Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173496 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Annisa Ainina Novara
"Anak dengan autism spectrum disorder (ASD) memiliki kemampuan komunikasi yang belum berkembang optimal karena adanya gangguan pada masa perkembangan. Mereka memiliki cara meminta yang kurang tepat, misalnya menampilkan perilaku yang kurang sesuai sebagai bentuk permintaan. Diperlukan cara lebih efektif untuk mengganti perilaku meminta yang kurang tepat pada anak dengan ASD. Picture Exchange Communication System (PECS) merupakan sistem komunikasi berbasis gambar yang dirancang untuk membantu meningkatkan kemampuan komunikasi fungsional anak dengan ASD. PECS memungkinan anak untuk berkomunikasi dengan cara menukarkan kartu untuk mendapatkan keinginan dan kebutuhannya yang dilatih menggunakan reinforcement, prompt, dan error-correction. Pada penelitian ini, terdapat dua subjek anak dengan ASD, yakni laki-laki berusia 8 dan perempuan berusia 9 tahun dengan kemampuan komunikasi verbal yang terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan program intervensi PECS fase dua dalam meningkatkan kemampuan komunikasi. Desain penelitian yang digunakan adalah single subject research design dengan metode pengukuran pre dan post intervensi. Program intervensi PECS fase dua merupakan kelanjutan dari intervensi PECS fase satu yang sebelumnya dilakukan. Hasil dari intervensi ini menunjukkan terdapat peningkatan kemampuan anak dalam melakukan PECS fase dua sebelum dan sesudah intervensi. Hasil ini dipengaruhi oleh faktor karakteristik anak, motivasi terkait reinforcement, serta dukungan orang tua.

Children with autism spectrum disorder (ASD) have communication difficulties due to developmental disorders. They have inappropriate ways to communicate, such as displaying aggressive behavior as a form of request. Therefore, a more effective way to replace inappropriate behaviors in children with ASD is required. Picture Exchange Communication System (PECS) is a communication system designed to help improve the functional communication skills of children with ASD. PECS allows children to communicate by exchanging cards to get their wants and needs which are trained using reinforcement, prompt, and error-correction. In this study, there were two children with ASD (8 years-old boy and 9 years-old girl) with limited communication skills. The purpose of this study was to determine the effectiveness of PECS phase two in improving children communication skills. This study used single subject research design with pre and post intervention measurement method. The PECS phase two program is a follow-up intervention to the previously implemented PECS phase one program. The results of this intervention showed that there was an increase in children's ability to perform PECS phase two before and after the intervention. This result was influenced by child characteristics, motivation, and parental support."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ezra Dessabela Isnannisa
"Kesulitan menjalin komunikasi adalah salah satu fitur utama pada Autism Spectrum Disorder (ASD). Anak dengan ASD cenderung memiliki gangguan pemrosesan sensori yang berdampak pada defisit kemampuan komunikasi. Hal tersebut membuat anak membutuhkan bantuan pengasuh untuk meregulasi diri sebelum dapat menjalin komunikasi dengan orang lain. Salah satu intervensi yang membantu meningkatkan kemampuan komunikasi adalah Developmental, Individual Differences, Relationship (DIR)/Floortime. Intervensi ini mempertimbangkan keunikan profil sensori dan perkembangan functional emotional partisipan sebagai landasan pembuatan program, serta melibatkan pengasuh secara aktif. Secara lebih lanjut, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas DIR Floortime untuk meningkatkan komunikasi antar anak dengan autisme dan ibu dengan profil sensori yang berbeda.  Penelitian ini menggunakan single case design dan multiple baseline across situation untuk mengevaluasi penerapan DIR/Floortime pada situasi free play dan semi-structured play. Lembar Observasi Circle of Communication (CoC) digunakan untuk menghitung jumlah komunikasi dua arah yang terjalin antara anak dan ibu. Skor kapasitas perkembangan functional emotional anak dan ibu juga diukur menggunakan Functional Emotional Assesment Scale (FEAS) untuk mengetahui kapasitas perkembangan yang melandasi kemampuan komunikasi. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa DIR/Floortime efektif untuk meningkatkan jumlah dan kualitas komunikasi antara anak dan ibu. 

