Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21692 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yazid Fanani
"Kajian ini mengenai penanggulangan konflik tawuran antar warga yang sering terjadi di wilayah Matraman, Konflik horizontal dan berwujud sebagai tawuran antar warga masyarakat dan selalu disertai dengan penghancuran, perusakan dan pembakaran prasarana umum yang dilakukan oleh sekelompok warga masyarakat tersebut, adalah merupakan bentuk pertikaian massal yang bersifat primordial dan menyebabkan situasi tidak tertib, tidak aman, resah, serta mengakibatkan rusaknya sarana /prasarana sosial dan perekonomian yang telah lama dibangun. Upaya penanggulangan konflik, yang dilakukan oleh Polsek Matraman selama ini, terlihat tidak efektif dan kurang memberikan dampak yang berarti bagi penyelesaian dan penghentian konflik tersebut, sehingga konflik terus berlangsung berlarut-larut dengan meninggalkan berbagai kerusakan material yang besar dan bahkan disertai dengan korban jiwa.
Tidak efektifnya upaya penanggulangan yang dijalankan oleh aparat kepolisian ini, disebabkan karena penanggulangan yang dilakukan oleh Polsek kurang tepat sehingga tidak mampu mengakomodasikan segala kepentingan pihak-pihak yang bertikai. Kegiatan penanggulangan oleh Polsek Matraman tersebut hanya dilakukan dengan tindakan reaktif dan kasuistik sehingga tidak menyentuh esensi permasalahan yang menjadi sumber sengketa diantara mereka. Masih adanya adanya kesan bahwa Polisi kurang responsip dan tidak menyatu dengan masyarakatnya serta masih tersumbatnya saluran komunikasi yang dapat digunakan sebagai media penyelesaian konflik secara menyeluruh diantara kelompok yang bermusuhan, telah bermuara kepada munculnya kecurigaan dan prasangka buruk terhadap kelompok lain yang menjadi lawan mereka, kenyataan ini disatu sisi telah memunculkan konflik bertambah brutal dan pada kerangka yang lain semakin membuat ketidak percayaan masyarakat terhadap Polisinya.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa upaya penanggulangan konflik tawuran seperti ini, menjadi sangat efektif jika dilakukan dengan membuka saluran komunikasi dan mediasi diantara mereka yang terlibat konflik, karena dengan demikian tercipta sebuah kompromi yang saling menguntungkan dengan berlandaskan pada kesamaan pandangan, kepercayaan dan keadilan sehingga mereka menghentikan permusuhannya.
Guna memperoleh informasi yang akurat di dalam kajian ini, peneliti melakukan pengumpulan data dengan menggunakan pendekatan etnografi dan metode pengamatan terlibat, sehingga diperoleh pemahaman yang akurat dan mendalam berkenaan dengan gejala-gejala sosial yang ada untuk kemudian ditemukan hakekat dari permasalahan yang sedang dikaji."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T1760
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfahmi
"Tawuran antar warga seperti yang terjadi antara Kampung Tambak dan Kampung Anyer di Pegangsaan, Jakarta merupakan fenomena sosial yang menarik untuk dikaji secara mendalam, karena konflik terjadi diantara warga di dua perkampungan yang sebelumnya memiliki hubungan yang harmonis. Bahkan banyak diantara warga kedua kampung masih berhubungan keluarga karena banyak terjadi perkawinan diantara mereka. Konflik tersebut berlangsung cukup lama dan cenderung keras. Selama kurun 1990-1993, peserta konflik masih terbatas pada kalangan pemuda/remaja kedua kampung tersebut, namun sejak 1994 hingga 2001 peserta konflik meluas menjadi bersifat massal, sehingga berkembang menjadi tawuran antar kampung.
