Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60726 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Medavita Hakim
"Perjanjian baku dalam penjanjian kredit bank mencantumkan klausul-klasusul yang cenderung baku sehingga debitur hanya disuguhi dua pilihan yaitu menolak atau menerima pernjanjian baku tersebut.
Masalah yang dikaji penulis dalam penelitian ini adalah; Bagaimana bentuk dan isi perjanjian baku yang selama diterapkan oleh tiga Bank yaitu Bank Mega, Bank Mandiri serta HSBC, apakah perjanjian perjanjian baku yang diterapkan dalam perjanjian kredit ketiga bank di atas bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta bagaiama praktek dan implementasi perjanjian baku ketiga bank tersebut.
Dengan pendekatan yuridis normative, dimana penulis menitikberatkan penelitiannya pada hukum positif dan data kepustakaan disertai teknik pengumpulan data dengan cara wawancara yang dilakukan oleh penulis di Tiga Bank yaitu Bank Mega, Bank Mandiri serta HSBC, maka penulis menganalisis data di atas dengan menggunakan analisis kualitatif yaitu penulis menguraikan data dalam bentuk uraian dan konsep hukum dalam prosentase ataupun angka.
Setidaknya ada dua kegunaan dalam penelitian ini secara praktis yakni memebrikan masukan kepada lembaga-lembaga terkait seperti, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan secara teoritis yaitu sebagai koreksi perihal berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam penelitian ini penulis mendapati bahwa Perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank mencantumkan klausul-klausul yang isinya sebagai pengalihan tanggung jawab bank kepada debitur, sehingga memberatkan debitur, karenanya bertentangan dengan Pasal 18 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T15419
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desy Roosarina Dewi
"Kredit Pemilikan Rumah adalah kredit yang bertujuan membantu konsumen yang memerlukan rumah untuk dapat membeli rumah dengan fasilitas kredit perbankan. Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Bank Persyarikatan di Purwakarta terdapat "bargaining position" yang tidak seimbang antara konsumen dengan pihak bank, yang terasa berat dengan adanya pencantuman klausula baku dan tidak sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Hukum Perdata. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini cenderung merugikan pihak yang kurang dominan, sehinga berada dalam posisi "take it or leave it".
Permasalahan dalam tesis ini adalah mengenai penerapan dan akibat hukum klausula baku dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Bank Persyarikatan serta peran pemerintah dan notaris berkaitan dengan penerapan klausula baku tersebut, ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan konsumen dan juga Hukum Perdata.
Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif, menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder maupun bahan hukum tersier. Untuk melengkapi dilakukan juga wawancara dengan beberapa informan terkait.
Dari hasil penelitian dan analisis dapat disimpulkan bahwa perjanjian haruslah memenuhi kesepakatan para pihak dan tidak ada paksaan, kekhilafan serta penipuan. Dalam Perjanjian KPR Bank Persyarikatan ada beberapa pasal yang tidak sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan tidak memenuhi unsur-unsur sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Hal ini dapat menimbulkan akibat hukum yaitu batal demi hukum. Peran pemerintah diperlukan dalam pengawasan dan penerapan klausula baku dalam Perjanjian KPR, yaitu dengan didaftarkan di instasi yang berwenang. Peran Notaris juga diperlukan dengan cara bertindak profesional dan tidak berat sebelah kepada salah satu pihak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T17628
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Netty
