Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154504 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tutik Ernawati
"Tesis ini membahas korelasi antara asupan folat dengan kadar folat serum bayi sehat usia 6-8 bulan dan faktor-faktor yang berhubungan di kelurahan Kampung Melayu. Jakarta Timur tahun 2010. Penelitian ini menggunakan disain cross sectional dan merupakan bagian dari penelitian Medical Research Unit FKUI mengenai Efek Pemberian Makanan Pendamping ASI Tinggi Protein terhadap Tumbuh Kembang Bayi usia 6-11 bulan. Subyek penelitian 55 bayi dan 55 responden yang merupakan ibu subyek penelitian. Data subyek penelitian yang dikumpulkan meliputi panjang badan, berat bedan, asupan kalan, asupan protein, asupan folat, kadar hemoglobin, dan kadat fulat serum. Adapun data yang dikumpulkan dan responden meliputi usia, pekerjaan, pendidikan. pendapatan keluarga dan pengetahuan, sikap serta perilaku respunden tentang ASI dan MPASI.
Subyek terdiri dari 35 bayi; laki-laki dan 20 bayi; perempuan. Subyek penelitian memililh median usia 6~84 dengan usia termuda 6.04 bulan dan usia tertua 8,84 bulan. Rerata usia responden 29±4,93 tahun. sebagian besar ibu tidak bekerja (81,8%) dan berpendidikan rendah (56,4%). lbu dengan usia di atas 35 tahun, yang merupakan risiko tinggi untuk melahirkan masih ada sebenyak 14,5%. Penghasilan berdasarkan upah minimum rata-rata, didapatkan 54,5% berada di bawah UMR. Tingkat pengetahuan responden mengena; ASI dan MP ASI sebagian besar masih kurang (47,3%), sedangkan untuk sikap sebagian besar dalam kategori cukup (54,5%) dan untuk tingkat perilaku sebagian besar masih kurang (45,5%). Rerata PB subyek 68,!2±3,12 cm dan median BB 7,5 kg dengan BB terendah 5,75 kg dan BB tertinggi 14,5 kg. Dari penilaian BMB terdapat 5,5% bayi kurus (Z score <-2 SD), Sedangkan untuk indikator PBIU dengan Z score<-2 SD, didapatkan 3,6% bay! pendek (Slunting). Dari indikator BBIU didapatkan 9,1% bay; dengan z-score <-2 SD. Data asupan eneergi dan food recall yaitu 833,28±I94,54 kkaI per hari dan dan FFQ semikuantitatif 836,88±211,31 kkal perhari, sedangkan asupan protein dari food recall sebesar 17,62±7,98 g perhari dan dan FFQ semikuantitatif diperoIeh median sebesar 17,2 g per hari dengan asupan terendah sebesar 4,8 g dan asupan tertinggi sebesar 46,4 g. Untuk asupan folat dari FFQ semikuantitatif lebih besar dibanding dari food recall dengan median 35,24 ~g per bari, asupan terendah sebesar 0,84 ~g dan asupan tertinggi 182,5 ~g, Asupan folat dari food recall diperoleh median 26,04 pg per hari dengan asupan terendah 0,84 ~g dan asupan terrtinggi sebesar 204,66 ~g. Median kadar folat serum 43,05 nmol/L, dengao kadar folat serum terendah 19,92 nmol/L dan kadar folat serum tertinggi 104,24 nmol/L, Tidak ada subyek yang memiliki kadar folat serum kurang. Rerata kadar Hb sebesar IO,82±I,I2 gldL. Terdapat 25 (45,5%) bayi; anemia. Antara kadar folat serum dengan asupan folat dari FFQ semikuantitatif memllw korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang cukup (r ~ 0,435) dan bermakna (p = 0,001). Demikian juga antara asupan folat dari food recall dengan kadar folat serum memiliki korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang cukup (r = 0,329) dan bermakna (p ~ 0,014).
Hasil penelitian ini diperoleh korelasi yang bermakna antara asupan folat dengan kadar folat serum baik dan foad recall maupun dan FFQ semikuantitatif bayi sehat usia 5-8 bulan di kelurahan Kampung Melayu tahun 2010.

