Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149826 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rosita Magdalena Halim
"Masa pre-sekolah merupakan usia golden era pada anak. Usia 4-6 tahun adalah kelompok usia anak yang sudah mendapatkan pendidikan semi formal seperti TPA. Pada usia tersebut adalah sangat penting untuk mengetahui perkembangan anak. TPA RSPAD Gatot Soebroto adalah TPA yang berada di bawah asuhan Departemen Anak dan Departemen Psikiatri RSPAD Gatot Soebroto, namun belum pernah dilakukan pemeriksaan perkembangan anak di tempat tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan personal sosial, adaptif-motorik halus, bahasa dan motor kasar pada anak usia 3-6 tahun di TPA RSPAD Gatot Soebroto. Penelitian dilakukan dengan kuesioner pada orang tua anak dan pemeriksaan Denver II pada seluruh anak yang ada di TPA. Studi ini dilakukan pada 17 anak yang terdaftar di TPA. Sebanyak 3 anak ditemukan dengan suspek keterlambatan perkembangan. Seorang anak dengan suspek keterlambatan pada aspek personal-sosial, adapatif-motorik halus, motorik kasar dan berbahasa. Satu orang anak dengan suspek keterlambatan pada semua aspek kecuali bahasa dan satu orang lainnya dengan suspek keterlambatan pada semua aspek kecuali motorik kasar. Studi ini menyimpulkan bahwa sebanyak 17,6% anak usia 3-6 tahun di TPA RSPAD Gatot Soebroto adalah anak dengan suspek keterlambatan perkembangan pada pemeriksaan Denver II. Oleh karena itu, disarankan agar dilakukan deteksi dini secara berkala pada anak yang ada di TPA RSPAD Gatot Soebroto sehingga keterlambatan perkembangan tersebut dalam diatasi sedini mungkin.

The pre-school period is the golden age of a child. Age of 4-6 years is when children began to receive semi-formal education such as TPA. TPA RSPAD Gatot Soebroto is a daycare under the Department of Pediatrics and the Department of Psychiatry, RSPAD Gatot Soebroto. It is important to be able to detect the child’s development at this golden stage. However, there has never been a child development screening conducted in this TPA. This research was conducted to determine the personal social, adaptive-fine motor skills, language and gross motor skills development in children aged 3-6 years at TPA RSPAD Gatot Soebroto. The study was conducted with a questionnaire on the child's parents and a Denver II examination for all children in the TPA. This study was conducted on 17 children who are registered in the TPA. A total of 3 children were suspected to have a delayed development; one with suspicion of delay in all aspects (personal-social, adaptive-fine motor, language, and gross motor); one other is suspected with delay in all aspects except language and another is suspected with delay in all aspects except gross motor skills. This study concluded that 17.6% of children aged 3-6 years at TPA RSPAD Gatot Soebroto were in suspicion of having developmental delays during the Denver II examination. Therefore, this research recommends to do regular developmental early detection for at TPA RSPAD so developmental delayed can be detected and treated as early as possible."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Vinca Nekezia Reynalda
"Latar belakang: Tingkat penggunaan gadget yang tinggi pada anak bertentangan dengan rekomendasi oleh American Academy of Pediatrics dan Ikatan Dokter Anak Indonesia yang betujuan untuk memastikan anak mendapat stimulasi adekuat dari lingungan sekitar untuk mendukung perkembangan neurologis mereka. Selain itu hubungan terkait pengaruh penggunaan gadget pada perkembangan neurologis juga belum banyak diteliti terutama pada anak di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui pengaruh penggunaan gadget yang dapat memengaruhi perkembangan neurologis anak usia 1-2 tahun serta faktor risiko yang turut memengaruhi.
Metode: Penelitian kasus kontrol ini menggunakan data primer yang diperloleh melalui wawancara orang tua/ wali anak serta hasil penilaian perkembangan neurologis. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat dan Klinik Anakku Pondok Pinang, Jakarta Selatan.
Hasil: Diperoleh sebanyak 162 subjek dengan perbandingan kasus dan kontrol 1:1 berdasarkan rentang usia yang sesuai. Hubungan antara faktor risiko dan perkembangan neurologis anak dianalisi menggunakan uji chi-square. Ditemukan 3 faktor risiko yang signifikan memengaruhi perkembangan neurologis anak yakni durasi penggunaan gadget (p = 0,011, OR = 2,816 1,241-6,389), waktu diberikannya gadget (p =0,004, OR = 4,738, IK 95% = 1,509-14,880) dan jenis gadget (p =0,046, OR = 0,509, IK 95% = 0,262-0,991). Jenis gadget touchscreen (p =0,035 OR=0,479, IK 95%=0,242-0,948) dan gadget yang diberikan setiap waktu (p =0,006 OR=5,054, IK 95%=1,589-16,075) juga menunjukkan hasil signifikan pada analisis multivariat yang dilakukan dengan uji regresi logistik.
Simpulan: Durasi penggunaan >3 jam dan pemberian gadget setiap waktu berpengaruhterhadap keterlambatan perkembangan neurologis anak sedangkan jenis gadget layar sentuh merupakan faktor protektif terhadap keterlambatan perkembangan anak usia 1-2 tahun

