Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196969 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Phoa Pricilia Invinca Phoaniary
"Perjanjian Keagenan mengatur hak dan kewajiban antara agen dan principal sekaligus merupakan dokumen persyaratan untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran yang tujuannya mengesahkan setiap perbuatan agen dan principal. Perjanjian Keagenan berisi kesepakatan para pihak, namun untuk perolehan Surat Tanda Pendaftaran membuat Perjanjian Keagenan menjadi diatur khusus dalam Peraturan Menteri Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen dan Distributor Barang dan/atau Jasa, apakah pengaturan pengaturan tersebut mengubah sifat dari perjanjian keagenan tersebut serta bagaimana tanggung jawab seorang Notaris yang me-waarmaking perjanjian keagenan yang seharusnya di legalisasi oleh Notaris.
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dan wawancara dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder guna menunjang penulisan karya ilmiah. Wawancara dilakukan terhadap Kasubdit Usaha Dagang Asing dan Keagenan Departemen Perdagangan Republik Indonesia yang mana Kasubdit lebih menyerahkan kepercayaan sepenuhnya kepada Notaris, sehingga dengan adanya tandatangan baik karena waarmaking ataupun legalisasi dari Notaris, Perjanjian Keagenan tersebut diterima dan dianggap memenuhi syarat untuk diberikan Surat Tanda Pendaftaran.

Agency Agreement governing the rights and obligations between an agent and principal and the required documents to get a Certificate of Registration that purpose authorize any action agent and principal . Agency Agreement contains the agreement of the parties , but the acquisition of Certificate of Registration became Agency Agreement specifically regulated in the Ministerial Regulation No. 11 / M - DAG / PER / 3/2006 regarding Provisions and Procedure for Issuance of Certificate of Registration Agents and Distributors of Goods and / or Services , whether the settings to change the nature of the agency agreement and how the responsibility of a Notary who had waarmaking agency agreement which should be legalized by the Notary.
This study uses the method of literature and interviews with collecting primary data and secondary data to support the writing of scientific papers. Interviews were conducted with Kasubdit Foreign Trade Enterprises and the Ministry of Trade Agency of the Republic of Indonesia which is handed Kasubdit fully trust the Notary, so with good marks because waarmaking or legalization of Notaries, the Agency Agreement is accepted and considered eligible for the acquisition of Certificate of Registration.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43022
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aries Buwana
"Hukum keagenan memainkan peranan penting di dalam transaksi-transaksi komersial, khususnya dalam perusahaan modern, yang menurut hukum, dianggap memiliki pribadi dan dapat mengadakan transaksi atas namanya sendiri. Bahkan dengan individu sekalipun, seringkali dianggap lebih mudah bila bertransaksi melalui pihak perantara. Dengan demikian, banyak transaksi komersial sehari-hari yang dilakukan melalui pihak perantara yang dalam hal ini bertindak dalam lingkup kewenangan yang diberikan kepadanya baik secara tegas maupun tersirat. Pihak yang bertindak atas nama pihak lainnya disebut agen dan akibat hukum dari tindakan yang dilakukan oleh agen adalah pihak untuk siapa ia bertindak, akan terikat oleh tindakannya tersebut dan dapat menimbulkan kewajiban hukum kepada pihak ketiga yang berurusan dengan agennya. Dengan demikian, hukum keagenan dapat memperluas pribadi hukum dari suatu individu. Agen dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga, kedudukannya adalah merupakan kuasa prinsipal. Agen sebagai perantara umumnya tidak menimbulkan tanggung jawab apapun kepada pihak ketiga berdasarkan perjanjian yang diadakan. Namun demikian, agen mungkin saja mengadakan perjanjian atas nama prinsipal tetapi untuk keuntungan agen juga. Seharusnya dengan adanya asas kebebasan berkontrak tersebut, posisi kedua belah pihak adalah sama dan sederajat. Namun, dalam praktek sebenarnya kedua pihak tidak dalam posisi yang seimbang.

