Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138104 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Qurratu Iffoura
"Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara di dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya dapat dipulihkan dan bersifat progresif. Penyakit ini mempengaruhi aspek fisiologis terutama penurunan pada fungsi paru. Prevalensi penyakit ini setiap tahun terus mengalami peningkatan dan diperkirakan 10 tahun kedepan akan menempati urutan ketiga penyebab kematian di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan mobilisasi dada terhadap fungsi paru pada pasien PPOK. Penelitian ini menggunakan quasi experimental design dengan pendekatan control group pre-posttest design pada 40 responden (n control =n intervesi = 20). Penelitian ini menggunakan analisis univariat: proporsi, mean dan standar deviasi. Selanjutnya analisis bivariate menggunakan Wilcoxon test, Pooled t test dan Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan secara bermakna pada nilai FEV1 (p=0,046: α=0.05). Terapi ini dapat digunakan sebagai salah satu terapi pelengkap dalam pemberian asuhan keperawatan rehabilitasi pada pasien PPOK.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a disease characterized by limited airflow in the airways that is not fully recoverable and progressive. This disease affects physiological aspects, especially the decline in lung function. The prevalence of this disease continues to increase every year and it is estimated that in the next 10 years the disease will rank third as the cause of death in the world. This study aimed to determine the effect of chest mobilization exercises on pulmonary function in COPD patients. This study used a quasi experimental design with a control group pre-posttest design approach to 40 respondents (n control = n intervention = 20). This study used univariate analysis: proportions, mean and standard deviation. Next, the bivariate analysis applied the Wilcoxon test, Pooled t test and Mann Whitney. The results showed a significant increase in the value of FEV1 (p=0,046: α=0.05). This therapy can be used as one of the complementary therapies in providing rehabilitation nursing care to COPD patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T55202
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silvony Chandra
"Latar Belakang: Perubahan sistemik pada PPOK menyebabkan terjadinya disfungsi otot yang berhubungan dengan penurunan fungsi keseimbangan. Gangguan keseimbangan menimbulkan konsekuensi terhadap kejadian jatuh. Penambahan latihan keseimbangan pada PPOK dapat meningkatkan fungsi keseimbangan, namun belum menjadi standar tatalaksana pada program rehabilitasi PPOK. Latihan ketahanan dengan menggunakan jentera dan sepeda statis menunjukkan adanya peningkatan nilai uji fungsi keseimbangan pasien PPOK, namun belum ada penelitian yang membandingkan antara kedua latihan tersebut dalam meningkatkan fungsi keseimbangan pasien PPOK.
Tujuan: Menilai efek latihan jentera dan latihan sepeda statis selama delapan minggu terhadap perbaikan fungsi keseimbangan pasien PPOK.Metode. Uji klinis teracak terhadap pasien PPOK stabil grup A,B,C dan D pada usia 55-80 tahun. Subjek dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok jentera dan kelompok sepeda statis. Kedua kelompok mendapat program rehabilitasi paru selama delapan minggu. Dilakukan evaluasi fungsi keseimbangan dengan menggunakan Berg Balance Scale BBS pada awal penelitian, 4 dan 8 minggu setelah mulai penelitian.
Hasil: Terdapat 16 subjek PPOK yang menyelesaikan penelitian. Didapatkan peningkatan yang signifikan secara statistik pada nilai BBS baik pada latihan jentera maupun pada latihan sepeda statis setelah delapan minggu latihan dengan nilai akhir BBS 51,88 dan 50,25 secara berurutan. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik antara selisih peningkatan nilai BBS latihan jentera dan latihan sepeda statis dengan nilai tengah 3,00 dan 3,50 secara berurutan.
Kesimpulan: Nilai BBS menunjukkan perbaikan bermakna secara statistik baik pada latihan jentera maupun sepeda statis. Tidak terdapat perbedaan efek yang bermakna secara statistik antara latihan pada kedua kelompok tersebut.

Background: Systemic changes in COPD result in muscle dysfunction that associated with decreased balance function. Impaired balance has consequences for falling events. The addition of balance exercises to COPD can improve balance function, but it has not yet become the standard treatment for COPD rehabilitation programs. Endurance exercises using treadmill and static cycle show an increase in balance function test of COPD patients, but no studies have compared the two exercises in order to improve the balance function of COPD patients.