This tesis investigated the correlation between folate intake and serum folate level among health infants aged 6-8 months and its related factors in Kampung Melayu village, East Jakarta 2010. This study used cross-sectional design with infants aged 6-8 months who met the study criteria as the subjects. The respondents were mothers of the infants. Data collected included sex. age. length/height, weight, energy, protein and folate intake (based on a one-month semi quantitative FFQ and I day :24-hour food recall). folate and hemoglobin levels, Data collected from respondents included age, education, income based on average minimum monthly wage (UMR), knowledge. attitude and behavior on infants feeding.
This results was significant positive correlation (p < 0.05) between the folate levels and folate intake, Based on food recall was (r ~ 0,329) and significant (p ~ 0.014), Similarly, between the folate intake from the semiq uantitative FFQ and serum folate levels, there was also a positive correlation (r= 0.435 and p = 0.001). This conclusion was significant correlation between serum folate levels and folate intake among health infants aged that months.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T32868
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Adhi Darmawan
"Gangguan tidur pada bayi atau anak merupakan masalah yang sering didapatkan orang tua. Sekitar 20-30 % bayi di dunia mengalami gangguan pada tidurnya. Gangguan tidur pada anak dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak baik dalam aspek fisik, sosial, kognitif, dan perilaku anak. Hal ini penting karena perkembangan dan pertumbuhan memegang peranan penting hingga usia lima tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mencari prevalensi gangguan tidur dan hubungan antara gangguan tidur dengan perkembangan dan pertumbuhan anak usia usia 6 sampai 36 bulan di Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Penelitian ini dilakukan April 2014 hingga Juli 2015 terhadap 62 anak usia 6-36 bulan di Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive dan merupakan studi analitik seksi silang. Pengambilan data pada sampel dilakukan melalui wawancara dengan kuesioner yang telah di uji coba dan BISQ.
Hasil analisis bivariate menunjukkan P-value >0,05 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi gangguan tidur sebanyak 17,7% dari 62 subjek terdiri dari 33 anak laki-laki dan 29 anak perempuan. Dari tingkat pendidikan ayah dan ibu sebagian besar masuk ke dalam kategori menengah dengan 63,4 % dan 59,6%. Sebanyak 59,6 % anak minum ASI pada variabel perilaku anak sebelum tidur dan 38,7 % mengaku biasa saja pada kategori kesulitan menidurkan anak. Pada status gizi dan status perkembangan, 72,7 % anak dikelompokkan ke kategori status gizi normal dan 58% anak dikelompokkan ke kategori status perkembangan sesuai. Setelah dilakukan uji hipotesis Fisher, tidak ditemukan hubungan bermakna secara statistik antara gangguan tidur dengan pertumbuhan dan perkembangan (P>0,05).

Sleep disorder on kids is a problem that is often faced by parents. Around 20 to 30% babies have sleep disorder worldwide. Sleep disorder can cause disturbance to children?s growth and development. This issue needs to be addressed well, considering this particular age is the golden period that determines the children?s future growth and development. This research aims to seek for the relation between sleep disorder with growth and development on children aged 6 to 36 months in Kampung Melayu, East Jakarta. This research is a cross-sectional study, and the data is taken through anthropometry measurement and filling two sets of questionnaires, general questionnaires regarding growth and development and BISQ. Data is then analyzed in bivariate, which the result shows p value > 0,05. This means that there is no statistically relevant relation between sleep disorder with nutritional status and development.