Konflik antar pemuda berawal dari menguatnya identitas kolektif masing-masing kelompok tersebut. Konflik berawal dari sikap arogansi sekelompok pemuda Kampung Tambak, salah satunya dengan menguasai kawasan Tugu Proklamasi dan sekitarnya tanpa memberi kesempatan pada pemuda Kampung Anyer ikut memanfaatkan lahan tersebut, memicu pecahnya konflik terbuka antara kedua kelompok pemuda tersebut. Di satu sisi Pemuda Kampung Tambak bersikap arogan ingin mendominasi pihak lain, sedangkan di sisi lain pemuda Kampung Anyer memberi perlawanan terhadap sikap tersebut.
Semakin sering dan keras konflik, semakin banyak menyeret solidaritas dari warga sekampung lainnya untuk bersama-sama membela harga diri kampung mereka. Identitas kolektif tersebut dibangun secara sosial terutama atas dasar kesamaan teritorial, dimana terjadi interaksi sosial yang kontinyu. Melalui interaksi tersebut, atribut kesamaan secara simbolis dibangun dan didefinisikan, dari sinilah trust dan solidaritas berkembang diantara warga sekampung.
Konflik berlangsung keras karena konflik menyangkut isu-isu non-realistik, berupa nilai-nilai inti (core values) dan kepentingan kelompok yang samar-samar atau abstrak (vaguely defined class interest) yaitu harga diri dan dendam. Konflik juga berlangsung lebih lama karena tujuan konflik yang tidak jelas menyulitkan peserta konflik untuk mendefinisikan kapan mereka telah mencapai tujuan tersebut, sehingga konflik menjadi berlarut-larut. Selain itu, para pemimpin di masing-masing pihak kurang mampu membujuk warganya menghentikan konflik, hal ini disebabkan kerekatan hubungan antara warga dan para pemimpinnya cenderung lemah, selain itu juga masyarakat cenderung terpecah-belah karena kohesi sosial antar warga juga cenderung rendah. Intensitas konflik dan kerasnya konflik lambat laun makin mempertegas batas-batas pemisah antara warga kedua kampung dan meningkatkan solidaritas diantara warga sekampung untuk bersama-sama memerangi pihak lawan.
Berbagai upaya mengatasi konflik telah dilakukan oleh aparat pemerintah setempat, diantaranya dengan memfasilitasi pertemuan antar tokoh masyarakat dan pemuda setempat dari kedua pihak untuk membuat konsensus damai selain membentuk satgas yang terdiri dari sejumlah pemuda dari pihak-pihak yang berseteru, namun berbagai upaya tersebut belum mampu mengatasi konflik. Ini disebabkan konsensus tersebut tidak mampu merembes ke seluruh warga kampung karena kohesi sosial masyarakat yang cenderung rendah dan juga para tokoh dan pemuda yang dilibatkan bukanlah orang-orang yang berpengaruh dan memiliki kepemimpinan yang efektif di lingkungan komunitasnya.
Berbeda dengan upaya pemerintah tersebut, program resolusi konflik yang dikembangkan institusi lokal Forum Warga Cinta Damai (FWCD) ternyata cukup efektif meredam konflik. Sejak berdiri pada pertengahan 2001, forum tersebut menyelenggarakan berbagai kegiatan-kegiatan bersama dengan melibatkan warga yang berpengaruh dari berbagai social fieldnya, seperti kelompok bermain (peer group) pemuda, remaja, ibu-ibu, para bapak, serta kelompok pengajian, kelompok arisan dan sebagainya. Kegiatan tersebut membuat seluruh individu terhubung satu sama lain. Meski mereka berasal dari berbagai social field, namun hubungan antar mereka menjadi cikal bakal perekat antar social field dalam komunitas masyarakat yang berkonflik. Langkah ini cukup efektif merekatkan kembali hubungan sosial antar warga di kedua kampung yang bertikai, dan hasilnya selama tahun 2002 tawuran antar warga tak terjadi lagi.