The deficit in communication is one of the main features of Autism Spectrum Disorder (ASD). Children with ASD tend to have sensory challenges that aggravates their deficit in their ability to communicate. They need caregivers to help them self-regulate to engage in communication with others.  One of the interventions that often used to increase communication skill in children with ASD is called Developmental, Individual Differences, Relationship (DIR)/Floortime. DIR/Floortime intervention focuses on childrens individual differences, functional emotional development and relationship. Thus, this study aims to evaluate the effectiveness of DIR/Floortime to increase communication between a child with ASD and a mother with different sensory profile. Single case design with multiple baselines across situation was used to evaluate the effectiveness of DIR/Floortime in two settings: free play and semi-structured play. In order to evaluate the effectiveness of the intervention to increase communication, Circle of Communication (CoC) Observation Form was used to measure the frequencies of communication between a child and a mother. The Functional Emotional Assesment Scale (FEAS) was used to assess and measure the child`s and the mother`s functional emotional development capacity. The results indicated that DIR/Floortime is effective to increase the frequency and quality of communication."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T54264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fhardian Putra
"Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah program Applied Behavior Analysis (ABA) dan Video Modelling dapat meningkatkan kemampuan reseptif dan ekspresif pada anak autisme ringan. Kemampuan reseptif yang ditingkatkan ialah kemampuan memasangkan, menunjuk, dan menyebutkan nama emosi dasar pada kartu ekspresi emosi. Kemampuan ekspresif yang ditingkatkan dalam penelitian ini ialah kemampuan mengungkapkan perasaan tidak menyenangkan. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain subjek tunggal. Selama penelitian, program intervensi diberikan selama dua minggu ditambah dengan satu minggu tahap generalisasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan reseptif dan ekspresif pada subjek setelah program diberikan. Setelah tujuh hari program dihentikan, subjek juga masih mampu mempertahankan kemampuan reseptif dan ekspresif sesuai dengan target keberhasilan. Hasil penelitian yang positif ini menunjukkan bahwa orang tua juga perlu menerapkan metode ABA untuk melatih kemampuan reseptif dan ekspresif subjek dalam kehidupan sehari-hari.

The objective of this research is to examine whether the Applied Behavior Analysis (ABA) and Video Modelling program can enhance receptive and expressive ablity in children with mild autism. Receptive ability defined as an ability to match, point, and mention the name of basic emotions from facial expression cards. Whereas Expressive ablity is an ability to express inconvenient feelings to others. This research use single subject design in children with mild autism. The program was administered for two weeks. After that, the generalization phase was introduced for a week.
The result from this research shows that receptive and expressive ability improved after the program was administered. Even though the program was stopped for a week, the participant still mastered well the receptive and expressive ability. According to this research, we recommend parents to teach receptive and expressive ability to their children by using ABA method in children natural setting."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T41690
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumarti Endah Purnamaningsih Maria Margaretha
"Tesis ini membahas efektifitas video self-modelling (VSM) terhadap kemampuan menggosok gigi pada anak dengan Autisme Spectrum Disorders. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain single subyek. Hasil penelitian menyarankan untuk penggunaan media VSM dalam merawat anak dengan autisme; disarankan pembuatan VSM dengan media perekam yang sederhana dan penelitian lebih lanjut terkait dengan penggunaan VSM untuk mengajarkan pemenuhan kebutuhan dasar lain.

This thesis discuss the effectiveness of video self-modelling (VSM) to the ability of toothbrushing capability among children who suffers from Autism Spectrum Disorders. This research utilises quantitative methods with single subject design. Result of study shows that the use of VSM has served the purpose, and it is recommended that VSM should be be built using simple recording media, and there is s need for further research on VSM application for improving other basic capability."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
T30688
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Ratih Tresna Aryanti
"ABSTRAK
Salah satu ciri dari anak dengan Autisme adalah memiliki hambatan dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Kata-kata yang dikeluarkan oleh anak dengan Autisme seringkali tidak ditujukan untuk berkomunikasi dan mereka juga jarang menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi sehingga apa yang diinginkan oleh anak dengan Autisme terkadang tidak dapat dipahami oleh orang disekitar. Picture Exchange Communication System (PECS) merupakan sistem bergambar bagi anak yang mengalami keterbatasan sosial dan komunikasi, biasanya digunakan oleh Autisme. Dengan sistem ini, anak diajarkan untuk menyampaikan permintaan apa yang diinginkannya kepada orang lain dengan cara menukarkan kartu. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan meningkatkan keterampilan komunikasi dalam menyampaikan permintaan pada anak dengan Autisme menggunakan prinsip-prinsip PECS yang ditandai dengan penguasaan tugas-tugas pada fase 3B. Dalam penelitian ini, juga dilibatkan ibu sebagai orang yan paling dekat dengan anak. Berdasarkan hasil penelitian, anak mampu menguasai fase 3B dan terdapat peningkatan keterampilan berkomunikasi dalam menyampaikan permintaan pada anak dengan Autisme.

