Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 206691 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jova Febrina
"[ABSTRAKbr
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan kekerasan dalam pacaran
antara perempuan remaja akhir yang memiliki stereotip gender dan tidak memiliki
stereotip gender di JABODETABEK. Kekerasan dalam pacaran adalah
penyerangan fisik atau perilaku melukai tubuh, termasuk kekerasan psikologis
dan emosional, verbal atau tersirat, yang terjadi di situasi tertutup maupun umum,
dimana perbedaan utama dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah pada
pasangan berpacaran tersebut tidak adanya ikatan darah atau hukum (Ely,
Dulmus, & Wodarski; Burgess & Robert, dalam Schnurr & Lohman, 2008).
Sementara itu, stereotip gender merupakan kumpulan keyakinan dan budaya
mengenai karakteristik, perilaku, dan kepribadian perempuan dan laki-laki
(Archer & Llyod, 2002; Hyde, 2007). Pengukuran kekerasan dalam pacaran
menggunakan alat ukur The Conflict in Adolescent Dating Relationships
Inventory (CADRI) (Wolfe, 2001) dan pengukuran stereotip gender menggunakan
alat ukur Bem Sex Role Inventory Short-form (BSRI) (Bem, 1981) yang telah
diadaptasi oleh peneliti. Partisipan berjumlah 194 perempuan remaja akhir yang
berusia 15-22 tahun di JABODETABEK. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak
terdapat perbedaan kekerasan dalam pacaran yang signifikan antara perempuan
remaja akhir yang memiliki stereotip gender dan tidak memiliki stereotip gender.
Namun, ditemukan adanya rata-rata nilai kekerasan tertinggi pada responden yang
memiliki stereotip gender (feminine). Berdasarkan hasil tersebut, perlu diadakan
program-program intervensi dan edukasi kepada remaja agar mengenali dan dapat
terhindar dari kekerasan dalam pacaran.;This research conducted to find the differences of dating violence between
females in late adolescent with feminine, masculine, androgyny, and
undifferentiated gender stereotype in JABODETABEK. Dating violence
defined as physical assault or acts of bodily harm, including psychological and
emotional abuse, verbal or implied, that take place in private or in social
situations, which primarily differs from domestic violence in that the dating
couple is not bound by blood or law (Ely, Dulmus, & Wodarski; Burgess &
Robert in Schnurr & Lohman, 2008) and gender stereotype defined as a set of
beliefs and cultural characteristics, behavior, and personality in females and
males (Archer & Llyod, 2002; Hyde, 2007). Dating violence measured using an
adaptation instrument, The Conflict in Adolescent Dating Relationships
Inventory (CADRI) (Wolfe, 2001) and gender stereotype measured using Bem
Sex Role Inventory Short-form (BSRI) (Bem, 1981). 194 females in late
adolescent in JABODETABEK aged 15-22 were assessed. The result shows
that dating violence and gender stereotype has no significant difference between
females with gender stereotype and without gender stereotype. But the highest
means score for dating violence found in females with stereotype gender
(feminine). Based on these result, an intervention and education program for
adolescent is necessary for any prevention against dating violence., This research conducted to find the differences of dating violence between
females in late adolescent with feminine, masculine, androgyny, and
undifferentiated gender stereotype in JABODETABEK. Dating violence
defined as physical assault or acts of bodily harm, including psychological and
emotional abuse, verbal or implied, that take place in private or in social
situations, which primarily differs from domestic violence in that the dating
couple is not bound by blood or law (Ely, Dulmus, & Wodarski; Burgess &
Robert in Schnurr & Lohman, 2008) and gender stereotype defined as a set of
beliefs and cultural characteristics, behavior, and personality in females and
males (Archer & Llyod, 2002; Hyde, 2007). Dating violence measured using an
adaptation instrument, The Conflict in Adolescent Dating Relationships
Inventory (CADRI) (Wolfe, 2001) and gender stereotype measured using Bem
Sex Role Inventory Short-form (BSRI) (Bem, 1981). 194 females in late
adolescent in JABODETABEK aged 15-22 were assessed. The result shows