Program community development tersebut merangsang antar individu dalam komunitas untuk menjalin kerjasama dalam mencapai tujuan-tujuan bersama. Melalui program tersebut, dilakukan upaya merekonstruksi kembali hubungan sosial antar warga, dengan mendefinisikan ulang batas-batas kolektifitas antar warga kedua kampung. Seiring dengan tumbuhnya jaringan baru yang menjembatani berbagai golongan masyarakat, turut berkembang norma-norma baru yang mengedepankan prinsip hidup damai penuh persaudaraan dalam lingkungan ketetanggaan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laode Ida
"Penelitian tahap pertama ini dimaksudkan untuk mengkaji akar-akar penyebab konflik manifest yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu 1994 - 1998, dan kemudian mencoba mencari formulasi penyelesaian konflik tersebut berdasarkan model-model kearifan tradisional (traditional wisdom) yang berkembang di dalam masyarakat. Untuk itu proses penelitian semula akan dibagi kedalam beberapa tahap, yakni tahap eksplorasi, focus group discussion(I), systemic aprroach, focus group discussion (II), uji coba model, penerapan dan evaluasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tahap pertama (eksplorasi) ditemukan bahwa secara teoritis dan empiris terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya konflik manifest di Indonesia, baik yang bersifat vertikal dan horizontal. Konflik yang bersifat vertikal terjadi karena adanya disparitas yang menyolok antara sebagian kecil kelompok yang menguasai sumber kekayaan alam, ekonomi dan kekuasaan yang berlebihan dengan masyarakat kebanyakan. Secara horizontal, konflik manifest terjadi sebagai akumulasi dari perluasan batas-batas kelompok etnik dan budaya, bergesernya peran pimpinan formal akibat intervensi negara yang berlebihan serta perbenturan kepentingan politik, ideologi dan agama. Mekanisme terjadinya konflik memperlihatkan keterlibatan dari elit-elit politik, sebagai tahap pertama, untuk kemudian secara perlahan bergeser pada tingkat (leve) masyarakat di bawah. Dengan demikian, harapan untuk mengantisipasi konflik sangat terkait erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat, peningkatan pelayanan publik, penghargaan terhadap hak azasi manusia, keaneka ragaman, demokratisasi dan ruang untuk menyampaikan kritik. Di samping itu, peran dan akses yang lebih besar pada pimpinan (informal) masyarakat setempat untuk mengaktualisasikan diri sebagai bagian yang harus diperlakukan sama dengan institusi (kelompok) lainnya yang terutama dikendalikan oleh negara.

This first step of research intended to analyze the roots causes of conflicts manifest which occur during 1994 to 1998 in Indonesia, and then also to tray to formulate that conflicts solution based on traditional wisdom that emergence in Indonesian society. The research process, therefore, will be divided into several steps such as exploration, focus group discussion (I), systemic approach, focus group discussion (11), trying model, implementation and evaluation. Based on the first step of the research (exploration), it can be finned that theoretically and empirically, there are several causes of Indonesia conflicts manifest. Vertically, manifest conflicts occur because of disparity of long range distance between small groups, which have natural, power, and economical resources with mass societies. Horizontally, conflicts manifest emergence because of accumulation of enlarging ethnic and cultural boundaries, and change of informal leader role because of state intervention, political interest conflicts, ideology and religion. From conflict mechanism shows that political elites involved, in the first step, then gradually changes to mass societies (low level). Therefore, to anticipate societies traditional wisdom, related close to people economics empowerment, improve public facilities, human rights, pluralism, democracy and space to government criticism. Besides that, there also improvement of informal leader role to tray to self-actualization as a part of societies, which is, has the same level with government institutions.
