Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80780 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tsaairoh
"Pekerjaan merupakan aspek fundamental bagi setiap orang untuk meningkatkan kesejahteraan. Hal ini juga berlaku bagi penderita skizofrenia, bekerja bukan hanya sebagai cara untuk mencari uang tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan sosial, penerimaan, penghargaan dan sebagainya yang dapat meningkatkan harga diri. Pekerjaan terbukti berdampak positif bagi mereka. Semua aspek tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk terapi bagi penderita skizofrenia. Namun, ada kendala yang dialami penderita skizofrenia dalam mencari dan mempertahankan pekerjaan. Salah satu permasalahan utamanya adalah stigma yang masih melekat di masyarakat. Stigma sendiri dikonseptualisasikan menjadi tiga masalah, yaitu; pengetahuan (ketidaktahuan dan informasi yang salah), sikap (praduga) dan perilaku (diskriminasi). Dengan kondisi tersebut, penderita skizofrenia biasanya tidak terbuka tentang penyakitnya dan tidak mendapatkan akomodasi yang memadai

Work is a fundamental aspect for everyone to improve welfare. This also applies to schizophrenics, working is not only a way to make money but also a part of social life, acceptance, appreciation and so on that can increase self-esteem. Work has proven to be positive for them. All these aspects can be said as a form of therapy for people with schizophrenia. However, there are obstacles that schizophrenics experience in finding and keeping a job. One of the main problems is the stigma that is still attached to society. Stigma itself is conceptualized into three problems, namely; knowledge (ignorance and misinformation), attitudes (presumptions) and behavior (discrimination). With these conditions, schizophrenics are usually not open about their illness and do not get adequate accommodation"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Maharani Hardjono
"Skripsi ini tentang ayah sebagai caregiver orang dengan skizofrenia yang dibahas dari disiplin Ilmu Kesejahteraan Sosial, menggunakan metode kualitatif deskriptif. Orang dengan skizofrenia membutuhkan caregiver untuk membantu aktivitas sehari-hari. Caregiver terkategori menjadi tiga yaitu primary, secondary, dan tertiary yang didasari pada intensitas pemberian perawatan sehari-hari dan keputusan medis bagi ODS, serta serta pemenuhan kebutuhan finansial terkait perawatan bagi ODS. Peran pemberian perawatan oleh caregiver di Indonesia masih lekat dengan gender perempuan, yang umumnya menjadi primary caregiver, dan mengalami beban yang mengganggu kesejahteraannya. Oleh karena itu menjadi penting untuk meneliti bagaimana para ayah yang sebagai kepala keluarga juga terlibat menjadi caregiver bagi anak-anaknya yang mengalami skizofenia. Mengingat bila mereka mengalami beban terkait peran sebagai caregiver berpotensi mengganggu keberfungsian sosial dan kesejahteraan ayah. Pengumpulan data penelitian ini dilakukan pada Januari hingga Juni 2024, melalui wawancara dengan dua informan yang dipilih secara accidental sampling karena berdasarkan ketersediaan dan kesediaan informan, dimana data terbatas dan yang tidak bersedia terlibat dalam penelitian. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pengalaman informan sebagai ayah dan caregiver tergolong sebagai secondary dan tertiary caregiver, dimana mereka tidak terlibat pada keputusan medis bagi ODS. Meskipun demikian, informan sebagai caregiver ayah ini juga mengalami beban sebagaimana hasil penelitian selama ini mengungkapkan dialami primary caregiver. Pengalaman beban yang dialami informan sebagai caregiver ayah dari putri-putrinya yang mengalami skizofenia adalah beban finansial. Untuk mengatasi beban tersebut, kedua informan menggunakan strategi koping yang didominasi kegiatan spiritual.