The law of agency plays an important role in commercial transactions, particularly in the modern enterprise, which by law, be deemed to have personal and transactions in its own name. Even with individual ones, are often considered more convenient to transaction through intermediaries. Thus, many commercial transactions are conducted daily through intermediaries that in this case acted within the scope of authority given to him either expressly or implied. Person acting on behalf of another party called the agent and the legal consequences of actions taken by the agent is the party for whom he acts, will be bound by these actions and may cause legal liability to third parties who deal with agents. Thus, the law of agency to expand the personal law of an individual. Agents in legal actions by third parties, its place is a power of principals. Agent as an intermediary generally does not cause any liability to third parties under the agreement held. However, the agent may have entered into agreements on behalf of the principals but also for the benefit agent. Should be with the principle of freedom of contract, the position of both parties are the same and equal. However, in actual practice the two parties are not in a equal position."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1577
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ardila Rahmanita
"Seiring dengan perkembangan dunia usaha dan kebutuhan akan pemenuhan sarana kegiatan ekonomi masyarakat, maka lahirlah lembaga keagenan di Indonesia. Hubungan keagenan adalah hubungan antara agen yang merupakan perusahaan nasional dengan prinsipal yang merupakan perusahaan yang berasal dari luar negeri, yang diawali dengan dibentuknya suatu kesepakatan atau suatu perjanjian yang mengatur mengenai hal apa yang akan mereka perdagangkan. Perjanjian keagenan muncul apabila prinsipal, menunjuk agen untuk bertindak sebagai wakil perusahaan luar negeri tersebut dalam wilayah Indonesia.
Dalam hal membuat suatu perjanjian, didalamnya terdapat suatu asas yang menyatakan, bahwa pihak yang membuat perjanjian dapat menentukan isi perjanjiannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh para pihak tersebut namun tetap dalam ketentuan hukum yang berlaku dan tidak melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian, serta norma kesusilaan dan kepatutan. Dalam melakukan suatu perjanjian haruslah orang yang memiliki kapasitas, kewenangan dan kemampuan untuk melakukan perjanjian tersebut.

Along with the business development and the need for community economic activities, it brings out agency relationship in Indonesia. Agency is a relationship between an agent who is a national company with a principal who is a company that comes from abroad, it begins with an agreement that organize what will be traded. Agency agreement existed whereby the agent is authorized by the principal to act as the representative company in Indonesia.
In conducting an agreement, there are one principle that said, that the parties who make the agreement can decide the content of the agreement suitable for their needs, as long as the content is not contradictory to the law, norms, and public policy. In conducting an agreement, that should be someone who has the capacity, authority and ability to perform the agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57030
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aries Buwana
"[ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai perlunya perjanjian keagenan yang biasanya dibuat
dengan menggunakan akta dibawah tangan untuk dibuat dengan menggunakan
akta otentik dihadapan notaris. Walaupun untuk mendaftarkan usaha keagenan
pada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang diatur dalam Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 11/M-DAG/PER/3/2006
Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau
Distributor Barang Dan/Atau Jasa, hanya menuntut dilampirkannya suatu
perjanjian keagenan antara prinsipal dan agen yang dilegalisir saja oleh notaris.
Tujuan dari pokok permasalahan dalam thesis ini adalah untuk mengetahui
sejauhmana manfaat pembuatan perjanjian keagenan dengan akta otentik
dibandingkan dengan akta di bawah tangan, dan juga untuk mengetahui apakah
perjanjian baku dari prinsipal dalam perjanjian keagenan tidak bertentangan
dengan asas kebebasan berkontrak. Penelitian ini adalah penelitian dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif.

ABSTRACT
This thesis discusses the need for an agency agreement are typically made using a
certificate under the hand to be made by using authentic deed before a notary.
Despite efforts to register the agency of the Ministry of Trade of the Republic of
Indonesia which is stipulated in the Regulation of the Minister of Trade of the
Republic of Indonesia Number: 11 / M-DAG / PER / 3/2006 About Conditions
and Procedures for Issuance of Certificate of Registration Agents or Distributors
of Goods and / or Services, only demanded an agency agreement between the
principal and the agent are certified only by a notary. The purpose of the issue in
this thesis is to determine the extent of the benefits of making the agency
agreement with an authentic deed than by deed under the hand, and also to
determine whether the standard contract of the principal in the agency agreement
is not contrary to the principle of freedom of contract. The research is the research
by using the juridical normative approach.;This thesis discusses the need for an agency agreement are typically made using a
certificate under the hand to be made by using authentic deed before a notary.
