Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 209337 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Laksmisari Darya Yuwono
"Bekerja pada shift malam adalah periode yang sulit bagi pekerja. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, kerja shift malam dapat menimbulkan gangguan: tidur, neurologis umum, pencernaan dan juga gangguan kehidupan sosial. Gangguan-gangguan itu dapat meningkatkan absentisme pekerja dan merendahkan produktifitas kerjanya. Hal tersebut juga dapat dilihat dari lebih tingginya prosentase absensi karyawan Direct Soap (shift) dari prosentase karyawan Personnel (non shift).
Tujuan penelitian ini adalah untuk nengetahui apakah kelompok shift malam mempunyai angka ketidakthadiran yang lebih tinggi dan produktifitas yang lebih rendah daripada kelompok shift-pagi/siang. Jenis penelitian ini adalah studi prospektif dengan pengambilan sampel secara purposif. Data primer tentang gangguan yang diderita diambil dengan cara pengisian kuesioner selama 3 minggu. Data sekunder tentang absensi, produksi dan kecelakaan kerja dari seluruh pekerja Production Line Pabrik Sabun diambil selama 9 minggu. Teknik analisa yang digunakan adalah Chi-Square, Risiko Relatif, Analysis of Variance dan T-tes. Pengolahan data dan perhitungannya dilakukan dengan Statistical Analysis Package.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja shift malam mempunyai risiko menderita gangguan tidur, gangguan syaraf dan kelelahan lebih tinggi dari pekerja shift sore dan pagi. Selain itu pekerja shift malam mempunyai produktifitas kerja lebih rendah dan melakukan kesalahan kerja yang lebih tinggi dari pekerja shift sore dan pagi. Pekerja shift sore mempunyai risiko menderita gangguan kehidupan sosial lebih tinggi dari pekerja shift malam dan pagi. Selain itu angka ketidakhadiran pekerja shift sorepun lebih tinggi daripada shift pagi dan malam. Gangguan pencernaan tidak didapat hubungan nyatanya dengan kerja shift. Kecelakaan kerja tidak terjadi selama masa penelitian, jadi tidak dapat diambil kesimpulan tentang hubungan antara kecelakaan kerja dengan kerja shift.
Selanjutnya disarankan untuk membagi dua waktu istirahat shift malam, agar para pekerja shift malam tersebut terhindar dari rasa lelah dan kejenuhan."
Depok: Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaen, Ratna Nurlely
"Latar belakang. Nyeri haid yang berkaitan dengan kerja gilir, stres kerja merupakan salah satu gangguan haid yang mengganggu aktivitas sehari-hari wanita pekerja yang memerlukan pengobatan. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor-faktor tersebut.
Metode. Penelitian ini di unit produksi pabrik sepatu PT `H' di Tangerang bulan Mei-Juni 2004. Analisis memakai pendekatan rasio odds.. Kasus adalah subyek yang mengeluh nyeri haid yang memerlukan pengobatan (NHMO). Kontrol adalah subyek yang mengeluh nyeri haid tetapi tidak memerlukan pengobatan, Kasus dan kontrol diidentifikasi melalui survei.
Hasil. Kasus sebanyak 80 orang dan kontrol 80 orang. Kaitan stresor kerja dengan keluhan NHMO tidak dapat dibuktikan secara statistik. Sedangkan, keluhan NHMO lebih kecil sebanyak 67% di antara yang berpendidikan SLTA/Akademi dibandingkan pekerja berpendidikan SMP [rasio odds (OR) suaian = 0,33; 95% interval kepercayaan (CI) = 0,09-1,13]. Pekerja yang sudah melahirkan anak 59% lebih kecil mengalami keluhan NHMO (OR suaian = 0,41; 95% CI = 0,20-0,82) dibandingkan dengan yang belum pernah melahirkan. Lebih lanjut, wanita pekerja yang bekerja secara gilir 43% lebih kecil untuk mengalami keluhan NHMO (OR suaian = 0,57; 95% CI = 0,25-1,31) bila dibandingkan dengan yang tidak bekerja gilir. Bila dibandingkan dengan yang hanya untuk membantu keluarga, pekerja yang berperan sebagai pencari nafkah utama keluarga 5 kali lebih besar untuk mengalami keluhan NHMO (OR suaian=5,34; 95%CI=1,01-28,32).
Kesimpulan: Perhatian khusus perlu diberikan kepada pekerja yang berpendidikan SMP, yang bekerja tidak gilir, pencari nafkah utama keluarga, atau yang belum mempunyai anak terhadap keluhan nyeri haid yang memerlukan pengobatan.