"
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Imron Wahyudi
"Konflik merupakan suatu perselisihan antara dua atau beberapa individu, kelompok atauorganisasi. Konflik antar warga terjadi di Jalan Tambak Manggarai Jakarta Selatan.Konflik tersebut dapat mengganggu kehidupan masyarakat setempat dan sebab itu perlupengamanan dari Polri. Tujuan penulisan tesis ini adalah memberi gambaran kepadamasyarakat bahwa perkelahian antar warga selalu menimbulkan kerugian, membuatmasyarakat sekitar menjadi resah. Peran Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, TokohPemuda, TNI, Polri Dalam Mengatasi Konflik warga di Manggarai Jakarta Selatan sangatdiperlukan baik dalam mencegah ataupun pasca tawuran.Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Yaitu denganmengumpulkan data di lapangan dan wawancara langsung kepada masyarakat danpetugas yang mengalami dampak perkelahian antar warga tersebut.Dari hasil penelitian mengenai peran Polri dalam mengatasi konflik antar warga diManggarai Jakarta Selatan adalah antara lain : a Mendorong para tokoh masyarakatmelakukan kesepakatan dengan warganya agar tidak terpengaruh lagi terhadap profokasidari orang-orang yang tidak bertanggung jawab; b Membuat perjanjian dengan wargayang terlibat perkelahian dengan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokohpemuda; c Mendorong tokoh masyarakat bisa memberikan contoh yang baik kepadawarganya sebagai pemulai; d Tokoh masyarakat dan tokoh agama menjadi mediatordalam proses mendamaikan konflik.Dengan demikian disamping melaksanakan tugas-tugas pengamanan sebagaimanabiasanya, disarankan Polri mendorong masyarakat lebih sering melakukan kegiatanbersama dengan melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama
Conflict is a dispute between two or several individuals, group or organization. There wasa conflict happened at Tambak street, Manggarai South Jakarta in March 2017. Becauseof that, the existence of Indonesian National Police was required for handling conflicts insociety. The writing purpose of this thesis is to give an overview for the society thatfighting never give positive impact, infact it would create fidgety among community. Therole of community leader, religious figure, youth figure, military and INP in overcomingconflict in Manggarai ndash South Jakarta is required not only for preventing the fight itselfbut also solving problems after fighting.The research method used is a of qualitative methods by collecting data in the field andinterviewing to the community and officers who experienced the impact caused byresident rsquo s fight at Manggarai ndash South Jakarta.The research result of INP rsquo s role in resolving conflict between society can be seen from a INP could reduce the occurance of conflict by making agreements betweencommunity leader and the society in order to avoid its citizen to get affected bythe provocation of unresponsible people so that the conflict would not beincreased.b INP conducted prevention of subsequent conflicts by making agreement withcitizens who involved with the case along with community leader, religiousfigure and youth figure.c As a role model for its citizens, the community leader provided a good exampleso the citizens would also show good behaviour as well.d The community leader and religious figure acted as a mediator in the peaceprocess of its conflict. It needs several mediation phases, such as the third partybecome a mediator for assitance and advisor.e The community leaders become a forum for receiving inspirations of the citizenbecause they were considered as a person who can accomodate and solveproblems of its citizen.Based on the research can be concluded that INP rsquo s role in the settlement of citizen rsquo sconflict at Tambak street Manggarai ndash South Jakarta had gone well as the citizen rsquo sdemand, the community leaders have performed their duties in accordance withprovisions on both parties in conflict and in accordance with the provisions of district,sub district and DKI Jakarta government"
2018
T49023
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
B. Anies Purnawan
"Dalam tes ini saya ingin menunjukkan pemolisian oleh Polres Bogor dalam menangani konflik yang terjadi antara warga masyarakat Bojong dengan perusahaan pengelola Tempat Pengolahan Sampah Terpadu di Kabupaten Bogor adalah penegakan hukum yang berpihak untuk meredam gejolak sosial pada masyarakat setempat. Keberpihakan Polres Bogor timbul karena warga masyarakat yang melakukan pengrusakan dan pembakaran dipandang sebagai perusuh yang menentang kebijakan pemerintah. Dalam keadaan seperti ini polisi menempatkan dirinya sebagai pihak yang harus mengatasi para perusuh yang melakukan pelanggaran hukum, dengan melakukan penangkapan dan memprosesnya secara hukum.