that dating violence and gender stereotype has no significant difference between
females with gender stereotype and without gender stereotype. But the highest
means score for dating violence found in females with stereotype gender
(feminine). Based on these result, an intervention and education program for
adolescent is necessary for any prevention against dating violence.]"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59103
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariny Ma`rifah
"This research discusses about the meaning of the text perfume ad for boys and girls which is related with gender stereotype. This research's aims are to explain type of gender stereotype in teens magazines related to sociolinguistic. Methods used in this research are qualitative to describe a staple meaning in perfume ad text and quantitative to get some description about gender stereotype forms in teenagers. Some theories that are applied are Semantics and gender theory about stereotype. The result is the meaning in perfume ad text has a relation with gender stereotype"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S10760
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhidayati
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih banyaknya ikian-ikian yang menggambarkan perempuan berdasarkan stereotip gender. Selama ini ikian yang dianggap memojokkan perempuan tersebut mendapatkan kritik dari kalangan terbatas, seperti aktivis perempuan dan pemerhati masalah perempuan. Bagaimana tanggapan khalayak sebenarnya, dalam hal ini mahasiswa, terhadap iklan-ikian tersebut, masih perlu dikaji. Karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai sikap mahasiswa terhadap iklan yang menampilkan stereotip gender tentang perempuan, dalam hal ini ikian di televisi (TV Commercial), dan ada tidaknya hubungan antara tingkat kesadaran gender seseorang dengan sikap yang dimilikinya terhadap ikian-iklan tersebut. Penelitian dilakukan dengan metode survei dengan kuesioner yang disebar kepada 100 orang responden yang berasal dari mahasiswa/i S-1 Jurusan Komunikasi FISIP UI Angkatan 1996-2000, yang berusia 17-25 tahun. Teknik penarikan sampelnya menggunakan teknik simple random sampling. Dad hasil analisa data ditemukan bahwa, responden rata-rata menunjukkan sikap negatif atau tidak mendukung terhadap iklan yang menampilkan stereotip gender tentang perempuan. Hasil analisa data dengan Pearson's Correlation ditemukan bahwa ternyata terdapat hubungan antara tingkat kesadaran gender dengan sikap seseorang terhadap ikian yang menampilkan stereotip gender tentang perempuan. Kekuatan hubungan tersebut Iemah, tetapi pasti. lni menunjukkan keberadaan faktor-faktor lain yang pengaruhnya lebih kuat dalam pembentukan sikap terhadap iklan. Namun demikian temuan tersebut menunjukkan bahwa hipotesis penelitian, yaitu semakin tinggi tingkat kesadaran gender seseorang semakin negatif sikapnya terhadap iklan, terbukti keberlakuannya. Analisa data selanjutnya dilakukan dengan Partial Correlation untuk melihat ada tidaknya pengaruh karakteristik demografis terhadap hubungan antara tingkat kesadaran gender dengan sikap terhadap iklan.Ternyata setelah dikontrol oleh jenis kelamin, hubungan keduanya menjadi tidak signifikan dan sangat Iemah, bahkan dapat diabaikan) Temuan tersebut menunjukkan bahwa hipotesis penelitian, yaitu jenis kelamin mempengaruhi hubungan antara tingkat kesadaran gender dengan sikap terhadap iklan, terbukti keberlakuannya. Sedangkan usia dan pengeluaran bulanan tidak berpengaruh sama sekali terhadap hubungan tersebut, dan temuan ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian, yaitu usia dan pengeluaran bulanan mempengaruhi hubungan antara tingkat kesadaran gender dengan sikap terhadap iklan, tidak terbukti. Temuan yang menarik adalah terdapat perbedaan yang signifikan antara responden berjenis kelamin lelaki dan perempuan dalam pembentukan sikap terhadap iklan dan pembentukan tingkat kesadaran gender. Responden perempuan rata-rata lebih menunjukkan sikap negatif atau tidak mendukung terhadap iklan yang menampilkan stereotip gender tentang perempuan, dibandingkan rata-rata responden lelaki. Selain itu responden perempuan rata-rata juga memiliki tingkat kesadaran gender lebih tinggi dibandingkan rata-rata responden lelaki. Temuan-temuan dari penelitian ini sedikitnya dapat memberi masukan bahwa dalam menggambarkan perempuan dalam iklan berdasarkan stereotip gender, harus berhati-hati untuk menghindari respon yang tidak baik dari khalayaknya, mengingat semakin baiknya tingkat kesadaran gender pada khalayak dengan adanya berbagai informasi tentang kesetaraan gender, terutama pada perempuan yang sering dijadikan model dan sasaran penjualan produk pada iklan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S4211