Aim: To assess the effects of treadmill and static cycle exercise for eight weeks on improving balance function of COPD patients. Method. Randomized Clinical trials of stable COPD patients on A, B, C and D group at age 55 80 years. Subjects were divided into two groups, treadmill and static cycle group. Both groups received pulmonary rehabilitation program for eight weeks. Evaluation of balance function using Berg Balance Scale BBS at the beginning of the study, 4 and 8 weeks after the study.
Results: There were 16 subjects of COPD who completed the study. There was a statistically significant increase in the value of BBS in both treadmill and static cycle group after eight weeks of exercise with a final BBS score of 51.88 and 50.25 respectively. There was no statistically significant difference between the improvement value of BBS in treadmill and static cycle exercise with median values of 3.00 and 3.50 respectively.
Conclusion: The BBS score showed statistically significant improvements in treadmill and static cycles exercise. There was no statistically significant different effect of exercises in both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamed Ismail
"Latar belakang: Eksaserbasi PPOK berhubungan dengan dampak yang cukup besar pada kualitas hidup dan aktivitas sehari-hari. Mayoritas pasien mengalami setidaknya satu eksaserbasi per tahun dan eksaserbasi telah dikaitkan dengan penurunan progresif dalam VEP1 dan dengan laporan yang berbeda-bedaada ketidakpastian apakah eksaserbasi meningkatkan tingkat penurunan fungsi paru.
Metode: Penelitian ini penelitian deskriptif dengan metode potong lintang yang menganalisis hasil spirometri pada pasien PPOK dan membandingkan dengan data spirometri tahun sebelumnya dan melihat perubahan VEP1. Jumlah sampel keseluruhan penelitian ini adalah 100 pasien yang sudah terdiagnosis PPOK dan rutin kontrol ke poli asma/PPOK RS persahabatan dari tahun 2011sampai 2013.
Hasil: Sebanyak 100 subjek diambil untuk penilitian ini. Sebagian besar pasien adalah laki-laki , 96 % ( n = 96 ) . Usia rata-rata adalah 66,5 tahun ( SD ± 7 tahun dan 95 % CI ) BMI subjek adalah 22.88 ( SD ± 3,95 & 95% CI ). Status merokok adalah; bekasperokok ( 89 %, 95 % CI ), merokok 3 %, dan 8 % yang tidak pernah merokok. Keparahan penyakit berdasarkan GOLD adalah; Derajat ringan 7 %, Sedang 45 %, berat 41% dan sangat berat 7 %. Penurunan VEP1terlihat pada 73 % subjek ( n = 73 ) dan penurunan VEP1 rata-rata 117mL per tahun. Subjek dalam penelitian kami ditemukan eksaserbasi tingkat tahunan rata-rata 2,4 per tahun. Kami idak menemukan korelasi yang bermakna dengan jumlah eksaserbasi dengan jumlah eksesabasi( p = 0,005) dan terdapat korelasi yang bermakna dengan jumlah eksaserbasi dan tingkat keparahan penyakit (p = 0,005 ). Kami tidak menemukan korelasi penurunan VEP1 dengan BMI (p = 0,602 ), Indeks Brinkman (p = 0,462) atau komorbiditi.
Kesimpulan: Penilitian ini terdapat hubungan yang bermakna dengan penurunan VEP1 dan tingkat keparahan penyakit dengan frekuensi eksaserbasi. Kami tidak menemukan hubungan yang bermakna dengan jumlah eksesabasi dengan BMI, Brinkman Index atau komorbiditi.

Introduction: Exacerbations of COPD are associated with considerable impact on quality of life and daily activities. The rate at which exacerbations varies greatly between patients. Majority of patients experience at least one exacerbation per year and exacerbations have been linked to a progressive decline in FEV1and with varying reports there is uncertainty as to whether exacerbations increase the rate of decline in lung function.
Method: We conducted a descriptive, cross-sectional study on COPD patients who were on regular follow up at our hospital since 2011. Spirometry at enrollment was compared with previous year’s spirometry and event-based exacerbations were inquired from the patient and from inpatient and outpatient hospital medical records.