This study shows that the prevalence of sleep disorder is 17,7% out of 62 subjects, which consist of 33 boys and 29 girls. The education status shows that 63,4% of fathers and 59,6% of mothers are in average category. 59,6% of children are breastfed before sleep and 59,6% of parents don?t undergo significant problems while putting their children to sleep. For the categories of nutritional status and development, 72,7% of children have normal nutritional status and 58% have appropriate development. Through Fisher test, there is no statistically relevant relation between sleep disorder and growth and development (p>0,05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William Cheng
"Tidur adalah hal yang penting bagi anak karena terjadi peningkatan aktivitas susunan saraf pusat tertentu untuk memberikan efek fisiologis bagi tubuh. Banyak faktor yang menyebabkan gangguan tidur, salah satu yang dapat dimodifikasi adalah faktor nutrisi. Aspek nutrisi yang diperkirakan berkaitan adalah status gizi, asupan besi, dan asupan magnesium. Status gizi merupakan parameter secara umum keseimbangan antara derajat kebutuhan fisik anak terhadap nutrien. Besi dan magnesium berhubungan karena mempengaruhi substansi yang berperan dalam pengaturan fisiologi tidur.
Penelitian ini merupakan studi observasi-analitik untuk melihat hubungan antara status gizi, asupan besi, dan asupan magnesium dengan gangguan tidur pada anak usia 5-7 tahun dengan metode cross-sectional dari data sekunder pada anak-anak di Posyandu Kampung Melayu, berupa status antopometri, asupan besi, asupan magnesium, dan skor gangguan tidur dengan kuesioner Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC). Gangguan tidur dinyatakan bila skor SDSC melewati angka 39. Prevalensi anak yang mengalami gangguan tidur pada penelitian ini adalah 23,1 %.
Pada uji chi-square untuk hubungan indeks Berat Badan/Umur dan Tinggi Badan/Umur dengan gangguan tidur didapatkan p>0,05 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan berbeda bermakna secara statistik. Pada uji chi-square untuk hubungan asupan besi dan magnesium dengan gangguan tidur, didapatkan p>0,05 yang menandakan tidak terdapat hubungan berbeda bermakna secara statistik.

Sleep is esential for children because there is enhancement of neural system activities that give physiologic effects for the body. There are several factors that relate with sleep disturbances, which one of the modifiable factor is nutrition. Nutritional status, iron intake, and magnesium intake are examples of nutrition that are believed to have relation. Nutritional status represents the balance between nutritional intake and expenditure. Iron and magnesium are micronutrients that have relation to the substance that regulate ssleep mechanism.
This study is an observational-analysis study to examine the contribution of nutritional status, iron intake, and magnesium intake to the sleep disturbance in age five to seven children, was conducted with the cross-sectional method to the secondary data of children in Posyandu Kampung Melayu. Data include nutritional status, iron intake, magnesium intake, and sleep disturbance diagnosed with the Sleep Disturbance Scale for Children. The cut-off point to identify the disturbance is 39. Prevalence of children that have sleep disturbance is 23,1 %.
In the chi-square analysis to determine the relation between Body Weight on Age, Height on Age and the sleep disturbance, the p value is more than 0,05 that explains statistically no relation. In the chi-square analysis to determine the relation between iron intake and magnesium intake to sleep disturbance, the p value is more than 0,05 that also defines statistically there is no relation between those variables.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Gotama
"Malnutrisi adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia. Ini juga merupakan masalah yang sangat umum di banyak negara berkembang, seperti Indonesia, India dan Vietnam. Salah satu penyebab paling umum adalah kurangnya kesadaran akan pentingnya memberikan asupan gizi yang memadai untuk bayi. 1.000 hari pertama kehidupan merupakan periode penting untuk pertumbuhan dan perkembangan sehingga asupan gizi yang cukup besar dan baik diperlukan untuk diberikan selama periode ini. Jika tidak, risiko mengembangkan penyakit di masa depan bayi akan meningkat. Prevalensi gizi buruk pada bayi di Indonesia masih tinggi. Untuk mengatasi masalah ini, sumber terlebih dahulu harus diidentifikasi