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Septianti,author
"Kekerasan rumah tangga bukanlah isu yang baru lagi akan tetapi masalah ini jarang diangkat kepermukaan. Struktur sosial masyarakat Indonesia yang secara jelas meletakkan perempuan di bawah laki-laki sangat memungkinkan dan mendorong terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istrinya. Kekerasan ini tidak hanya berdampak pada istri yang menjadi korban kekerasan akan tetapi juga berdampak pada anak-anak yang menyaksikannya. Secara umum anak-anak yang menyaksikan kekerasan di dalam keluarganya biasanya akan mengalami hambatan dalam mengembangkan kehidupan sosial, emosional, psikologis dan tingkah lakunya. Anak-anak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak-anak yang berada pada masa perkembangan remaja akhir. Pada masa remaja ini, mereka mengalami kesulitan dengan dirinya sendiri dan mereka juga mengalami kesulitan dengan orangtuanya dan situasi kekerasan yang terjadi di dalam keluarganya akan menambah kesulitan yang dihadapinya sehingga menimbulkan masalah bagi mereka. Peneliti menduganya bahwa remaja akhir dari keluarga yang mengalami kekerasan rumah tangga memiliki konsep diri yang lemah dan harga diri yang rendah bila dibandingkan dengan remaja akhir dari keluarga yang tidak mengalami kekerasan rumah tangga. Untuk mengetahui konsep diri tersebut peneliti menggunakan sebuah alat pengukur konsep diri yang disusun oleh William H. Fitts (1965) yang disebut sebagai Tennessee Self Concept Scale (TSCS). Skala ini terdiri atas 100 buah item pernyataan yang menggambarkan mengenai diri sendiri. Tiap pernyataan mempunyai 5 kemungkinan jawaban berupa skala dari angka 1 sampai 5. Angka 1 berarti pernyataan tersebut sama sekali tidak sesuai dengan keadaan diri subyek, sedangkan angka 5 artinya pernyataan tersebut sangat sesuai dalam menggambarkan diri subyek. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada aspek harga diri antara remaja akhir dari keluarga yang mengalami kekerasan rumah tangga dan remaja akhir dari keluarga yang tidak mengalami kekerasan rumah tangga."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3116
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyawati Patricia Melati
"Dari sekian banyak tes psikologi, tes Wartegg adalah salah satu dari alat tes proyektif yang sering digtmakan dalam seleksi pegawai maupun setting klinis. Hal ini antara lain disebabkan karena tes Wartegg memiliki beberapa ketmtungan antara lain adalah waktu yang relatif singkat dalam pengadministrasian, skoring dan juga kaya dalam interpretasi. B Dalam tes Wartegg, jenis kelamin subyek memiliki arti interpretalif yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena nilai simbolik rangsang-rangsangnya rnemiliki hubungan dengan jenis kelamin. Di dalam tes ini terdapat 4 rangsang yang disebut dengan rangsang maskulin dan 4 rangsang lainnya yang disebut dengan rangsang feminin. Dalam penelitiannya, Kinget membuktikan bahwa afinitas laki-laki lebih baik pada stimulus maskulin sedangkan aflnitas perempuan lebih baik pada stimulus feminin.
Dahii 2002, dalam penelitiannya mengenai alinitas laki-laki dan perempuan terhadap stimulus maskulin dan stimulus feminin pada tes Wartegg, mencoba membuktikan hal tersebut. Penelitian yang dilakukan dengan menyebarkan tes Wartegg kepada 62 orang mahasiswa Universitas Indonesia membuktikan bahwa baik subyek laki-laki dan subyek perempuan memiliki afinitas yang sauna baiknya terhadap stimulus feminin ,dan stimulus maskulin. Afinitas laki-laki dan perempuan pada stimulus feminin hanya berbeda pada rangsang nomor 2 sedangkan afinitas subyek laki-laki dan perempuan pada stimulus maslculin hanya berbeda pada rangsang nomor 4.