The Relationship Between Work Stressors And The Dysmenorrhoea With Therapy Among Of Shoes Employees At PT 'H' In TangerangBack ground Dysmenorrhoea is one of menstrual dysfunction which can found and makes problems, among others related to shift work, job stress. Therefore, the objective of this study was to identify the relationship those risk factors.
Methods. This study was carried out among workers at PT in Tangerang during May to June 2004. The analysis using odds ratio to ident the risks, Case was those who had dysmenorrhoea who needed medication (DIVM), whiles control was those who did not need medication.
Result. There were 80 cases and 80 controls. There was noted that no relationship between job stressors and DMv!.. The factors related to DNM were education, parity. shift work, and the function in the family. Compared to lower junior high school workers, senior high school or undergrade had a lower risk being DNM for 67% /adjusted odds ratio (OR) = 0.33; 95% confidence interval (CI) ; 0.09-1.13]. In addition, those who had baby had 59% lowered being DNM than who did not have baby (OR = 0.41; 95% CI 0.20-0.82), and shift workers also had a lower risk of being DNM for 43% (OR 0.57; 95% CI 0.25-1.31). however, the main earners for family worker had higher risk DNM for 5.3 times than who work to increase their family income (OR = 5,34; 95% CI 1.01-28.32).
Conclusion. The workers who had lower education, no parity, and who were not in shift workers need special attention to lower DNM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13654
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mesayu Hesti Azizah
"Latar belakang dan tujuan:
Sebagai asset bagi perusahaan, pekerja offshore harus sehat baik fisik maupun mental untuk dapat mencapai kreativitas dan produktivitas tertinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dan gangguan mental.
Metode:
Penelitian ini menggunakan rangcangan kros seksional dengan 125 orang responder. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik sosiodemografi responden, kebiasaan responden, karakteristik lingkungan kerja, pengukuran stres kerja dengan menggunakan kuesioner survai diagnosis stres dan pengukuran gangguan mental dengan menggunakan kuesioner symptom check list-90.
Hasil dan kesimpulan:
Pekerja offshore yang diduga memiliki gangguan mental sebanyak 47,2%. Jenis gangguan mental terbanyak adalah sensitifitas interpersonal kemudian obsesif konpulsif (21,6%) dan phobia (19,2%). Stres kerja tidak berpengaruh secara bermakna terhadap risiko terjadinya gangguan mental. Perkembangan karir adalah stresor dominan dengan nilai P paling kecil (0,069) tetapi belum bermakna. Faktor karakteristik responden yang secara bermakna berhubungan dengan gangguan mental adalah pendidikan. Faktor karakteristik responden yang secara bermakna berhubungan dengan stres kerja adalah pangkat dan status pernikahan. Bising kerja secara bermakna berpengaruh terhadap timbulnya stres kerja.

Background and Objective:
As an asset to company, offshore personals have to stay healthy both physically and mentally to be highest creativity and productivity. The aim of this research is to study job stress and mental disorders relationship.
Methods:
This study was using cross sectional design that had 125 respondents. The data collected were respondent's characteristic of socio demography and habit, work environment's characteristic, measurement of job stress by using Survey Diagnostic Stress Questionnaire and measurement of mental disorders by using Symptoms Check List-90 Questionnaire.
Result and conclusion:
The offshore personals that presumed as mental disorders in this study is 47,2%, the prone symptom of mental disorder is interpersonal sensitivity (24,8%) followed by obsessive compulsive (21,6%) and phobia (19,2%). Job stress isn't influence the prevalence of mental disorder. Career development is job stressor that has smallest value of significance but the value isn't small enough to be significant. Respondent characteristic factor that has a significant relationship to mental disorders is education level. Respondent characteristic factors that show a significant relationship to job stress are job grade and marriage status but the prone is job grade. Working noise is the work environment characteristic that has a significant relationship to job stress.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carmia Pratiwi Santoso
"