ABSTRACT
One of the difficulties that children with Autism have is in language development and communication. The words spoken by children with autism, often not intended to communicate and they rarely used body language to communicate, so people around them sometimes don’t understand their wants and needs. Picture Exchange Communication System (PECS) is a pictorial system was developed for children who have social and communication problems. This system is usually applied for children with autism. With this system, children with autism are taught to ask for what they want to other people by exchanging cards. The purpose of this research is to improve communication skill in requesting something to other people in children with autism using PECS which are marked by mastery of tasks in phase 3B. Child’s mother is also participated in the research, as she is the closest person to the child. The result of this research is the child mastered phase 3B and there is improvement in communication skill, especially in asking for request."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T32639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susanna
"Interaksi sosial pada awal kehidupan berperan penting bagi seluruh aspek perkembangan anak. Salah satu aspek penting dari perkembangan anak adalah kemampuan meregulasi diri. Studi di ranah perkembangan anak telah menunjukkan bahwa interaksi dan hubungan yang positif menjadi media bagi perkembangan dan peningkatan kemampuan regulasi diri pada anak. Pendekatan Developmental, Individual Differences, Relationship-Based (DIR) merupakan salah satu intervensi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas interaksi antara caregiver dan anak. Maka dari itu, penelitian ini bermaksud untuk mengevaluasi efektivitas DIR/Floortime untuk meningkatkan kualitas interaksi antara seorang ibu dan anak laki-lakinya yang berusia enam tahun yang menunjukkan beberapa gejala psikotik. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa pendekatan DIR/Floortime efektif untuk meningkatkan kualitas interaksi ibu dan anak serta kemampuan regulasi diri anak yang terukur dari peningkatan skor pada skala FEAS, CBCL dan Self Regulation Questionnaire.

Early social interaction plays a vital role in the overall development of the child. One of the important aspects of child development is self-regulation. Many studies on child development have indicated that positive interaction/relationship served as a medium for developing and improving self-regulation in children. The Developmental Individual Diferences and Relationship (DIR) is one of the interventions that have been used to improve the quality interaction between a caregiver and child. Thus, this study is interested in evaluating the effectiveness of DIR/ Floortime approach to improve the quality of interaction between a mother and six-year-old Indonesian boy who displays psychotic symptoms. This results showed that DIR/ Floortime approach is effective in improving the quality of mother-child interaction as well as self-regulation ability in a child as reflected in the increase scoring of the child?s FEAS, CBCL and Self-Regulation Questionnaire."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T32615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mayang Gita Mardian
"Anak-anak dengan autism spectrum disorder (ASD) mengalami hambatan dalam komunikasi dan interaksi sosial. Salah satu defisit yang tampak adalah kurangnya joint attention, padahal kemampuan tersebut penting bagi anak untuk membangun komunikasi serta interaksi timbal balik dengan orang lain. Developmental, Individual Differences, Relationship-Based (DIR)/Floortime merupakan salah satu intervensi bagi anak-anak dengan masalah perkembangan seperti ASD dalam mengembangkan JA dalam interaksi sosial, sebagai hasil dari keterlibatan dan hubungan yang terjalin antara pengasuh dan anak.
Maka dari itu, penelitian ini bermaksud untuk mengevaluasi penerapan prinsip-prinsip DIR/Floortime untuk meningkatkan JA dalam interaksi sosial anak laki-laki berusia 7 tahun 4 bulan dengan ASD (level 1), dengan melibatkan nenek sebagai pengasuh utama. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip DIR / Floortime mampu meningkatkan JA dalam interaksi sosial anak dengan ASD yang terukur dari peningkatan frekuensi dan kualitas JA, jumlah siklus komunikasi, serta peningkatan skor pada alat ukur FEAS.

