketiga subjek terlihat dari domain yang paling menonjol pada masing-masing subjek. Kehadiran faktor resiko dan faktor protektif juga mempengaruhi perkembangan resiliensi pada masing-masing subjek. Subjek yang memiliki faktor protektif lebih banyak akan lebih terbantu dalam proses perkembangan resiliensinya.

The purpose of this study is to portray resilience in women whom break up atfer doing premarital sex. Isaacson (2002) said that resiliency implies an ability not only to cope with traumatic difficulties but also to respond with flexibility under the pressures of everyday life. According to Reivich & Shatte (2002), there are seven domains of resiliency. They are emotion regulation, impuls control, optimism, causal analysis, empathy, self efficacy, and reaching out. This study uses qualitative method with three respondents. The requirement of the respondents are late adolesence girls who had premarital sexual experiences and already broke up with their first partner. They also had not get married, never got pregnant nor did abortion.
This study also found that duration of break up effected the resiliency of these respondents where as respondents who break up earlier more resilient than the other whom break up later on. These three respondents has similarity in reaching out. The different shown by the major domain of each respondents. The absence of risk and protective factor also effected resiliency. Respondent who has more protective factor is more resilient than others."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
155.533 RIA g
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tanjung, Sulfina
"Elkind (Papalia, Olds & Feldman 2004) mengemukakan istilah "hurried child" untuk anak-anak yang hidup dengan banyaknya tekanan di zamzm modem ini, mereka oenderung dinmtut untuk lehih oepat dewasa dari usia mereka sebenamya. Adapun bentuk tekanan yang dihadapi berupa situasi stres seperti peroeraian, kemiskinan, penyakit dan lain-lain. Akibat dari tckanan yang dihadapi, fcnomena bunuh diri semakin sering kita jumpai tenltamadi kalangan anak dan remaja.
Melihat begitu kompleksnya tekanan hidup, cara pcncegaharmya pun harus dilakukan secara bertahap. Pencegahan primer dalam aspek psiko-edukatifamat penting karena merupakan sarana meletakkan dasar-dasar perkembangan kognitii Salah satu peneegahan primer Psiko-edukatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan kemampuan resiliensi yang dimiliki. Resiliensi ini mengacu pada proses dinamis individu dalam mengcmbangkan kemampuan diri untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat dan mentransfonnasi pengalaman-pengalaman yang dialarni pada situasi suiit menuju pencapaian adaptasi yang poswf (Grotberg, 1999).
Penelitian ini mcnggunakau satu orang subyek yang dipilih berdasarkan karakteristik subyek yang berisiko cukup tinggi. Sebelum mengikuti pelatihan ini, subyek terlcbih dahulu telah mengikuti pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, ditemul-can subyek memiliki sejumlah faktor risiko yaitu : meninggalnya salah sam orangma, penyakit yang diderita orangmaniumlah orang dewasa yang terlalu sedikit nmtuk mengawasi perilaku anak dan kurangnya dukungan dari keluarga besar.

Elkind (Papalia, Olds & Feldman 2004), called ?huuried child? because of pressures of modem life such as : divorce, poverty, illness are forcing them to grow up too soon. Consequence of high presurcs result in high suicide incidence. Based on complexity ofpressurcs, prevention should made. Primary prevention such as Psycho-education very important to put cognitive developmental foundations.
One of psycho-education primary prevention is developing resiliency capacity Resiliency is individual dynamic process to develop capacity for facing, overcome, strengthened by, and even be transformed by experiences of adversity to reach positive adaptation.
This research use one subject which has high risk characteristic. Before a subject participate, she followed series of examination. Based on the examination, subject has some risk factors such as : death of parents, illness of parents, few adults to monitor children behaviors, less support tram extended family.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T34065
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Kusuma Ningrum
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penelitian yang menghubungkan parameter kraniofasial dengan
kesulitan visualisasi laring banyak dilakukan, namun tidak satu pun digunakan
secara baku dalam pemeriksaan praoperatif pasien anak. Penelitian serupa pada
ras Melayu baru dilakukan satu kali dan tidak menentukan parameter yang paling
berkorelasi dengan kesulitan visualisasi laring.
Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif. Pengumpulan data
dilakukan secara konsekutif pada 295 pasien anak 1-3 tahun yang akan menjalani
anestesia umum. Dilakukan pengukuran jarak tepi bawah bibir ke ujung mentum,
jarak tragus telinga ke sudut mulut dan jarak mentohioid. Tingkat kesulitan
visualisasi laring menggunakan klasifikasi skor Cormack-Lehane dengan kategori
mudah dan sulit visualisasi laring. Dilakukan analisis data untuk mencari
parameter yang paling tepat untuk memprediksi kesulitan visualisasi laring.
Hasil: Kesulitan visualisasi laring (Cormack-lehane III dan IV) ditemukan
sebesar 8.1%. Analisis multivariat dengan variabel bebas skala numerik
menunjukkan tidak ada parameter yang berkorelasi dengan kesulitan visualisasi
laring (p>0.05) sedangkan berdasarkan variabel bebas berskala kategorik
didapatkan jarak tragus telinga ke sudut mulut memiliki hubungan bermakna
dengan kesulitan visualisasi laring (p=0.013), namun hasil ini secara klinis tidak
bermakna.
Kesimpulan: Parameter kraniofasial tidak dapat memprediksi kesulitan
visualisasi laring anak ras Melayu usia 1-3 tahun. Harus dicari parameterparameter
lain pada anak ras Melayu yang lebih baik memprediksi kesulitan
visualisasi laring.