Result: A total of 100 patients were included in the study. Majority of patients were males, 96% (n= 96). The mean age was 66.5 years (SD ±7 years and 95% CI) The BMI of the subjects was 22.88 (SD± 3.95 & at 95% CI). Smoking status of the subjects were; past smokers (89%, 95% CI), current smokers, 3%, and 8% who never smoked. Disease severity per GOLD were; Mild disease 7%, Moderate 45%, Severe 41% and very Severe 7%. Decline in FEV1 was observed in 73% subjects (n=73) and a mean decline of 117mL/year. Subjects in our study reported 288 exacerbations during the study with a mean annual exacerbations rate of 2.4 per year. FEV1 decline hada significant correlation with number of exacerbations (p=.0005) and also there was significant relationship with disease severity (p=0.005). We did not find a correlation of decline in FEV1 with BMI (p=.602), Index Brinkman (p=.462) or comorbidities.
Conclusion: There was a significant correlation with decline in FEV1 and disease severity with the total number of exacerbations. We also found a significant correlation with disease severity as per GOLD stage,however, we did not find a significant correlation between BMI, Brinkman Index or the comorbidities of the subjects with number of exacerbations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59124
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atikah Yunda Setyowati
"Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara akibat dari kombinasi dua penyakit pernapasan, yaitu bronkitis kronis dan emfisema. Pada penelitian sebelumnya ditemukan bahwa piroksikam mengikat reseptor formil peptida-1 (FPR-1) untuk menghambat aktivasi neutrofil dan mengurangi pelepasan anion superoksida dari neutrofil yang diinduksi N-Formil-L-metionin-L-leusil-L-fenilalanin (fMLF) secara in vitro. Pada penelitian ini, dilakukan eksperimen secara in vivo pada antagonis FPR-1 yaitu piroksikam terhadap histologi paru. Penelitian ini menggunakan mencit betina DDY yang dibagi menjadi 6 kelompok: kontrol dan kontrol negatif yang diberikan CMC Na 0,5% secara oral, kontrol positif diberikan inhalasi budesonid 1mg/kg BB/hari, serta 3 kelompok variasi dosis piroksikam 0,026mg/20gBB mencit/hari; 0,052mg/20gBB mencit/hari; 0,104mg/20gBB mencit/hari secara oral. Mencit dipaparkan asap rokok (6 batang rokok/hari selama 8 minggu), kemudian diobati baik dengan piroksikam atau budesonid selama 3 minggu. Dalam studi histologi, dilakukan pewarnaan Periodic acid–Schiff (PAS) dan masson’s trichrome. Berdasarkan penelitian, Dosis 0,026mg/20gBB piroksikam memberikan perbedaan bermakna pada penebalan dinding bronkus (p<0,05). Dosis 0,026mg/20gBB piroksikam memberikan perbedaan bermakna pada jumlah sel goblet (p<0,05). Dosis 0,104mg/20gBB piroksikam memberikan perbedaan bermakna pada proporsi fibrosis (p<0,05). Berdasarkan hasil penelitian, aktivitas anti-inflamasi piroksikam dapat dikaitkan dengan penurunan penebalan dinding bronkus, jumlah sel goblet, dan proporsi fibrosis.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is given by the symptoms of airway limitation of two respiratory disease, chronic bronchitis and emphysema. On the previous experiment found that piroxicam binds to formyl peptide receptor-1 (FPR-1) to inhibit neutrophil activation and reduce superoxide anion that released from neutrophil induced by N-Formyl-L-methionyl-L-leucyl-L-phenylalanine (fMLF) with in vitro method. In this study, in vivo experiments were conducted on the FPR-1 antagonist piroxicam on lung histology. This experiment is done by using female DDY mice, divided into 6 different groups: control and negative control were given CMC Na 0,5% orally, positive control was given 1mg/kg BW/day of budesonide inhalation, and three variation dose groups of piroxicam 0,026mg/20gBW mice/day; 0,052mg/20gBW mice/day; 0,104mg/20gBW mice/day orally. Mouse were exposed to CS (6 cigarettes/day for 8 weeks), then treated with piroxicam either budesonide for 3 weeks. In lung histological studies, Masson’s trichrome and Periodic acid–Schiff (PAS) staining were performed. Doses 0,026mg/20gBW piroxicam significantly reduced bronchial wall thickening (p<0,05). Doses 0,026mg/20gBW piroxicam significantly reduced number of goblet cells (p<0,05). Doses 0,104mg/20gBW piroxicam significantly reduced fibrosis proportion (p<0,05). Based on this result, the anti-inflammation activity of piroxicam may be attributed to the reduction of bronchial wall thickening, number of goblet cells, and fibrosis proportion."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Any Safarodiyah
"Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK merupakan penyakit dengan penurunan fungsi paru, yang melibatkan stres oksidatif pada patogenesisnya. Likopen diketahui merupakan salah satu karotenoid utama pada jaringan paru dengan aktivitas antioksidan sangat kuat. Penelitian potong lintang ini dilakukan di RSUP Persahabatan, Jakarta Timur, melibatkan 47 subjek dengan tujuan mengetahui korelasi antara kadar likopen serum dengan fungsi paru pada penderita PPOK. Karakteristik subjek dan asupan likopen didapatkan melalui wawancara menggunakan food frequency questionairre FFQ semi-kuantitatif. Kategori diagnosis PPOK didapatkan dari rekam medis atau wawancara. Status gizi ditentukan berdasarkan Indeks Masa Tubuh IMT , fungsi paru ditentukan menggunakan spirometri, dan kadar likopen serum diukur dengan High Performance Liquid Chromatography HPLC . Semua subjek laki-laki, terbanyak berusia ge;60 tahun, hampir separuh bekas perokok berat, 51 berstatus gizi normal. Asupan likopen 4.407 256 ndash;18.331 mg/hari, lebih rendah daripada asupan orang sehat. Kadar likopen serum 0,57 0,25 mmol/L, setara dengan orang sehat. Terdapat korelasi positif p=0,001; r=0,464 antara kadar likopen serum dengan VEP1/KVP, namun tidak terdapat korelasi kadar likopen serum dengan VEP1/Prediksi dan KVP/Prediksi.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease COPD is a disease with decreasing pulmonary function, involving oxidative stres on its pathogenesis. Lycopene is one of the main carotenoids in lungs, with very potent antioxidant property. This cross sectional study was conducted at Persahabatan Hospital Jakarta, involving 47 subjects, aiming to investigate the correlation between serum lycopene level and lung function in COPD subjects. Interview was used to assess subjects rsquo characteristics and lycopene intake using semi quantitative food frequency questionnaire FFQ . COPD grouping was gathered from medical records or interview. Body mass index BMI was used to determine nutritional status, lung function test conducted by spirometry, while lycopene serum level was assessed using High Performance Liquid Chromatography HPLC method. All subjects were male, majority ge 60 years old, almost half ex heavy smokers, about 51 were in normal nutritional status. Lycopene intake was 4,407 256 ndash 18,331 mg day, lower compared to healthy subjects rsquo . Serum lycopene level was 0.57 0.25mmol L, similar to normal level in healthy individuals. There was a correlation p 0.001 r 0.464 between serum lycopene level and FEV1 FVC, but no correlations between serum lycopene level and FEV1 , neither was FVC . "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasby Pri Choiruna
"ABSTRAK
Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dapat memiliki efikasi diri dan kualitas
hidup yang rendah akibat gejala sesak napas dan batuk. Penggunaan inhaler dengan
benar dapat mengatasi gejala-gejala tersebut. Mayoritas pasien PPOK masih
menggunakan inhaler dengan tidak tepat. Latihan penggunaan inhaler dapat
memperbaiki teknik penggunaan inhaler serta diharapkan dapat meningkatkan efikasi
diri dan kualitas hidup pasien PPOK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh latihan penggunaan inhaler terhadap efikasi diri dan kualitas hidup pasien
PPOK. Desain penelitian yang digunakan yaitu quasi experiment dengan nonequivalent
control group pretest-postest. Tiga puluh enam pasien PPOK dipilih menggunakan
consecutive sampling dan dibagi menjadi kelompok yang mengikuti latihan penggunaan
inhaler dan kelompok yang tidak mengikuti latihan penggunaan inhaler. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat peningkatan efikasi diri pasien PPOK secara bermakna sebesar
9,33 skor setelah latihan penggunaan inhaler (p=0,001; p<0,05) dan terdapat perbedaan
perubahan efikasi diri secara bermakna sebesar 6 skor dibandingkan pasien PPOK yang
tidak mengikuti latihan penggunaan inhaler (p=0,000; p<0,05). Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kualitas hidup pasien PPOK secara bermakna
dengan penurunan skor sebesar 10,355 setelah latihan penggunaan inhaler (p=0,001;
p<0,05) dan terdapat perbedaan perubahan kualitas hidup secara bermakna sebesar 6,55
skor dibandingkan pasien PPOK yang tidak mengikuti latihan penggunaan inhaler
(p=0,000; p<0,05). Terdapat pengaruh latihan penggunaan inhaler terhadap efikasi diri
dan kualitas hidup pasien PPOK sehingga latihan penggunaan inhaler direkomendasikan
kepada perawat untuk diberikan kepada pasien PPOK.