This study regarding fathers as caregivers of people with schizophrenia who are discussed from the discipline of Social Welfare Science, using a descriptive qualitative method. People with schizophrenia need caregivers to help with daily activities. Caregivers are categorized into three, namely primary, secondary and tertiary based on the intensity of providing daily care and medical decisions for people with schizophrenia. The role of providing care by caregivers in Indonesia is still closely linked to the female gender, who generally become primary caregivers, and experience burdens that interfere with their welfare.  Therefore, it is important to research how fathers who are the heads of families are also involved in being caregivers for their children with schizophrenia. Considering that if they experience a burden related to their role as caregivers, it has the potential to interfere with the social functioning and welfare of the father. The data collection of this research was carried out from January to June 2024, through interviews with two informants who were selected by accidental sampling because it was based on the availability and willingness of informants, where data was limited and those who were not willing to be involved in the research. The study revealed that the informant's experience as a father and caregiver was classified as a secondary and tertiary caregiver, where they are not involved in medical decisions for ODS. However, the informant as a father's caregiver also experienced a burden as the results of research so far revealed that the primary caregiver experienced. The experience of the burden experienced by the informant as a caregiver for the father of his daughters who have schizophrenia is a financial burden. To overcome this burden, the two informants used a coping strategy that was dominated by spiritual activities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Franciscus Adi Prasetyo
"Fokus kajian penelitian ini adalah membahas tentang transformasi orang dengan schizophrenia dari sembuh ke pulih melalui kemampuan pengendalian diri. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kemampuan pengendalian diri yang dikuasai oleh orang dengan schizophrenia dapat menghantarkannya mencapai pemulihan diri yang diperoleh melalui latihan mengelola pikiran, perasaan, dan tindakannya. Perubahan yang dicapai orang dengan schizophrenia setelah pulih meliputi perubahan cara pandang terhadap schizophrenia, rasa nyaman hidup bersama schizophrenia, kemampuan mengelola perilaku, memiliki empati, mampu beraktivitas, memiliki pengetahuan tentang gangguannya. Orang dengan schizophrenia memiliki strateginya masing-masing untuk mengembangkan kemampuan pengendalian diri sebagai cara mempertahankan pemulihan jangka panjangnya.

The main fokus of this research is discusses the transformation of people with schizophrenia from heal to recovery through sself-control abilities. This research is qualitative research with a case study approach. The results of this study prove that self-control abilities of person with schizophrenia can help him achieve self-recovery through managing his thought, feeling, and behavior. Some changes achieved by people with schizophrneia after recovery include changes in perspective on schizophrenia, feeling confortable living with schizophrenia, able to manage behavior, having emphaty, being able to activity in his commnity, having knowledge of schizophrenia. People with schizophrenia have different strategies to develop their self-control ability as a way to maintain their long-term recovery.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galih Bramudyas Yogaswara
"Skizofrenia merupakan salah satu jenis gangguan jiwa yang sering dipahami secara keliru. Mispersepsi atas gangguan skizofrenia selanjutnya berpotensi untuk melahirkan stigma sehingga memposisikan penderitanya sebagai korban. dari ketiga penderita skizofrenia yang menjadi informan, pelajaran berharga terkait dengan stigma negatif tentang penderita gangguan jiwa dapat dipahami melalui pengalaman menjalani hidup dengan skizofrenia. Ketidaktahuan tentang penyakit skizofrenia akhirnya memunculkan stigma negatif terhadap penderitanya. Ketidaktahuan tentang penyakit skizofrenia selanjutnya mendorong sekelompok orang untuk membentuk suatu komunitas yang bergerak dalam isu kesehatan jiwa melalui Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) untuk memberikan dukungan sosial. Penderita skizofrenia mengikuti berbagai macam kegiatan KPSI yang bertujuan mendorong proses pemulihan. Dari cerita penderita skizofernia yang berhasil pulih, stigma negatif tentang gangguan jiwa skizofernia diharapkan dapat berkurang atau hilang sama sekali.