ABSTRACT
Background: Many research have been done to observe correlation between
craniofacial parameters with difficulty of larynx visualization, but none of them
are used as a gold standard for preoperative examination in children patients. A
similar research in Malay race children has ever done but it did not determine
which parameters that most correlated with difficulty of larynx visualization.
Methodology: In a prospective study, data collection was performed
consecutively in 295 pediatric patients 1-3 years whose received general
anesthesia. Distance from edges lower lip to mental tip, ear tragus to the mouth
angle and mentohioid are measured in this study. Difficulty level of larynx
visualization is using Cormack-Lehane scores and categorized into easy and
difficult larynx visualization. Data analysis was performed to find the most
appropiate parameters which can predict difficulty of larynx visualization.
Results: Difficulty of larynx visualization (Cormack-Lehane III and IV) was
found as many as 8.1%. Multivariat analysis with numeric scale as independent
variable show no parameter correlated with the difficulty of larynx visualization
(p> 0.05). Multivariat analysis with categoric scale as independent variable
obtained only distance from ear tragus to the mouth angle which has significant
relationship (p = 0.013), but these results is not clinically significant.
Conclusion: Craniofacial parameters can not be used to predict difficulty of
larynx visualization in Malay race children 1-3 years. Research using other better
parameters should be done to predict difficulty of larynx visualization."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58687
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naelu Iklimah
"ABSTRAK

Terdiagnosis kanker menjadi suatu masalah bagi penderitanya. Untuk mengatasi suatu masalah, maka individu harus memiliki koping atau penanganan yang sesuai. Strategi koping merupakan upaya yang dilakukan seseorang dalam menangani masalahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran strategi koping pasien kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Jenis penelitian ini menggunakan studi cross-sectional, pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling dengan jumlah 100 responden (pasien kanker). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Brief COPE. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa responden memilih strategi emtotion-focus coping dengan nilai seimbang dan responden memilih strategi problem-focus coping dengan nilai rendah. Penelitian selanjutnya diharapkan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping pada pasien kanker berdasarkan jenis strategi koping problem-focus coping dan emotion-focus coping


ABSTRACT

 


The cancer disease became a problem for the sufferer. To solve a this problem, they must have a coping or handling treatment. Coping strategy this is the one attempt to handling a problem for sufferer. This research consist to know description sufferer cancer in Dharmais Cancer Hospital. Type of this research used employ cross-sectional study, to make a sample used purposive sampling method with 100 respondents (cancer patients), and this research instrument used Brief COPE. The result of this research respondents got a choose emotion-focus coping strategy with balanced score and respondents choose a problem-focus coping with low score. The research for the next day aims to discuss the factors that influenced the strategy of problem focused coping and emotion-focus coping.