Penulis berusaha membuktikan teori Kinget ini dengan melakukan usaha replikasi dan unelitian telah dilakukan oleh Dahri. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat aiinitas laki-laki dan perempuan yang berperan gender tradisional dalam menjawab stimulus feminin dan maskulin dalam tes Wartegg. Penelitian dilakukan dengan mengadministrasikan tes Wartegg kepada 2 kelompok subyek yang memiliki profesi sesuai dengan peran gender tradisionalnya yakni montir bagi laki-laki dan baby sitter bagi perempuan.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis menunjukan bahwa laki-lalci dan perempuan yang memiliki pekerjaan sesuai dengan peran gender tradisionalnya memiliki afinitas yang kurang lebih sama baiknya pada stimulus nomor l,2, 5 dan stimulus nomor 6. Afinitas laki-laki dan perempuan terhadap stimulus Wartegg ditemukan menunjukkan perbedaan yang signiikan pada stimulus no 3,4,7 dan 8. Pada stimulus nomor 3 dan 4 yang merupakan stimulus maskulin, jumlah laki-laki yang beraiinitas terhadap stimulus ini secara sitnifikan lebih banyak dihandingkan dengan perempuan. Sedangkan pada stimulus nomor 7 dan 8 yang merupakan stimulus feminin, jumlah perempuan yang beraktvitas terhadap stimulus ini secara signifikan lebih banyak dibandingkan dengan subyek laki-laki. Untuk dapat mempertajam hasil penelitian ini masih dibutuhkan penelitian-penelitian lanjutan di masa yang akan datang."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlina Ekawati
"Pada masa Disney Renaissance, Disney telah mencoba untuk mendobrak stereotip gender yang telah melekat dengan mereka selama ini. Walaupun begitu, tidak dapat dipungkiri stereotip gender masih terpatri karena masyarakat telah diajarkan mengenai stereotip gender dari media sejak kecil. Hal ini juga terlihat pada dua film animasi adaptasi Disney The Little Mermaid (1989) dan Tangled (2010). Tulisan ini menganalisa berbagai streotip gender yang tersembunyi dalam kedua film tersebut dan bagaimana stereotip-stereotip tersebut tetap terlihat walaupun telah berusaha disembunyikan. Ada dua hal yang akan dianalisa dalam tulisan ini. Yang pertama penggambaran good woman dan bad woman menyimbolkan konsep beauty klasik. Yang kedua, penggambaran laki-laki, kejadian-kejadian di film serta lagu tetap memiliki kebiasan yang sama seperti dahulu. Hasil analisa film ini adalah film-film Disney tetap mengandung stereotip gender walaupun telah berusaha disembunyikan.

During the era of Disney Renaissance, Disney has been trying to break the gender stereotypes that have been closely related to them. However, it is undeniable that gender stereotypes are still imprinted because people have been fed by gender stereotypes from the show since they are young. It is also shown in two Disney adaptation animation movies titled The Little Mermaid (1989) and Tangled (2010). This writing examines various evidences of gender stereotypes that are hidden in both movies and how they are still seen although the creators have kept them hidden. There are two major points that will be examined in this paper. First, the depiction of good woman and bad woman is symbolizing the classical beauty concept. Second is the depiction of man, the act, and the song is still containing the same ‘rule’ as previous time. This paper is concluded by a statement that Disney’s movies are still containing gender stereotypes although they have been tried to be hidden.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47303
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelia Auliyanti
"disadari secara langsung karena adanya pembiaran ? pembiaran (Sharpe & Taylor, 1999). Kekerasan dalam pacaran sendiri di definisikan sebagai suatu tindakan yang menekan, merusak atau melecehkan secara seksual maupun psikologis (Bird & Melville, 1994). Adanya standar ganda yang menjadi dasar utama berjalannya suatu hubungan menunjukkan tidak hanya tujuan dan cara pandang laki ? laki dan perempuan yang berbeda, tetapi menunjukkan pula bahwa laki ? laki memiliki kekuasaan lebih besar dari perempuan dalam hubungan tersebut (Dilorio, 1989 dalam Bird & Melville, 1994). Pandangan yang terbentuk dan diyakini mengenai peran laki ? laki dan perempuan dalam suatu hubungan juga tak lepas dari peran pengasuhan orangtua dan sosialisasi peran gender dalam keluarga (Norman & Collins, 1995).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana remaja perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran memaknai relasi, cinta dan mempersepsi peran dirinya maupun pasangan mereka. Hal tersebut dipengaruhi oleh pengasuhan orangtua serta pandangan gender, sehingga mereka tetap bertahan dengan kekerasan yang terjadi sebelum akhirnya keluar dari hubungan tersebut. Sampel penelitian ini adalah tiga orang remaja perempuan yang mengalami kekerasan oleh pasangan mereka dengan usia pacaran lebih dari satu tahun. Hasil penelitian menunjukkan gambaran pola pengasuhan, ideologi gender, pemaknaan terhadap cinta, dan peran pacar serta kekerasan yang beragam dan sedemikian rupa mempengaruhi bertahannya responden dalam hubungan pacaran yang berkekerasan. Pada penelitian ini juga ditemukan data yang mengarah pada kodependensi dengan pasangan yang abusive pada ketiga responden.