Pendahuluan: Suatu keadaan ketika karyawan hadir secara fisik di tempat kerja, tetapi mengalami penurunan kinerja dikenal dengan istilah presenteeism. Di Indonesia belum ada penelitian yang memberikan gambaran mengenai stressor kerja yang terjadi pada Polisi yang dihubungkan dengan presenteeism dan dibandingkan dari fungsi tugas nya. Penelitian pada polisi di Swedia berusaha mencari hubungan karakteristik pekerjaan dengan presenteeism dimana didapatkan hasil sebesar 47 % anggota polisi yang dilaporkan mengalami presenteeism. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan stressor kerja dengan presenteeism terkait status kesehatan pada polisi dengan memperhatikan perbedaan antara polisi tugas operasional dan pembinaan.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang perbandingan (comparative cross-sectional) menyertakan 220 polisi di Polres X sebagai responden yang dipilih dengan convenience sampling. Responden terdiri dari petugas polisi dari departemen administrasi dan departemen operasional dengan jumlah yang sama. Data dikumpulkan dengan menggunakan empat kuesioner yang telah divalidasi. Presenteeism dinilai dengan Stanford Presenteeism Scale-6 (SPS-6) versi Indonesia, stressor kerja dengan Survei Diagnosis Stres (SDS), stres dengan Self-Reporting Questionnaires-20 (SRQ-20), dan stressor bukan akibat kerja dengan Holmes and Rahe, juga karakteristik sosiodemografi dengan kuesioner Identitas Responden. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik.

Hasil: Proporsi Presenteeism pada anggota polisi di Polres X yang memiliki presenteeism tinggi (high presenteeism) adalah sebesar 65,9%. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara fungsi tugas dan presenteeism terkait status kesehatan dengan nilai p <0,001; OR = 0,22; 95% CI (0,11-0,42), juga stressor kerja beban kerja kualitatif dengan nilai p = 0,008; OR = 0,30; 95% CI (0,12-0,73) yang menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap presenteeism pada polisi. Sedangkan variabel lainnya tidak ditemukan berhubungan.

Kesimpulan: Polisi dengan fungsi tugas operasional memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami presenteeism dibandingkan dengan polisi fungsi tugas pembinaan. Polisi dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori sedang-berat memiliki risiko lebih tinggi menjadi presenteeism dibandingkan dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori ringan.

Pendahuluan: Suatu keadaan ketika karyawan hadir secara fisik di tempat kerja, tetapi mengalami penurunan kinerja dikenal dengan istilah presenteeism. Di Indonesia belum ada penelitian yang memberikan gambaran mengenai stressor kerja yang terjadi pada Polisi yang dihubungkan dengan presenteeism dan dibandingkan dari fungsi tugas nya. Penelitian pada polisi di Swedia berusaha mencari hubungan karakteristik pekerjaan dengan presenteeism dimana didapatkan hasil sebesar 47 % anggota polisi yang dilaporkan mengalami presenteeism. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan stressor kerja dengan presenteeism terkait status kesehatan pada polisi dengan memperhatikan perbedaan antara polisi tugas operasional dan pembinaan.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang perbandingan (comparative cross-sectional) menyertakan 220 polisi di Polres X sebagai responden yang dipilih dengan convenience sampling. Responden terdiri dari petugas polisi dari departemen administrasi dan departemen operasional dengan jumlah yang sama. Data dikumpulkan dengan menggunakan empat kuesioner yang telah divalidasi. Presenteeism dinilai dengan Stanford Presenteeism Scale-6 (SPS-6) versi Indonesia, stressor kerja dengan Survei Diagnosis Stres (SDS), stres dengan Self-Reporting Questionnaires-20 (SRQ-20), dan stressor bukan akibat kerja dengan Holmes and Rahe, juga karakteristik sosiodemografi dengan kuesioner Identitas Responden. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik.