Schizophrenia is a type of mental disorder that is often misunderstood. Misperceptions on the disorder have the potential in creating stigma that will left people with schizophrenia as victims. From the three people with schizophrenia who become informants to this research, a valuable lesson about the negative stigma associated with people with mental disorder can be understood through their experiences living with schizophrenia. The lack of knowledge about schizophrenia further encourages a group of people to form a community engaged in mental health issues through Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) that give social support. People with schizophrenia follow a variety of activities aimed to support the recovery process. From the stories of people that have successfully recovered, the negative stigma towards schizophrenia is hoped to diminish and even disappear altogether.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46495
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Betari Octavia P.H.
"Setiap manusia memiliki martabat dan otonomi yang diakui secara universal, termasuk orang dengan skizofrenia. Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang menghambat seseorang untuk dapat berfungsi secara sosial. Skripsi ini akan memaparkan perlakuan dalam masyarakat dan hukum bagi orang dengan skizofrenia sebagai minoritas.
Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian hukum empiris yang mencoba menggambarkan permasalahan dari diskriminasi terhadap orang dengan skizofrenia untuk mendapatkan hak kesehatan dan hak non-diskriminasi. Tindakan diskriminatif itu diakibatkan pandangan dominan bahwa orang dengan skizofrenia memiliki disabilitas psikososial, sehingga menimbulkan stigma yang membatasi kaum ini sebagai pribadi bermartabat.
Akibatnya, terdapat perubahan paradigma?entah itu instrumen hukum internasional maupun nasional?yang mencoba mengubah pandangan disabilitas dari yang disfungsional menjadi yang berpatokan pada hak asasi manusia. Akan tetapi, ketentuan hukum yang berlaku tidak dapat secara langsung menyelesaikan setiap masalah yang berkaitan dengan pengupayaan kedua hak ini. Akhirnya, tindakan dari masyarakat dan hukum sangat berpengaruh terhadap upaya pemenuhan kedua hak ini sehingga diperlukan ketentuan hukum yang memadai dan sosialisasi atau edukasi yang dapat mengimbanginya.

Every human being has dignity and autonomy that is universally acknowledged, including people with schizophrenia. Schizophrenia is a severe mental disorder that inhibits a person to function socially. This research will explain the treatment of society and law towards people with schizophrenia as a minority.
This research is an empiric legal research that seeks to describe problems of discrimination towards this minority group in an effort to obtain health and non-discrimination rights. That discriminative behavior is caused by a dominant gaze that people with schizophrenia has a psychosocial disability so that it became a stigma which limits this group as a person with dignity.
Consequently, there has been a paradigm shift?whether it is in the international or national legal instruments?which seeks to change the view of disability as dysfunctional to a view based on human rights. However, the positive law cannot directly solve every problems related to the exertion of both rights. At last, behaviors of society and law affects greatly on the fulfillment of both of these rights, so an adequate legal provision and socialization or education is needed.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56765
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Pramudita Hanjani
"Tesis ini mengkaji tentang tiga orang ibu sebagai orang tua tunggal dalam keluarga keturunan Keraton Mangkunegaran Surakarta. Mereka dituntut untuk hidup dalam peraturan unggah-ungguh (norma sopan santun) yang sesuai dengan nilai-nilai kepribadian Jawa. Permasalahan muncul saat terjadi perbedaan persepsi antara para ibu dan para tetua dalam memandang nilai-nilai kepribadian Jawa. Nilai welas asih (belas kasih), ngerti isin (tahu malu) dan jogo aji (penjagaan harga diri) menjadi sebuah landasan utama terbentuknya stigma butuh welas asih (membutuhkan belas kasihan) dan stigma rondho ompong (janda berlubang/penggoda) yang tertuju kepada para ibu. Sedangkan para tetua memiliki persepsi bahwa nilai-nilai kepribadian Jawa sudah diterapkan dengan semestinya. Dengan menggunakan metode pengamatan terlibat dan wawancara mendalam, penelitian ini menemukan fakta bahwa para ibu sebagai orang tua tunggal memiliki kepribadian tangguh atau hardiness yang menyebabkan mereka berpegang teguh kepada keputusan akan kehidupan mereka sendiri, sehingga mereka berani untuk melawan stigma dengan melakukan resistensi secara terbuka maupun tertutup. Resistensi yang dilakukan oleh para ibu memiliki tujuan sebagai bentuk pembelaan, agar para tetua dan masyarakat tidak lagi memberikan stigma kepada mereka.