Children with autism spectrum disorder (ASD) encounter difficulties in social communicating and interacting. One of deficits that is seen is the deficient of joint attention (JA), whereas JA is important for children for developing communication and reciprocal interaction with other people. Developmental, Individual Differences, and Relationship-Based (DIR)/Floortime is one of the interventions which can help children with developmental problem such as ASD in developing JA, as a result of engagement and relationship of child and responsive caregiver.
Thus, this study is interested in evaluating the application of DIR/Floortime principles to improve JA in social interaction of a seven-year-old Indonesian boy with ASD (level 1), by involving his grandmother as his primary caregiver. This results showed that the application of DIR / Floortime principles is able in improving JA in social interaction of a child with ASD, as reflected in the enhancement on frequency and quality of JA, number of circle of communication, and the scoring enhancement of FEAS instrument.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
T45349
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Messya Rachmani
"Penelitian bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat stres anak Autisme dengan intervensi Modul Pedagogi Visual dan Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ yang diukur dari kadar kortisol saliva. Desain penelitian berupa eksperimental klinis dan laboratoris dengan mengukur kadar kortisol saliva sebelum dan sesudah intervensi. Subjek terdiri dari 20 anak usia 6-10 tahun yang telah didiagnosis Autisme oleh dokter spesialis anak atau psikiater, tidak terdapat riwayat penyakit sistemik, tidak terdapat gangguan pada penglihatan dan pendengaran, dapat mengikuti instruksi sederhana, serta belum pernah ke dokter gigi. Subjek dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok Modul Pedagogi Visual ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ dan Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’. Saliva diambil pada saat sebelum dan sesudah intervensi kemudian dianalisis di laboratorium untuk mengukur perbedaan kadar kortisol saliva. Hasil analisis tingkat stres anak autisme yang diukur dari kadar kortisol saliva menggunakan Uji Mann Whitney-U menunjukkan nilai median kadar kortisol saliva anak autisme pada kelompok intervensi Modul Pedagogi Visual ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ sebesar 0,0005 μg/mL dan nilai median kadar kortisol saliva kelompok intervensi Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ sebesar 0,0010 μg/mL. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan yang tidak bermakna secara statistik (p > 0,050) dalam tingkat stres anak autisme yang diukur dari kadar kortisol saliva pada kelompok intervensi Modul Pedagogi Visual dan Video Modeling 'Berkunjung ke Dokter Gigi'. Hal ini menandakan efektivitas Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ untuk menurunkan tingkat stres anak autisme pada saat perawatan gigi sama dengan Modul Pedagogi Visual ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ yang diukur dari kadar kortisol saliva .

The aim of this study was to determine the differences of the Visual Pedagogy Module and Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ intervention method in reducing stress levels in autism children measured by salivary cortisol levels during dental treatment. The study design was clinical and laboratory experimental by measuring salivary cortisol levels before and after the intervention. Subjects consisted of 20 children aged 6-10 years who had been diagnosed with Autism by a pediatrician or psychiatrist, had no history of systemic disease, had no impairment of vision and hearing, could follow simple instructions, and had never been to a dentist. They were divided into two groups based on the type of intervention: Visual Pedagogy Module ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ and Video Modeling ‘Berkunjung
ke Dokter Gigi’. Saliva was collected from the children before and after the interventions and analyzed in the laboratory to measure the differences of salivary cortisol concentration. The Mann-Whitney test was used to analyze salivary concentration differences in two intervention groups. The median values in the two intervention groups were 0,0005 and 0,0010 μg/mL. The stress levels measured by salivary cortisol levels showed that both Visual Pedagogy Module and Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ proven to be effective in decreasing the level of stress among the children with autism. No significant statistical difference in the delta values was observed between the two groups (p >.050). Both Visual Pedagogy Module and Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ are equally effective in reducing stress levels in children with autism measured by salivary cortisol levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lecya Lalitya
"Perkembangan komunikasi pada anak menjadi indikator keberfungsian perkembangan anak secara keseluruhan. Komunikasi juga menjadi gerbang bagi anak untuk mengembangkan diri, sehingga berperan penting dalam mengoptimalkan fungsi anak, terutama pada anak usia dini. Akan tetapi, cukup banyak anak yang memiliki masalah keterlambatan komunikasi. Masalah yang dialami anak dengan keterlambatan komunikasi adalah kesulitan melakukan komunikasi dua arah. Penelitian terdahalu menyebutkan bahwa intervensi untuk masalah komunikasi perlu melibatkan orangtua dan mematangkan kemampuan prelinguistic communication Developmental Individual Differences and Relationship (DIR)/Floortime adalah salah satu intervensi yang mampu mengakomodasi hal tersebut. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas penerapan untuk meningkatkan komunikasi dua arah pada anak usia dini dengan keterlambatan komunikasi. Penelitian dilakukan dengan desain dan multiple baseline across situation. Dilakukan perbandingan pre dan post pada kemampuan komunikasi dua arah anak setelah menjalani intervensi. Partisipan penelitian adalah anak berusia 2 tahun dan ibu yang berusia 37 tahun. Dua alat ukur utama yang digunakan adalah lembar observasi circle of communication (CoC) dan inventori functional-emotional assessment scale (FEAS). Hasil penelitian menunjukkan, penerapan floortime efektif meningkatkan komunikasi dua arah dan functional emotional developmental pada anak dengan keterlambatan komunikasi. Meningkatnya kemampuan komunikasi ditunjukkan dengan adanya penguasaan kosa kata baru dan peningkatan functional emotional developmental dari tahap dua menjadi tahap lima.

The development of communication in children is an indicator of overall childrens development. Communication is also a gateway for children to develop themselves and to function optimally, especially in early childhood. Studies indicated that there a large number of children with communication challenges. Children with communication delays challenges are having difficulty engaging in two-way communication. The latest studies
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T53405
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>