Hasil: Proporsi Presenteeism pada anggota polisi di Polres X yang memiliki presenteeism tinggi (high presenteeism) adalah sebesar 65,9%. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara fungsi tugas dan presenteeism terkait status kesehatan dengan nilai p <0,001; OR = 0,22; 95% CI (0,11-0,42), juga stressor kerja beban kerja kualitatif dengan nilai p = 0,008; OR = 0,30; 95% CI (0,12-0,73) yang menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap presenteeism pada polisi. Sedangkan variabel lainnya tidak ditemukan berhubungan.

Kesimpulan: Polisi dengan fungsi tugas operasional memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami presenteeism dibandingkan dengan polisi fungsi tugas pembinaan. Polisi dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori sedang-berat memiliki risiko lebih tinggi menjadi presenteeism dibandingkan dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori ringan.


Introduction: A situation when an employee is physically present at work, but has decreased work performance is known as presenteeism. In Indonesia there are no studies that provide an overview of work stressor that occur in police related to presenteeism and compared to their task function. Research among Swedish police officer in 2011 found a relationship between job characteristics and presenteeism in which 47% of police officer reportedly experienced presenteeism.This study was aimed to know the relationship between work stressor and presenteeism related to health status of police by observing the difference between operational and administrative police.

Method: This research used a comparative cross sectional design with 220 police officer from a District Police Office as respondents selected by convenience sampling. The respondents consisted of the same number of the police officer from Administrative and Operational Department. Four validated questionnaires were used. Presenteeism was identified using with Stanford Presenteeism Scale-6 (SPS-6) Indonesian version, work stressor with Survey Diagnostic Stress (SDS), stress with Self Reporting Questionnaires-20 (SRQ-20), and non work stressor with Holmes and Rahe, as well as sociodemographic characteristics with questionnaire of respondents. The statistical test used was Chi-Square with a multivariate analysis using logistic regression test.

Result: The proportion of high presenteeism among the police was 65,9 %. This study show statistically significant relationship between operational task function with presenteeism related to health status with the result of p-value is <0,001; OR = 0,22; 95% CI (0,11-0,42), so does qualitative workload work stressor with the result of p-value is 0,008; OR = 0,30; 95% CI (0,12-0,73). It showed a statistically significant related to presenteeism among the police. Meanwhile, other variables were not significantly related to presenteeism.

