Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 209124 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Dwi Susanto
"Offer help to quit atau memberikan bantuan untuk berhenti merokok merupakan salah satu komponen MPOWER dari WHO dalam penanggulangan masalah tembakau. Berhenti merokok pada sebagian besar orang sulit dilakukan. Hal ini disebabkan karena faktor adiksi/ketagihan, withdrawal effect, perilaku dan lingkungan. Hanya sekitar 3-5% orang yang berupaya sendiri tanpa bantuan berhasil berhenti merokok. Berbagai modalitas tersedia yang bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan berhenti merokok. Kombinasi konseling dan farmakoterapi di berbagai guideline di luar negeri terbukti meningkatkan keberhasilan berhenti merokok sekitar 35%. Program kegiatan yang telah dilakukan terdiri atas 2 kegiatan penelitian yang bertujuan untuk menilai efektivitas kombinasi konseling dan farmakoterapi yaitu varenicline untuk berhenti merokok di RS Persahabatan, Jakarta.
Dua kegiatan penelitian terkait program berhenti merokok dilakukan di klinik berhenti merokok RS Persahabatan. Pertama penelitian mengenai program berhenti merokok terstruktur pada agustus 2009 sampai Februari 2010 yang melibatkan 18 peserta. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dengan design kuasi eksperimental. Setiap responden menjalani program berhenti merokok terstruktur yang terdiri atas konseling individu, farmakoterapi (varenicline) dan konseling kelompok. Total waktu terapi berhenti merokok yang diperlukan setiap responden adalah 12 minggu. Kegiatan kedua adalah penelitian uji klinis, random, single blind yang dilakukan antara bulan Juli 2012 sampai dengan Desember 2012 yang melibatkan 80 perokok laki-laki. Terapi berhenti merokok dilakukan dalam waktu 12 minggu dan dilanjutkan 4 minggu waktu pengamatan.
Subjek penelitian dibagi kedalam kelompok kombinasi konseling dan farmakoterapi sebanyak 40 orang dan kelompok konseling plus plasebo sebanyak 40 orang. Konseling diberikan setiap minggu dan farmakoterapi yang diberikan adalah varenicline. Pada penelitian pertama, 18 peserta dapat mengikuti terapi berhenti merokok sampai selesai. Sebanyak 8 peserta ( 44,4%) berhenti merokok pada bulan pertama. Sebanyak 6 peserta (33,3%) berhenti merokok pada bulan ke-2 dan sebanyak 4 peserta (22,2%) berhenti merokok pada bulan ke-3. Beberapa Withdrawal effect atau gejala putus nikotin yang ditemukan pada peserta adalah ingin merokok kembali/ketagihan (55,56%), nafsu makan meningkat (50%), mudah marah (38,89%) dan tidak sabar (38,89%). Pada penelitian ke dua setelah pengamatan 4 minggu (minggu 1-4) setelah 12 minggu terapi menunjukkan 55% peserta kelompok kombinasi konseling dan farmakoterapi (varenicUne) dapat berhenti merokok dibandingkan kelompok konseling plus plasebo sebesar 27,5%. Kombinasi konseling dan farmakoterapi meningkatkan keberhasilan program berhenti merokok di RS Persahabatan"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dian Harlivasari
"Latar belakang: Penggunaan tembakau menimbulkan ketergantungan nikotin sehingga proses berhenti merokok menjadi sulit dan membutuhkan bantuan khusus. Keterbatasan terapi berhenti merokok di Indonesia mendorong lahirnya terapi farmakologi alternatif. Hasil penelitian preklinik menunjukkan terdapat peluang efektivitas N-acetylcistein (NAC) terhadap berhenti merokok.
Metode: Penelitian ini menggunakan uji acak plasebo terkontrol pada perokok yang dilakukan selama Januari-Desember 2018. Sebanyak 90 perokok mendapatkan perlakuan yang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu NAC 2x1200 mg dan plasebo selama 4 minggu. Pengamatan dilakukan pada minggu ke 1,2,3 dan 4. Pada akhir perlakuan dilakukan penilaian abstinence rate (AR), nilai withdrawal dan craving.
