Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170116 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Embun Laras Mega
"Perkembangan budaya pop Jepang di Indonesia sebagai soft power, membuat banyak hal baru yang masuk ke Indonesia. Banyak istilah, konsep, hingga akhirnya subkultur baru yang muncul menyusul munculnya media-media yang berisi budaya pop dari Jepang. Seperti cosplay, idol, komunitas penggemar karakter, dan fetishist dari sebuah tipe karakter. Salah satu yang muncul dari sini adalah penggemar loli dan shota. Penggemar loli dan shota merupakan salah satu aspek di dalam budaya pop Jepang yang cukup kontroversial karena keterkaitannya dengan pedofilia. Terkadang, makna bahkan definisi jelas loli dan shota yang memiliki variasi antar individu atau antar komunitas membuat kedua fenomena ini saling berdekatan, tumpang tindih, dan bahkan saling bertabrakan. Hal ini membuat kita bertanya-tanya, apa sebenarnya makna dari loli dan shota bagi para penggemarnya dan apa yang mereka lihat. Sekaligus, membuat kita melihat gambaran yang lebih luas tentang sejauh mana teknologi dapat memunculkan ikatan antara sebuah hal yang nyata, dan yang maya.

The development of Japanese Pop Culture in Indonesia as a soft power, creates a whole new culture in Indonesia. This includes new term, concept, and a new sub-culture that appears as the result of various media from Japan. Such as: Cosplay, Idol, Character Fan Club and fetishist which comes from a certain type of character. One of the group of them is the fans of Loli and Shota. These group of fans is one of the aspect of whats inside the Japanese Pop Culture. However, this group of fans are also one of the most controversial due to the fact that it carries a relation to paedophilia. Sometimes, the meaning and even, the clear definition of loli and shota have a lot of variations between the individual or between the communities itself, makes the two phenomenon close to each other, as if it overlaps between one another and even it collides between themselves. This makes some people wonder, what is the actual definition of loli and shota for the fans and what they see through their point of view. Also, it creates a broader picture about how far wide technology can create a bond between something that is real and something that is virtual.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Mearlysha Aninda Rahmatyana
"Fenomena gelombang Hallyu atau budaya pop Korea Selatan telah muncul secara global sejak akhir 1990-an. Saat itu, penggemar hanya terbiasa untuk mengkonsumsi produk yang diberikan oleh produsen. Seiring berkembangnya zaman, kini para penggemar K-pop tidak hanya mengkonsumsi produk-produk yang disediakan oleh produsennya saja. Sebaliknya, penggemar dapat secara aktif berinteraksi, berpartisipasi, dan menjadi produser dalam fandom K-pop dengan adanya Participatory Culture. Namun, konten audio-visual yang dibuat oleh penggemar di media sosial seringkali mengandung konten imajinasi yang dapat menyebabkan perilaku fanatic dan delusional terhadap idola K-pop. Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk memahami konsep teori Online Disinhibition Suler (2004), yang menjelaskan bagaimana konten audio-visual memungkinkan terjadinya perilaku delusi dan fanatik penggemar K-pop Indonesia di dunia maya, melalui dissociative anonymity, invisibility, solipsistic introjection, dan minimization of status and authority. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, observasi di media sosial, dan pengumpulan data sekunder yang akan digunakan untuk menganalisis perilaku fanatic dan delusi penggemar K-pop di Indonesia dengan menggunakan teori Online Disinhibition, melalui konten visual imajinasi dan fiktif yang mereka buat di sosial media.