In dating context, violence against women cannot be directly realized because of the inattentive principle and believe that the abusive partner will change (Sharpe & Taylor, 1999). Dating violence defined as actions in dating which elements to press, to damage and to flatter sexually or psychologically (Bird & Melville, 1994). Double standard as the way a relationship should be, shows that not only are men?s goals likely to be different from women?s but males have more power in the relationship (Dilorio, 1989 on Bird & Melville, 1994). Believe toward women and men roles in a relationship cannot be separated from the role of parenting and gender socialization on family (Norman & Collins, 1995).
The purpose of this research is to find out how teenage girls who became victim of dating violence explain their dating relationship with their partners, love, also their perception of themselves and the partners. That issues influenced by parenting and gender view that has roles to form the relationship, so they keep stay on the relationship before they find way out of the abusive relationship. Sample for this research are three teenage girls who experienced dating violence in more than one years relationship with their abusive partner. The research showed variation on parenting, gender ideology, their understanding of love, relationship and violence that affect them to stay in abusive relationship. This research also found that three respondents are trapped in codependency with their abusive partner.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Alifta Kinanti
"Terdapat stereotip di masyarakat mengenai pekerjaan maskulin dan feminin. Stereotip pekerjaan berbasis gender tersebut berbahaya karena dapat membuat seseorang yang melakukan pekerjaan yang berlawanan dengan gendernya akan merasa krisis identitas dan cenderung berperilaku menyimpang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui klasifikasi pekerjaan maskulin dan feminin serta dasar dari seseorang dalam mengklasifikasikan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Data dikumpulkan dengan menyebarkan kuesioner yang diisi oleh 3633 orang responden yang berusia 15-64 tahun dan berasal dari seluruh Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dengan bantuan software SPSS 22 dan Microsoft Excel serta metode kualitatif dengan bantuan software Nvivo 11. Dari hasil analisis, ditemukan bahwa terdapat 46 pekerjaan maskulin, 57 pekerjaan netral, dan 26 pekerjaan feminin. Sebagai tambahan, jumlah jenis kelamin yang melakukan suatu pekerjaan masih menjadi dasar yang paling kuat bagi seseorang untuk mengklasifikasi pekerjaan menjadi pekerjaan maskulin dan feminin.