Despite efforts to register the agency of the Ministry of Trade of the Republic of
Indonesia which is stipulated in the Regulation of the Minister of Trade of the
Republic of Indonesia Number: 11 / M-DAG / PER / 3/2006 About Conditions
and Procedures for Issuance of Certificate of Registration Agents or Distributors
of Goods and / or Services, only demanded an agency agreement between the
principal and the agent are certified only by a notary. The purpose of the issue in
this thesis is to determine the extent of the benefits of making the agency
agreement with an authentic deed than by deed under the hand, and also to
determine whether the standard contract of the principal in the agency agreement
is not contrary to the principle of freedom of contract. The research is the research
by using the juridical normative approach., This thesis discusses the need for an agency agreement are typically made using a
certificate under the hand to be made by using authentic deed before a notary.
Despite efforts to register the agency of the Ministry of Trade of the Republic of
Indonesia which is stipulated in the Regulation of the Minister of Trade of the
Republic of Indonesia Number: 11 / M-DAG / PER / 3/2006 About Conditions
and Procedures for Issuance of Certificate of Registration Agents or Distributors
of Goods and / or Services, only demanded an agency agreement between the
principal and the agent are certified only by a notary. The purpose of the issue in
this thesis is to determine the extent of the benefits of making the agency
agreement with an authentic deed than by deed under the hand, and also to
determine whether the standard contract of the principal in the agency agreement
is not contrary to the principle of freedom of contract. The research is the research
by using the juridical normative approach.]"
2015
T43104
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zara Nuri Wulandia
"Tesis ini membahas mengenai analisa ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang dipersyaratkan atas alat dan/atau perangkat telekomunikasi berbasis standar teknologi Long Term Evolution (LTE) ditinjau dari ketentuanketentuan yang diatur dalam Agreement On Trade-Related Investment Measures (Perjanjian TRIMs). Penelitian ini bersifat yuridis normatif dan preskriptif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang dipersyaratkan atas alat dan/atau perangkat telekomunikasi berbasis standar teknologi Long Term Evolution (LTE) tidak sesuai dengan ketentuan Agreement On Trade-Related Investment Measures (Perjanjian TRIMs) dan karenanya harus dilakukan langkah-langkah penyesuaian oleh pemerintah Indonesia agar Indonesia tidak melanggar kewajibannya sebagai negara anggota World Trade Organization.

This thesis discusses the analysis of Local Content Requirements (LCR) which is required for any telecommunication devices and/or equipments with standardsbased technology Long Term Evolution (LTE) and its relation with the provisions stipulated in the Agreement on Trade-Related Investment Measures (TRIMs Agreement). Research conducted in this thesis is a normative and prescriptive study.
The research concluded that Local Content Requirements (LCR) which is required for any telecommunication devices and/or equipments with standardsbased technology Long Term Evolution (LTE) is inconsistent with the provisions of TRIMs Agreement and therefore there should be steps taken by the government of Indonesia to bring these measures into conformity with TRIMs Agreement which will eliminate the inconsistency with Indonesia?s obligations under the TRIMs Agreement as a member state of World Trade Organization.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Clara Stephanie
"Pada bulan September tahun 2016, Pemerintah mengeluarkan Permen ATR Nomor 29 Tahun 2016 yang mengatur tentang tata cara pemindahan hak atas tanah bagi hunian Orang Asing. Tesis ini membahas mengenai kesesuaian antara perbuatan hukum pemindahan Hak Milik dan Hak Guna Bangunan kepada Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 1 Permen ATR Nomor 29 Tahun 2016 dengan ketentuan yang diatur di dalam UUPA, legalitas Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun dalam Pasal 6 ayat 2 sebagai lembaga baru yang belum pernah ada, dan jalan keluar yang dapat ditempuh oleh PPAT terhadap perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah untuk tempat tinggal atau hunian sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam Tesis ini adalah yuridis normatif. Pasal 6 Permen ATR Nomor 29 Tahun 2016 tidak sesuai dengan ketentuan UUPA dan peraturan perundang-undangan lain di bidang agraria karena telah melanggar syarat materiil dalam perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, legalitas Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun sebagai lembaga baru yang belum pernah ada bertentangan dengan konsep Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, jalan keluar bagi PPAT dalam melakukan pembuatan akta pemindahan hak tersebut adalah dengan tetap mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan jabatannya. Terhadap Peraturan tersebut agar diajukan judicial review kepada Mahkamah Agung, PPAT harus lebih berhati-hati dan tetap mengedepankan peraturan perundang-undangan di bidang terkait dan peraturan jabatannya, Pemerintah harus melakukan sosialisasi kepada perusahaan pengembang untuk mendirikan rumah susun di atas tanah Hak Pakai.