The phenomenon of the Hallyu wave or South Korean pop culture has emerged globally since the late 1990s. Back then, fans used to consume the product given by the producer. As time evolves, nowadays, K-pop fans do not only consume the products provided by the producer. Instead, fans can actively interact, participate and become the producer within the K-pop fandom with the existence of participatory culture. However, the visual content created by fans on social media often contains imaginary content that might cause fanatic and delusional behavior towards the K-pop idols. Therefore, this paper aims to understand the concept of Suler’s online disinhibition (2004) theory, explaining how visual content enables fanatic and delusional behavior of Indonesian K-pop fans in cyberspace through dissociative anonymity, invisibility, solipsistic introjection, and minimization of status and authority. This study uses qualitative methods, observation on social media, and secondary data collection that will be used to analyze the fanatic and delusional behavior of K-pop fans in Indonesia using the online disinhibition theory through the imaginary and fictive visual content they created in social media. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nadamega Dara Azzaria
"Artikel ini membahas tentang fenomena Korean Wave dan dampaknya terhadap remaja di Indonesia. Korean Wave adalah fenomena yang menggambarkan bagaimana arus budaya pop Korea mendunia sejak akhir 1990 dan mulai menjamah Indonesia pada tahun 2002. Tumbuh bersamaan dengan kemajuan teknologi dan internet membuat budaya ini lebih cepat berkembang dan tersebar luas. Ia bahkan mampu menggeser popularitas budaya populer lain dan memperoleh banyak penggemar. Selama satu dekade, Korean Wave berhasil menunjukkan dan mempertahankan eksistensinya di mata masyarakat, khususnya pada kalangan generasi muda. Hal ini tercermin dari kemunculan tren-tren Korea di kalangan remaja Indonesia, yang menunjukkan bagaimana gaya hidup sosial dan ekonomi mereka terbentuk akibat kehadiran budaya pop ini. Skripsi ini menggunakan metode sejarah dengan mengumpulkan studi literatur, berita-berita sezaman, dan wawancara remaja penggemar Korea yang berdomisili Jakarta sebagai pendukung penelitian.

This article discusses the Korean Wave phenomena and its impact to Indonesian teenagers. Korean Wave phenomena describes how Korean pop culture started to globalize at the end of 1990s and reached Indonesia in 2002. Growing in parallel with internet and advances in technology, this tide expanded faster and wide spread. It was able to exceed the other popular culture and gain many fans. For a decade, Korean Wave had shown and maintained its existence in the public rsquo s eyes, specifically among young generations. This is reflected by the emergence of Korean trends amid Indonesian rsquo s youths and how Korean culture has influenced their social and economic lifestyle. This article used historical method including literature studies, primary resource, and interviews with Korean fans living in Jakarta as supporting data. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Aziz Turhan Kariko
"Tesis ini membahas mengenai dominasi musik pop Melayu dengan melakukan analisis tesktual terhadap lagu-lagu pop Melayu, observasi pada program-program musik di televisi, dan wawancara terhadap pihak-pihak yang memiliki informasi terhadap fenomena tersebut. Tesis ini menggunakan pendekatan paradigma teori kritis untuk memperoleh gambaran mengenai teks dan dampaknya melalui media televisi. Hasil dari penelitian ini adalah diperolehnya kesimpulan, bahwa musik pop Melayu memiliki keseragaman musik yang kuat sehingga merupakan suatu fenomena dalam konteks industri budaya, juga sifatnya yang dominan karena dikukuhkan oleh program-program musik televisi yang bersifat hegemonik. Kesuksesan musik pop Melayu mendatangkan keuntungan yang tinggi untuk pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, sehingga semangat kapitalisme sangat dominan di dalam wacana musik tersebut. Peneliti juga menemukan adanya perlawanan dari pergerakan musik label indie untuk melawan dominasi pop Melayu, untuk melawan kemunduran kualitas dan kreatifitas bermusik yang dikukuhkan oleh media massa arus utama.
This thesis discusses the domination of Malay pop through textual analysis on the songs, observation on musical programs, and interviews on important figures. The data on this research was analyzed through a critical theory approach to gain an understanding of the text and it?s effects. The result of this thesis concluded that the Malay pop contains a strong uniformity which is called a phenomenon in the context of culture industry, while also being dominant because of the legitimacy created by the media. The nature of Malay pop was also very profitable for those participating in it; therefore the spirit of capitalism was also quite dominant in this context. This thesis also discusses the resistance from the indie music movement, to fight the regressive quality in music that was legitimized by the mainstream mass media."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T25904
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anandito Nindianto
"Artikel ini membahas bagaimana auto-tune dan pitch correction menjadi bagian dari budaya pop dan bagaimana teknologi ini berkontribusi terhadap revolusi industri musik di seluruh dunia. Auto-tune dan pitch correction adalah program yang digunakan untuk mengotomatisasi suara penyanyi (Hadhazy, 2010). Kemampuan kedua teknologi tersebut dalam memanipulasi suara penyanyi memicu tanggapan penggunaan auto-tune dan pitch correction sebagai sebuah praktik curang (Reynolds, 2018). Namun isu ini berubah seiring berjalannya waktu, keberadaan auto-tune menjadi salah satu program paling revolusioner saat ini. Dengan menggunakan teori disonansi kognitif oleh Leon Festinger (Harmon-Jones dan Mills, 2019) dan menyoroti fenomena auto-tune dan pitch correction, artikel ini mempelajari faktor dan alasan mengapa kedua teknologi itu digunakan oleh penyanyi di seluruh dunia. Studi ini menduga, instrumen dan suara yang tidak melalui otomatisasi, dapat mempengaruhi kualitas pertunjukan secara emosional.

