Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200089 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulita Sari
"ABSTRAK
Sebagai pilar utama perekonomian Indonesia, koperasi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat. Untuk mengembangkan dan memperkuat kegiatan usaha, koperasi dapat melakukan pemupukan modal melalui modal penyertaan. Pemahaman konsep koperasi, baik dari jenis usaha, hak dan kewajiban anggota, permodalan, hingga mekanisme pembagian sisa hasil usaha harus dipahami oleh pengurus, anggota, dan masyarakat. Ketidakpahaman konsep ini menyebabkan banyak terjadinya penyimpangan-penyimpangan badan usaha berbentuk koperasi. Dalih menambah modal untuk kegiatan usaha justru menimbulkan penyimpangan.Koperasi Serba Usaha Langit Biru digugat secara perdata oleh anggota karena tidak dapat membayar janji-janjinya. Untuk memperoleh kesimpulan terhadap penyimpangan konsep koperasi yang dilakukan oleh Koperasi Serba Usaha Langit Biru, dilakukan penelitan dengan bentuk yuridis normatif dengan tipologi deskriptif. Akhirnya, diharapkan masyarakat, anggota, dan pengurus koperasi dapat lebih memahami konsep dan ketentuan perundang-undangan terkait koperasi dalam menjalankan kegiatan usahanya.

ABSTRACT
As the main pillar of Indonesian economy, cooperatives are expected to improve the welfare of members and society. To develop and strengthen business activities, cooperatives can perform capital fertilization through capital participation. Understanding the concept of cooperatives, whether from the type of business, the rights and obligations of members, capital, to the mechanism of distribution of the remaining results of operations must be understood by the board, members, and society. Uncertainty of this concept causes many deviations of business entities in the form of cooperatives. The argument to increase the capital for business activities actually leads to irregularities. Langit Biru Cooperative Business Cooperation was severely sued by members for not being able to pay for its promises. To get the conclusion of deviation of cooperative concept which done by Multifunctional Cooperative of Langit Biru, conducted research with normative juridical form with descriptive typology. Finally, it is expected that the community, members, and management of cooperatives can better understand the concepts and provisions of cooperative legislation related to the running of their business activities."
2017
S69548
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devita Putri Dewi
"Perangkat organisasi koperasi merupakan bagian-bagian  yang memiliki peranan yang sangat penting untuk menjalankan sebuah koperasi. Di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pengurus dan badan pengawas koperasi harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada pada peraturan perundang-undangan di Indonesia serta memperhatikan bahwa rapat anggota merupakan perangkat organisasi koperasi yang memegang kuasa tertinggi pada koperasi. Di dalam putusan Nomor 88/Pid.B/2013/PN.SPT terdapat suatu permasalahan yaitu berupa penyelenggaraan  rapat internal para pengurus dan badan pengawas koperasi Harapan Abadi yang menghasilkan keputusan perubahan besaran Sisa hasil Kebun (SHK) yang didapatkan oleh anggota koperasi yang tidak menjual lahan plasmanya tanpa adanya pengetahuan dan persetujuan dari para anggota Koperasi Harapan Abadi.

Cooperative organizational devices are the parts that have a very important role to run a cooperative. In carrying out its duties and authorities, cooperative boards and supervisors must comply with the provisions of Indonesian Laws and noticed that the meeting of members is a cooperative organization which holds the highest authority in the cooperative. In the verdict number 88/Pid.B/2013/PN.SPT there is a problem that is the holding of internal meetings of the boards and the supervisory body of the Harapan Abadi cooperative which resulted in the decision to change the value of Sisa Hasil Kebun (SHK) obtained by members of the cooperative who did not sell their plasma land without the knowledge and approval of the members of the Harapan Abadi cooperative.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kintan Nadya Fadilla
"ABSTRAK
Hingga saat ini, terjadinya kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan umum yang menelan banyak korban luka atau meninggal dunia selalu dinilai sebagai kesalahan sopir terlepas dari laik atau tidak laiknya kendaraan yang dikemudikan. Ketidaklaikan kendaraan seharusnya dapat memberikan bayangan akan suatu kemungkinan terjadinya kecelakaan lalu lintas. Dengan menggunakan metode kualitatif dan menganalisis pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, peraturan-peraturan lain yang terkait, serta doktrin-doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi, penelitian ini membuahkan hasil bahwa korporasi yang dalam hal ini adalah perusahaan angkutan umum, secara teoretis perusahaan angkutan umum dapat dibebani pertanggungjawaban pidana atas terjadinya kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan umum karena tidak laiknya kendaraan dan perbuatan pembiaran atas ketidaklaikan kendaraan yang dapat menimbulkan kecelakaan adalah suatu bentuk kesengajaan berkeinsyafan kemungkinan dolus eventualis . Akan tetapi sampai saat ini belum pernah ada korporasi yang dijadikan sebagai subjek tindak pidana lalu lintas dikarenakan sulitnya proses pembuktian unsur di dalam persidangan dan tidak ada keinginan untuk itu. Perlu sebuah dorongan dan kemauan untuk menjadikan perusahaan angkutan umum sebagai subjek tindak pidana lalu lintas agar tidak selalu sopir yang menjadi subjek tindak pidana lalu lintas meskipun sebenarnya tindak pidana lalu lintas terjadi karena tidak laiknya kendaraan.