Background: Increasing gadget use in children is contrary to the recommendation of the American Academy of Pediatric and Ikatan Dokter Anak Indonesia which were released to make sure that children receive adequate stimulation from surroundings to support their neurological development. On top of that, such association has not been investigated especially among children in Indonesia.
Objectives: To identify the effect of gadget use on neurological development in children aged 1-2 years old and its associating risk factors.
Method: This case control study collects primary data thorough interview with parents or legal guardians and assessment on neurological development. Data was collected from Poliklinik Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo, Central Jakarta and Klinik Anakku Pondok Pinang, South Jakarta.
Result: In this study, 162 subjects were chosen with equal ratio of cases and controls 1:1 according to the their age range. Analysis of association between risk factors and neurological development in children performed using chi-square test shows that three factors have significant association in affecting neurological development in children aged 1-2 years old. Those risk factors were duration of gadget use (p=0,011, OR = 2,816 IK = 1,241-6,389), occasion of gadget use (p = 0,004, OR = 4,738, CI 95% = 1,509-14,880), and types of gadget (p = 0,046, OR = 0,509, CI 95% = 0,262-0,991). Touch screen gadget (p = 0,035 OR=0,479, CI 95%=0,242-0,948) and gadget given at all times (p = 0,006 OR = 5,054, CI 95% = 1,589-16,075) also showed significant results in multivariate analysis using logistic regression test.
Conclusion: Duration of gadget use above 3 hours per day and gadget given on all occasions are significant risk factors for neurological development delay in children aged 1-2 years old. Whereas touchscreen gadget is a protecting factor against neurological developmental delay in children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
""This book collates different viewpoints on how social networking sites can be integrated in education, highlighting both formal and informal uses of social interaction tools as learning tools"-- Provided by publisher."
Hershey, PA: Information Science Reference, 2014
371.334 MAL s (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Meida Tanukusumah
"ABSTRACT
Latar belakang. Prevalens alergi makanan meningkat dalam dekade terakhir, namun belum ada data prevalens alergi makanan di Indonesia. Alergi makanan paling banyak ditemukan pada anak berusia kurang dari 3 tahun. Perolehan data prevalens dapat dilakukan dengan survei berbasis web yang memiliki hasil sebaik survei langsung.
Tujuan. Mengetahui prevalens alergi makanan pada anak usia kurang dari 3 tahun di Jakarta berbasis survei dalam jaringan (daring). Mengetahui angka penegakan diagnosis alergi makanan dari terduga alergi makanan, manifestasi klinis keluhan orangtua yang menandakan anaknya alergi makanan, jenis makanan penyebab, dan sebaran alergi makanan berdasarkan gambaran pemberian makan dan kejadian alergi keluarga.
Metode. Studi ini adalah deskriptif potong lintang menggunakan survei daring selama Januari 2011-Oktober 2013. Orangtua anak usia <3 tahun di Jakarta yang mampu mengakses internet dengan keluhan kecurigaan alergi makanan pada anaknya, melakukan log masuk di www.alergianakku.com. Kuesioner daring yang terisi kemudian diseleksi sesuai inklusi. Konfirmasi diagnosis didapatkan dengan menanyakan ulang informasi alergi, termasuk melalui pemanggilan dan pemeriksaan langsung.
Hasil. Sebanyak 286 subjek yang memenuhi kriteria inklusi; terdapat 100 subjek (35%) dengan terduga alergi makanan dan 30 subjek dari 100 subjek ditetapkan memiliki alergi makanan. Karakteristik subjek adalah mayoritas lelaki (60%) dan kelompok usia >12-36 bulan (48%). Pada kelompok alergi makanan, usia terbanyak >6-12 bulan (11/30). Gejala alergi makanan tersering adalah reaksi kulit (26/30). Makanan penyebab alergi tersering adalah susu sapi. Mayoritas subjek dengan alergi makanan mendapatkan ASI hingga usia 12 bulan (13/30); ASI eksklusif diberikan <6 bulan (23/30), dan makanan pendamping diberikan saat usia 2-4 bulan (13/30). Riwayat alergi pada keluarga (27/30) tersering adalah asma (12/30) dengan hubungan keluarga tersering ibu kandung (15/30).
Simpulan. Prevalens alergi makanan pada anak usia kurang dari 3 tahun di Jakarta berbasis survei daring adalah 10,5%. Diagnosis alergi makanan dari terduga alergi makanan adalah 30%. Keluhan tersering yang menandakan alergi makanan adalah reaksi kulit. Jenis makanan tersering penyebab alergi adalah susu sapi. Mayoritas subjek dengan alergi makanan mendapatkan ASI hingga usia 12 bulan, ASI eksklusif diberikan kurang dari 6 bulan, diberikan makanan pendamping dini, dan sebagian besar memiliki riwayat alergi keluarga dengan hubungan tersering ibu kandung dan penyakit alergi keluarga tersering adalah asma.