Hasil: Nilai AR pada kelompok NAC sebesar 37,7% sementara kelompok plasebo 6,7%. Pada variabel demografi yang bermakna terhadap abstinence adalah skor Fagestorm, motivasi dan nilai CO ekshalasi dasar dan percobaan berhenti merokok sebelumnya. Pada variabel akhir penelitian yaitu nilai CO ekshalasi akhir, jumlah rokok akhir, nilai withdrawal akhir dan nilai craving akhir bermakna secara statistik ( nilai p <0,001)
Kesimpulan: Abstinence rate pada kelompok NAC lebih superior dibandingkan kelompok plasebo. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan dengan durasi pemberian lebih panjang dan pengamatan terhadap continues abstinance rate (CAR).

Background: Tobacco cigarette smoking often resulted in nicotine dependence which caused difficulties in smoking cessation program which in turn requiring smokers to seek professional help. However, pharmacotherapy for smoking cessation was limited in Indonesia. Preclinical studies suggested n-acetylcysteine (NAC) might able to reduce withdrawal and craving symptoms for substance dependence particularly nicotine addiction among smokers.
Methods : This placebo controlled clinical trial was conducted between January to December 2018. This study randomly grouped 90 cigarette smokers into NAC-treated (NAC 1200 mg bid) and placebo group whose four weeks of treatment was observed. The study objective was to compare abstinence rate (AR), withdrawal, and craving symptoms using scoring system at the end of the study.
Results : The AR in NAC-treated group was 37.7% and in placebo group was 6.7%. Fagerstrom score of nicotine dependence, motivation, and base exhaled CO concentration were related to abstinence. Decrease of daily cigarette consumption and exhaled CO concentration, and changes in withdrawal and craving score, were observed among the smokers by the end of the study.
Conclusion : This preliminary study suggested feasibility and efficacy of NAC for smoking cessation. Follow-up study of NAC on AR should be carried out.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kiarra Vashti Nadira
"Tujuan: Mengetahui awareness dan hambatan yang dirasakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia dalam memberikan konseling untuk berhenti merokok bagi pasien beserta variabel yang berkontribusi terhadapnya. Metode: Studi analisis cross-sectional berupa kuesioner pada 1.288 mahasiswa kedokteran gigi se-Indonesia. Hasil: Mahasiswa sudah aware (3,98 dari 5,00) terkait konseling untuk pasien perokok, namun tetap disertai dengan hambatan (3,03 dari 5,00) yang dirasakan. Seluruh variabel tidak berhubungan dengan rerata hambatan mahasiswa. Tidak terdapat hubungan yang bermakna untuk variabel jenis kelamin, status pendidikan, wilayah perguruan tinggi, jenis perguruan tinggi, dan status merokok keluarga mahasiswa terhadap rerata awareness mahasiswa. Namun, terdapat hubungan yang bermakna antara status merokok mahasiswa dengan rerata awareness mahasiswa dimana mahasiswa yang tidak merokok memiliki awareness yang lebih baik terhadap konseling untuk membuat pasien berhenti merokok daripada mahasiswa yang merokok atau pernah merokok (OR: 2,878, 95% CI: 1,473—5,621; p= 0,002). Hambatan yang paling dirasakan mahasiswa adalah banyak pasien yang merokok tidak memiliki motivasi untuk berhenti. Kesimpulan: Mahasiswa sudah aware terkait konseling untuk pasien perokok, namun tetap disertai dengan hambatan yang dirasakan. Hal ini membutuhkan intervensi lebih pada pendidikan mahasiswa sehingga kelak, ketika menjadi dokter gigi, mahasiswa dapat memberikan konseling berhenti merokok dengan baik.