ABSTRACT
Up until now, the occurrence of traffic accident involving public transportation which claimed many injured or died has always been regarded as a driver error regardless of the worthiness of the vehicle. Unworthy vehicle should be able to give an idea of a possible traffic accident. By using qualitative method and analyzing corporate criminal liability in the Law of the Republic of Indonesia Number 22 Year 2009, other related regulations, as well as doctrines of corporate criminal liability, this research led to the conclusion that corporation in this case is a public transportation company, theoretically, may criminally be liable for traffic accident involving public transportation because of the unworthy vehicle, and neglecting the unworthiness of the vehicle that could lead to accident is an intent in the form of dolus eventualis. However, until now, there has never been a corporation as a subject of a traffic crime due to the difficulty of proofing elements in the trial and there is no desire for it. It needs encouragement and willingness to make public transportation company as the subject of traffic crime so that it is not always the driver who will be the subject even though the traffic crime occurs due to the unworthiness of the vehicle."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marisa Uliana
"Keberadaan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) sebagai lembaga keuangan alternatif selain Bank banyak diminati masyarakat karena KSP dapat memberikan solusi bagi masyarakat yang ingin memperoleh pinjaman dengan cara yang mudah. Pengaturan tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam yang ada memperbolehkan KSP untuk menghimpun dana dan memberikan pinjaman kepada masyarakat yang berpotensi untuk menjadi anggota. Ketentuan tersebut ternyata banyak dimanfaatkan oleh KSP untuk menghimpun dana dari masyarakat tanpa menjadikan mereka sebagai anggota KSP tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang implementasi prinsip-prinsip koperasi dan tanggung jawab pengurus pada sebuah koperasi simpan pinjam bernama Prima Delta (KSP Prima Delta) yang berada di daerah Jember. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapat bahwa KSP Prima Delta telah melanggar 5 dari 7 prinsip koperasi yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan pengurus KSP Prima Delta dapat dikenakan tanggung jawab atas tindakannya yang tidak mengadakan rapat anggota serta tidak mengembalikan tabungan anggota pada saat jatuh tempo.

The existence of Savings and Loan Cooperative as an alternative financial institution other than Bank has attracted many people since it can give the solution for those who want to obtain loan in an easy way. The prevailing regulation concerning Savings and Loan activities allow Savings and Loan Cooperative to raise funds and give loan to people who has the potential to be the member. Such regulation is in fact used by so many Savings and Loan Cooperative to raise funds from society without making them as the member of the cooperative itself.