secara. Salah satu cara penyelidikan adalah dengan mengamati korelasi antara asupan gizi bayi dan indikator status gizi mereka. Penelitian ini hanya berfokus pada asupan makronutrien, yang merupakan asupan energi yang berasal dari karbohidrat dan lemak dan asupan protein. Jika status gizi bayi secara signifikan dan berkorelasi positif dengan energi atau asupan protein, beberapa upaya untuk meningkatkan kebiasaan makan mengenai karbohidrat dan lemak intake atau asupan protein harus diambil ke dalam tindakan. Oleh karena itu, status gizi bayi yang buruk bisa diperbaiki. Dalam penelitian ini, usia subyek berkisar 6-8 bulan dan ada bayi laki-laki yang berpartisipasi lebih bila dibandingkan dengan bayi perempuan (n = 56). Ia mengamati bahwa di daerah kumuh perkotaan dari Kampung Melayu, energi dan protein rata-rata asupan bayi konsisten dengan RDA Indonesia 2004 (834,28 ± 195,54 kkal dan 17,6175 ± 7,98 gram, masing-masing). Namun, sebenarnya ada 48,21% dari total subyek yang menerima asupan energi yang lebih rendah dari asupan yang direkomendasikan dan 44.46% yang menerima asupan protein yang lebih rendah. Bayi di daerah ini juga menderita status gizi normal, dengan 5,5% menderita pengerdilan, 3,6% menderita membuang-buang dan 9,1% menderita gizi. Penelitian ini tidak menemukan hubungan yang signifikan antara asupan protein dan indikator status gizi bayi (uji Spearman, p> 0,05). Hal ini dapat dijelaskan oleh efek lambat dari protein pada perkembangan bayi. Efek dapat dilihat pada bayi berusia lebih dari 8 bulan. Namun, ada hubungan yang signifikan antara asupan energi dan indikator status gizi bayi di Kampung Melayu (uji Spearman, p <0,05), dengan korelasi kuat ditemukan antara asupan energi dan tinggi badan bayi (uji Spearman, r = -0.38) . Meskipun korelasi yang signifikan antara asupan energi dan berat badan atau tinggi badan, penelitian ini menemukan bahwa variabel-variabel ini (tinggi badan dan berat badan) yang berkorelasi terbalik dengan asupan energi dari bayi, konsisten dengan teori korelasi positif antara asupan energi dan status gizi indikator. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya asupan energi yang berasal dari ASI atau susu payudara, karena bayi dengan rentang usia mungkin telah menerima energi terutama dari ASI. Mengumpulkan data asupan ASI bayi akan sangat membantu dalam menentukan status asupan energi bayi.

Malnutrition is a leading cause of death worldwide. It is also a very common problem in many developing countries, such as Indonesia, India and Vietnam. One of the most common causes is lack of awareness of the importance of providing adequate nutritional intake to infants. The first 1,000 days of life is a crucial period for growth and development so that substantial and good nutritional intake is necessary to be given during this period. Otherwise, the risk of developing diseases in the future of the infants will increase. The prevalence of malnutrition among infants in Indonesia is still high. In order to overcome this problem, the source should be firstly identified. One way of the investigation is by observing the correlation between nutritional intakes of the infants and their nutritional status indicators. The present study focuses only on macronutrient intakes, which are energy intakes that come from carbohydrates and fats and protein intakes. If nutritional status of infants is significantly and positively correlated with energy or protein intake, some efforts to improve eating habits regarding the carbohydrate and fat intakes or protein intake should be taken into action. Therefore, poor infant nutritional status can be fixed. In the present study, the age of the subjects range from 6 to 8 months and there are more male infants that participated when compared to female infants (n=56). It was observed that in urban slums of Kampung Melayu, the average energy and protein intakes of the infants is consistent with Indonesian RDA 2004 (834.28 ± 195.54 kcal and 17.6175 ± 7.98 grams, respectively). However, there were actually 48.21% of total subjects who received energy intake lower than the recommended intake and 44.46% who received lower protein intake. The infants in this area also suffered from abnormal nutritional status, with 5.5% suffering from stunting, 3.6% suffering from wasting and 9.1% suffering from undernutrition. The present study did not find any significant correlation between protein intake and infant nutritional status indicators (Spearman test; p > 0.05). This can be