Objective: To identify awareness and barriers felt by students of the Indonesian Dental Student in providing Tobacco Cessation Counseling and the variables that contribute. Method: An analytic cross-sectional study in the form of questionnaire on 1288 dental students throughout Indonesia. Result: Students were aware (3.98 of 5.00) about Tobacco Cessation Counseling, but still accompanied by perceived barriers (3.03 out of 5.00) they felt. All variables are not related to barriers’ mean. There is no significant relationship for gender, education status, university location, type of university, and family smoking status to the mean of awareness. However, there is a significant relationship between the students’ smoking status and the mean of awareness in which non-smoking students have better awareness of Tobacco Cessation Counseling than students who smoke or have smoked (OR: 2,878, 95% CI: 1,473-5,621 ; p = 0.002). Many patients who smoke do not have the motivation to quit is the barrier that most felt by students. Conclusion: Students are already aware about Tobacco Cessation Counseling, but still accompanied by perceived barriers. This requires more intervention on education so that later, when becoming a dentist, students can provide Tobacco Cessation Counseling properly."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shera Cynthia Islami
"Latar Belakang: Berdasarkan laporan Riskesdas (2018), terdapat sekitar 77 juta perokok
berusia diatas 15 tahun di Indonesia. Banyaknya masyarakat yang mulai merokok pada
saat remaja dan peningkatan jumlah perokok remaja di Indonesia menjadikan remaja
sebagai target untuk pencegahan dan intervensi kebiasaan merokok. Pengetahuan dan
kesadaran mengenai bahaya merokok serta motivasi berhenti merokok diketahui mejadi
faktor dalam mencegah kebiasaan merokok dan memprediksi peluang seseorang berhenti
merokok. Tujuan: Untuk mengetahui kesadaran dan tingkat pengetahuan tentang bahaya
merokok pada rongga mulut serta motivasi berhenti merokok pada siswa SMA di Jakarta
beserta variabel yang berkontribusi terhadapnya. Metode penelitian: Studi analisis
cross-sectional pada 552 siswa SMA di Jakarta. Kesadaran dan tingkat pengetahuan
diukur menggunakan kuesioner penelitian AlAbdullah, dkk (2019). Kuesioner penelitian
Joly, dkk (2017) digunakan untuk mengukur tingkat motivasi berhenti merokok. Kedua
kuesioner selanjutnya melalui proses adaptasi lintas budaya, uji validitas, dan uji
reliabilitas terlebih dahulu sebelum digunakan. Pengambilan data dilakukan melalui dua
tahap yaitu total sampling di SMAN 77 Jakarta Pusat pada tahap pertama dan
convenience sampling pada tahap kedua. Hasil: Mayoritas siswa (n = 493, 89,3%) telah
sadar akan bahaya merokok pada rongga mulut. Terdapat 324 (65,72%) siswa dari siswa
yang sadar masih memiliki tingkat masih memiliki tingkat pengetahuan yang rendah,
yaitu hanya dapat mengetahui paling banyak empat dari sepuluh efek spesifik merokok
terhadap rongga mulut. Efek spesifik merokok terhadap rongga mulut yang paling banyak
diketahui oleh siswa adalah bau mulut dan yang paling sedikit siswa ketahui adalah nyeri saat mengunyah. Terdapat hubungan bermakna antara beberapa karakteristik sosiodemografi
terhadap kesadaran dan pengetahuan siswa. Siswa perempuan, memiliki niat
berhenti merokok dan belum lama merokok memiliki kesadaran lebih baik. Siswa yang
tidak pernah merokok memiliki kesadaran dan tingkat pengetahuan lebih baik. Selain itu,
motivasi berhenti merokok masih rendah pada 22 (43,1%) dari 51 siswa yang pernah
merokok. Terdapat korelasi linear antara skor motivasi berhenti merokok terhadap ratarata
nilai rapor, status berhenti merokok, lama merokok, dan niat berhenti merokok. Semakin tinggi nilai rapor, semakin lama siswa telah berhenti merokok, dan pada siswa yang memiliki niat berhenti merokok, semakin tinggi pula tingkat motivasi siswa untuk berhenti merokok, hal sebaliknya terjadi pada siswa yang semakin lama merokok. Lebih lanjut, tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat motivasi berhenti merokok terhadap kesadaran (p = 0,136) dan tingkat pengetahuan (p = 0,504) mengenai bahaya merokok pada rongga mulut. Kesimpulan: Mayoritas siswa SMA di Jakarta telah sadar bahwa merokok membahayakan rongga mulut, namun tingkat pengetahuan mengenai efek spesifik rokok terhadap rongga mulut dan tingkat motivasi berhenti merokok masih rendah. Dibutuhkan intervensi lebih lanjut untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai bahaya merokok pada remaja sebagai upaya mencegah perilaku
merokok pada remaja dan membantu remaja berhenti merokok.