ABSTRACT
Background. Prevalence of food allergy is increasing in last decade; however there is no data from Indonesia yet. Food allergy is mostly found in children below 3 years of age. Web-based surveys can be used for obtaining prevalence data as well as direct surveys.
Objectives. To know the prevalence of food allergy in children less than 3 years old in Jakarta based on online survey. To know the confirmed food allergy diagnosis from suspected food allergy, clinical manifestation of childhood food allergy based on the parent’s complaint, food etiology, and food allergy distribution based on feeding model and family allergic history.
Methods. A cross-sectional descriptive study with online survey during January 2011-October 2013. Parents, who have children <3 years old in Jakarta with suspected food allergy complaint and have access to internet, log in to www.alergianakku.com. The filled online questionnaire was selected by inclusion criteria. Confirmation of diagnosis was made by convincing allergic history, asking the subject to come and by direct examination.
Results. Total 286 subjects fulfilled the inclusion criteria; 100 subjects (35%) were suspected food allergy, and 30 out of 100 were diagnosed food allergy. The majority characteristics of subjects were male (60%) and >12-36 months age group (48%). The majority of food allergy subjects were >6-12 months age group (11/30). The most frequent food allergy symptom was skin reaction (26/30). The most frequent food etiology was cow’s milk. The food allergy subjects were breastfed until the age of 12 months (13/30); were given exclusive breastfeeding less than 6 months (23/30) and complementary food at age 2-4 months (13/30). Most of them had family allergic history (27/30), with asthma (12/30) as the most frequent disease, and the most frequent relationship was mother (15/30).
Conclusions. Prevalence of food allergy in children less than 3 years old in Jakarta based on online survey is 10.5%. The confirmed food allergy diagnosis from suspected food allergy is 30%. The most frequent clinical manifestation of childhood food allergy is skin reaction. The most frequent food etiology is cow’s milk. The food allergy subjects were breastfed until the age of 12 months; were given exclusive breastfeeding less than 6 months and complementary food at age 2-4 months. Most of them have family allergic history, the disease is asthma, and the relationship is mother"
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ismatullah
"Latar belakang: Penggunaan media digital, termasuk gawai, telah menjadi bagian penting dalam kehidupan anak. Paparan media digital pada anak dikaitkan dengan risiko keterlambatan perkembangan. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi hubungan antara penggunaan gawai dan keterlambatan perkembangan bahasa pada anak usia 2-3 tahun.