explained by the slow effect of proteins on the development of the infants. The effects might be seen in infants older than 8 months. However, there is a significant correlation between energy intake and infant nutritional status indicators in Kampung Melayu (Spearman test; p < 0.05), with the strongest correlation found between energy intake and body height of the infants (Spearman test; r = -0.38). Even though significant correlations between energy intake and body weight or body height, the present study found that these variables (body height and weight) are inversely correlated with energy intake of the infants, inconsistent with the theory of positive correlation between energy intake and nutritional status indicators. This might be due to lack of energy intake deriving from ASI or breast milk, since infants with this range of age might have received energy mainly from breast milk. Collecting data of breast milk intake of infants will be helpful in determining energy intake status of infants.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Marsa Nadhira
"Status gizi merupakan salah satu aspek penting kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Sayangnya, di Indonesia, status gizi terutama pada anak masih banyak memiliki masalah. Secara umum, status gizi memiliki hubungan dengan faktor internal, misalnya usia, kondisi fisik, dan infeksi; dan faktor eksternal seperti faktor-faktor sosiodemografi. Selain faktor-faktor di atas, status gizi juga berhubungan dengan perkembangan anak.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan status gizi dengan faktor-faktor sosiodemografi, yaitu usia, pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, status ekonomi, dan besar keluarga, juga dengan perkembangan anak usia 6 sampai 60 bulan di Posyandu Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Setelah pengambilan data berupa pengukuran status antropometri dan pengisian kuesioner, hasil analisis bivariat menunjukkan p-value > 0,05 yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara status gizi dengan faktor-faktor sosiodemografi dan perkembangan anak.

Nutritional status is one of the most important aspects of one?s health and welfare. Unfortunately, nutritional status especially among Indonesian children still faces many problems. In general, nutritional status is related to internal factors, such as age, physical condition, and infection; and external factors such as sociodemographic factors. Other than factors stated above, nutritional status is also closely related to children's development.
This research aims to seek for the relation between nutritional status with sociodemographic factors namely age, parents occupation, parents educational background, economic status, and family structures, also with development status on children aged 6 to 60 months old at Posyandu Kampung Melayu, East Jakarta. Data is taken through antropometry measurement and questionnaire filling, and then analyzed in bivariate which shows results of p-value > 0,05. This means that there is no statistically relevant relation between nutritional status with sociodemographic factors and children's developement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shofiyah Azizah
"Permasalahan gizi di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan Indonesia masih belum sepenuhnya mencapai target MDGs mengenai gizi ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara faktor sosiodemografi dan pola makan dengan status gizi, dimana data didapat dari pengambilan langsung dan data sekunder dari penelitian utama tentang efek suplementasi multipel terhadap kadar hemoglobin anak. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 26.32% subjek tergolong status gizi tidak normal (sangat kurus, kurus, dan gemuk; berdasarkan indeks BB/TB). Sebaran karakteristik subjek berdasarkan faktor sosiodemografi adalah sebagai berikut: 65.79% berusia 6-36 bulan; 50.53% adalah perempuan; 67.89% memiliki ayah dengan pekerjaan nonformal; 74.74% memiliki ayah dengan tingkat pendidikan menengah; 60.53% memiliki ibu dengan tingkat pendidikan menengah; 76.84% memiliki keluarga dengan status ekonomi dibawah garis kemiskinan; dan 66.84% tinggal di rumah dengan bentuk keluarga inti. Selain itu didapatkan 64.21% memiliki pola makan tidak baik. Berdasarkan uji hipotesis yang dilakukan dengan Uji Chi Square tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara semua variabel faktor sosiodemografi dan pola makan dengan status gizi (p>0.05).