Background: According to Riskesdas (2018), there are over 77 million 15-years-old and
above smokers in Indonesia. The fact that most of smokers in Indonesia start smoking
during adolescent makes it as the right target for prevention and intervention of smoking.
Awareness and knowledges about the jeopardy effect of smoking on health have known
to be protective factors for smoking. Meanwhile, motivation to stop smoking plays role
in predicting smoking cessation. Objective: To asess the awareness and knowledge about
the jeopardy effects of smoking on oral health and smoking cessation motivation among
high school students in Jakarta along with their contributing variables. Method: An
analytic questionnaire-based cross-sectional study was conducted among 552 high school
students in Jakarta. Questionnaire from AlAbdullah, et al (2019) was used to asses
awareness and knowledge. Smoking cessation motivation was assed using questionnaire
from Joly, et al (2017). Both questionnaires have undergone cross-cultural adaptation,
validity, and reliability test. There were two steps of data collection, the first step was
using total sampling on students from Public Senior Highschool number 77 in Central
Jakarta and the second step was using convenience sampling to senior high school
students in Jakarta. Results: The majority of students were aware (n = 493, 89.3%) about
the jeopardy effects of smoking on oral health. However, there were 324 (65,72%)
students that still had low knowledge level among students who aware, students
mentioned were only able to mention maximum four specific effects of smoking on oral
health. The most known effect was bad odor and the least was painful chewing. There
were significant associations between awareness with gender, intention to quit smoking,
smoking status, and duration of smoking. Female students, students who have intention to quit smoking, never smoke, and have shorter smoking duration were more likely to
aware than the contra group. With respect to knowledge, students who have never smoked
were more likely to have higher knowledge level. Aside of that, the level of smoking
cessation motivation was still low on 22 (43,1%) over 51 students who have smoked.
There are linier correlations between motivation score with academic score, abstinence
duration, smoking period, and the intention to quit smoking. The higher academic score,
the longer abstinence from smoking, the shorter smoking duration, and having intention
to quit smoking, the higher the motivation to quit smoking will be. However, there was
no any statistically significant difference between smoking cessation motivation with
awareness (p = 0.136) and knowledge (p = 0.504). Conclusion: Most of the students were
aware that smoking affects oral health. However, the level of knowledge about further
effects and smoking cessation motivation was still low. Thus, more interventions are
required to address these issues in order to prevent adolescencts from smoking and
promote smoking cessation on adolescents who smoke.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Rahadian
"Tesis ini membahas tentang bagaimana hubungan pengetahuan dan sikap dengan niat melaksanakan konseling berhenti merokok di antara mahasiswa profesi dan spesialis kedokteran gigi di RSKGM FKG UI. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain potong lintang. Sikap merupakan variabel yang paling besar mempengaruhi niat melakukan konseling berhenti merokok, setelah dikontrol oleh variabel umur, jenis kelamin, pendidikan, status merokok, dan pengetahuan. Nilai OR (OR adjusted) = 59,795 (95% CI 14,777-241,957). Hasil penelitian ini menyarankan agar ada upaya pembentukan sikap terhadap perilaku konseling berhenti merokok melalui pendidikan yang terencana, terarah, dan berkesinambungan.

This thesis discusses how the relationship between knowledge and attitudes with the intention of implementing smoking cessation counseling among students of professional and specialist dentistry in RSKGM FKG UI. This research is a quantitative study with a cross-sectional design. Attitude is the biggest variable affecting intention to quit smoking counseling, once controlled by the variables of age, gender, education, smoking status, and knowledge. OR value (OR adjusted) = 59.795 (95% CI 14.777 to 241.957). The results of this study suggest that there are efforts to establish attitudes towards smoking cessation counseling behaviors through education planned, directed, and continuous.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kolanda Maria Septauli
"Latar belakang: Sebagian besar penderita TB paru memiliki kebiasaan merokok. Merokok dapat meningkatkan risiko infeksi TB paru, juga mempengaruhi manifestasi klinis, keberhasilan pengobatan, dan mortalitas pada penderita TB paru. Selain itu, diketahui bahwa sebagian besar penderita TB paru akan berhenti merokok saat terdiagnosis TB paru, tetapi akan kembali merokok seiring berjalannya waktu jika keluhan sudah mulai berkurang. Program berhenti merokok untuk penderita TB paru seharusnya mendampingi pengobatan TB paru. Program berhenti merokok yang biasa dilaksanakan di Indonesia adalah dengan pendekatan 4T (Tanya,Telaah,Tolong nasehati, dan Tindak lanjut).