Conclusion: The police with operational task function has a lower risk for presenteeism compared to the police with administrative task function. The police with moderate-severe category work stressor qualitative workload has a higher risk for presenteeism compared to mild category work stressor qualitative workload.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Suwarni
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Perawat kesehatan merupakan sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam kegiatan rumah sakit. Perawat kesehatan selalu dihadapkan dengan berbagai masalah, seperti beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif, kerja gilir, risiko penularan, tanggung jawab tugas, dan sebagainya. Semua masalah ini dapat merupakan stresor kerja yang akan berdampak pada kesehatan jiwa perawat, diantaranya gangguan mental emosional. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara stresor kerja dengan gangguan mental emosional di kalangan perawat kesehatan.Unluk menganalisis hubungan antara stresor kerja dengan gangguan mental emosional pada perawat kesehatan RSUPNCM Jakarta, digunakan dua macam instrumen. Pengukuran stres kerja dipergunakan instrumen kuesioner Survai Diagnostik Stres. Penilaian gangguan mental emosional dipergunakan instrumen kuesioner Symptom Check List 90 (SCL9O). Penelitian ini menggunakan disain studi potong lintang(cross sectional), terhadap 300 subjek penelitian yang terdiri dari perawat rawat inap dan rawat jalan. Analisis dilakukan dengan cara analisis bivariate, dilanjutkan analisis multivariat regresi dengan cara analisis regresi linear ganda.
Hasil dan kesimpulan: Perawat rawat inap lebih stres dibandingkan perawat rawat jalan. Stresor pada perawat rawat inap didominasi oleh beban kualitatif dan konflik peran. Prevalensi gangguan mental emosional pada perawat kesehatan 17,7%. Perawat rawat inap lebih banyak mengalami gangguan mental emosional dibandingkan perawat rawat jalan. Ada hubungan bermakna antara stresor kerja dengan gangguan mental emosional. Pada derajat sires tinggi, yang mempunyai hubungan bermakna dengan dengan gangguan mental emosional adalah stresor ketaksaan peran. Risiko terjadinya gangguan mental emosional pada stresor ini adalah 5,8 kali lebih tinggi dibandingkan derajat stres rendah. Pada derajat stres sedang, yang ada hubungan bermakna dengan gangguan mental emosional adalah stresor tanggung jawab, pengembangan karier, beban kuantitatif, dan konflik peran, dengan risiko tertinggi pada stresor tanggung jawab. Pada stresor tanggung jawab, risiko terjadinya gangguan mental emosional perawat yang mengalami stres derajat sedang adalah 3,54 kali dibandingkan stres rendah. Pada analisis multivariat, stresor kerja yang ada hubungan bermakna dengan gangguan mental emosional adalah stresor tanggung jawab. Karakteristik subjek yang ada hubungan bermakna dengan stres kerja adalah variabel bagian (rawat inap/rawat jalan).