ABSTRACT
Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) can have low selfefficacy
and quality of life due to symptoms of shortness of breath and cough. Proper
use of inhaler is able to overcome these symptoms. The majority of COPD patients are
still using inhaler incorrectly. Inhaler use training can improve technique of inhaler use
and is expected to improve self-efficacy and quality of life in COPD patients. The
purpose of this study was to determine the effect of inhaler use training on self-efficacy
and quality of life in COPD patients. The research design used quasi experiment with
nonequivalent control group pretest-postest. Thirty-six patients with COPD were
selected using consecutive sampling and were divided into groups that followed the
inhaler use training and those who did not follow the inhaler use training. The results
showed that there was a significant improvement on self-efficacy in COPD patients by
9.33 score after the inhaler use training (p=0.001; p<0.05) and there was a significant
difference on self-efficacy change of 6 scores compared to COPD patients who did not
follow the inhaler use training (p=0.000; p<0.05). The results also showed that there
was a significant improvement on the quality of life in COPD patients with a decrease
in the score of 10.355 after the inhaler use training (p=0.001; p<0.05) and there was a
significant difference on the quality of life change of 6.55 scores compared to the
COPD patients who did not follow the inhaler use training (p=0.000; p<0.05). There
was an influence of the inhaler use training on self-efficacy and quality of life in COPD
patients so that the inhaler use training is recommended to the nurses to be given to
COPD patients."
2018
T49011
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Lely N. M.
"Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit paru yang menetap yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara yang menetap dan bersifat progresif dikarenakan abnormalitas saluran napas dan/atau alveolus yang biasanya disebabkan oleh pajanan gas atau partikel berbahaya. Laporan ini dimaksudkan untuk menganalisis pemberian Asuhan Keperawatan dengan penerapan Model Adaptasi Roy pada pasien kelolaan utama dan 30 pasien resume dengan menggunakan metode studi kasus, laporan tentang penerapan latihan pernapasan untuk mengurangi sesak dan meningkatkan toleransi aktivitas pada pasien PPOK dan penerapan RDOS untuk menilai tanda-tanda distres pernapasan. Hasil menunjukkan masalah keperawatan yang muncul adalah hambatan pertukaran gas, nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, ketiddakberdayaan dan ketidakefektifan manajemen kesehatan. Model Adaptasi Roy dapat diterapkan dalam asuhan keperawatan pada pasien PPOK untuk mampu beradaptasi terhadap penyakitnya.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a persistent lung disease that can be prevented and treated, characterized by limited persistent and progressive air flow due to airway abnormalities and / or alveoli which is usually caused by exposure to harmful gases or particles. This report aims to analyze the apllication of Roy Adaptation Model to primary care nursing and the 30 patient resumes using case study methods, the application of respiratory training to reduce dispnea and increase activity tolerance in COPD patients and the application of RDOS to assess the signs of respiratory distress. The results showed nursing problems arise were impaired gas exchange, imbalanced nutrition less than body requirements, powerlessness and ineffective health management. Roy  Adaptation Model can be applied in nursing care for patients with COPD  to adapted the ability of their the disease."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nury Nusdwinuringtyas
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi latihan otot-otot pernafasan yang spesifik terhadap pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK). Untuk mencapai tujuan ini digunakan jenis deskriptif-analitis. Metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang menyangkut masing-masing variabel dependen ,dan variabel independen .Sedangkan metode analitis ,yaitu randomized clinical trial untuk mengetahui efek latihan otot pernafasan.