Metode penelitian: Uji acak terkontrol pada 43 penderita TB paru berjenis kelamin laki- laki yang merokok. Kelompok perlakuan diberikan pendekatan 4T berupa edukasi, konseling, dan motivasi selama 3 bulan dengan 5 kali pertemuan. Kelompok kontrol hanya diberikan self-help leaflet untuk berhenti merokok saat rekrutmen. Pada awal penelitian, data dasar kedua kelompok dikumpulkan, yakni identitas, status merokok, skala ketergantungan nikotin (fargerstrom), CO ekshalasi, dan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dasar. Selanjutnya akan dilakukan follow-up pada bulan ke-1, 2 dan 3 setelah berhenti merokok, dengan pemeriksaan catatan harian berhenti merokok, pengukuran CO ekshalasi, Arus Puncak Ekspirasi (APE), skala motivasi, dan skala Minnesota Withdrawal Scale (MNWS).
Hasil: Persentase subjek yang masih berhenti merokok atau Continuous Abstinence Rate (CAR) bulan I, II, dan III lebih baik pada kelompok perlakuan dibandingkan pada kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan, persentase berhenti merokok hingga 1 bulan (CAR I) sebesar 66,7%, hingga 2 bulan (CAR II) sebesar 57,1%, dan hingga 3 bulan (CAR III) sebesar 52,4%. Sedangkan pada kelompok kontrol, persentase berhenti merokok hingga 1 bulan (CAR I) sebesar 54,5%, hingga 2 bulan (CAR II) sebesar 45,5%, dan hingga 3 bulan (CAR III) sebesar 45,5%. Jumlah relapse pada akhir penelitian lebih banyak pada kelompok kontrol yaitu 18,2% dibandingkan 14,3% pada kelompok perlakuan. Subjek yang tetap merokok hingga akhir penelitian lebih banyak pada kelompok kontrol yaitu 18,2% dibandingkan 9,5% pada kelompok perlakuan. Gejala withdrawal yang paling banyak ditemukan adalah peningkatan nafsu makan (44,1%), mengidam rokok (6,9%), gelisah (2,3%), sulit tidur (2,3%) dan tidak sabar (2,3%). Pada akhir penelitian, tidak ada perbedaan terkait skala withdrawal pada kedua kelompok (p=0.788). Skala motivasi untuk berhenti merokok pada CAR II lebih baik pada kelompok perlakuan. (p=0,043).
Kesimpulan: Pendekatan 4T yang efektif penting untuk mempertahankan abstinence hingga bulan 1, 2, dan 3 setelah subjek memutuskan berhenti merokok (CAR I, II, III). Sebaiknya program berhenti merokok diberikan bersama dengan pengobatan TB untuk membantu penderita TB berhenti merokok dan mengurangi angka relapse merokok.

Background: Smoking increases the risk of lung tuberculosis (TB) infection and influences its clinical manifestation, treatment success rate, and mortality. Most of smoking TB patients cease to smoke when they are firstly diagnosed, but clinical symptoms improvement could suggest them to continue smoking. Smoking cessation program in TB patients were applied in Indonesia, dubbed as the 4T approach (Tanya (Ask), Telaah (Asses), Tolong nasehati (Advise and Advice), and Tindak lanjut (Arrange))
Method: We performed a randomized controlled trial in 43 male and smoking TB patients. Trial group received 4T approach consisting of education, counseling, and motivation to stop smoking for three months consisted in five session of meetings. Control group received a self-help leaflet for smoking cessation. Smoking status, Fagerström nicotine dependence scale, exhaled CO level, and peak expiratory flow rate were collected. Subjects were observed at month 1, 2 and, 3 after quit smoking. Motivation scale and Minnesota Withdrawal Scale (MNWS) were also reported during the follow-ups.