This article discusses how auto-tune and pitch correction became a part of pop culture and how they revolutionized the music industry around the world. Auto-tune and pitch correction are programmes used to automate a singer’s voice up to their heart’s content (Hadhazy, 2010). Therefore, with both auto-tune and pitch correction, programmes like these were considered cheat codes (Reynolds, 2018). However, this issue changed over time. The existence of auto-tune became one of the most revolutionary programs today. By using Leon Festinger’s (Harmon-Jones & Mills, 2019) cognitive dissonance theory and taking the occurrence of auto-tune, this paper studies the factors and the reasons why auto-tune is used by singers from all over the world. The article argues that tuned instruments and voices can affect the quality of performances emotionally."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Soca Purwandini Massardi
"Mencari informasi melalui internet baik melalui media sosial mau pun portal berita online menjadi kebutuhan mayoritas masyarakat perkotaan tak terkecuali anak muda. Banyaknya informasi yang beredar membutuhkan keberagaman dalam pengemasannya. Inilah yang mendorong kemunculan situs-situs penyedia informasi yang menyasar anak muda, seperti Nyunyu.com. Situs ini memasukkan unsur budaya pop ke dalam berbagai topik artikel yang dimuat termasuk topik serius dan aktual. Dengan analisis kualitatif terhadap konten berita “Kenaikan Harga BBM” di Nyunyu.com, makalah ini berargumen mengenai unsur budaya pop yang masuk ke dalam penyajian berita. Dari hasil observasi online, ditemukan terdapat unsur budaya pop yang sengaja dimasukkan ke dalam konten artikel sesuai dengan target pasar.

Seeking information through internet either from social media or news portal is now becoming one of the primary needs among the majority of urban societies, including youngsters. The excessive number of information need various treatments. This phenomenon is one of the causes of the emergence of websites that targeted youngsters as their audience such as Nyunyu.com. This website utilises pop culture in their articles even if it is a serious or actual topic. Using qualitative analysis to one of its content, “The Rise of Fuel Prices”, I argue about pop culture becomes part of article writing or other content production. As I have observed, there are some evidences that pop culture is being included in the article based on the targeted market.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Hasea Christophorus
"Popularitas dari budaya populer Jepang seperti manga atau anime di dunia, selain berpengaruh terhadap industri kreatif dan ekonomi, juga mempunyai peran yang penting dalam pariwisata Jepang. Kota Mitaka adalah salah satu contoh daerah di Jepang yang terkena dampak dari ketenaran budaya populer Jepang dalam hal pariwisata. Penelitian ini menganalisis bagaimana pop culture tourism yang terjadi di kota Mitaka melalui Museum Ghibli. Penelitian menggunakan metode kualitatif dan analisis deskriptif dengan menggunakan data yang didapat dengan studi kepustakaan melalui berbagai sumber bacaan, yang kemudian dianalisis menggunakan kajian pop culture tourism oleh Lundberg dan Lexhagen. Berdasarkan data yang ditemukan, dinyatakan bahwa Museum Ghibli sudah menarik 650 ribu pengunjung setiap tahunnya. Lebih lanjut, dapat dinyatakan bahwa Museum Ghibli memiliki aspek-aspek penting yang dibutuhkan untuk kesuksesan pop culture tourism pada suatu destinasi budaya populer. Hal-hal seperti inovasi dalam suatu destinasi, pemahaman akan fenomena budaya populer dan memuaskan penggemarnya, serta peran teknologi telah berhasil menarik perhatian wisatawan.