There is a stereotype about masculine and feminine occupation in the society. This occupational gender stereotype will lead to several negative impact. It could make someone who do the occupation that is contrary to his gender identity will experience an identity crisis and tend to deviate. This study aims to determine the classification of masculine and feminine occupation and the underlying reason behind the classification. Data were collected by distributing questionnaires filled out by 3633 respondents aged 15-64 years and from all over Indonesia. The analysis was carried out using quantitative methods with the help of SPSS 22 and Microsoft Excel software and qualitative methods with the help of Nvivo 11 software. From the results of the analysis, it was found that there were 46 masculine jobs, 57 neutral jobs, and 26 feminine jobs. In addition, the number of sexes doing work is still the strongest basis for a person to classify work as masculine and feminine.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya Wisnu Pratama
"Konsep gender dipahami sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Di mana digambarkan bahwa laki-laki merupakan seorang yang diunggulkan, peran yang lebih menentukan dalam berbagai proses sosial dan memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada kaum perempuan. Berbagai polemik ketimpangan gender masih umum terjadi. Perempuan masih terbelenggu budaya dan norma yang lebih menempatkan mereka pada pekerjaan domestik dibanding pekerjaan di sektor publik. Karena itulah banyak pekerja perempuan yang mencoba untuk melakukan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh pekerja laki-laki seperti pada perusahaan yang bergerak di bidang teknik. Beberapa perusahaan mungkin dikatakan tidak anti terhadap pekerja perempuan, meskipun kenyataannya masih ada beberapa perusahaan yang belum berani menempatkan perempuan dalam pekerjaan operasional teknik. Dalam memahami hubungan tersebut, peneliti melakukan pengamatan terhadap para pekerja operasional teknik bergender perempuan di PT Telkom Akses Jakarta Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi stereotip gender di dalam suatu organisasi, dengan menggunakan bingkai studi kasus diharapkan di samping isu gender, ditekankan bahwa kondisi ekonomi, ras, dan orientasi seksual adalah tambahan identitas budaya yang dapat membawa seseorang di antara masyarakat atau justru mengucilkan mereka dari lingkungannya. Peneliti mendapati peran perempuan dalam pekerjaan opersional teknik tidak hanya sekedar pelengkap, tapi juga menjadi peran penting di dalam sebuah perusahaan.

The concept of gender is understood as an inherent trait of men and women who are socially and culturally constructed. Where it is described that men are superior, have more decisive roles in various social processes and have greater power than women. Various polemics on gender inequality are still common. Women are still shackled by culture and norms that place them more in domestic work than in work in the public sector. That's why many female workers try to do jobs that are generally done by male workers, such as in companies engaged in engineering. Some companies may be said to be not anti-women, even though in reality there are still some companies that have not dared to put women in technical operational work. In understanding this relationship, the researcher observed the female technical operational workers at PT Telkom Akses Jakarta Utara. The purpose of this study is to identify gender stereotypes within an organization, using a case study frame. It is hoped that in addition to gender issues, it is emphasized that economic conditions, race, and sexual orientation are additional cultural identities that can bring a person into society or exclude them from society. environment. Researchers found that the role of women in technical operational work is not only complementary, but also an important role in a company."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Nur Aini
"Dalam teori Psikologi Perkembangan dinyatakan bahwa setiap manusia memiliki tugas-tugas perkembangan dalam hidupnya. Pada masa usia dewasa muda, salah satu tugas perkembangan yang panting adalah membangun hubungan yang intim dengan orang lain (Erikson dalam; Papalia & Olds, [998). Dalam membangun suatu hubungan intim, pencarian pasangan merupakan hal yang tidak terpisahkan di dalamnya. Umumnya perempuan cenderung memilih pasangan laki-laki yang memiliki tingkat intelegensi yang lebih tinggi dan pekerjaan yang lebih mapan sebagai pasangan ideal. Sebalikuya, laki-laki cenderung memilih perempuan yang berusia lehih muda dan memiliki daya tarik fisik yang lebih sebagai pasangan ideal (Peplau, 1983; dalam Tumor & Helms, l995).
Namun kenyataannya, preferensi seorang perempuan dewasa muda untuk memilih pasangan laki-laki yang berusia lebih muda bukanlah hal yang aneh lagi pada kehidupan saat ini. Meskipun mendapat pro dan kontra dari lingkungan terdekat, terutama keluarga dan masyarakat luas, terbukti bahwa jumlah pasangan perempuan dengan laki-laki berusia lebih muda se makin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menandakan adanya pengalaman khusus yang menyertai mereka, khususnya bagi perempuan dewasa muda, baik pada masa pra pacaran maupun masa pacaran yang sedang dijalani.