This thesis discusses about three mothers as single parents in a descended family from the Surakarta Mangkunegaran Palace. They’re required to live according to the rules of unggah-ungguh (polite norms) that are in accordance with Javanese personality values. Problems arise when there are differences perceptions between the mothers and the elders in viewing Javanese personality values. The values ​​of butuh welas asih (compassion), ngerti isin (understand on shame) and jogo aji (preservation of self-respect) are the main basis for the formation of the stigma of butuh welas asih (needing compassion) and the stigma of rondho ompong (widow with holes/tempter) which is directed at the mother. Meanwhile, the elders have the perception that the values ​​of Javanese personality have been applied properly. By using the involved observation method and in-depth interviews, this study found that the mothers as single parents have a tough personality or hardiness that causes them to keep up their decisions about their own lives, so that they dare to fight stigma by doing resistance openly (public transcript) or secretly (hidden transcript). The resistance that carried out by the mothers has a purpose as a form of defense, so that elders and the community no longer stigmatize them."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benedicta Cindy Delphinia
"Pandemi COVID-19 merupakan masa-masa stress bagi masyarakat, kecemasan dan rasa takut akan adanya penyakit baru menimbulkan stigma sosial. Stigma sosial dapat berdampak buruk bagi penanganan dan pengendalian wabah. Mahasiswa memiliki peran sebagai pembawa dan pelaku perubahan serta contoh nyata. Salah satu bentuk nyata dapat diwujudkan melalui upaya pencegahan dan mengatasi stigma sosial COVID-19 di masyarakat.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stigma sosial COVID-19 di kalangan mahasiswa Universitas Indonesia dan faktor yang berpotensi menyebabkan stigma sosial COVID-19 tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi potong lintang. Populasi penelitian ini merupakan seluruh mahasiswa jenjang studi strata 1 (S1) dengan sampel sebanyak 373 responden. Data dikumpulkan melalui kuesioner daring yang diisi mandiri oleh responden. Analisis yang dilakukan meliputi analisis univariat dan bivariat menggunakan uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 31,1% responden masih memiliki stigma sosial. Analisis bivariat yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara variabel jenis kelamin, pengetahuan dan keterpaparan informasi dengan stigma sosial COVID-19. Meskipun secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan namun ditemukan kecenderungan pada variabel asal fakultas non-kesehatan, sikap, peran tokoh masyarakat, dan peran petugas kesehatan.

The COVID-19 pandemic is a stressful time for the community, anxiety and fear of a new disease causing social stigma. Social stigma can have a negative impact on the handling and control of the outbreaks. Students have a role as agents of change as well as the real examples in society. One of the real action of this role can be realized through the efforts to prevent and overcome the social stigma of COVID-19 in society.This study aims to determine the social stigma of COVID-19 among University of Indonesia students and the factors that potentially causing the social stigma of COVID-19. The method used in this research is descriptive analysis with a cross-sectional study design. The population of this study were all undergraduate students (S1) and minimum sample of 373 respondents was obtained. Data were collected through online questionnaires and filled out independently by respondents. The analysis carried out includes univariate and bivariate analysis using the chi square test.The results showed that 31.1% of respondents still had COVID-19 social stigma. The bivariate analysis conducted showed that there was no statistically significant relationship between the variables of gender, knowledge and information exposure with the social stigma of COVID-19. Although there is no statistically significant relationship, a trend was found in the non-health faculty origin variables, attitudes, the role of community leaders, and the role of health workers."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiana Dewi