Dilakukan alokasi random sehingga didapatkan 8 pasien PPOK yang masuk dalam latihan pernafasan, dan 8 pasien yang masuk dalam latihan pemulihan. Sedangkan 7 orang pasien PPOK lagi tidak diberikan intervensi dan tidak melalui alokasi random ,dimasukkan sebagai kontrol dalam penelitian ini. Kelompok pernafasan mendapat latihan pernafasan diafragma + Pursed Lip Breathing (PLB). Latihan pernafasan dilakukan tiap hari di rumah , dan 3 kali se minggu datang ke Instalasi Rehabilitasi Medik untuk latihan dengan supervisi. Kelompok pemulihan berlatih dengan sepeda statis. Kelompok pemulihan berlatih 3 kali se minggu di Instalasi Rehabilitasi Medik, berlatih di bawah supervisi. Intervensi diberikan selama 8 minggu. Metoda analisis dilakukan sebagai berikut : Analisis univariat untuk mengetahui frekuensi karakteristik masing-masing kelompok. Sedangkan analisis bivariat (uji-t berpasangan, uji Wilcoxon) untuk mengetahui efek akibat intervensi.
Hasil dari penelitian sebagai berikut: Pada kelompok pernafasan didapati kekuatan otot ekspirasi (MEP) tampak meningkat bermakna. (p< 0,05), derajat sesak berkurang ( p>O,05), dan kemampuan berjalan meningkat dengan bermakna (p(0,05). Namun, pada kelompok pernafasan dijumpai pula peningkatan tahanan jalan udara (Raw) (p>0,05). Pada kelompok pemulihan didapati penurunan udara residu (RV] paling besar meskipun tidak bermakna (p>0,05), kesegaran jasmani (V02 maksimum) meningkat (p>0,05). Pada kelompok kontrol didapati penurunan kekuatan otot ekspirasi (MEP) mendekati bermakna (p>0,05). Kekuatan otot inspirasi (MIP) memberikan hasil tidak seperti harapan, meskipun tidak bermakna tampak MIP justru menurun pada ke dua kelompok dengan intervensi, dan meningkat pada kontrol (p>0,05).
Dari hasil penelitian tersebut di atas diperoleh kesimpulan sebagai berikut: latihan pemafasan dan pemulihan, ke duanya memperbaiki kualitas hidup yang dibuktikan dengan meningkatnya kemampuan berjalan. Keberhasilan ke duanya didapat dengan pendekatan yang berbeda, latihan pemafasan dengan meningkatnya kekuatan otot ekspirasi, menyebabkan sesak berkurang, dengan demikian kualitas hidup membaik. Latihan pemulihan dengan terjadinya peningkatan kesegaran jasmani, didapati kualitas hidup yang membaik. Dengan demikian disarankan pemberian latihan otot pernafasan, bila latihan yang diberikan dimaksudkan untuk mengontrol sesak, dan latihan pemulihan bila bertujuan meningkatkan kesegaran jasmani. Selain hal tersebut di atas harus diingat bahwa pada latihan pernafasan diafragma + PLB, dijumpai peningkatan tahanan jalan udara. Sedangkan latihan pemulihan meskipun udara residu menurun paling besar, hal tersebut menyebabkan kekuatan otot inspirasi menurun.

The purpose of this study was to examine the efficacy of targeted respiratory muscle training in patient with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). The study was conducted using descriptive-analytical method. The descriptive method would result in information related to any dependent and independent variable. The analytical method of randomized clinical trial based the study of the effect of respiratory muscle training.
A random allocation was done resulted in 8 (eight) patients with COPD belonged the breathing exercise group, 8 (eight) patients received general exercises reconditioning. The other 7 (seven) patients with COPD belonged to a control group with no intervention and without random allocation. The respiration group underwent diaphragmatic breathing exercises + Pursed Lip Breathing (PLB). Breathing exercises were done daily at home and 3 (three) times a week, under supervision at The Instalation of Rehabilitation Medicine, Dr.Cipto Mangunkusumo Hospital. The recoditioning group received exercises with ergocycle, 3 (three) times a week which lasted for 8 (eight) weeks under supervision at The Institution. The method of analysis was done as follows : Univariat analysis was conducted to study the frequency characteristics of groups. Bivariat analysis (paired-t test, Wilcoxon test) was conducted to study the effect of intervention.
Result of the study were as follows: The respiration group showed increased expiration muscle strength (MEP) significantly (p<0,05), degree of dyspnea decreased (p>0,05) and walking ability increased significantly (p'(0,05). However, the airway resistance (Raw) increased (p>0,05). In the reconditioning group decreased of residual volume (RV) was observed insignificantly (p>0,05) physical fitness (V02 Max) increased (p>0,05). In the control group decrease of respiratory muscles strength was observed almost significantly (p>O,05). The inspiratory muscle strength did not show result as expected, but decreased insignificantly in both groups with intervention and increased in the control group (p>0,05).