Nutritional problem in Indonesia is affected by multifactorial causes and Indonesia is still not fully achieve the MDGs targets on this point. This research was determined to confirm the association between sociodemographic factors and dietary habit to nutritional status in children aged six to sixty months old using the primary (direct interview) and secondary data from a primary research which studied the effect of multiple micronutrient supplementation on haemoglobin level in children. The result shows that prevalence of bad nutritional status was 26.32% (including underweight and overweight). Characteristics of subjects by sociodemographic factors namely: 65.79% aged 6-36 months old; 50.53% were female; 67.89% had father with informal jobs; 74.74% had father with intermediate education; 60.53% had mother with intermediate education; 76.84% had family that below the poverty line; and 66.84% classified as small family. Then, characteristic of subjects by dietary habit was 64.21% had bad dietary habit. Based on analysis using Chi Square test, there were no significant association between all sociodemographic factors and dietary habit to nutritional status (p>0.05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fabiola Cathleen
"Stunting merupakan masalah kesehatan global yang dimiliki oleh 150,8 juta anak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Anak stunting diindikasikan dengan tinggi badan menurut usia di bawah minus dua deviasi standar dari World Health Organization (WHO) Child Growth Standards median. Jika terjadi dalam 1000 hari kehidupan pertama seorang anak, stunting cenderung bersifat irreversible, dan dapat menyebabkan gangguan perkembangan, mulai dari penurunan kemampuan kognitif, peningkatan risiko atas penyakit metabolik, dan penurunan pendapatan dan kesejahteraan hidup di masa depan. Korelasi vitamin D dan kalsium masih terhadap stunting masih kurang dieksplorasi, padahal beberapa studi menunjukkan dampak positif melalui fungsi mineralisasi tulang dan insulin-like growth factor axis. Dengan begitu, penelitian ini dilakukan untuk mencari korelasi antara asupan kalsium dan vitamin D terhadap indikator stunting (HAZ) pada anak usia 6-24 bulan sebagai usia yang telah mendapatkan MPASI, dan di Jakarta Timur sebagai wilayah dengan prevalensi stunting kedua tertinggi di antara wilayah DKI Jakarta lainnya. Metode: Metode yang digunakan adalah metode potong lintang, dengan total 62 sampel, yaitu anak usia 6-24 bulan yang bertempat tinggal di Jakarta Timur dan mengikuti penelitian Departemen Gizi FKUI 2014, sesuai kriteria inklusi tanpa kriteria eksklusi, kemudian terpilih melalui simple random sampling. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS 20 for Mac. Hasil: Hasil yang ditemukan adalah anak usia 12-24 bulan berhubungan positif dan signifikan secara statistik terhadap asupan kalsium kurang dari AKG (OR= 16,611; p<0,001). Sebaran asupan vitamin D dan status stunting berdasarkan seluruh karakteristik subjek tidak memiliki hubungan signifikan secara statistik. Sementara itu, asupan kalsium dan HAZ berkorelasi positif dan searah (r=0,324; p=0,005; p<0,01), begitu pula dengan asupan vitamin D dan HAZ berkorelasi positif dan searah (r=0,279; p=0,014, p<0,05). Hubungan status asupan kalsium dan vitamin D terhadap status stunting tidak bersifat signifikan secara statistik, namun penting secara klinis. Pembahasan: Usia 12-24 bulan lebih berisiko untuk memiliki asupan kalsium yang lebih rendah karena frekuensi minum ASI yang semakin berkurang tidak diimbangi dengan asupan gizi MPASI. Korelasi signifikan antara asupan kalsium dan asupan vitamin D terhadap HAZ mendukung studi sebelumnya bahwa kalsium dan vitamin D dapat meningkatkan konsentrasi IGF-1 plasma, dan bahwa kalsium dan vitamin D bekerja berdampingan.