This thesis aims to analyze the implementation of cooperative’s principles and the responsibility of cooperative’s board in one Savings and Loan Cooperative named Prima Delta (KSP Prima Delta) located in Jember. The research method used in this thesis is a normative juridicial research. The result of the research is that KSP Prima Delta has violated 5 out of 7 cooperative’s principles regulated under Law Number 25 Year 1992 concerning The Cooperative and the Board of KSP Prima Delta can be held liable for not conducting the meeting of member and for not returning the savings of its member at maturity date.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46212
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budy Supriady
"Dalam Pasal 33 UUD 1945, semangat Koperasi ditempatkan sebagai semangat dasar perekonomian bangsa Indonesia. Melalui Pasal 33 UUD 1945, bangsa Indonesia bermaksud untuk menyusun suatu sistem perekonomian usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta, yang dimaksud dengan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dalam Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 itu, tidak lain adalah Koperasi sebagaimana dikemukakan di dalam penjelasan pasal tersebut. Karena itulah, di dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, Koperasi dinyatakan sebagai bangun usaha yang sesuai dengan sistem perekonomian yang hendak dikembangkan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dikatakan mengandung kapitalisme dikarenakan prinsip-prinsip yang tertuang dalam undang-undang terbaru mengutamakan modal dan individualisme yang menjadikan ciri utama dari kapitalisme. Ini dapat dilihat dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Penelitian ini akan menguji bagaimana penerapan asas kekeluargaan yang merupakan landasan koperasi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Koperasi. Penelitian ini juga mengkaji interpretasi asas kekeluargaan hakim dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013. Hasil penelitian Penerapan asas kekeluargaan yang merupakan landasan koperasi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Banyak pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang bertentangan dengan asas kekeluargaan, yaitu Pasal 1 angka 1, Pasal 55 ayat (1), Pasal 68, Pasal 69, dan Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

In Article 33 UUD 1945, cooperative spirit was placed as the basic spirit of the Indonesian economy. Through Article 33 UUD 1945, the nation of Indonesia intends to draw up a joint venture economic system based on family principles. As noted by Bung Hatta, is a joint venture based on family principles in Article 33, paragraph 1 of the 1945 Constitution, is nothing but a cooperative, as noted in the explanation of the chapter. Therefore, in the explanation of Article 33 UUD 1945, the Cooperative expressed as a wake-up business in accordance with the economic system to be developed in Indonesia. Law No. 17 of 2012 concerning Cooperatives said to contain capitalism because of the principles contained in the latest legislation prioritizes capital and individualism that makes the main characteristic of capitalism. This can be seen in Article 1 paragraph 1 of Law No. 17 of 2012 concerning Cooperatives. This study will examine how the application of the principle of family being the foundation of the cooperative in Law No. 17 of 2012 on Cooperatives. This study also examines the interpretation of the principle of family judges in the Constitutional Court Decision No. 28 / PUU-X / 2013. Application of the principle of family research results that are the foundation of cooperatives in Law No. 17 of 2012 concerning Cooperatives are not as expected by the public. Many articles of the Law No. 17 Year 2012 concerning Cooperatives are contrary to the principle of the family, namely Article 1 paragraph 1, Article 55 paragraph (1), Article 68, Article 69 and Article 78 paragraph (2) of Law No. 17 of 2012 concerning Cooperatives.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46548
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kirana Putri Dewata
"Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis hak waris anak luar kawin dalam konteks hukum di Indonesia dengan studi kasus Putusan Nomor 169/PDT/2021/PT DKI, Putusan Nomor 668/PK/PDT/2016, dan Putusan Nomor 510/PDT/2018/PT.SMG. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku serta penerapan hukum dalam putusan-putusan pengadilan terkait hak waris anak luar kawin. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam pengaturan dan penerapan hak waris anak luar kawin di Indonesia. Anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya memiliki hak untuk menerima warisan dari ayahnya. Namun, bagian warisan yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan anak sah jika ada ahli waris lainnya. Hukum Indonesia juga menyatakan bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, kecuali jika hubungan darah dengan ayahnya dapat dibuktikan melalui tes DNA. Dalam Putusan Nomor 169/PDT/2021/PT DKI, pengadilan memutuskan bahwa anak luar kawin berhak atas warisan meskipun dengan bagian yang lebih kecil. Putusan Nomor 668/PK/PDT/2016 menekankan pentingnya pengakuan dari ayah biologis untuk memberikan hak waris kepada anak luar kawin. Sementara itu, Putusan Nomor 510/PDT/2018/PT.SMG menunjukkan kompleksitas dalam penerapan hak waris anak luar kawin, terutama dalam hal pembuktian hubungan darah. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa meskipun ada upaya untuk memberikan hak yang lebih adil kepada anak luar kawin, masih terdapat batasan dan tantangan dalam implementasi hak-hak tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi pembuat kebijakan di Indonesia untuk mempertimbangkan revisi peraturan perundang-undangan terkait hak waris anak luar kawin agar lebih sesuai dengan prinsip keadilan dan kesetaraan.