Sebanyak 8 orang personil Polres Bogor dari Bintara sampai dengan Perwira Menengah, 5 orang Pegawai Pemerintah Daerah dan 10 orang warga masyarakat ikut berpartisipasi menjadi informan kunci dalam penelitian ini. Selain menggunakan tehnik wawancara berpedoman, penelitian juga menggunakan pengamatan, pengamatan terlibat, serta kajian dokumen Pores Bogor antara tahun 2000 sampai dengan 2005 dan dokumen proses perijinan serta pembangunan TPST dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor serta perusahaan pengelola.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika terjadi konflik antara warga masyarakat Bojong dengan perusahaan pengelola TPST pemolisian yang dilaksanakan adalah tindakan reaktif dan represif yang acuannya adalah penegakan hukum. Penegakan hukum dilakukan dengan berpedoman pada Prosedur Tetap O1/X11998 tetang tindakan tegas bagi Satuan Pengendalian Massa (Dalmas) atau Pengendali Huru-Hara (PHH) Poiri dalam rangka penindakan kerusuhan massa atau huru-hara. Selain itu Penangakapan dilakukan dengan kekerasan terhadap orang-orang yang diduga melakukan pengrusakan dan pembakaran. Kekerasan dilakukan terhadap warga masyarakat yang tidak tertib, melakukan kerusuhan dan menentang kebijakan pemerintah serta menolak untuk ditangkap, diamankan dan dibawa ke Polres Bogor untuk diperiksa.
Penegakan hukum yang menjadi acuan dalam penanganan gejolak sosial yang terjadi pada masyarakat setempat terbukti tidak efektif untuk peredaman konflik. Hal ini menggambarkan ketidaksiapan Polres Bogor dalam menangani konflik yang terjadi antara warga masyarakat Bojong dengan perusahaan pengelola TPST. Karena yang digunakan adalah cara pemolisian tradisional yang biasanya dilakukan dengan menunjukkan kekuatan polisi sebagai penegak hukum. Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Polres Bogor bertujuan untuk mengatasi tindakan warga masyarakat yang melakukan pengrusakan dan pembakaran TPST, yang pada kenyataannya tidak menghilangkan atau meredam konflik yang terjadi antara warga dengan perusahaan.
Upaya pencegahaan kejahatan seperti tugas penyelidikan dengan tujuan untuk mendeteksi poiensi-potensi konflik kurang mendapat perhatian. Akibatnya tugas tersebut dilaksanakan dengan asal-asalan sehingga tidak menghasilkan Informasi tepat atau tidak mempunyai data yang akurat yang dapat dianalisa untuk digunakan sebagai bahan untuk membuat kebijakan dalam menangani konflik. Tugas penggalangan yang intensif baru dilaksanakan setelah terjadinya kerusuhan massa, sehingga masyarakat sangat sulit didekati karena ketidakpercayaan mereka kepada polisi yang semakin besar. Rasa tidak percaya warga masyarakat terhadap polisi terjadi karena penegakan hukum yang dilaksanakan oleh polisi dalam menangani permasalahan TPST tidak adil dan berpihak serta penangkapan yang dilaksanakan oleh petugas polisi saat terjadinya kerusuhan dilakukan dengan kekerasan.