Scope and study method: Nurses are human recourses who are direct involved in hospital activity. Nurses are often confronted with many problems such as qualitative overload, quantitative overload, shift work, job responsibilities, and contaminated risk. All of the problems are occupational stressors which result in mental health of nurses, such as emotional disorders. The purpose of this study is to find the relationship between occupational stress and mental emotional disorders among health nurses at RSUPNCM in Jakarta. The Survey Diagnostic Stress questionnaire was used to measure the occupational stress and the SCL 90 questionnaire was used to measure the mental emotional disorders. This study design was a cross sectional design with a sample of 300 subjects. Collected data was processed using bivariate analysis and multivariate analysis.
Results and conclusions: Ward nurses were more stressful) than ambulatory nurses. Stressors of ward nurses were dominated by qualitative overload and career development. Stressors of ambulatory nurses were dominated by qualitative overload and role conflict. Prevalence of mental emotional disorders on nurses are 17.7%. There were significant relationship between occupational stress with mental emotional disorders. In high level stress, stressors which having significant relationship with mental emotional disorders was role ambiguity. Mental emotional disorders risk of this stressor is 5.8 times more than low level stress. In the moderate stress, stressors which having significant relationship with mental emotional disorders was responsibility stressor, career development, quantitative overload, and role conflict. The highest risk was responsibility stressor. For responsibility stressor, nurses with moderate stress experience have a risk of mental emotional disorders 3,45 times more than nurses with low stress. By multivatriate analysis, occupational stressor with significant relationship to mental emotional disorders was responsibility stressor. Subject characteristics with significant relationship to the stress was unit variable ( ward nurses/ambulatory nurses).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Radityo
"Stres kerja dapat dialami oleh karyawan, khususnya karyawan perusahaan Teknologi Informasi. Salah satu pengaruh adanya sumber stres kerja pada karyawan perusahaan Teknologi Informasi adalah kinerja karyawan Penelitian yang dilakukan pada 52 karyawan perusahaan Teknologi Informasi PT X ini ingin mengetahui hubungan sumber stres kerja dengan kinerja pada karyawan perusahaan Teknologi Informasi pada PT X serta ingin mengetahui perbedaan sumber stres kerja dengan kinerja diantara karyawan tetap dan karyawan kontrak. Teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling atau convenience sampling. Sumber stres kerja pada karyawan Teknologi Informasi diukur dengan Job Stres Survey dan Kinerja diukur dengan alat ukur kinerja karyawan dari PT. X sehingga hanya didapatkan data sekunder.
Dari hasil korelasi pearson ditemukan bahwa sumber stres kerja memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan kinerja pada karyawan tetap (-0,722 dengan p < 0,05), dan pada karyawan kontrak (-0,842 degan p value <0.05) Ditemukan juga perbedaan pada dimensi sumber stres kerja yang berhubungan terhadap kinerja diantara karyawan tetap dan karyawan kontrak. Dimensi sumber stres kerja yang memiliki hubungan dengan kinerja karyawan tetap adalah kondisi kerja, ambiguitas peran, pengembangan karir, sedangkan untuk dimensi hubungan interpersonal dan struktur organisasi tidak memiliki hubungan dengan kinerja karyawan tetap. Sedangkan dimensi sumber stres kerja yang memiliki hubungan dengan kinerja karyawan kontrak adalah kondisi kerja, ambiguitas peran, hubungan interpersonal, pengembangan karir, dan struktur organisasi.
Job Stressor can be experienced among employee, especially Information Technology corporate employees. One of the influence of job stress on Information Technology corporate employees is employee performance. The research with 52 Information technology employees explore the correlation between job stressor and performance and also explore the correlation between permanent employees and contarct employees. The sampling techniques used in this research are accidental sampling or convenience sampling. Job stress in Information technology employees is measured with employee performance assessment fron the PT. X.
Pearson Correlation analysis demonstrate that job stress have a significant negative correlation eith performance on permanent employees (r = -0,722 with p value <0,05) and significant negative correlation between job stress and performance on contract employees (r = -0,707 with p value <0,05). Job stress dimention that relates with performance of permanent employees are work condition, role ambigui ty, career development while interpersonal relation and organization structure dimention have no relation with permanent employees performance. On the other side the job stress dimention that relates with the contract employees are work condition , role ambiguity, interpersonal relation, career development and organization structure.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fitrianingsih
"Skripsi ini menjelaskan mengenai dua variabel, yaitu stres kerja dan kinerja karyawan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara stres kerja dengan kinerja karyawan pada Agen AJB Bumiputera 1912 Kantor Cabang Pancoran Mas Depok. Variabel stres kerja diuji dengan menggunakan 7 dimensi dari Shin-Goo Park. Sedangkan variabel kinerja karyawan diuji dengan menggunakan 4 dimensi dari jurnal Emin Kahya.
Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif, dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada 60 agen pada AJB Bumiputera 1912 Kantor Cabang Pancoran Mas Depok. Tetapi kuesioner yang berhasil dikumpulkan kembali adalah 57 kuesioner. Analisis data yang digunakan adalah korelasi spearman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara stres kerja dengan kinerja karyawan menunjukkan kekuatan hubungan yang sedang dan arah hubungan negatif atau berlawanan. Hal ini berarti bahwa pada tingkat stres kerja rendah maka kinerja karyawan akan meningkat, tetapi peningkatan jumlah stres yang rendah dapat meningkatkan kinerja hanya sampai titik tertentu. Pada tingkat stres kerja tinggi yang melebihi titik tersebut maka kinerja akan menurun.