The conclusion of the study were as follows: Breathing excercises and reconditioning resulted in better quality of life as shown by increase in walking ability Both successes derived of different approaches: breathing exercises group by increase of expiratory muscle strength resulted in decrease of dyspnea and increase in quality of life. On the other side, reconditioning group resulted in better physical fitness and to better quality of life. Respiratory muscle training was recommended when the excersises were intended to control dyspnea and reconditioning was done if physical fitness was intended. We have to be aware of the increase of airway resistance in the diaphragmatic breathing excersises group + PLB. In the reconditioning group inspite of most decrease of residual air, there were decrease of inspiratory muscle strength.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T5152
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Massie, Juliana G.E.P.
"Keluhan sesak napas atau dispnea merupakan gejala umum yang selalu dikeluhkan oleh pasien PPOK. Pengelolaan dispnea pada penderita PPOK di tatanan layanan kesehatan, selain menggunakan terapi farmakologi juga dengan pemberian terapi non farmakologi. Terapi non farmakologi untuk penderita PPOK tersebut meliputi 3 aspek utama, yaitu olah napas/breathing, olah pikiran/thinking dan olah fungsional/functioning
Tatalaksana non farmakologi untuk kasus PPOK sebagian besar berfokus pada upaya kontrol pernapasan melalui teknik Pursed Lip Breathing. Namun belum banyak penelitian yang mengkaji pengaruh kontrol pikiran dalam mengatasi keluhan dispnea pasien PPOK. Penelitian ini menggabungkan antara kontrol pernapasan melalui latihan Pursed Lip Breathing (PLB) dan kontrol pikiran melalui latihan Progressive Muscle Relaxation (PMR).
Penelitian ini merupakan penelitian quasy experiment dengan pendekatan pre-post test design pada 20 responden di setiap kelompok intervensi. Kelompok intervensi I diberi kombinasi latihan PLB dan PMR selama 10 menit, 2 kali sehari, selama 7 hari. Sedangkan kelompok intervensi II diberi kombinasi latihan PLB selama 10 menit, 2 kali sehari, selama 7 hari.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna pada derajat dispnea setelah pemberian kombinasi latihan PLB dan PMR (p = 0,000; α = 0,05). Dengan demikian, kombinasi latihan PLB dan PMR merupakan salah satu intervensi yang efektif untuk menurunkan derajat dispnea pada pasien PPOK.
Rekomendasi pada penelitian ini adalah diperlukannya pengembangan program terapi komplementer di pendidikan dan pelayanan keperawatan untuk modifikasi standar asuhan keperawatan dengan memasukkan terapi komplementer kombinasi latihan PLB dan PMR dalam asuhan keperawatan pasien PPOK. 

Shortness of breath or dyspnea are common symptoms that are always complained of by Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) patients. Management of dyspnea in patients with COPD are pharmacological therapy and non-pharmacological therapy. Non-pharmacological therapy for patients with COPD includes 3 main aspects, namely breathing, mind processing and functional functioning.
Non-pharmacological management for COPD cases focuses mostly on respiratory control efforts through the Pursed Lip Breathing technique. But not many studies have examined the effect of mind control in overcoming complaints of COPD dyspnea patients. This study combines breathing control through Pursed Lip Breathing (PLB) exercise and mind control through Progressive Muscle Relaxation (PMR) exercise.
This research is a quasy experiment with a pre-post test design approach to 20 respondents in each intervention group. The intervention group I was given a combination of PLB and PMR exercises for 10 minutes, 2 times a day, for 7 days. While the intervention group II was given a combination of PLB exercises for 10 minutes, 2 times a day, for 7 days.
The results showed a significant difference in the degree of dyspnea after PLB and PMR exercises (p = 0.000; α = 0.05). The combination of PLB and PMR exercises is an effective intervention to reduce the degree of dyspnea in COPD patients.