Sedangkan atensi pimpinan dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat hanya sebatas memberikan perintah tanpa adanya dukungan sumberdaya yang memadai. Perintah-perintah tersebut rliberikan sekedar untuk menjalankan kewajiban sebagai pemimpin tanpa dilandasi rasa tanggung jawab yang besar sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Atensi dan perhatian terhadap upaya pencegahaan kejahatan serta pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat baru dilaksanakan dengan lebih baik setelah terjadinya kerusuhan massa yang mengakibatkan kerusakankerusakan yang sangat merugikan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18143
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnain
Jakarta: Proyek Penelitian Pengembangan Riset, 2003
303.6 ISK p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnaen
Jakarta: Puslit. Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, 2004
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle Madeira Anggita Putri
"Perkebunan sawit merupakan sektor dengan jumlah konflik agraria tertinggi di Indonesia. Konflik yang terjadi pada sektor perkebunan sawit kerap memunculkan aktivitas yang didalamnya melibatkan penggunaan kekerasan. Tugas Karya Akhir ini bertujuan untuk menganalisis konflik kebun sawit di Desa Bangkal dan mengidentifikasi kekerasan yang muncul sebagai bagian dari proses eskalasi konflik. Dalam tulisan ini, data terkait kasus konflik kebun sawit PT. HMBP 1 dan Masyarakat Desa Bangkal dikumpulkan melalui kajian kepustakaan dan dianalisis dengan menggunakan Teori Segitiga Konflik. Hasil analisis menemukan bahwa kedua aktor yang berkonflik mengembangkan sikap negatif terhadap satu sama lain akibat adanya pertentangan terkait pengelolaan tanah yang diwujudkan dalam berbagai bentuk perilaku, baik koersif maupun non koersif. Konflik ini bereskalasi melalui lima tahapan, yaitu mobilisasi, perluasan, polarisasi, disosiasi, dan jebakan. Dari lima tahap tersebut, empat diantaranya melibatkan dua jenis kekerasan, yakni kekerasan struktural dan kekerasan langsung, seperti ancaman kekerasan, penembakan gas air mata, dan penembakan menggunakan senjata api.

Oil palm plantations are the sector with the highest number of agrarian conflicts in Indonesia. Conflicts in the oil palm sector often involve activities that include the use of violence. This Final Project aims to analyze the oil palm plantation conflict in Bangkal Village and identify the violence that emerged as part of the conflict escalation process. In this paper, data related to the palm oil plantation conflict between PT. HMBP 1 and The Bangkal Village Community were collected through literature review and analyzed using the Conflict Triangle Theory. The analysis found that both conflicting parties developed negative attitudes towards each other due to disagreements over land management, manifested in various forms of behavior, both coercive and non-coercive. This conflict escalated through five stages, namely mobilization, enlargement, polarization, dissociation and entrapment. Among this five stages, four of them involve two types of violence, structural violence and direct violence, such as threats of violence, tear gas and firearms shootings.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Israwaty Suriady
"Konflik yang terjadi akhir tahun 1998 berhasil menghancurkan tatanan hidup masyarakat Poso yang telah terbentuk selama ini. Konflik yang bersumber dari interaksi masyarakat sehari-hari dengan latar belakang sosial, budaya, ekonomi yang berbeda tanpa disadari menjadi potensi-potensi konflik laten yang kemudian lahir menjadi bentuk kekerasan, bermula dari perkelahian anak muda yang sedang berpesta minuman keras.
Tindakan kekerasan yang oleh media massa disebut dengan kerusuhan Poso Jilid I - V membuat stigma-stigma dan integrasi masyarakat ke dalam kelompok Islam dan Kristen semakin nyata dan menjadi jurang pemisah di antara kelompok yang ada dalam masyarakat Poso. Perbedaan ini semakin menyulitkan pemerintah daerah dalam menyusun suatu kesepakatan damai yang dapat diterima kedua belah pihak bertikai. Pada akhirnya akhir tahun 2001 pertemuan di Malino menghasilkan suatu kesepakatan damai yang dikenal dengan Deklarasi Malino.
Deklarasi Malino merupakan upaya damai yang berasal dari kedua kelompok yang bertikai, kemudian difasilitasi oleh pemerintah. Hasil kesepakatan ini kemudian berusaha direkonsiliasikan kepada masyarakat, khususnya pada kelompok yang telah bertikai. Berbagai upaya dilakukan pemerintah agar kehidupan masyarakat bisa kembali normal tanpa ada ketakutan munculnya konflik baru kembali.