Jika ditinjau secara teori, beberapa tokoh yang mengemukakan bahwa hubungan pacaran yang demikian cenderung rentan terhadap konflik, baik konflik yang berkaitan dengan faktor intenal (masalah di antara pasaingan) maupun konflik yang berkaitan dengan faktor eksternal (melibatkan orang di luar pasangan). Namun dengan semakin banyaknya perempuan dewasa muda yang menjatuhkan pilihan mereka pada pasangan yang berusia lebih muda, maka mungkin saja konflik-konflik tersebut menjadi berkurang atau bahkan berubah menjadi suatu hubungan yang menyenangkan dan langgeng hingga ke jenjang pernigkahan, Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan studi lebih jauh mengenai hubungan pacaran ini. Hal khusus yang ingin diteliti oleh penulis adalah mengenai gambaran konsep pacaran dan pengalaman berpacaran (terdiri dari alasan untuk berpacaran, konflik yang dihadapi, tanggapan orang tua dan significant athers keuntungan dan kerugian, dan perencanaan dalam kehidupan mendatang) dilihat dari sudut pandang perempuan dewasa muda. Penulis tertarik untuk memperoleh informasi dari sudut pandang perempuan, berkaitan dengan adanya pendapat bahwa perempuan cenderung memilih pasangan pria yang lua dan lebih mapan.
Tinjauan pustaka yang digunakan antara lain teori mengenai hubungan pacaran (delinisi dan konsep. alasan dan tujuan. tahapan, faktor yang mempengaruhi proses menuju hubungan pacaran, dan konflik-konflik yang dialami), perempuan dewasa muda, dan keterkaitan semua aspck tersebut.
Penulis menggunakan metode kualitatif dalam upaya memperoleh data. Hal ini dikarenakan konsep hubungan pacaran dan pengalaman berpacaran tidak terlepas pada penghayatan masing-masing individu, sehingga menjadikan mereka unik dan tidak dapat digeneralisasikan. Lewat pendekatan kualitatif juga, penulis dapat memahami hal-hal yang diteliti sebagaimana penghayatan individu yang bersangkutan. Penelitian kualitatif mengungkapkan data dari perspektif subyek yang diteliti, berusaha memahami gejala tingkah laku manusia menurut penghayatan si pelaku atau melalui sudut pandang subyek penelitian (Dooley, dalam Poerwandari, 1998). Dalam hal ini penulis menggunakan teknik wawancara sebagai teknik utama dalam memperoleh informasi dari subyek yang bersangkutan.
Untuk membantu menggali hal-hal khusus tersebut secara lebih jelas dan menangkap kompleksitas dari penghayatan tersebut secara utuh, penulis menggunakan tes kepribadian sebagai salah satu alat diagnostik tambahan dalam memperoleh data. Tes yang dipilih penulis adalah Thematic Appercepzion Test (TAT) sebagai salah satu tes kepribadian yang bersifat proyektif. TAT merupakan teknik untuk menginvestigasi dinamika kepribadian yang terrmanifestasikan dalam hubungan interpersonal dan dalam interpretasi bermakna terhadap Iingkungan. Kekuatan TAT terletak pada kemampuannya dalam mencetuskan isi dan dinamika hubungan interpersonal serta pola-pola psikodinamik yang tercakup di dalamnya (Bellalc, 1993).Sementara hubungan pacaran tidak terlepas dari ikatan hubungan interpersonal antara dua orang individu, di mana di dalamnya terkandung pandangan, dorongan, emosi, sentimen, konflik, serta kompleks pribadi. Karenanya, selain menggunakan teknik wawancara untuk menggali hal-hal yang secara sadar diungkapkan oleh subyek, penulis menilai pentingnya melakukan TAT untuk dapat membantu menggali hal-hal yang tidak disadari sehubungan dengan hal-hal yang dapat terukur dari TAT itu sendiri. Kartu-kartu TAT yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 5 kartu (kartu 4, 6GF, 9GF, 10, dan l3MF).
Subyek penelitian berjumlah 3 orang, dengan rentang usia sekitar 30 sampai 31 tahun, yang memiliki latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial yang berbeda satu sama lain. Kriteria yang dibatasi oleh penulis adalah subyek beradapada rentang usia dewasa muda (20-40 tahun) dan memiliki pasangan minimal 5 tahun lebih muda darinya.