Metode: Penelitian kasus kontrol ini mengikutsertakan anak usia 2-3 tahun di Jakarta dan Bekasi yang diambil secara consecutive sampling. Kelompok kasus terdiri dari pasien rawat jalan dari klinik tumbuh kembang dengan diagnosis keterlambatan bahasa; tanpa adanya kelainan bawaan, keterlambatan global, gangguan neurologis, dan gangguan perilaku. Diagnosis ditegakkan oleh dokter anak konsultan tumbuh kembang yang dituliskan pada rekam medis. Kelompok kontrol adalah anak tanpa keterlambatan bahasa yang diambil di klinik vaksinasi. Berdasarkan wawancara orangtua, setiap kelompok diidentifikasi riwayat penggunaan gawai (onset penggunaan, durasi harian, dan pendampingan) dan dianalisis hubungannya dengan perkembangan bahasa anak dengan mempertimbangkan faktor perancu lainnya.

Hasil: Sebanyak 43 subjek kelompok kasus dan 104 subjek kelompok kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Durasi penggunaan gawai lebih dari 4 jam per hari disertai faktor pengasuhan utama meningkatkan risiko terjadinya keterlambatan bahasa anak usia 2-3 tahun (adjusted OR 6,899; IK 95% 1,655 – 28,757; p 0,008). Onset penggunaan gawai tidak meningkatkan risiko keterlambatan bahasa anak, dengan atau tanpa mempertimbangkan pendidikan ibu dan pengasuh utama anak (OR 2,162; IK 95% 0,961 – 4,867; p 0,063). Pendampingan penggunaan gawai tidak meningkatkan risiko keterlambatan bahasa anak secara signifikan, dan terdapat peranan pengasuh utama dalam hubungan tersebut (adjusted OR 1,972; IK 95% 0,631 – 6,162; p 0,243). Pada variabel perancu, pengasuh utama anak memiliki peranan penting dalam hubungan antara durasi harian dan pendampingan penggunaan gawai terhadap keterlambatan bahasa anak, sedangkan pendidikan ibu tidak berperan dalam hubungan tersebut.

Kesimpulan: Durasi penggunaan gawai lebih dari 4 jam per hari disertai faktor pengasuhan utama meningkatkan risiko terjadinya keterlambatan bahasa anak usia 2-3 tahun.


Background: The use of digital media, including gadgets, has become an important part of children's daily lives. Exposure to digital media in children is associated with the risk of developmental delays. The aim of this research is to explore the relationship between gadget use and delayed language development in children aged 2-3 years.

Methods: This case control study included children aged 2-3 years in Jakarta and Bekasi using consecutive sampling. The case group consists of outpatients from growth and developmental clinic with diagnosis of language delay; in the absence of congenital abnormalities, global delays, neurological disorders, and behavioral disorders. The diagnosis was made by a growth and development consultant pediatrician and written in the medical record. The control group was children without language delays taken at vaccination clinic. Through parent interviews, each group's history of device use has been identified (onset of use, daily duration, and parental supervision) and its relationship with children's language development has been analyzed by considering other confounding factors.

Results: A total of 43 case group subjects and 104 control group subjects were included in this study. The duration of daily gadget use exceeds 4 hours, combined with primary caregiver factors, increases the risk of language delay in children aged 2-3 years (adjusted OR 6.899; 95% CI 1.655 – 28.757; p 0.008). The onset of gadget use does not increase the risk of child language delay, regardless of whether maternal education and primary caregiver are considered (OR 2.162; 95% CI 0.961 – 4.867; p 0.063). Parental supervision of gadget use does not significantly increase the risk of language delay in children, and the primary caregiver plays a role in this relationship (adjusted OR 1.972; 95% CI 0.631 – 6.162; p 0.243). In terms of confounding variables, the primary caregiver plays an important role in the relationship between duration of daily gadget use and parental supervision regarding child language delay, while maternal education does not influence this association.