Results: Smoking cessation level during month I, II, and III (Continuous Abstinence Rate I, II and III) were higher in trial group than in control group. In trial group, the percentage of smoking cessation until 4 weeks (CAR I) was 66.7%, until 8 weeks (CAR II) was 57.1%, and until 12 weeks (CAR III) was 52.4%. In control group, the percentage of smoking cessation until 4 weeks (CAR I) was 54.5%, until 8 weeks (CAR II) was 45.5%, and until 12 weeks (CAR III) was 45.5%. The number of smoking relapses after the end of the research was higher in control group than trial group that was 18.2% compared to the trial group 14.3%. The number of still smoking also higher in control group that was 18.2% compared to trial group 9.5%. Withdrawal symptoms were increase of appetite (44.1%), cigarette cravings (6.9%), agitation (2.3%), insomnia (2.3%) and irritability (2.3%). At the end of the trial, there were no differences of withdrawal scale between groups (p=0.788). Motivation scale to stop smoking of CAR II in trial group was better than control group (p=0.043).
Conclusion: The 4T approach is effective to maintain the abstinence rate in lung TB patients until month 1, 2, and 3 (CAR I, II, and III) after quit smoking. It is advisable to
employ smoking cessation program during TB treatment to help TB patients quit smoking and reduce the rate of smoking relapse.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Catherine
"Remaja dalam menyongsong masa depannya. memeriukan pendampingan dari orang-orang yang iebih tua dan berpengalaman. Pendampingan diperlukan remaja untuk mengarahkan keinginan dan cita-cita mereka secara optimal. Program bantuan seperti itu, telah diberikan di Sekoiah Menengah Umum, yang dikenal dengan program Bimbingan dan Konseling. Namun. dan penelitian terdahulu dan hasil wawancara singkat pada beberapa siswa SMU, dirasakan keberadaan program yang penting ini, tidak begitu mendapatkan perhatian siswa. Oleh karena itu, peneliti hendak mengetahui bagaimana siswa mempersepsikan program BK sesungguhnya. Dalam peneletian ini juga akan dilihat perbedaan yang muncul antar kelompok jurusan program studi IPA dan IPS serta antar kelompok konsep diri tinggi dan rendah pada aspek kemampuan fisik. aspek daya tarik penampilan, aspek hubungan sosial dan aspek kemampuan dalam mata pelajaran sekoiah. Penelitian dilakukan pada 80 siswa/i SMU, yang duduk di kelas 111 dan sudah mendapalkan program BK selama dua tahun. Pengambrlan data dilakukan dengan penyebaran kuesloner. bertipe skala Liked.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa SMU mempersepsikan program BK panting dan bermanfaat, namun dalam pelaksanaannya program ini masih kurang diberikan eecara menarik, sehingga adakalanya menyebabkan srsvra metasa bosan dan mengantuk. Berdasarkan jurosan program studi, ditemukan perbedaan yang slgnifikan pada persepsi siswa terhadap manfaat BK dan pelaksanaan BK di sekolah. Namun, dalam persepsi tentang peranan BK di bidang bimbingan ptibadi-sosial, bimbingan belajar dan bimbingan kanr, tidak ditemukan adanya perbedaan yang slgnifikan.