The recommendation in this study is the need to develop complementary therapy programs in education and nursing services for modification of nursing care standards by incorporating complementary therapy in combination with PLB and PMR exercises in the nursing care of COPD patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T54756
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Prilia Damaranti
"PPOK merupakan penyakit pernapasan kronis penyebab morbiditas dan mortalitas terbanyak dengan dampak pembiayaan yang cukup tinggi di Indonesia. Clinical Pathway (CP) adalah bagian dari pelaksanaan tata kelola klinis rumah sakit dan salah satu tools dalam mewujudkan sistem kendali mutu dan kendali biaya di era JKN. Efektivitas kepatuhan penerapan clinical pathway (CP) terhadap luaran klinis pasien pada beberapa penelitian menunjukkan hasil yang positif. RS Paru Respira Yogyakarta telah menetapkan CP PPOK sebagai CP prioritas, namun dalam proses evaluasi kepatuhan CP belum menggunakan seluruh komponen PPA seperti yang diatur dalam Permenkes Nomor 30 Tahun 2022. Paradigma pelayanan kesehatan saat ini adalah value-based healthcare sehingga perlu dilakukan evaluasi dampak kepatuhan CP terhadap luaran klinis pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepatuhan CP terhadap luaran klinis pasien PPOK, dan proses penerapan kepatuhan CP PPOK di RS Pusat Paru Respira Yogyakarta tahun 2022. Desain penelitian adalah observasional (cross sectional) dengan pendekatan mix method. Pengambilan data metode kuantitatif menggunakan rekam medis pasien rawat inap dengan diagnosis utama PPOK tahun 2022 (n=57) dan metode kualitatif dengan wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. Hasil penelitian kuantitatif didapatkan tingkat kepatuhan CP PPOK sebesar 87,7%, ada hubungan yang signifikan antara beban kerja DPJP dengan kejadian komplikasi (p value=0,003) dan antara kepatuhan CP dengan luaran klinis yaitu komplikasi (p value=0,05 dan OR=6,75), faktor yang paling berpengaruh pada luaran klinis pasien adalah kepatuhan terhadap CP. Metode kualitatif, berdasarkan perspektif 10 variabel dalam teori Gibson dan Mathis-Jackson, didapatkan hasil yang baik pada variabel sikap. Untuk variabel pengetahuan, supervisi, komunikasi, pelatihan, SDM, standar kinerja, sarana prasarana, insentif dan struktur organisasi masih perlu peningkatan. Untuk meningkatkan kepatuhan CP diperlukan komunikasi yang efektif antara pembuat dan pelaksana CP, pemahaman dan komitmen penuh para PPA, dukungan manajemen untuk rutin meninjau ulang tata laksana CP, meningkatkan sosialisasi, pelatihan, sarana prasarana, kebutuhan SDM, fasilitas IT penunjang serta regulasi terkait pelaksanaan CP.

COPD is a chronic respiratory disease that causes the most morbidity and mortality with a high cost impact in Indonesia. Clinical Pathway (CP) is part of the implementation of hospital clinical governance and one of the tools in quality and cost control system in JKN era. The effectiveness of clinical pathway (CP) compliance to patient clinical outcomes in several studies has shown positive results. Respira Pulmonary Hospital Yogyakarta has designated CP COPD as a priority CP, but in the process of evaluating CP compliance, it has not used all Profesional Caregiver components as stipulated in Health Ministerial Regulation No. 30 of 2022. The current paradigm of health services is value-based healthcare, so it is necessary to evaluate the impact of CP compliance on the patient's clinical outcome. This study aims to determine the association of CP compliance to the clinical outcome of COPD patients and the process of implementing COPD CP compliance at the Respira Pulmonary Hospital Yogyakarta in 2022. The research design is observational (cross sectional) with mix method approach. Quantitative method data collection using inpatient medical records with a primary diagnosis of COPD in 2022 (n=57) and qualitative method using with in-depth interviews, observation and document review. The results of quantitative study showed that COPD CP compliance rate is 87.7%, there is a significant relationship between doctor in charge of services workload with the incidence of complications (p value=0.003) and between CP compliance with clinical outcomes of complications (p value=0.05 and OR=6.75), factor that most influenced the patient's clinical outcome was CP compliance. Qualitative methods, based on the perspective of 10 variables in the theory of Gibson and Mathis-Jackson, showed good results on attitude variables. Knowledge, supervision, communication, training, human resources, performance standards, infrastructure, incentives and organizational structure variables still need improvement. To improve CP compliance, an effective communication between CP makers and implementer are required, full understanding and commitment of Profesional Caregivers, management support to regularly review CP governance, improve socialization, training, infrastructure, human resource needs, supporting IT facilities and regulations related to the implementation of CP are required."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>