This study explaine 2 (two) variables, the variables are job stress and employee performance. The purpose of this study to analyze the relationship between of job stress with employee performance of agent at AJB Bumiputera 1912 on Pancoran Mas Depok Branch Office. Job stress variables were tested using 7 dimensions of Shin-Goo Park. While employee performance variables were tested using 4 dimensions of Emin Kahya.
The research method was used a quantitative study, conducted by distributing questionnaires to 60 agent at AJB Bumiputera 1912 Pancoran Mas, Depok Branch Office. But the questionnaire which collected questionnaires returned was 57 questionnaires. Analysis of data is used the spearman correlation.
The results showed that relationship between job stress with employee performance is demonstrate the strength and direction of relationship is negative or the opposite relationship. This means that at low stress levels will increase the employees performance, but it only at some point level highest and then will decrease if over that the highest level.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lugina Prativi
"Skripsi ini membahas faktor yang mempengaruhi stres kerja di fungsi Operasi dan Produksi PT. Pertamina Geothermal Energy area Kamojang tahun 2012. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain studi kasus. Penelitian ini menggunakan teori Cox, Griffith, dan Rial-Gonzales tahun 2000 dengan variabel yang digunakan yaitu Bahaya Fisik berupa kebisingan, Konten Pekerjaan (Beban Kerja dan Desain Kerja) dan Konteks Pekerjaanyaitu (Hubungan Interpersonal, Peran di Organisasi dan Pengembangan Karir). Data primer diperoleh dengan wawancara mendalam kepada informan dan observasi langsung ke area kerja, sedangkan data sekunder didapatkan dari data perusahaan dan studi literatur terdahulu. Hasil yang didapat, faktor yang mempengaruhi stres kerja adalah bahaya fisik dari kebisingan, sedangkan bahaya psikososial pada konten pekerjaan yaitu beban kerja dan kontek pekerjaan yaitu hubungan intepersonal.

This research is the factors that influence job stress in the worker of Operations and Production PT. Pertamina Geothermal Energy Kamojang area in 2012. This research is a qualitative case study design. This study using the theory of Cox, Griffith, and Rial-Gonzalez in 2000 with the variable is a Physical Hazards such as noise, Content to Works (Workload and Work Design) and Context to Work (Interpersonal Relationships, Role in Organizations and Career Development). The primary data obtained by the informant in-depth interviews and direct observation to the work area, while the secondary data obtained from the company's data and previous literature. The results, factors affecting job stress is physical hazards of noise, whereas psychosocial hazards on the job content and context of the work load and the intepersonal relationships."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S43975
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulandari
"Karyawan wanita menjalani dua peran sekaligus yaitu sebagai seorang pekerja dan sebagai ibu rumah tangga. Hal ini dapat menimbulkan konflik , dan konflik yang berkepanjangan dapat menyebabkan kondisi tekanan yang dapat menyebabkan terjadinya stress. Dampak dari stress kerja dapat menimbulkan kerugian baik bagi individu karyawan maupun bagi perusahaan sehingga perlu diketahui hubungan konflik peran ganda dan stress kerja karyawan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian survey. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling dengan jumlah sampel sebanyak 96 karyawan wanita yang telah menikah dan berstatus karyawan tetap di Pusat Administrasi Universitas Indonesia. Pengolahan data menggunakan teknik analisis Rank Spearman dan di lakukan menggunakan SPSS 17. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara konflik peran ganda dan stress kerja karyawan.
Female employees serving two roles at once, namely as a worker and a housewife. This can lead to conflict, and conflict can lead to stress conditions that can cause stress. The impact of job stress can result in losses for both individual employees and for companies to keep in mind the dual role of relationship conflict and stress for employees. This study uses a quantitative approach to survey research methods. The sampling technique used in this study is the total number of sampling with a sample of 96 female employees who have been married and the status of permanent employees at the Central Administration of the University of Indonesia. Processing the data using Spearman Rank analysis techniques and done using SPSS 17. The results showed that there are positive and significant relationship between the work family conflict and work stress for employees."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zackya Yahya Setiawan
"Latar belakang dan Tujuan
Pekerja redaksi merupakan aset utama bagi suatu perusahaan media cetak. Mereka bekerja dengan deadline yang sangat ketat, etch karena itu mereka harus senantiasa sehat secara fisik, mental dan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan stres kerja dan hubungannya dengan kecenderungan gejala gangguan, mental emosional.
Metode
Penelitian ini menggunakan disain potong melintang dengan analisis perbandingan internal. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik sosiodemografi responden, karakteristik lingkungan kerja, data pengukuran stres kerja dengan menggunakan kuesioner Survey Diagnostic Stress, data pengukuran kecenderungan gejala gangguan mental emosional dengan Symptom]) Check List 90 (SCL-90), serta data pengukuran tingkat kebisingan, pencahayaan, dan suhu kelembaban di lingkungan kerja.
Hasil
Dari 100 responden didapatkan prevalensi kecenderungan gejala gangguan mental sebesar 58% dengan kecenderungan gejala terbanyak adalah psikolism 36%, somatisasi dari paranoid masing-masing 33%, serta obsesif-konvulsif 29%. Stres kerja bemakna berhubungan dengan kecenderungan gejala gangguan mental emosional melalui stresor pengembangan karma (p 0.00, OR 13.75, CI 3.69-51.11). Jenis stresor kerja yang dominan terhadap stres kerja adalah beban kerja berlebih kuantitatif 83%. Faktor karakteristik yang bermakna berhubungan dengan stres kerja adalah pendidikan pada stresor beban kerja berlebih kuantitatif (p 0.00, OR 0.17, CI 0.05-0.52), masa kerja pada stresor konflik peran (p 0.04, OR 2 72, CI 1.04-7.09), dan olah raga pada stresor tanggung jawab terhadap orang lain (p 0.00, OR 4.66, Cl 1.66-13.08). Faktor kebiasaan yang bermakna berhubungan dengan sires kerja adalah merokok pada stresor tanggung jawab terhadap orang lain
(p 0.00, OR 4.77, CI 1.37-1L64 ).
Kesimpulan
Stres kerja mcmpunyai hubungan bermakna dengan kecenderungan gejala gangguan mental emosional melalui stresor pengembangan karir. Pendidikan werupakan faktor protektif lerhadap stres kerja pada stresor beban kerja berlebih kuantitatif. Masa kerja pada stresor konflik peran dan olah raga pada stresor tanggung jawab terhadap orang lain berisiko terhadap stres kerja. Responden yang mengalami sires kerja karena stresor tanggung jawab terhadap orang lain berisiko mengkonsumsi rokok empat kali lebih banyak dibanding dengan responden yang tidak stres.