"ABSTRAK
Latar Belakang : Penilaian kebutuhan orang dengan skizofrenia adalah tugas penting bagi semua pihak yang terkait sehingga dapat mengurangi hendaya dalam penurunan fungsi baik fisik, psikologis atau sosial.Tujuan: Mengetahui gambaran kebutuhan hidup orang dengan skizofrenia menurut dirinya dan caregiver. Metode:Masing-masing sembilan puluh orang dengan skizofrenia yang berobat jalan dan caregivernya di poliklinik psikiatri RSCM, dengan consecutive sampling, dengan menggunakan instrumen CANSAS, Clinical Global Impression-Severity (CGI-S) dan Global Assessment Fungtioning (GAF).Hasil :Dari 22 butir pertanyaan CANSAS rata-rata kebutuhan yang dilaporkanorang dengan skizofrenia adalah 9 kebutuhan, sedangkan caregivernya 12 kebutuhan.Reratadari Global Assessment Fungtioning (GAF) adalah 40-50, Clinical Global Impression-Severity (CGI-S) adalah2-3. Baik orang dengan skizofrenia maupun caregivernya menilai adanya masalah pada kebutuhan fisik yang lebih tinggi dibanding kebutuhan lainnya. Kesimpulan : Dalam menilai kebutuhan hidup orang dengan skizofrenia ternyata tidak hanya fokus pada kebutuhan pada gejala psikotiknya saja, tetapi kebutuhan fisik juga dinilai penting baik bagi orang dengan skizofrenianya maupun caregiver.

ABSTRACT
Background: Assessment of the needs of people with schizophrenia is an important task for all stakeholders so that they can reduce the impairment in physical, psychological or social function.AimAssessing the the needs of people living with schizophrenia based on themselves and the caregivers, and to obtain the differences between those assessment.Method:Ninety people with schizophrenia and ninety of their caregivers in RSCM outpatient clinic, using consecutive sampling. Instruments used by researcherduring the interview for people with schizophrenia and their caregivers are CANSAS, Clinical Global Impression-Severity (CGI-S) and Global Assessment Fungtioning (GAF).Result: Using CANSAS instrument, the mean total of needs reportedfor people with schizophrenia and their caregivers reported 9 and 12, respectively. The mean of Global Assessment Functioning (GAF) was range of 40-50, and Clinical Global Impression-Severity (CGI-S) was 2-3. Both people with schizophrenia and their caregivers assessed the problem of need on physical health higher than other needs.Conclusion: Assessment of the needs of people with schizophrenia was not only focused on the needs of the psychotic symptoms, but also physical needs which were considered important both for people with schizophrenia and their caregivers."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T33198
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Nadya Widyanti
"Sales (2003) mengatakan merawat anggota keluarga yang menderita penyakit kronis, misalnya skizofrenia, dapat menimbulkan perasaan terbebani dan ketegangan sehingga mengurangi kualitas hidup caregiver. Stanley dan Shwetha (2006) menjelaskan skizofrenia mengakibatkan stres tidak hanya bagi penderitanya tetapi juga bagi anggota keluarganya. Secara umum, hal ini dikenal sebagai beban caregiver yang terbagi dua, yaitu beban obyektif dan beban subyektif. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemberian intervensi psikologis pada caregiver penderita skizofrenia. Intervensi psikologis yang diberikan berdasarkan manual intervensi yang dibuat oleh National Institute of Mental Health and Neuroscience Bangalore (Varghese, Shah, Kumar, Murali, & Paul, 2002).
Penyampaian materi dan tujuan yang tertuang dalam modul tersebut akan dilakukan dengan pendekatan konseling. Penelitian ini bertujuan untuk melihat penurunan beban caregiving yang dialami oleh caregiver penderita skizofrenia. Penelitian melibatkan dua orang partisipan yang menjalani rangkaian intervensi sebanyak lima kali pertemuan. Penurunan beban caregiving dilihat berdasarkan perbedaan skor pada alat ukur Zarit Burden Interview (ZBI) yang terdiri dari 22 item dan wawancara secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang dijalankan dapat menurunkan beban pada caregiver penderita skizofrenia,yang dilihat dari penurunan skor pada alat ukur ZBI dan perubahan positif yang dirasakan caregiver.