This thesis aims to analyze the inheritance rights of children born out of wedlock within the context of Indonesian law by examining the case studies of Decision Number 169/PDT/2021/PT DKI, Decision Number 668/PK/PDT/2016, and Decision Number 510/PDT/2018/PT.SMG. This study employs a doctrinal method to examine the applicable laws and the application of law in court decisions related to the inheritance rights of children born out of wedlock. The research found significant differences in the regulation and application of inheritance rights for children born out of wedlock in Indonesia. Acknowledged children born out of wedlock have the right to inherit from their father. However, the portion of the inheritance they receive is smaller compared to legitimate children if there are other heirs. Indonesian law also stipulates that children born out of wedlock only have civil relations with their mother and the mother's family unless their blood relationship with the father can be proven through DNA testing.In Decision Number 169/PDT/2021/PT DKI, the court ruled that children born out of wedlock are entitled to inheritance, although with a smaller portion. Decision Number 668/PK/PDT/2016 emphasizes the importance of recognition from the biological father to grant inheritance rights to children born out of wedlock. Meanwhile, Decision Number 510/PDT/2018/PT.SMG highlights the complexity of applying inheritance rights for children born out of wedlock, particularly in terms of proving the blood relationship. The findings of this study indicate that although there are efforts to provide fairer rights to children born out of wedlock, there are still limitations and challenges in implementing these rights. Therefore, this study is expected to provide recommendations for policymakers in Indonesia to consider revising the legislation related to the inheritance rights of children born out of wedlock to better align with principles of justice and equality."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imas Sholihah
"Penelitian ini berangkat dari permasalahan Keputusan Tata Usaha Negara pasca berlaku Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Adanya pergeseran paradigma fiktif negatif yang bermakna ditolak menjadi fiktif positif yang bermakna dikabulkan, menimbulkan akibat hukum. Keputusan fiktif positif seharusnya menjadi unsur pendukung tujuan UUAP yang menghendaki percepatan penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Namun, dalam praktik terdapat Putusan No. 175 PK/TUN/2016 mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali terhadap permohonan fiktif positif yang kemudian dijadikan yurisprudensi. Padahal, putusan permohonan fiktif positif bersifat final and binding. Kondisi demikian berpotensi menghambat tujuan UUAP dimaksud. Berdasarkan hasil penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, kasus dan konsepsional, ditemukan bahwa, akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya pergeseran paradigma keputusan fiktif negatif menjadi fiktif positif adalah demi kepastian hukum, ketentuan fiktif negatif dalam Pasal 3 UU Peratun menjadi tidak berlaku. Adanya upaya hukum Peninjauan Kembali adalah sebagai sarana corrective justice terhadap kekhilafan hakim pada penerapan judex factie putusan permohonan fiktif positif di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam penyelenggaraan pelayanan publik harus tetap memperhatikan pemenuhan persyaratan prosedur permohonan. Ketentuan fiktif positif bersifat sementara, jika good governance sudah tercapai dan dalam kondisi stabil, pengaturan fiktif positif akan ditiadakan dan diberlakukan kembali pengaturan fiktif negatif. Mahkamah Agung sebagai pemegang regulasi beracara di PTUN diharapkan terus responsif dalam mengimbangi perkembangan penerapan keputusan fiktif positif. Diperlukan kehati-hatian, kecermatan, dan pengetahuan hakim dalam penerapan judex factie pada pemeriksaan PTUN tingkat pertama.