 

 

"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwin Lesmono
"Pendahuluan: Sefalometri posteroanterior merupakan prosedur standar dalam diagnosis ortodonti yang dapat memberikan informasi radiograf mediolateral untuk evaluasi pra-bedah dan asimetri, namun memerlukan radiasi yang cukup besar, biaya yang relatif mahal serta teknik khusus. Fotografi ekstra oral yang telah distandarisasi merupakan salah satu teknik yang relatif mudah dilakukan, ekonomis, serta dapat menggambarkan anatomi kraniofasial.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara ukuran jaringan lunak dan jaringan keras pada subjek dengan wajah simetris dan asimetris.
Bahan dan cara: Ukuran linear dan angular titik-titik referensi jaringan lunak dan keras dihitung melalui kajian foto frontal ekstra oral dan sefalometri posteroanterior digital yang diambil dari 31 subjek dengan wajah simetris dan 31 subjek dengan wajah asimetris. Pengukuran dilakukan dengan piranti lunak Sirona-SIDEXIS XG 2.52.
Hasil: Hasil penelitian pada subjek dengan wajah simetris menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ukuran jaringan lunak dan jaringan keras, kecuali pada ukuran linear dan angular menton. Pada subjek dengan wajah asimetris tidak terdapat hubungan yang bermakna antara gonion dan antegonion kanan, sudut lateral canthus dan zygomatic, serta sudut ala nasi dan nasal cavity. Hubungan bermakna ditemukan pada lateral canthus dan zygomatic kanan dan kiri, ala nasi dan nasal cavity kanan dan kiri, gonion dan antegonion kiri, sudut gonion dan antegonion, serta ukuran linear dan angular menton.
Kesimpulan: Beberapa ukuran jaringan lunak dan jaringan keras berhubungan terutama pada subjek dengan wajah asimetris. Terdapat hubungan antara titik menton jaringan lunak dan keras, baik ukuran linear dan angular, pada subjek dengan wajah simetris dan asimetris.

Introduction: Posteroanterior cephalometry is a gold standard in orthodontic diagnosis which provides mediolateral radiograph information for pre-surgery and asymmetry evaluation, but requires high level of radiation exposure, high cost, and specific technique. Standardized facial photograph is a more simple and low cost technique to describe craniofacial anatomy.
Objective: The purpose of this study was to determine the correlation between soft tissue and hard tissue measurements on subjects with symmetrical and asymmetrical faces.
Materials and method: Linear and angular measurements of the soft and hard tissue’s reference points were done on standardized frontal extra oral photograph and digital posteroanterior cephalometry taken from 31 subjects with symmetrical faces and 31 subjects with asymmetrical faces. The measurements were computed by using Sirona-SIDEXIS XG 2.52 software.
Results: This study showed that there were no correlations for all the measurements, except for linear and angular menton measurements on subjects with symmetrical faces. There were also no correlations between right gonion and antegonion, lateral canthus and zygomatic angle, as well as ala nasi and nasal cavity angle on subjects with asymmetrical faces. On the other hand, there were significant correlations between right and left lateral canthus and zygomatic, right and left ala nasi and nasal cavity, left gonion and antegonion, gonion and antegonion angle, as well as linear and angular menton measurements on subjects with asymmetrical faces.
Conclusion: This study concluded that some of the soft tissue and hard tissue measurements have significant correlations particularly on subjects with asymmetrical faces. There were significant correlations between soft tissue and hard tissue menton, both linear and angular measurements, on subjects with symmetrical and asymmetrical faces.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Raudatul Jannah
"Ketahanan keluarga menjadi salah satu faktor tidak langsung permasalahan gizi balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ketahanan keluarga dengan status gizi pada balita usia 2–5 tahun di Kota Depok. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dengan pengambilan sampel sebanyak 121 keluarga dengan balita usia 2-5 tahun di Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawangan menggunakan instrumen Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) dan Standar Antropometri Kementerian Kesehatan RI. Data dianalisis menggunakan Uji Spearman Correlation dengan hasil terdapat hubungan yang bermakna searah dengan kekuatan yang sangat lemah antara ketahanan keluarga dengan status gizi pada balita usia 2-5 tahun (p value = 0,025) dan (r = 0,204). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat ketahanan keluarga maka semakin baik juga status gizi balita. Hal ini menjadi penting untuk meningkatkan ketahanan keluarga guna meningkatkan status gizi balita.

Family resilience is an indirect factor in children under five nutrition problems. This study aims to determine the relationship between family resilience and nutritional status in children aged 2–5 years in Depok City. This study used a cross-sectional method with a sample of 121 families with children aged 2-5 years at the Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawangan using the Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) instrument and the Anthropometric Standards Kemenkes RI. Data were analyzed using the Spearman Correlation Test with the result that there was a significant unidirectional relationship with very weak strength between family resilience and nutritional status in toddlers aged 2-5 years (p-value = 0.025) and (r = 0.204). This shows that the higher the level of family resilience, the better the nutritional status of children under five. This is important to increase family resilience to improve the nutritional status of children aged 2-5 years."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>