Sales (2003) said that caring for a family member suffering from a chronic disease, such as schizophrenia, can lead to feeling overwhelmed and tension thereby reducing caregiver quality of life. Stanley and Shwetha (2006) describe schizophrenia is stressful not only for the sufferer but also for family members. This is known as caregiver burden which can be divided into objective burden and subjective burden. Therefore, it is necessary to provide psychological intervention on caregiver of people with schizophrenia. Psychological intervention given is based on a manual intervention developed by National Institute of Mental Health and Neuroscience Bangalore (Varghese, Shah, Kumar, Murali, & Paul, 2002).
Delivery of content and objectives contained in the module will be done using counseling approach. This research was conducted to see whether the intervention with the caregiver of people with schizophrenia can ease the caregiver's burden. This research involved two participants who underwent a series of interventions consists of five sessions. The decrease in caregiver burden is seen by differences in scores using Zarit Burden Interview (ZBI), which consists of 22 items, and a qualitative interview. The result showed this psychological intervention have decreased caregiver burden, as seen from ZBI scores and positive changes which caregiver perceived.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T35155
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ezra Ebenezer Soleman
"Latar Belakang: Ekspresi emosi penting untuk perkiraan kekambuhan ODS dalam rentang 9-12 bulan. ODS yang berasal dari keluarga dengan ekspresi emosi tinggi 60% mengalami kekambuhan. Pramurawat menanggung beban dalam merawat ODS serta stigma dari lingkungan. Pengetahuan yang tak cukup dapat meningkatkan stigma dan ekspresi emosi. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antar ekspresi emosi, beban, stigma, pengetahuan terhadap kekambuhan ODS.
Metode: Penelitian studi potong lintang ini menilik 80 pramurawat ODS yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSKD Duren Sawit yang diambil secara consecutive. Setelah informed consent, dilakukan pengisian kuesioner sosio-demografi, alat ukur ekspresi emosi (Family Questionaire), beban perawatan (Burden Assessment Schedule), stigma (Stigma Items), pengetahuan tentang skizofrenia (Knowledge about Schizophrenia Interview).
Hasil: Analisis bivariat menemukan hubungan bermakna ekspresi emosi, beban, stigma yang dialami pramurawat dengan kekambuhan ODS (p<0,001). Setelah dilakukan analisis multivariat ditemukan hubungan bermakna ekspresi emosi dengan kekambuhan ODS (p<0,006). Hubungan bermakna juga terlihat dari hubungan antara stigma dengan kekambuhan (p<0,004). Untuk beban dan pengetahuan tidak ditemukan hubungan bermakna dengan kekambuhan ODS.
Simpulan: Terdapat hubungan antara ekspresi emosi, stigma yang dialami pramurawat dengan kekambuhan ODS.

Background: Expressed emotion is known as predictor of relapse of person with schizophrenia in 9-12 months. Person with schizophrenia who comes from family with high expressed emotion has 60% relapse. Caregiver experiences burden of care and stigma from environment. Inadequate knowledge could increase stigma and expressed emotion. This research is aim to analyze association between expressed emotion, burden of care, stigma, knowledge of caregiver with relapse of person with schizophrenia.
Method: this research based on cross sectional design to analyze 80 caregivers of person with schizophrenia who had admited in RSUPN Cipto Mangunkusumo and RSKD Duren Sawit which has been taken consecutively. After informed consent, they answered question for socio-demography questionaire, Family Questionaire for expressed emotion, Burden Assessment Schedule for burden of care, Stigma Items, Knowledge about Schizophrenia Interview.
Result: Bivariate analysis has discovered the association between expressed emotion, burden of care, stigma which has been experienced by caregiver with relapse of person with schizophrenia (p<0,001). After multivariate anaylsis, it has been clear that expressed emotion has association with relapse (p<0,006). The association has been discovered for stigma with relapse (p<0,004). Burden of care and knowledge about schizophrenia has not associated with relapse.
Conclusion: There is association between expressed emotions, stigma which has been experienced by caregiver with relapse of person with schizophrenia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>