Background and Objectives
The journalist is a valuable asset for publishing company. They work with a very strict deadline and that requires them to have a good state of physical, mental. and social health. This research aims to find out the existance of work-related stress and its relationship with the tendency of acquiring symptom of mental emotional disorder.
Method
This research uses a cross sectional design with internal comparison analysis. The data collected were respondent's characteristic of sociodemography, work environment's characteristic, measurement of work-related stress by using Survey iDisgnostic Stress questionnaire, data of the tendencies of acquiring symptom of mental emotional disorder by using Symptomp Check List 90 (SCL-90), and data measurement of noise, lighting, and moisture level within work environment.
Result
From 100 respondents, it was found that the prevalence of the tendency of acquiring symptom of mental emotional disorder is 58% with tendency of phsycotism 36%, somatisation and paranoid symptoms each of 33%, and obsesive-convulsive 29%. There is significant relationship between work-related stress and the tendency of acquiring symptom of mental emotional disorder on stressor of carrier development (p 0.00, OR 13.75, CI 3.69-51.111 The dominant stressor is role of overload quantitative 83%. The significant characteristic relationship to work-related stress is education on stressor of role of overload quantitative (p 0.00, OR 0.17, CI 0.05-0.52), work period on stressor of role of conflict (p 0.04, OR 2.72, CI 1.04-7.09), and time spent on exercise on stressor of responsibility for people (p 0.00, OR 4.66, CI 1.66-13.0a). Smoking has significant relationship to work-rclated stress on stressor of responsibility for people (p 0.00, OR 4. 77, CI 1.37-11.64).
Conclusion
Work-related stress has a significant relationship with the tendency of acquiring symptom of mental emotional disorder on stressor of carrier development. Education is a work-related stress protective factor on stressor of role of overload quantitative. Work period on stressor of role of conflict and time spent on exercise on stressor of responsibility for people have a siginificant relationship to stress at work. Respondent who experiences work-related stress because of stressor of responsibility for people has a greater tendency to smoke four times more than one who does not experience it.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T17704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>