Stunting is a global health issue, with approximately 150.8 million children are affected worldwide, including Indonesia. Children with stunting are indicated with a Height-for-Age Z Score of less than-2 standard deviation based the World Health Organization (WHO) Child Growth Standards median. If it occurs in the first 1000 days of life, stunting tends to be irreversible and cause impaired development, from cognitive impairment and increased risk of metabolic diseases, to lower income and welfare in the future. Correlation between vitamin D and calcium intake towards stunting have yet to be explored thoroughly even though several studies suggest their positive impacts through bone mineralisation and insulin-like growth factor axis. Thus, this research is done in order to discover the correlation between calcium and vitamin D toward stunting indicators (HAZ) on children aged 6-24 months, as they are currently given complementary foods, and located in East Jakarta, which has the second highest stunting prevalence compared to other regions in DKI Jakarta. Method: This study uses a cross-sectional method with a total of 62 samples, which are children aged 6-24 months that live in East Jakarta and took part in FKUI's Nutrition Department's Research in 2014, passing inclusion criterias without exclusion criterias, then selected through simple random sampling. Data processing and analysis are conducted with SPSS 20 for Mac software. Results: Results have found children age 12-24 months significantly and positively correlated with calcium intake less then AKG (OR=16.611; p<0.001). Vitamin D intake and stunting status distribution based on all subject characteristics are statistically insignificant On the other hand, calcium intake and HAZ have a positive and unidirectional correlation of (r=0.324; p=0.005; p<0.01), similar with vitamin D intake and HAZ with a positive and unidirectional correlation (r=0.279; p=0.014, p<0.05). Meanwhile, relationships of calcium and vitamin D intake status towards stunting status are not statistically significant, however clinically important. Discussion: Age group 12-24 months has higher risk to have lower calcium intake because reduced breastfeeding frequency is not balanced with adequate complementary food. Significant correlation between calcium and vitamin D intake towards stunting indicator supports the theory where calcium and vitamin D increases plasma IGF-1 concentration, and that both calcium and vitamin D works side-by-side.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evan Regar
"Status gizi merupakan parameter yang dapat mengetahui masalah kesehatan di suatu daerah atau negara. Hingga saat ini prevalensi masalah gizi di Indonesia masih cukup tinggi, yang dapat ditentukan dengan indeks berat badan menurut usia (BB/U) dan tinggi badan menurut usia (TB/U). Masalah gizi kronik akan menimbulkan komplikasi jangka panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecukupan asupan energi dan makronutrien dengan status gizi pada anak usia lima sampai tujuh tahun.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional-analitik potong lintang dengan menggunakan data sekunder. Data yang dianalisis adalah data yang memenuhi kelengkapan tanggal lahir, pengukuran antropometri, serta analisis food recall 24 jam. Besar sampel penelitian ini adalah 122 anak. Analisis statistik yang digunakan adalah metode Fisher.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara kecukupan asupan protein dengan status gizi (indeks BB/U: p=0,024; indeks TB/U: p=0,037). Tidak terdapat hubungan bermakna antara kecukupan asupan energi dengan status gizi (indeks BB/U: p=0,358; indeks TB/U: p=0,733), kecukupan asupan lemak dengan status gizi (indeks BB/U: p=1,000; indeks TB/U: p=1,000), dan kecukupan asupan karbohidrat status gizi (indeks BB/U: p=0,462; indeks TB/U: p=1,000).

Nutritional status is a parameter that could determine health problems in a region or a country. So far prevalence of nutritional problem in Indonesia is still quite high. Nutritional problem can be determined by measuring weight-for-age (W/A) and height-for-age (H/A) index. Persistent nutritional problem correlates with long-term sequelae. This study was intended to evaluate the association between energy-macronutrient adequacy and nutritional status in children age five to seven year old.
This study was an observational-analytic, cross-sectional using secondary data. In order to be analayzed datas must have complete birth date, anthropometric measurement, and analysis of 24-hour food recall. The study population was 122 children. Statistical analysis was performed using Fisher test.
We found that there was a significant association between protein adequacy and nutritional status (W/A index: p=0.024; H/A index: p=0.037). There was no significant association between energy adequacy and nutritional status (W/A index: p=0.358; H/A index: p=0.733), fat adequacy and nutritional status (W/A index: p=1,000; H/A index: p=1.000), carbohydrate adequacy and nutritional status (W/A index: p=0.462 and H/A index: p=1.000).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Kevin Xaverius Bastanta
"Perkembangan anak di Indonesia masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang belum terselesaikan. Padahal, perkembangan anak yang optimal menentukan kualitas sumber daya manusia nantinya. Faktor yang memengaruhi perkembangan seorang anak dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara faktor sosiodemografi yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, status ekonomi, dan besar keluarga dengan perkembangan anak usia 6 sampai 36 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi anak dengan perkembangan meragukan adalah 40% sedangkan perkembangan menyimpang sebesar 4,8%. Karakteristik anak berdasarkan faktor sosiodemografi adalah sebagai berikut: 44,8% berusia 6-18 bulan; 48% adalah perempuan; 28,8% memiliki ayah dengan pekerjaan formal; 93,6% memiliki ibu dengan pekerjaan informal; 71,2% memiliki ayah dengan pendidikan menengah ? tinggi; 34,4% memiliki ibu dengan pendidikan rendah; 77,6% berada di atas garis kemiskinan; dan 32% tergolong keluraga extended. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa pendidikan ayah dan status ekonomi memiliki hubungan yang bermakna secara statistik (p-value < 0,05) dengan perkembangan anak. Faktor sosiodemografi lainnya tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik (p-value > 0,05).