This research departs from the problems in an administrative decision after the enactment of Act No. 30 years 2014 on Government Administration (Government Administration Act). The existence of paradigm movement from fictitious negative which is meaning rejected into the fictitious positive meaning accepted, give rise to legal consequences. A fictitious positive decision purpose should be supporting elements of Government Administration Act which requires the acceleration of organizing government administration. However, in practice there is a Decision No. 175 PK/TUN/2016 regarding Judicial Review Remedies against a fictitious positive petition was then made of the jurisprudence. Whereas, the fictitious positive decision is final and binding. These conditions could potentially hinder the purpose of Government Administration Act that requires the presence of an acceleration in the conduct of the administrative service. Based on the results of normative research with regulatory, cases, and conceptional approaches, it was found that legal consequences arising from the existing paradigm of a fictitious negative decision to fictitious positive are the provisions in article 3 negative fictional in Administrative become not valid. An attempt of Law Review is as a means of corrective justice against the judge's mistakes for judex factie application of the fictitious positive decision in administrative court. In organizing the public service must remain mindful of eligibility procedures. Fictitious positive provisions are temporary, if good governance had already been achieved and in stable condition, the fictitious positive regulation and enforced will pass back to fictitious negative. The Supreme Court as the holder of the regulation in Administrative court is expected to continue to be responsive in development of the fictitious positive application. Necessary prudence, accuracy, and the knowledge of judges in applying the judex factie on investigation Administrative court first level.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52114
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grey, Andrew
"Dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa perjanjian kawin harus didaftarkan ke Pegawai Pencatat Perkawinan. Kewajiban untuk mencatatkan perjanjian kawin bertujuan agar perjanjian perkawinan tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat yang sah bagi para pihak yaitu suami dan istri serta terhadap pihak ketiga yang terkait untuk itu. Namun dalam perkembangan saat ini yang terjadi di masyarakat, terdapat perjanjian perkawinan yang belum sempat didaftarkan namun perkawinan antara suami istri tersebut telah putus karena cerai. Akibat hukum yang dapat timbul dari kelalaian tidak mendaftarkan perjanjian perkawinan selama perkawinan berlangsung tersebut akan berdampak pada kekuatan mengikatnya perjanjian perkawinan yang telah dibuat. Hal ini dapat ditemukan pada beberapa kasus, antara lain pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 598 PK/Pdt/2016 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 585 K/Pdt/2012.
Bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, sebab penelitian ini menekankan pada penggunaan norma hukum secara tertulis, pengaturan dan pelaksanaan perjanjian perkawinan yang dihubungan dengan objek penelitian. Berdasarkan analisis kedua putusan tersebut, dapat diketahui bahwa terkait kekuatan mengikatnya perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan setelah adanya perceraian bahwa perjanjian perkawinan tetap berlaku bagi para pihak yang membuatnya, hal ini berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu tetap mengikat bagi suami-istri yang telah sepakat membuatnya, sedangkan untuk mengikat pihak ketiga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, karena pendaftaran perjanjian perkawinan untuk memberitahu kepada masyarakat luas adanya pemisahan harta suami dan istri dalam perkawinan.

On article 29 section 1 Law about Marriage, is mentioned if a marital agreement should be registered toward Marriage Registry Employee. The obligation of registering marital agreement aims so it has binding power for each following party those are husband and wife, also the related third party. However, as the development goes by in society nowadays, there are agreements which have not been registered, but the marriage between husband and wifeis over because of divorce. The legal implication which could exist from the negligence of not registering marital agreement as long as the marriage itself, that is the implication upon the binding power of created marital agreement. It could be found by several cases, such as Decision of Supreme Court Number 598 PK Pdt 2016 and Decision of Supreme Court Number 585 K Pdt 2012.
The author used Juridist Normative as the research formation, because this research is emphasizing upon the use of written norms, regulation and implementation of marital agreement which was connectedby the object of research. Based on analysis of both decisions, it can be concuded that about its binding power of unregistered marital agreement after divorce, that is marital agreement still applies for every party who createdthe agreement itself, as writen in Article 1338 Indonesian Civil Code, that is still binding for husband wife who did agree to create the agreement, whilst for third party doesn rsquo t apply the permanent binding power, because the registration of marital agreement is aiming to announce upon society about the separation of husband wife rsquo s property in a marriage.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Disha Ayu Harashta
"Skripsi ini membahas mengenai keabsahan pengangkatan anak yang dilakukan tanpa melalui penetapan pengadilan serta akibatnya terhadap hak kewarisan anak angkat. Penelitian difokuskan pada analisis yang dilakukan terhadap Putusan Nomor 27 K/Pdt/2009/ dan Putusan Nomor 2052 K/Pdt/2010. Kedua putusan tersebut memiliki inti permasalahan yang sama, akan tetapi menghasilkan putusan yang berbeda, khususnya terkait hak kewarisan anak angkat yang diangkat tanpa melalui penetapan pengadilan. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif dan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan betapa pentingnya pengangkatan anak dilakukan dengan penetapan pengadilan guna memberikan suatu jaminan kepastian hukum, khususnya terkait hak kewarisan.