The popularity of Japanese pop culture such as manga or anime in the world, as well as influencing the creative industry and the economy, also has an important role in Japanese tourism. Mitaka City is an example of an area in Japan that has been affected by the Japanese popular culture popularity in terms of tourism. This study analyzes how pop culture tourism occurs in the city of Mitaka through the Ghibli Museum. The study used qualitative methods and descriptive analysis using data obtained by literature studies through various reading sources, which were then analyzed using the study of pop culture tourism by Lundberg and Lexhagen. According to the data found, the Ghibli Museum has attracted 650 thousand visitors every year. Furthermore, it can be stated that the Ghibli Museum has important aspects needed for the success of pop culture tourism in a pop culture destination. Things such as innovation in a destination, understanding the phenomenon of popular culture and satisfy the fans, and the role of technology has succeeded in attracting tourist's attention."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Victoria Ardirachmaputri
"Visualisasi yang estetis menjadi salah satu daya tarik bagi penggemar musik Korean Pop (K-Pop). Ketertarikan penggemar ditunjukkan melalui keinginan untuk menirukan gaya busana artis K-Pop dengan menggunakan pakaian dan aksesori yang mirip dengan mode busana yang dikenakan idolanya. Artis K-Pop menggunakan produk dari merek terkemuka serta mengeluarkan official merchandise dengan warna, bentuk, dan logo yang mencirikan identitasnya. Penggunaan produk replika menjadi cara alternatif bagi penggemar untuk dapat melakukan peniruan mode busana dengan harga terjangkau. Penggemar mengunggah foto diri menggunakan pakaian dan aksesori replika pada media sosial sebagai bentuk penguatan identitas diri sebagai penggemar. Jurnal ini menggunakan metode studi literatur untuk mengulas bentuk identitas yang ditampilkan penggemar ketika menggunakan pakaian dan aksesori replika K-Pop. Penulis menemukan bahwa penggunaan pakaian dan aksesori replika bertujuan untuk memenuhi tujuan spesifik produk yang berkaitan dengan kepuasan yang didapatkan individu secara emosional. Penggemar menggunakan pakaian dan aksesori K-Pop untuk menunjukkan identitas dirinya sebagai penggemar K-Pop di lingkungannya. Dengan demikian, produk replika K-Pop digunakan untuk menunjukkan atribut yang dapat memperkuat identitas diri sebagai penggemar dalam lingkungannya.
Aesthetic visualization is one of the attractions for Korean Pop (K-Pop) fans. Fans try to mimic the fashion style by using clothes and accessories that are similar to their idol fashion. K-Pop artists use products from luxury brands and release official merchandise with colors, shapes, and logos that characterize their identities. This makes the use of counterfeit products an alternative way to imitate K-Pop artists fashion at affordable prices. Fans upload photos of themselves using K-Pop products on social media to strengthening their identity as fans. This journal uses the literature study method to review the form of identity displayed by fans when using K-Pop counterfeit products. The writer found that the use of K-Pop counterfeit products aims to meet the specific objectives of the product, which is to get emotional satisfaction. Fans use K-Pop products to show their identity as K-Pop fans in their neighborhood. Thus, K-Pop counterfeit products are used to show attributes that can strengthen self-identity as fans in their environment."
2019: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Eka Septiani
"Tulisan ini mengangkat persoalan hiperrealitas yang terjadi pada lingkup penggemar K-Pop dengan menggunakan pendekatan teori hiperrealitas dari Paul Virilio. Penggemar K-Pop mengalami hiperrealitas karena adanya fenonema picnoleptic atau kegagalan melihat realitas yang mengharuskan realitas dibangun kembali. Namun karena adanya dromology, realitas yang dibangun menjadi realitas yang tidak sebenarnya yang mengakibatkan terbentuknya hiperrealitas. Adanya budaya partisipasi dalam fandom memudahkan terbentuknya hiperrealitas dalam lingkup peggemar K-Pop, hiperrealitas yang muncul ini kemudian menghasilkan fear karena realitas tidak sesuai dengan hiperrealitas. Fear yang muncul ini kemudian mengakibatkan adanya tindakan-tindakan fanatik para penggemar K-Pop seperti, pertikaian antar penggemar, konsumerisme, dan lain sebagainya. Melalui metode fenomenologis, saya mengumpulkan data melalui studi pustaka serta riset langsung melalui media sosial, data yang diperoleh kemudian data dianalisis secara filosofis menggunakan pendekatan teori hiperrealitas dari Paul Virilio. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat bagaimana hiperrealitas terbentuk di kalangan para penggemar K-Pop dengan menggunakan pendekatan teori dari Paul Virilio. Tulisan ini membuktikan bahwa di kalangan penggemar KPop hiperrealitas terbentuk karena adanya ilusi persepsi dan relasi antara penggemar dan idola.