Child development remains one of many unsolved health problems in Indonesia. Eventually, optimal child development determines the quality of human resources in one country. Factors that influence the child development can be divided into two, genetic and environment. This research aims to look for the association between sociodemographic factors such as age, gender, parents? occupation, parents? educational background, economic status, and family structures with development on children aged 6 to 36 months old.
Results show prevalence of doubted development was 40% and deviated development was 4,8%. Characteristics of subjects by sociodemographic factors were as follows: 44,8% aged 6-18 months old; 48% were female; 28,8% had father with formal job; 93,6% had mother with informal job; 71,2% had father with intermediate ? high education; 34,4% had mother with low education; 77,6% were below the poverty line; and 32% classified as extended family. Bivariate analysis test shows father?s educational background and economic status have statistically relevant relation with child development. Other sociodemographic factors show no statistically relevant relation with child development.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jordan Sardjan
"Stunting merupakan suatu masalah kesehatan yang banyak ditemui pada balita Indonesia, yang ditetapkan oleh WHO sebagai rasio tinggi badan terhadap usia (TB/U) dibawah persentil 5. Persentase stunting balita Indonesia adalah sebesar 37,2% dan terklasifikasi sebagai high severity stunting oleh WHO. Stunting menjadi suatu isu penting karena memiliki dampak buruk yang bersifat inter-generasi. Stunting bersifat kronik dan memiliki penyebab yang bersifat multifaktorial, dengan defisiensi nutrisi sebagai penyebab utama.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara asupan asam folat dengan indikator TB/U. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain studi cross-sectional. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dari penelitian yang dilakukan pada Mei 2011 dengan subjek anak 5-6 tahun yang berdomisili di beberapa RW di Jalan Kimia, Jakarta Pusat.
Metode penelitian menggunakan pengukuran antropometri terstandar untuk memperoleh tinggi badan subjek serta ­food-frequency questionnaire (FFQ) untuk mengetahui asupan asam folat subjek. Data yang diperoleh kemudian diolah menggunakan piranti lunak SPSS 11.5 lalu dianalisis dengan uji Spearman dan uji Chi-Square. Didapatkan bahwa persentase subjek stunted adalah sebesar 20% dan lebih dari 70% subjek memiliki asupan asam folat harian rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya korelasi antara asupan asam folat dengan indikator TB/U.

Stunting is a health issue commonly found in Indonesian children of 0-5 years old, whose height-for-age is lower than the 5th percentile standard set by WHO. Having 37,2% of its 0-5 years old population to be stunted (2013), Indonesia claims a high severity stunting level from WHO. Stunting rises as an important issue because of its inter-generation lasting poor effect. Stunting is a chronic and multifactorial condition in which nutrient deficiency holds the main etiology.
This research aims to determine whether a correlation between folic acid intake and height-for-age indicator exists. Running a cross-sectional study design, this research uses secondary data from a former research conducted in May 2011 with children of 5-6 years old living in some RWs located at Kimia Street, Central Jakarta as its subjects.
The research method comprised a standardized anthropometric measurement and the usage of food-frequency questionnaire (FFQ) to obtain subject's height and folic acid intake respectively. Using SPSS 11.5 software, data is then analyzed by Spearman and Chi-Square test, resulting 20% of subjects being stunted and more than 70% of subjects receiving under-par folic acid intake. This research shows that no correlation could be found between folic acid intake and height-for-age indicator.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>