"Pemerintah memiliki tujuan yang baik untuk melindungi pihak konsumen yang biasanya berada dalam posisi lemah dengan menetapkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dengan ditetapkannya UUPK maka perbankan sebagai pelaku usaha harus mematuhi ketentuan UUPK dalam memberikan produk dan jasa kepada nasabahnya khususnya berkaitan dengan pembuatan perjanjian kredit. Berdasarkan hal tersebut diatas penulis melalui penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan data yang dapat dianalisis secara kualitatif sehingga hasilnya bersifat deskriptif kualitatif. Beberapa pokok permasalahan yang dibahas adalah membahas mengenai pengaturan perlindungan konsumen (nasabah) dalam UU Perbankan, analisis yuridis perlindungan konsumen (nasabah) terhadap ketentuan klausula baku dalam perjanjian kredit pada PT. Bank UFJ Indonesia yang mana terdapat klausula baku yang tidak sesuai dengan Pasal 18 UUPK antara lain mengenai penarikan fasilitas kredit, bunga, perubahan hukum. Membahas upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Debitur manakala Bank masih tetap menggunakan klausula baku yang dilarang oleh Pasal 18 UUPK dalam pembuatan perjanjian kreditnya. Sehingga penulis berkesimpulan bahwa penerapan perlindungan nasabah telah diatur dalam undang-undang yang bersifat sektoral yaitu UU No. 10 Th. 1998 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Th. 1992 Tentang Perbankan, serta PBI No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Produk Bank dan penggunaan Data Pribadi Nasabah dan PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Masih adanya penggunaan klausula baku yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) huruf (g) dan Pasal 18 ayat (1) huruf (f) UUPK dalam perjanjian kredit yang dibuat oleh PT. Bank UFJ Indonesia. Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Debitur manakala Bank masih menggunakan ketentuan yang dilarang oleh Pasal 18 UUPK adalah melalui pengadilan atau diluar pengadilan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S23933
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Maria Susan
"Keterbatasan finansial selalu menghambat seseorang untuk memiliki barang konsumsi karena tingginya harga dari barang tersebut. Keadaan ini dapat ditanggulangi melalui perjanjian pembiayaan. Pihak dalam perjanjian ini terdiri dari konsumen, perusahaan pembiayaan dan penyedia barang (supplier). Konsumen akan mendapatkan pembiayaan dari perusahaan pembiayaan yang dituangkan ke dalam perjanjian pembiayaan.
Isi dari perjanjian pembiayaan memuat sebagian syaratsyarat dan hal-hal pokok yang ditetapkan sendiri secara sepihak oleh perusahaan pembiayaan yang posisinya relatif lebih kuat, sedangkan konsumen secara yuridis mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan perusahaan pembiayaan tetapi tidak diikutsertakan di dalam menentukan isinya. Sehubungan dengan ditetapkannya UUPK, maka penulis mencoba menelaah apakah yang menjadi dasar dari pembentukkan perjanjian pada umumnya, apakah perjanjian pembiayaan sesuai dengan UUPK, bagaimana pelaksanaan dan penyelesaian sengketa perjanjian pembiayaan dalam prakteknya.
Perjanjian pembiayaan sendiri merupakan perjanjian baku yang memuat syarat-syarat yang memberatkan konsumen, yaitu berupa pembebasan tanggung jawab dari perusahaan pembiayaan dan penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan ini terjadi akibat tidak adanya bargaining position yang seimbang, sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Dalam Pasal 18 UUPK diberlakukan larangan pencantuman klausula baku bagi 8 (delapan) daftar negatif klausula baku yang pada prinsipnya dapat merugikan konsumen dan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau pengungkapannya sulit dimengerti.
Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak perusahaan pembiayaan yang melakukan penyimpangan terhadap Pasal 18 tersebut.
Dalam era perlindungan konsumen ini diharapkan para pelaku usaha lebih mengkaji perjanjian pembiayaan yang dibuatnya. Di sisi lain juga diharapkan konsumen untuk membaca secara detail dan rinci perjanjian pembiayaan tersebut sebelum menandatanganinya."
2004
T36636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pria Takari Utama
"Perjanjan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) antara bank dengan debiturnya, baik yang dibuat secara notaril maupun di bawah tangan, termasuk perjanjian, baku. Sebagai mana umumnya perjanjian baku, isinya cenderung lebih dominan memagari kepentingan pihak yang secara ekonomis lebih kuat (produsen, pelaku. usaha, kreditur), sedangkan kepentingan pihak yang lain (konsumen, debitur) yang lebih lemah cenderung diabaikan. Isi perjanjian KPR tidak seimbang. Bagaimana debitur dapat dilindungi dalam perjanjian KPR? Klausula apa yang seharusnya tidak boleh dimuat dalam perjanjian KPR? Bagaimana peran Notaris dalam memberikan perlindungan yang seimbang?