On September 2016, the Government issued the Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Plan ATR Regulation Number 29 of 2016 which regulates the transfer of rights procedure by foreigner. This Thesis discusses the adjustment of the transfer of Ownership Rights and Rights to Build procedure by foreigner as regulated in Article 6 paragraph 1 to regulated provisions in The Basic Agrarian Law BAL , the legality of 'Rights to Use of a Unit of Rumah Susun' in Article 6 paragraph 2 as a new ownership concept that has never been existed, and solution shall be taken by Land Deed Officer as regulated in Article 6. The research method used in this Thesis is normative juridical. Whereas Article 6 is not in accordance with the provisions of BAL and other implemented and related agrarian legislations for violating the material provision in transfer of rights, the legality of 'Rights to Use of a Unit of Rumah Susun' as a new rumah susun ownership concept which has never been existed is illegitimate because it is contrary to the concept of the Ownership of a Unit of Rumah Susun, the solution for the Land Deed Officer is to keep referring to the related and implemented regulations of his position. A judicial review should be submitted to the Supreme Court, Land Deed officer should still put forward the regulations in related fields, Government should conduct socialization to property developer companies to build rumah susun on Rights to Use over States rsquo Land. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48616
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denden Imadudin Soleh
"ABSTRAK
Tesis ini membahas Eksistensi dan Kekuatan Mengikat dari Peraturan
Bersama Menteri Hukum Dan HAM Nomor 14 Tahun 2015 Dan
Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 16 Tahun 2015 yang menurut
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM
dalam Surat Nomor: PPE.PP.03.01-603 Peraturan Bersama ini tidak diundangkan
dalam Lembaran Negara atau Berita Negara karena tidak termasuk jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Dan 8
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif
dengan desain preskriptif analitis.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Peraturan Bersama Menteri
Hukum Dan HAM Nomor 14 Tahun 2015 Dan Menteri Komunikasi Dan
Informatika Nomor 16 Tahun 2015 diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 28
tahun 2014 tentang Hak Cipta sehingga eksistensinya harus diakui sebagai
peraturan perundang-undangan dan diundangkan dalam Berita Negara sehingga
mempunyai kekuatan hukum mengikat karena sesuai dengan Pasal 8 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Peraturan yang ditetapkan oleh Menteri diakui
sebagai peraturan perundang-undangan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan. Dalam penelitian ini menyarankan
Pendelegasian Peraturan perundang-undangan sebaiknya konsisten, jika
pembentuk undang-undang tidak mengakui keberadaan peraturan bersama, maka
sebaiknya pembentuk undang-undang tidak mendelegasikan pengaturan lebih
lanjut kepada peraturan bersama dan jika ingin menyatakan peraturan bersama tidak
masuk dalam Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan seharusnya tidak
ditetapkan dalam Surat Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Kementerian Hukum dan HAM Nomor PPE.PP.03.01-603, tetapi ditetapkan dalam
Undang-Undang dengan tegas sehingga tidak lagi multitafsir.

ABSTRACT
This thesis discusses the existence and force of binding of the Joint
Regulation of Law and Human Rights Minister No. 14 of 2015 and the Minister of
Communication and Information Technology Number 16 Year 2015 by the Director
General of Legislation Ministry of Justice and Human Rights in a letter Number
PPE.PP.03.01-603 this Regulation shall not be promulgated in the State Gazette or
the Official Gazette for not including the types and hierarchy of legislation as
provided for in Article 7 and 8 of the Act No. 12 of 2011 this study is a qualitative
research design analytical prescriptive.