Conclusion: The duration of daily gadget use exceeds 4 hours, combined with primary caregiver factors, increases the risk of language delay in children aged 2-3 years."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faizah Khusnayain Wijayanti
"Anemia merupakan suatu masalah bagi negara berkembang seperti Indonesia. Pada anak-anak, anemia telah diketahui berdampak pada perkembangan kognitif dan keterlambatan pertumbuhan. Pertumbuhan anak yang terhambat berdasarkan tolak ukur usia sebagai dampak dari anemia disebut stunting. Istilah risiko stunting dalam penelitian ini mengacu kepada HAZ score berdasarkan standar dari NCHS yakni antara -1,1 hingga -2. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional dan melibatkan seluruh populasi terjangkau (total sampling) pada anak usia 3-9 tahun di pesantren Tapak Sunan Condet pada tahun 2011. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui prevalensi anemia dan hubungannya dengan risiko stunting. Dari penelitian ini didapatkan data hasil pengukuran tinggi badan, tanggal lahir untuk menentukan usia, dan kadar hemoglobin. Hasilnya, 13 (26%) anak menderita anemia dan 1 dari 13 penderita anemia terkena risiko stunting. Hasil analisis statistik chi-square menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara anemia dengan risiko stunting (p=0,962).

Anemia has been known as one of the worst health problems in develop country, such as Indonesia. Based on study, anemia has impact on children’ cognitive development and growth failure. Children growth failure related age is called stunting. The term of mild stunting is derivated from HAZ score based of NCHS standard which is between -1,1 to -2. This study, which use cross sectional design and included 50 children aged 3 to 9 years old, was held in Pesantren Tapak Sunan in 2011. This study has goal which are to determine the prevalence of anemia and its association with mild stunting. This study use data of height of the children, their date of birth to determine thier age, and hemoglobin levels. The result, 13 (26%) children was known suffering anemia and 1 of 13 of them was in mild stunted. The result of statistic analyze used chi-square showed there was no association between anemia and mild stunting (p=0,962).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Motorik halus merupakan gerakan yang dilakukan oleh bagian-bagian tubuh tertentu yang kurang memerlukan tenaga, namun lebih memerlukan koordinasi dan kerjasama pada gerakan jari kaki dan tangan serta anggota tubuh yang lain. Penguasaan kemampuan motorik halus 80% tercapai pada usia toddler (0 — 3 tahun) dan mencapai perkembangan yang optimal pada usia balita (0 — 5 tahun). Penguasaan kemampuan motorik halus ini akan lebih cepat dicapai, bila anak balita mendapat stimulasi. Stimulasi dini yang tepat dan diberikan sesuai dengan tahap tumbuh kembang anak, mampu mengoptimalkan kemampuan motorik halus yang dimiliki. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan tingkat perkembangan anak usia balita terhadap kemampuan motorik halus . Penelitian ini dilakukan di tempat penitipan anak (TPA) Wahana Bina Balita RSPAD Gatot Soebroto Jakarta Pusat. Responden yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 33 orang. Usia responden berkisar antara 0 — 5 tahun. Jenis kelamin terbanyak adalah perempuan yaitu 57,6% sedangkan untuk laki-lakinya berjumlah 42,4%. Kuesioner dikembangkan mengacu pada Denver Development Screening Test (DDST), Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita yang diterbitkan oIeh Depkessos RI. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan bahwa dari 33 responden yang memiliki kategori balita awal (0 — 3 tanun) dan balita akhir (4 — 5 tahun), terdapat sejumiah 22,2% kategori balita awal tidak mampu untuk menguasai ketrampilan motorik halus, sedangkan pada balita akhir 100% mampu menguasainya. Kemudian dari responden yang sama, peneliti mengkatagorikan kedalam jenis kelaminnya, laki-laki dan perempuan, ditemukan 14,3% balita laki-laki tidak mampu menguasai motorik halus, sedangkan balita perempuan 10,5% yang tidak mampu menguasainya. Namun demikian, berdasarkan uji statistik, perbedaan hasil yang diperoleh terkait dengan usia balita dan jenis kelamin tersebut, kurang memiliki nilai yang bermakna bagi penelitian ini. "
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2004
TA5334
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Anindita
"ABSTRAK
Cara yang dominan digunakan di Indonesia untuk membantu anak dalam belajar adalah dengan menggunakan media visual dalam bentuk buku, padahal media audio-visual diketahui lebih efektif untuk membantu anak dalam belajar. Oleh sebab itu, peneliti ingin melihat efektivitas dari penggunaan media pembelajaran, khususnya media audio-visual dalam bentuk rekaman video dan visual dalam bentuk buku bergambar, terhadap knowledge of letters anak 3-4 tahun. Sebanyak 30 partisipan dibagi dalam tiga kelompok: 1 belajar menggunakan media audio- visual; 2 belajar menggunakan media visual; dan 3 kelompok kontrol. Knowledge of letters diukur sebelum dan sesudah diberi perlakuan menggunakan alat ukur yang dirancang peneliti. Hasil yang diperoleh dengan teknik Independent Measurer One-Way ANOVA adalah penggunaan media pembelajaran, khususnya media audio-visual, efektif untuk meningkatkan knowledge of letters anak usia 3-4 tahun di Jakarta Barat dan Selatan.