Konflik telah terjadi dan hal lain yang memerlukan perhatian adalah bagaimana mengelola dan mengatur konflik yang masih sering terjadi pasca Deklarasi Malino, agar tidak muncul menjadi konflik kekerasan baru di daerah Poso. Serta bagaimana memanfaatkan pengaruh pemuka pendapat, masyarakat ataupun tokoh agama dalam proses manajemen konflik tersebut.
Model manajemen konflik yang dikemukakan oleh Ting Toomey adalah kerangka yang digunakan untuk melihat bentuk manajemen yang digunakan masyarakat Poso yaitu bentuk Integrating, Compromising, Dominating, Obliging dan Avoiding. Serta konsep-konsep budaya lain yang dapat membantu melihat fenomena yang ada dalam masyarakat.
Dalam melihat bentuk manajemen konflik tersebut, studi ini menggunakan bentuk penelitian kualitatif-deskriptif, paradigma konstruktivis. Peneliti berusaha menggambarkan secara utuh latar alamiah (masyarakat Paso) pasca Deklarasi Malino.
Hasil studi menunjukkan bahwa penggunaan model manajemen konflik Integrating, Avoiding dan Compromising adalah yang dominan dilakukan oleh masyarakat. Keinginan untuk berdamai dengan membentuk berbagai forum yang melibatkan semua lapisan dan kelompok masyarakat juga sangat membantu proses ke arah penyelesaian dan mengatur konflik yang terjadi, khususnya pasca Deklarasi Malino.
Pemimpin informal (informal leader) memiliki peranan dan pengaruh yang sangat penting dalam proses manajemen konflik di masyarakat. Mereka menjadi wadah atau media yang menghubungkan pemerintah daerah dengan masyarakat tataran bawah (akar rumput). Mereka berperan dalam merekonsiliasikan hasil-hasil kesepakatan Malino. Para pemuka pendapat ini juga berfungsi sebagai "gate keeper" yaitu menyaring dan mengolah informasi sebelum disampaikan kepada masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dona Eka Putri
"Tujuan penulisan ini adalah untuk meningkatkan kinerja PT X, dengan mengusulkan tindakan penyelesaian konflik horizontal antara Serikat Pekerja X (SPX) yang menuntut spin-off dari induk perusahaan dengan Serikat Pekerja RX (SPRX) yang pro manajemen baru hasil RUPSLB. Konflik ini merupakan akibat dari konflik-konflik yang terjadi sebelumnya antara pemerintah pusatpemerintah daerah, induk perusahaan-anak perusahaan, dan manajemen puncak karyawan PT X (rincian permasalahan pada BAB I).
Analisis terhadap konflik di PT X dilakukan berdasarkan teori dari Robbins (2005) tentang proses terjadinya konflik (rincian teori pada BAB II). Ditemukan bahwa ada tiga kondisi anteseden yang menjadi sumber konflik di PT X yaitu:
(1) Struktur; (a) terdapat diskrepansi tujuan antara SPX-SPRX, (b) tidak adanya hukuman dari pihak manajemen terhadap pelanggaran yang dilakukan anggota SPRX sehingga SPX merasa diperlakukan tidak adil
(2) Variabel personal; perbedaan sistem nilai masing-masing anggota kelompok berkontribusi pada terjadinya konflik
(3) Hambatan dalam komunikasi; keengganan kelompok berkomunikasi menyebabkan konflik makin meningkat.
Konflik yang terjadi melibatkan faktor emosional dan personal, sehingga timbul ketegangan dan permusuhan pada kedua kelompok yang mengakibatkan suasana kerja tidak kondusif (rincian pada BAB I). Intensi penanganan konflik yang dilakukan kelompok, dalam hal ini SPX adalah: (1) avoiding; dengan cara menghindari interaksi dan komunikasi dengan SPRX, (2) accommodating; mengorbankan emosi dan rasa ketidakpuasan pada SPRX dengan tetap bekerja bersama SPRX.
Akibat konflik ini adalah: (1) timbul krisis kepercayaan pada pemimpin, (2) suasana kerja menjadi tidak kondusif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>