The result showed that the Joint Regulation of the Minister of Law and
Human Rights No. 14 of 2015 and the Minister of Communication and Information
Technology Number 16 Year 2015 was ordered by Law No. 28 of 2014 on
Copyrights so that its existence must be recognized as legislation and promulgated
in the State Gazette so as to have binding legal force because according to Article
8 of Law No. 12 Year 2011 Regulation stipulated by the Ministry recognized as
legislation and have binding legal force throughout ordered by legislation that is
higher or established by the authority. In this study suggest Delegation of
legislation should be consistent, if the legislators do not recognize the existence of
joint regulation, then you should legislators do not delegate further adjustment to
the joint regulation and if you want to declare the Joint regulation are not included
in type and hierarchy rules legislation should not set out in the Letter of the Director
General of legislation Ministry of Law and human rights No. PPE.PP.03.01-603,
but defined in the Act expressly so it is no longer open to multiple interpretations"
2016
T45998
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Novia Anggita
"Permendag RI No. 7 Tahun 2013 pada dasarnya mengatur mengenai pembatasan jumlah gerai waralaba untuk jenis usaha jasa makanan dan minuman. Tujuannya adalah untuk pemerataan ekonomi dengan mengembangkan usaha kecil dan menengah melalui pengembangan kemitraan dalam waralaba dengan pola penyertaan modal. Pada prakteknya, mayoritas pemberi waralaba merek asing terkenal hanya akan mempercayakan pemasaran merek dagangnya kepada satu penerima waralaba di Indonesia. Hal ini dinilai oleh pemerintah sebagai pemicu terjadinya kesenjangan sosial, ditakutkan pemilik waralaba ini akan semakin merajai dan menjajah perekonomian negara dengan memonopoli sistem perdagangan dalam negeri. Maka untuk mengantisipasi hal tersebut, dikeluarkanlah Permendag RI No. 7 Tahun 2013. Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimanakah implementasi dari regulasi ini dalam kegiatan bisnis waralaba secara nyata? Dapatkah regulasi ini menjadi suatu solusi yang komperhensif untuk mengembangkan usaha kecil dan mengengah sehingga terwujud pemerataan ekonomi? Bagaimana mengenai perlindungan hukum terhadap pemilik waralaba? Mengingat kegiatan perkembangan waralaba di Indonesia yang semakin pesat, dan semakin banyaknya waralaba merek asing yang masuk ke Indonesia, maka Pemerintah Indonesia selaku regulator perlu memberikan perhatian khusus terutama dari segi hukum yang mengatur waralaba di Indonesia. Penelitian ini akan memberikan tinjauan hukum atas usaha waralaba merek asing terkenal di Indonesia, terkait dengan keberlakuan Permendag RI No. 7 Tahun 2013. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat normatif yuridis. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis yang bersifat kualitatif.

This regulation, basically set on limiting the number of franchise outlets in foods and beverages franchise. The purpose is for economic equality by developing small and medium enterprises through the development of partnerships in franchise with the pattern of equity participation. In practice, most of famous foreign trademark franchisor will only entrust the marketing of its trademark to one franchisee in Indonesia. This is seen by the government as a trigger of social inequality, franchisor will increasingly dominate and colonize the country's economy to monopolize trade in the domestic system. In order to anticipate this situation, the government issued the Indonesian Trade Minister Regulation Number : 07/MDAG/ PER/2/2013. However, the problem is about the implementation of these regulation in the franchising activities in real. Can this regulation be a comperhensive solution to develop small and medium enterprisess in order to realizing economic equality? How about the legal protection of the franchisor? Since franchises in Indonesia are growing rapidly, and the increasing number of foreign trademark franchises in Indonesia, the Indonesian government as regulator needs to give special attention, especially in terms of the law governing franchise in Indonesia. This study will provide an overview of business law for famous foreign trademark franchise in Indonesia, associated with Indonesian Trade Minister Regulation Number : 07/M-DAG/PER/2/2013. This type of research is normative juridical literature. Data analysis methods used in this research is descriptive qualitative analysis. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47115
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Eunike M.F.
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas bagaimana pengaturan pelaksanaan investasi usaha
jasa pertambangan batubara menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Selain itu,
membahas mengenai akibat hukum dari kewajiban pemegang IUP atau IUPK
untuk menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional. Serta
akibat hukum dari kewajiban pemegang IUP atau IUPK untuk melaksanakan
sendiri kegiatan penambangan dan pengolahan pemurnian. Metode yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kegiatan usaha jasa pertambangan batubara
dilaksanakan berdasarkan pasal 124 UU Minerba yaitu dengan mewajibkan
pemegang IUP atau IUPK mengutamakan menggunakan perusahaan jasa
pertambangan lokal dan/atau nasional, serta mewajibkan pemegang IUP dan
IUPK melaksanakan kegiatan penambangan, pengolahan dan pemurnian sendiri.