This article raises the issue of hyperreality occurring in the K-POP fans by using an approach to hyperreality from Paul Virilio. K-POP fans have hyperreality because of a picnoleptic fenonema or failure to see reality that requires it to be rebuilt. But with the dromology, realities built into realities that create hyperreality. The participation culture in fandom makes it easy for hyperreality to form in the K-POP sphere, this emerging hyperreality then produces fear because reality doesn't match hyperreality. That fear turned up and led to acts of rabid K-POP fans such as, strife among fans, consumerism, and so on. Through the phenomenological method, I collect data through literature review, research, and my experience as part fandom of K-POP, data obtained later data was philosophically analyzed using an approach to the hyperreality theory of Paul Virilio. The purpose of this writing is to see how hyperreality is possible among K-POP fans using a theoretical approach from Paul Virilio. This text proves that among the K-POP hyperreality fans the formation is the illusion of perception and the relationship between fans and idol."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
Unggah4  Universitas Indonesia Library
cover
Arifatus Shahira
"Popularitas Korean pop music (K-pop) mengalami peningkatan yang cukup pesat dalam beberapa tahun belakangan. Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran penggemar yang tiada henti memberi dukungan terhadap grup K-pop favoritnya melalui berbagai cara. Perilaku ini dipengaruhi oleh dua faktor, yakni identifikasi dengan komunitas penggemar (fan community identification) dan identifikasi dengan idola (fan identification). Kedua identifikasi tersebut mempengaruhi intensi perilaku (behavioral intention) mereka sebagai penggemar. Pada penelitian ini juga telah dilakukan studi komparasi antara pembentukan behavioral intention pada penggemar laki-laki (fanboy) dan penggemar perempuan (fangirl). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara fan community identification dengan behavioral intention dalam bentuk attendance intention, positive WOM intention, dan fan loyalty pada penggemar K-pop di Indonesia serta melihat pengaruh fan identification sebagai variabel mediasi dan perceived authenticity sebagai variabel moderasi. Desain penelitian yang digunakan adalah descriptive research design dengan pendekatan cross-sectional. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling method dengan kriteria sampel, yakni merupakan Generasi Z atau Milenial, menggemari minimal satu grup K-pop, merupakan anggota fandom K-pop, dan pernah menghadiri konser/event K-pop. Kemudian, diperoleh data sebanyak 128 sampel penggemar laki-laki dan 283 sampel penggemar perempuan yang kemudian diolah menggunakan metode Partial Least Square-Structural Equation Modelling (PLS-SEM) dengan software SmartPLS 4.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dari fan community identification terhadap fan identification dan behavioral intention, khususnya dalam hal attendance intention dan fan loyalty, pada penggemar laki-laki maupun perempuan. Pada penggemar perempuan, fan identification memediasi hubungan antara fan community identification dengan seluruh bentuk behavioral intention, namun pada penggemar laki-laki, fan identification hanya memediasi hubungan antara fan community identification dengan fan loyalty. Dalam hal peran perceived authenticity sebagai mediator, hasil penelitian menunjukkan bahwa perceived authenticity hanya mempengaruhi hubungan antara fan community identification dan attendance intention pada penggemar laki-laki dan hanya mempengaruhi hubungan antara fan community identification dan fan identification pada penggemar perempuan.

The popularity of Korean pop music (K-pop) has seen a significant rise in recent years. This success is largely due to the relentless support from fans who promote their favorite K-pop groups in various ways. This behavior is influenced by two factors: identification with the fan community (fan community identification) and identification with the idols (fan identification). Both types of identification impact their behavioral intention as fans. This study also conducted a comparative analysis of how behavioral intention is formed among male fans (fanboys) and female fans (fangirls). The aim of this research is to analyze the relationship between fan community identification and behavioral intention in terms of attendance intention, positive word-of-mouth (WOM) intention, and fan loyalty among K-pop fans in Indonesia. Additionally, the study examines the influence of fan identification as a mediating variable and perceived authenticity as a moderating variable. The research design used is a descriptive research design with a cross-sectional approach. The sampling method employed is purposive sampling, with the criteria being that the participants are Generation Z or Millennials, fans of at least one K-pop group, members of a K-pop fandom, and have attended a K-pop concert or event. Data were collected from 128 male fans and 283 female fans and were analyzed using Partial Least Square-Structural Equation Modelling (PLS-SEM) with SmartPLS 4.0 software. The results of the study indicate that there is a positive influence of fan community identification on fan identification and behavioral intention, particularly in terms of attendance intention and fan loyalty, among both male and female fans. Among female fans, fan identification mediates the relationship between fan community identification and all forms of behavioral intention. However, among male fans, fan identification only mediates the relationship between fan community identification and fan loyalty. Regarding the role of perceived authenticity as a moderator, the findings show that perceived authenticity only affects the relationship between fan community identification and attendance intention among male fans, and the relationship between fan community identification and fan identification among female fans."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>