Berdasarkan konsep dm, ditemukan tidak adanya pedtedaan yang slgnifikan pada persepsi siswa terhadap program BK antar kelompok konsep din tinggi dan rendah dalam aspek kemampuan fisik. Dalam ketlga aspek konsep din lainnya, yaHu aspek daya tank penampilan, aspek hubungan sosial dan aspek kemampuan daiam mata pelajaian sekolah, tidak ditemukan perbedaan yang slgnifikan pada persepsi siswa terhadap guru pembimbing BK, dan peranan BK dalam kehidupan siswa d, bidang bimbingan pnbadi-sosial dan bidang bimbingan beiajar. Walaupun daiam ketiga aspek tersebut, ditemukan juga ada perbedaan yang slgnifikan pada persepsi siswa terhadap manfaat BK, metode pelaksanaan BK dan peranan BK di bidang bimbingan karir."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2630
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Salah satu penyakit kardiovaskuler yang sering dialami oleh usia lanjut adalah
hipertensi. Berdasarkan hasil penelitian, prevalensi hipertensi pada usia lanjut
sernakin tinggi, Pada usia lebih dari 55 tahun, prevalensi hipertensi adalah 64,55%
(Katari, 1993). Sedangkan prevalensi usia lanjut dengan hipertensi pada kunjungan
pasien di Unit Gawat Darurat RS Pelni Petamburan adalah sekitar 34,03%. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kebiasaan merokok dan kegemukan
terhadap terjadinya hipertensi pada usia Ianjut dan diharapkan berguna sebagai bahan
pendidikan kesehatan pada pasien. Penelitian ini dilakukan di UGD RS Pelni
Petamburan Jakarta dengan menggunakan desain deskriptif korelasional Sampel
yang diteliti berjumlah 30 orang responden dengan kriteria usia diatas 55 tahun yang
mempunyai kebiasaan merokok atau kegemukan. Alat pengumpul data berupa
kuesioner yang berisi 20 item. Hasil analisa dengan uji statisti Chi square
menunjukkan tidak ada pengaruh antara kebiasaan merokok ataupun kegemukan
terhadap terjadinya hipertensi pada usila. Hasil perhitungan didapatkan nilai X2
hitung lebih kecil dari X2 tabel dengan alfa (11) 0,05 dan df 1. Penelitian ini
selanjutnya dapat menggunakan longitudinal case study untuk mengetahui lebih
spesifik tentang pengaruh merokok dan kegemukan terhadap terjadinya penyakitnya
penyakit hipertensi pada usila."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2003
TA5125
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tanjung, Judin Purba
"ABSTRAK
Perkembangan industri sekarang ini cukup pesat, dan jumlah tenaga pekerja tiap tahun mengalami peningkatan yang terus menerus. Diantara pekerja ini terdapat pekerja yang merokok. Jumlah produksi rokok juga tiap tahun mengalami peningkatan yang cukup tinggi.
Telah diketahui pengaruh buruk dan merugikan dari rokok terhadap kesehatan, Kanker paru, penyakit jantung, penyakit pembuluh darah, pengaruh pada wanita hamil, produktivitas kerja, absenteisme pekerja.
Program promosi kesehatan kerja merupakan suatu program yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan pekerja yang terdiri dari 10 program yaitu :
1. Program berolah raga teratur
2. Program Pengendalian Tekanan Darah
3. Program Pengendalian Lemak Darah/Anemi/Gizi
4. Program Penghentian Merokok (Smoking Cessation)
5. Program Berat Badan Ideal
6. Program Pengendalian Stress
7. Program cukup tidur
8. Program Melindungi Diri dari bahaya terhadap keselamatan &
Kesehatan kerja
9. Program Menghindari Alkohol/Narkotika
10. Program Pemeriksaan Kesehatan Pekerja berkala untuk
mengidentifikasi penyakit/gejala awal penyakit dan memperbaiki
kesehatan.
Pada program kesehatan pekerja ini faktor dorongan keluarga dan organisasi tempat kerja di ikut sertakan.
Kesimpulan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara program berhenti merokok yang dilaksanakan terhadap pekerja perokok di Rumah Sakit Sint. Carolus Jakarta dapat memberikan penurunan yang bermakna jumlah rokok yang dihisap setelah satu bulan intervensi ada kecenderungan jumlah rokok yang dihisap
mengalami kenaikan. Saran perlunya pelaksanaan program berhenti merokok yang terus menerus untuk mencapai hasil yang lebih memuaskan. Pada akhirnya masih diperlukan penelitian lain guna memperoleh gambaran pengaruh program berhenti merokok terhadap pekerja perokok yang lebih jelas.

Abstract
Presently, the development of Industry is sharply increased and the number of workers keep on increasing every year. Among them there were smoking workers. Cigarettes production are also increasing sharply. It is aware that the bad impacts if smoking for our health are lung cancer, heart disease, blood vessels disease, the impact on pregnant woman, work productivity, and the absence form work.
Work health promotion program is a program focuses to improve the workers
health which are consisting of ten program such as :
1. Regular exercise program
2. Blood pressure controlling program
3. Fatty acid Controlling Program/anemia/nutrition
4. Smoking cessation program
5. Ideal body weight program
6. Stress controlling program
7. Sufficient sleep program
8. Self protection program from danger to work safety and health
9. Alcoholic/narcotic stood back program
10. Periodicaly health controlling program to indentiticate the desease/early signal of desease and health improvement.
In this work health program, family suprot factor and work invironmental were involved.