Akibat hukum dari ketentuan kewajiban pemegang IUP atau IUPK
mengutamakan menggunakan perusahaan jasa lokal dan/nasional menyebabkan
perbedaan perlakuan terhadap perusahaan jasa pertambangan lokal dan
perusahaan jasa pertambangan asing, dan hal ini melanggar prinsip national
treatment yang diakui dalam perjanjian perdagangan internasional. Adapun
akibat hukum kewajiban pemegang IUP atau IUPK melaksanakan kegiatan
penambangan, pengolahan dan pemurnian sendiri menyebabkan pemegang IUP
atau IUPK wajib mengakhiri atau tidak memperpanjang perjanjian kerjasama
dengna perusahaan jasa pertambangan, dan hal ini berpotensi menimbulkan
gugatan hukum. Hasil penelitian ini secara umum menyarankan agar kegiatan
usaha jasa pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan jasa pertambangan
didukung dengan regulasi yang lebih jelas tentang pengaturan perusahaan jasa
pertambangan asing.

Abstract
This thesis discusses how the implementation of Law No. 4 of 2009 on Mineral
and Coal Mining (Mining Law) in regards to coal mining services business.
Furthemore will discuss the legal consequences the obligation of holders of IUP
or IUPK to use the services of local and/or national mining services companies
and the obligations of IUP or IUPK holders to carry out its own mining and
refining process. The method used in this study is juridical-normative approach.
The results showed that coal mining services based on article 124 of Mining law,
namely by requiring the IUP or IUPK holders to use of local/national mining
service companies and carry out its own mining and refining process. In regards
to the legal effects of obligation for IUP or IUPK holders to prioritize usage of
local/national mining services companies, causing different treatment to foreign
companies and local/national companies, and this violates the principles of
national treatment which is recognized within international trade agreements. In
additon, the legal effect of IUP or IUPK holders to conduct their own mining and
refining process shall terminate or not renew a cooperation agreement with
mining service company, and this could potentially lead to legal action. The
result of this research suggest in general that mining service business activities
which are supported by mining regulation clearer about setting foreign mining
service."
Universitas Indonesia, 2012
S43206
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syahira Ridma Adani
"Impor dan ekspor merupakan kegiatan memasukkan dan mengeluarkan barang melalui daerah pabean dengan melintasi batas-batas antar negara. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah instansi yang bertanggungjawab untuk melakukan fungsi pelayanan dan pengawasan atas kegiatan ekspor dan impor tersebut, atau biasa disebut dengan kegiatan lalu lintas barang, atau kegiatan kepabeanan. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar. Dalam rangka melindungi kepentingan dan keamanan nasional negara, Pemerintah menetapkan beberapa peraturan terkait kegiatan ini, salah satunya peraturan mengenai pembatasan impor. Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 203/PMK.04/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut, yang mana dalam salah satu ketentuannya mengatur mengenai pembatasan impor barang yang dilakukan oleh Penumpang Sarana Pengangkut. Meskipun Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017 telah spesifik menjabarkan mengenai pembatasan barang yang dibawa Penumpang dan kewajiban Penumpang untuk memenuhi kewajiban pabeannya, namun dalam penerapannya masih ditemukan beberapa penyimpangan. Atas timbulnya penyimpangan-penyimpangan tersebut, efektivitas penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017 dipertanyakan. Terkait dengan efektivitas penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017 dan pencegahan serta penindakan penyulundupan, Pejabat Bea dan Cukai harus memastikan kegiatan kepabeanan berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan menjalankan fungsi pelayanan dan pengawasannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Imports and exports are activities to bring goods into and out of the customs territory by crossing the borders between countries. The Directorate General of Customs and Excise is the authorized party responsible for carrying out the service and supervision for the export and import activities, or commonly referred to as Customs Activities. Customs means all activities pertaining to the supervision of incoming and outgoing traffic goods into or from the customs territory, also the collection of import and export duties. In order to establish a firm national legal system that serves the the national interests and security of the country, the Government establish several regulations related to this activity, which one of the regulation is regarding restrictions on imports. The Minister of Finance has issued Regulation Number 203/PMK.04/2017 concerning Provisions on Export and Import of Goods Carried by Passengers and Crew of Transport Facilities, which in one of the provisions regulates the limitation on the import goods carried by Passengers of Transport Facilities. Although the Minister of Finance Regulation Number 203/PMK.04/2017 has specifically outlined the restrictions on imported goods carried by Passengers and the obligations for Passengers to fulfill their customs duties, there are still some deviations on the implementation. For the emergence of these deviations, the effectiveness and the application of the Regulation Number 203/PMK.04/2017 is questionable. Regarding to this concern and to prevent smuggling, Customs and Excise Officers must ensure that customs activities are carried out in accordance to regulations by performing out their service and supervision functions as regulated.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>