Dalam hasilnya, ditemukan bahwa ketiga subyek memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap konsep pacaran maupun pengalaman berpacaran yang mereka alami. Dari sekian karakteristik mengenai konsep pacaran yang mereka kemukakan, dua diantaranya sama-sama menyebutkan pacaran sebagai proses menuju pemikahan dan pacar mendapatkan prioritas utama dibandingkan dengan teman dan 0rang-orang lainnya. Meskipun demikian, pernikahan tersebut bukanlah merupakan sesuatu hal yang bersifat urgent untuk dilakukan, sehingga dua di antara tiga subyek saat ini belum juga memikirkan mengenai pernikahan secara serius dengan pasangan mereka masing-masing.
Dalam hal alasan, ketiga subyek pun memiliki pendapat yang berbeda-beda. Dua dari tiga subyek sama-sama mengalami konflik yang cukup besar, berkaitan dengan pihak eksternal, yakni ketidaksetujuan orang tua mereka dan juga orang tua pasangan terhadap hubungan yang sedang jalan saat ini. Rupanya konflik ini cukup mempengaruhi kepuasan mereka terhadap hubungan yang mereka jalin. Hal ini bisa dibandingkan dengan seorang subyek lainnya, yang mendapat dukungan penuh dari kedua pihak keluarga, bahwa ia memiliki tingkat kepuasan hubungan yang lebih besar. Namun konflik dengan pasangan dan konflik internal pun kerap mewamai kehidupan berpacaran mereka, meskipun ketiganya memiliki rentang keparahan yang berbeda-beda, serta pola penyelesaian konflik yang berbcda-beda pula. Keuntungan dan kerugian juga dirasakan oleh ketiga subyek secara unik dan subyektif. Mengenai perencanaan ke depan, satu orang subyek sudah memiliki kemantapan sehingga berani untuk memutuskan akan menjalani kehidupan pernikahan lewat pertunangan yang telah dilakukan beberapa waktu silam. Sementara dua subyek lainnya, yang masih dihadapkan seputar konflik dengan keluarga, masih mcrasa ragu untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. Bahkan salah seorang diantaranya berpikir untuk mencari pasangan lain yang lebih mapan sesuai dengan harapan kedua orang luanya.
Penggunaan TAT sebagai alat bantu sekundar dalam penelitian ternyata dapat memperkaya penemuan, karena TAT terbukti mampu memberikan gambaran mengenai subyek secara lebih mendalam dan dapat membantu penulis dalam memahami subyek secara lebih utuh dari sekedar yang diperoleh dalam anamnesa. Pengalaman serta penghayatan subyek, khususnya yang bersifat tidak sadar, terhadap hubungan pacaran yang tidak terungkap dalam anamnesa ternyata terproyeksikan melalui TAT, Kelengkapan informasi yang diperoleh melalui TAT meliputi stmktur serta dorongan atau kebutuhan tidak sadar dari subyek, konflik yang sedang dialami serta bagaimana subyek mempersepsikan dan berelasi dengan orang lain serta lingkungannya.
Sebagai bahan diskusi, ditemukan bahwa ternyata tingkat kepuasan hubungan seorang perempuan dewasa muda sangatlah dipengaruhi oleh tanggapan orang tua mereka ataupun orang tua pasangan. Selain itu ketiga subyek ternyata tidak sedikitpun mempermasalahkan mengenai kondisi finansial pasangan pasangan mereka yang cenderung lebih rendah dari mereka. Hal ini dipahami oleh mereka secara baik dan penuh rasa maklum, sehingga masalah keuangan tidak terlalu menjadi masalah yang berarti bagi diri mereka-secara pribadi. Selanjutnya ditemukan bahwa kartu 9GF pada TAT terbukti kurang efektif digunakan dalam penelitian ini.
Dari segi teknis, ditemukan kesulitan dalam memperoleh subyek dan adanya pemikiran mengenai pentingnya memperoleh infonnasi dari pihak pasangan agar hasil dapat diperoleh secara menyeluruh dan lengkap. Untuk itu disarankan untuk ikut memasukkan pasangan sebagai significant other yang penting dalam melihat dinamika suatu hubungan pacaran, apapun temanya. Selain itu perlunya melakukan uji coba terlebih dahulu terhadap kartu-kartu TAT yang akan digunakan, agar pelaksanaan penelitian dapat berjalan secara lebih efektiti Meskipun demikian, secara umum TAT terbukti efektif digunakan dalam penelitian serupa dan sebagai acuan bagi psikolog dalam proses konseling nantinya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>