ABSTRACT
The dominant way used in Indonesia to help children in learning is by using visual media in book form, whereas visual audio media is known to be more effective to help children in learning. Therefore, researcher want to find out the effectiveness of instructional medias, more specifically audio visual in the form of video recording and visual medias in the form of illustrated books, towards the knowledge of letters for children aged 3 4 year old. A total of 30 participants are divided into three groups 1 learning using audio visual media 2 learning using visual media and 3 control group. The knowledge of letters was measured before and after treatment using an instrument created by the researcher. The results obtained by the Independent Measurer One Way ANOVA, is the use of instructional medias, especifically the audio visual media, proven to be effective to improve knowledge of letters children aged 3 4 years in West and South Jakarta. Discussions and suggestions will be discuseed later. "
2017
S67566
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Alfi Maziyah
"[ABSTRAK
Tujuan : Mengetahui perbedaan perilaku menyikat gigi pada anak usia 10-11 tahun
setelah mendapatkan pendidikan kesehatan gigi dan mulut dengan dan tanpa metode
teach-back. Metode : studi analitik komparatif yang dilakukan dengan pengisian
kuesioner perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan), pemeriksaan indeks plak, dan
observasi keterampilan menyikat gigi pada anak usia 10 ? 11 tahun di Sekolah Dasar
Negeri Kukusan. Hasil : Pada minggu ketiga, terjadi peningkatan skor pengetahuan,
sikap, tindakan, penurunan indeks plak, dan peningkatan keterampilan menyikat gigi
yang bermakna pada kelompok intervensi. Sedangkan pada kelompok kontrol,
peningkatan bermakna hanya pada domain sikap. Perbedaan bermakna antara kedua
kelompok ini hanya pada perubahan indeks plak. Kesimpulan : tidak ada perbedaan
bermakna pada perilaku antara kelompok yang diberikan pendidikan kesehatan gigi
dan mulut dengan dan tanpa metode teach-back
ABSTRACT
Objective: To determine the differences in tooth brushing behavior in children aged
10-11 years after getting dental health education with and without the teach-back
method. Methods: comparative analytical studies conducted by behavioral
questionnaires (knowledge, attitudes and actions), examination of plaque index, tooth
brushing and observation skills in children aged 10-11 years old at the State
Elementary School Kukusan. Results: In the third week, there are significant
difference in improvement score of knowledge, attitude, action, reduction in plaque
index, and tooth brushing skills in the intervention group. Whereas in the control
group, increased significantly only in the domain of attitude. Significant differences
between the two groups is only on plaque index changes. Conclusion: No significant
difference in behavior between the group given dental health education with and
without the teach-back method.;Objective: To determine the differences in tooth brushing behavior in children aged
10-11 years after getting dental health education with and without the teach-back
method. Methods: comparative analytical studies conducted by behavioral
questionnaires (knowledge, attitudes and actions), examination of plaque index, tooth
brushing and observation skills in children aged 10-11 years old at the State
Elementary School Kukusan. Results: In the third week, there are significant
difference in improvement score of knowledge, attitude, action, reduction in plaque
index, and tooth brushing skills in the intervention group. Whereas in the control
group, increased significantly only in the domain of attitude. Significant differences
between the two groups is only on plaque index changes. Conclusion: No significant
difference in behavior between the group given dental health education with and