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang menitikberatkan pada data kepustakaan mengenai perjanjian baku dan kontroversi keabsahannya, kemudian dikaitkan dengan norma hukum yang ada dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Data diperoleh melalui studi kepustakaan yang menjadi landasan teori dan pengamatan serta pengalaman penulis dalam praktik sebagai Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dengan menelaah beberapa perjanjian KPR yang diterapkan di beberapa bank. Metode analisis data secara kualitatif.
Adapun hasil penelitian berbentuk evaluatif analitis. Dari penelitian terhadap perjanjian KPR berbagai bank, banyak sekali ditemukan klausula-klausula yang memberatkan nasabah debitur KPR sebagai konsumen. Klausula-klausula tersebut bahkan termasuk pelanggaran terhadap Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen dimana pihak pelaku usaha (bank) dapat dikenai sanksi pidana. Untuk melindungi debitur KPR sebagai konsumen dan menjaga supaya bank sebagai pelaku usaha tidak terjerumus kepada pelanggaran atas Undang-undang Perlindungan Konsumen, Notaris bisa berperan besar agar perjanjian KPR dibuat lebih seimbang, sehingga isi perjanjian tidak hanya memagari kepentingan bank, tetapi juga menjaga hak-hak debitur KPR sebagai konsumen. Ini sesuai dengan amanat Undang-undang Jabatan Notaris yang mewajibkan Notaris bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan plhak yang terkait dalam perbuatan hukum."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16469
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahdiani
"Klausula baku merupakan hal yang lazim digunakan dalam dunia usaha, biasanya klausula baku dibuat secara sepihak dan telah ditentukan terlebih dahulu oleh pelaku usaha sehingga konsumen yang ingin memanfaatkan barang atau jasa tersebut hanya memiliki pilihan menyetujui atau tidak menyetujui hal yang termuat dalam klausula tersebut atau dalam istilah disebut take it or leave it, penggunaan klasula baku dibutuhkan dalam dunia bisnis karena bentuk transaksi seperti ini dinilai mempermudah dalam praktik perdagangan, sewa menyewa, asuransi, jasa sektor keuangan dan berbagai bentuk hubungan hukum lainnya. Namun kemudahan transaksi menggunakan klausula baku sering merugikan konsumen, seperti klausula tambahan yang menyatakan bahwa konsumen harus setuju atau tunduk pada perubahan yang akan ada dikemudian hari, perubahan tersebut tidak diketahui perihalnya bahkan dalam beberapa kasus seringnya perubahan tersebut tidak diberitahukan kepada konsumen, oleh karenanya konsumen merasa dirugikan. Undang-undang perlindungan konsumen menyatakan aturan tambahan dalam klausula baku tersebut merupakan klausula yang dilarang dalam pasal 18 ayat 1 huruf (g), pelaku usaha yang memuat ketentuan mengenai klausula tambahan dalam perjanjian baku tersebut dinyatakan batal demi hukum seperti yang termuat dalam pasal 18 ayat (3) artinya perjanjian tersebut tidak mengikat. Selain itu klausula tambahan tersebut merupakan pelanggaran penerapan asas itikad dan merupakan perbuatan melawan hukum.
Dalam penelitian ini diuraikan mengenai kasus dan putusan yang memuat klausula tambahan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan dengan analisis pendekatan undang-undang atau statute approach. Hasil penelitian ini yakni klausula tambahan tersebut merupakan hal yang dilarang oleh undang-undang perlindungan konsumen dan dinyatakan batal demi hukum seperti yang termuat dalam pasal 18. Konsumen yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen namun hal ini masih kurang melindungi konsumen karena putusan yang dikeluarkan oleh BPSK tersebut tidak dapat dilaksanakan dan beberapa putusan dibatalkan oleh pengadilan, alternatif lainnya konsumen dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan gugatan perbuatan melawan hukum.