This thesis discusses about legality of adoption that is done without decree of court and the implications for the inheritance rights of the adopted child. The focus of this study is to analyze Court Decision Number 27 K/Pdt/2009 and Court Decision Number 2052 K/Pdt/2010. Both court decision has the same core issue, but resulted a different decision, particularly about inheritance rights of adopted children who are adopted without decree of court. This research is normative juridicial with descriptive typology and qualitative approach. The result of this research shows how important an adoption be done by decree of court in order to provide a law assurance of the inheritance rights of adopted child.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S58363
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faisal Radithya Putra
"Dalam dunia kepailitan, tidak semua debitur dapat diajukan pailit hanya dengan orang-perorangan, melainkan membutuhkan persyaratan khusus terkait pihak yang memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) atau pailit terhadap debitur tertentu, dimana Salah satunya adalah usaha yang bergerak di sektor perasuransian. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiaban Pembayaran Utang diatur lebih lanjut syarat-syarat dan pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, termasuk debitur, kreditur, dan instansi tertentu seperti Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”). Adapun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, memperkuat peran OJK dalam mengawasi lembaga keuangan dan mengajukan permohonan pailit. Peran OJK sangat penting dalam menjaga stabilitas sektor jasa keuangan, yang mempengaruhi kepercayaan investor dan efektivitas kebijakan moneter. Studi kasus PT Adisara Wanaartha menunjukkan pentingnya peran OJK dalam mengawasi dan menegakkan hukum. Namun, di sisi lain, keputusan OJK untuk menjaga kestabilan ekonomi mengesampingkan efektivitas tuntutan pembayaran utang melalui proses kepailitan/PKPU sebagaimana dalam Putusan Nomor 240/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst. Dari sini, Penulis menekankan pada implikasi yang timbul dari pencabutan izin usaha dengan kepailitan perusahaan asuransi, dengan menitikberatkan pada kesesuaian konsep kepailitan umum dengan kepailitan yang diterapkan OJK. Lebih lanjut, metode penelitian yang digunakan bersifat doktrinal, dimana pokok permasalahan akan dianalisis dan diteliti berdasarkan bahan pustaka dalam rangka memberikan penjelasan dan menarik kesimpulan atas permasalahan tersebut. Setelah melakukan penelitian, Penulis memperoleh kesimpulan bahwa implikasi yang timbul dari pencabutan izin usaha dan kepailitan perusahaan asuransi memiliki ujung yang sama, yakni penghapusan badan hukum.

In the realm of bankruptcy, not all debtors can be declared bankrupt by individuals alone; specific requirements must be met regarding the authority to file for Suspension of Debt Payment Obligations (“PKPU”) or bankruptcy against certain debtors, including businesses in the insurance sector. Article 2 of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations further regulates the conditions and parties that can file for bankruptcy, including debtors, creditors, and certain institutions such as the Financial Services Authority (“OJK”). Additionally, Law Number 40 of 2014 concerning Insurance and Law Number 21 of 2011 concerning OJK strengthen OJK's role in supervising financial institutions and filing for bankruptcy. OJK's role is crucial in maintaining the stability of the financial services sector, which affects investor confidence and the effectiveness of monetary policy. The case study of PT Adisara Wanaartha highlights the importance of OJK's role in oversight and law enforcement. However, on the other hand, OJK's decisions to maintain economic stability can undermine the effectiveness of debt payment demands through bankruptcy/PKPU processes, as seen in Decision Number 240/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst. Here, the author emphasizes the implications arising from the revocation of business licenses and the bankruptcy of insurance companies, focusing on the alignment between general bankruptcy concepts and the bankruptcy applied by OJK. Furthermore, the research method used is doctrinal, where the main issues will be analyzed and examined based on literature to provide explanations and draw conclusions on these issues. After conducting the research, the author concludes that the implications of business license revocation and the bankruptcy of insurance companies lead to the same end, namely the dissolution of the legal entity.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>