The conclusion of this study result that there is a linking between smoking cessation program which was performing to smoking workers at Sint. Carolus Hospital, Jakarta It will be able togive a significant decreasion to the number of cigarettes which wew smoked. After a month intervension there was inclined to the number of cigarettes that smoked were increasing. Recommendation the need of smoking cessation program continually is to reach the goal more satisfy.
Finally, it is still needed another study to obtain the description of smoking cessation program to smoking workers which is clearer."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sanri Pramahdi
"Asma merupakan penyakit intiamasi kronik saluran napas, gejala umumnya sangat bervariasi dan dapat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Pada dekade terakhir ini prevalensi asma meningkat bahkan di beberapa negara dilaporkan telah terjadi kenaikan prevalensi morbiditi dan mortaliti penderita asma. Hal ini diduga karena keterlambatan diagnosis dan pemberian terapi yang kurang adekuat.
Kematian karena asma di Amerika Serikat tahun 1988 adalah 1,9/100.000 penduduk terutama lebih tinggi pada usia < 45 tahun, tahun 1979 di Kolombia angka kematian 2,06/100.000 dan menurun tahun 1994 menjadi 1,61/100.000. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia tahun 1992 menyimpulkan bahwa asma, bronkitis dan emfisema merupakan urutan ke 7 penyebab kematian atau 5,6% dari total kematian. Data di RS. Persahabatan tahun 1993-1997 mendapatkan 10 kematian yang dihubungkan dengan asma, 9 diantaranya disertai komplikasi seperti pneumonia, gagal jantung, gagal ginjal dan tumor paru.
Peniiaian dan penanganan yang adekuat merupakan kunci pokok yang menentukan apakah seorang pasien dapat teratasi serangannya, berlanjut atau harus dirawat di rumah sakit. Beberapa pasien saat serangan dapat terancam jiwanya bahkan tidak dapat tertolong. Penderita yang berisiko tinggi mengalami kematian adalah penderita yang datang dengan serangan berat, penyakit asmanya jarang dikontrol, respons sebagian atau tidak respons terhadap pengobatan, keterlambatan penggunaan steroid dan keterlambatan penilaian berat serangan baik oleh dokter atau penderita.
Menurut konsensus intemasional tahun 1992 dianjurkan 6 Iangkah dalam penanganan dan penatalaksanaan asma yaitu:
1. Partisipasi pasien dalam pengelolaan asma
2. Dapat dinilai perburukan penyakit dengan peak flow meter
3. Mengenal faktor-faktor pencetus serangan
4. Penggunaan obat-obatan
5. Penanganan serangan
6. Kontrol teratur.
Dalam penanganan serangan asma akut, agonis 132 merupakan terapi pilihan utama baik pada serangan ringan, sedang dan berat. Peranan antikolinergik dalam penatalaksanaan asma akut tergantung berat ringan serangan. Pada asma akut berat pemberian agonis 132 dianjurkan ditambah dengan antikolinergik, pada asma akut sedang pemberian kombinasi ini masih kontroversi, beberapa peneliti mengatakan pemberian kombinasi ini memberikan perbaikan yang berbeda bermakna dan sebagian lagi mengatakan tidak terdapat perbedaan bermakna dalam pemberian kombinasi ini sedangkan pada asma akut ringan pemberian kombinasi ini disebutkan tidak bermanfaat. Seperti kita ketahui antikolinergik seperti ipratropium bromida mempunyai efek bronkodilator meskipun tidak sekuat dan secepat respons pemberian agonis 132, kelebihannya adalah mempunyai masa kerja yang lama.
Kecenderungan meningkatnya angka morbid iii dan mortatiti asma merupakan permasalahan tersendiri. Salah satu yang diduga menyebabkan meningkatnya angka tersebut adalah keterlambatan diagnosis dan penanganan yang tidak adekuat di gawat darurat. Penanganan asma di gawat darurat disesuaikan dengan derajat berat serangan. Penggunaan antikolinergik dengan agonis 132 hanya diindikasikan pada serangan asma berat, sementara untuk serangan sedang dan ringan tidak diberikan antikolinergik, walau pada beberapa kepustakaan lain menuliskan manfaat antikolinergik tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T58454
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>