without the teach-back method., Objective: To determine the differences in tooth brushing behavior in children aged
10-11 years after getting dental health education with and without the teach-back
method. Methods: comparative analytical studies conducted by behavioral
questionnaires (knowledge, attitudes and actions), examination of plaque index, tooth
brushing and observation skills in children aged 10-11 years old at the State
Elementary School Kukusan. Results: In the third week, there are significant
difference in improvement score of knowledge, attitude, action, reduction in plaque
index, and tooth brushing skills in the intervention group. Whereas in the control
group, increased significantly only in the domain of attitude. Significant differences
between the two groups is only on plaque index changes. Conclusion: No significant
difference in behavior between the group given dental health education with and
without the teach-back method.]"
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silva Audya Perdana
"Perkembangan bahasa anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Sekitar 5-8 anak usia prasekolah di Indonesia mengalami keterlambatan bicara. Anak pada usia yang sangat muda butuh stimulasi yang cukup agar dapat berkembang dengan optimal. Oleh sebab itu, jika anak dibiarkan lama menonton TV, kesempatan untuk mendapatkan stimulasi yang baik menjadi terhambat. Kurangnya stimulasi yang disebabkan oleh anak yang terlalu lama menonton TV, dapat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa anak.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan lama menonton TV dan perkembangan bahasa anak pada anak usia 18 bulan sampai 3 tahun.
Metode: Studi potong lintang digunakan pada studi ini dengan menggunakan data primer yang didapat melalui kuesoner. Adanya gangguan perkembangan bahasa anak ditentukan dengan menggunakan KPSP dan ELM Scale 2 Test.
Hasil: Durasi lama menonton TV pada anak dengan perkembangan bahasa normal dan keterlambatan perkembangan bahasa dibandingkan dan didapat p value senilai 0,002 dan OR = 4,4 95 CI . Bahasa yang digunakan pada tayangan TV Indonesia atau Indonesia dan Inggris berpengaruh secara signifikan p = 0,004 . Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada umur pertama anak menonton TV, pemakaian gadget, dan kepemilikan TV di dalam kamar.
Kesimpulan: Studi ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara lama menonton TV dan perkembangan bahasa. Anak yang menonton TV lebih dari 4 jam sehari memiliki risiko 4 kali lebih tinggi mengalami keterlambatan bicara.

Background: There are many factors that contribute to child language development. About 5 8 children in Indonesia experience delayed language. Children at young age are still learning to develop and need stimulation so that they can process it and learn from it. When children watch TV for a long time they get less stimulation. Less stimulation in this case may contribute to child language development.
Aim: To know if there is an association of intensity of watching TV and child language development.
Methods: This was a cross sectional study using primary data collected from questionnaires. The child language development was tested using KPSP and ELM Scale 2 Test.
Results: Duration of watching TV from both children with normal and delayed language development was measured. Result showed in p value of 0.002 and OR 4.4 95 CI . The language used in TV program Indonesian or both Indonesian and English also showed a significant data p 0.004 . Other variables such as gender, first age exposed to TV, the use of gadget and TV in bedroom had no significant association with child language development.
Conclusion: This study demonstrates that there is an association between intensity of watching TV and child language development. Children who watch TV exceeding 4 hours a day had four times higher risk to develop language delay.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>