Standard contract is a common practice in business, it is a practice where the contract is made unilaterally by the business actors so that the consumers would not have a choice but to agree with the contract, or it is commonly known with term "take it or leave it". The use of standard clause is important in the business since it is considered to make trade and transaction easier, as well as leasing, insurance, and financial sector services. However, standard clause often harms consumers, such as an additional clauses where the consumers must agree and submit to changes that will occur in the future. In some cases, such changes are not notified to consumers, therefore it inflicts a financial loss to consumers. According to the Consumer Protection Act of Indonesia, the additional rules in the standard clause are prohibited in article 18 (1) (g), business actors that contain provisions regarding additional clauses in the standard clause are declared null and void as contained in Article 18 (3) which means that the agreement is not binding. In addition, the additional clause is also a violation of the application of the Good Faith principle and it is a tort.
In this research described the cases and decisions that contain these additional clauses. This research was conducted by literature study with statute approach analysis. By this research, author draws a conclusion that additional clause is something that is prohibited by Consumer Protection Art of Indonesia and declared null and void as regulated in Article 18, and consumers who feel aggrieved can file a lawsuit to the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK). However, in practice the decision issued by the BPSK can not be implemented and several decisions are canceled by the District Court. The alternative customers can take is to submit a lawsuit to the District Court with a lawsuit against the law or tort.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Syamsuddin
"Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya memuat syarat-syarat baku yang menyimpang dari kesepakatan para pihak. Secara teoretis yuridis perjanjian baku ini tidak mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, namun perjanjian ini dapat diterima dan dibenarkan karena dibutuhkan masyarakat. Masyarakat modem yang futuritif dan pragmatis memandang perjanjian baku sebagai jalan keluar dari sistem perdagangan yang murah dan cepat. Mereka akan lebih bisa menerima keberadaan perjanjian tersebut dan tidak menganggap perjanjian tersebut rnerupakan suatu yang merugikan kepentingan mereka.
Aspek perlindungan konsumen adalah usaha yang dilakukan untuk rnelindungi konsumen dari kerugian yang diderita akibat pemakaian barang dan jasa, termasuk pencantuman klausula baku. Aspek perlindungan konsumen itu biasanya menyangkut hal-hal yang sensitif dan rawan apabila terjadi secara masal. Dalam praktek sehari-hari, banyak terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan para pemakai barang dan jasa seperti barang yang cacat, penipuan iklan, penghapusan tanggung jawab pengusaha, atau jasa yang tidak dilaksanakan semestinya seperti keterlambatan, pembatalan dan penundaan. Sementara ganti kerugian atas hal-hal tersebut sama sekali tidak ada.
Sejalan dengan semakin berkembangnya perjanjian baku maka berkembang pula kebutuhan masyarakat akan adanya hukum di bidang perlindungan konsumen. Kita telah memiliki UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun undang-undang yang telah berlaku sejak 3 tahun lalu itu sama sekali belum menunjukkan keefektifannya. Hal ini menjadi pertanda bahwa hukurn yang ternyata hanya bagus dalam segi formalnya saja, tetapi secara materiel tidaklah dapat diharapkan. Masyarakat masih belum banyak memaharni keberadaan undang-undang ini sehingga mereka masih saja seperti dulu, tidak mau mefnpersulit diri untuk melakukan konflik secara terbuka kepada pengusaha atau produsen atau pelaku usaha. Salah satu akibatnya adalah karena mekanisme penyelesaian sengketa masih hares melalui pengadilan yang selama ini dikenal tidak adil dan berburuk citra. Gawatnya, masyarakat lebih mernilih diam dan rnenganggap rusaknya suatu barang, kadaluarsa suatu produk atau keterlambatan jasa pelayanan merupakan hal biases di dunia bisnis dan perdagangan. Tidak ada upaya mereka untuk mengadu atau menuntut ganti kerugian atas hal-hal tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T17652
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Siti Andaru Hirati Banyakwide
"Munculnya UUPK yang ditunggu masyarakat Indonesia terutama kalangan konsumen, karena UUPK akan dapat memberikan perlindungan kepada konsumen tidak hanya dalam pengkonsumsian, pemakaian atau penggunaan produk atau barang saja melainkan juga dalam penggunaan bidang jasa, dan mewajibkan pelaku usaha untuk menyediakan barang, produk dan jasa yang memenuhi standar mutu.
UUPK juga mengemukakan akan pentingnya pemberian informasi, bahkan penyediaan informasi sudah merupakan hak bagi konsumen yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Sebab dengan adanya informasi, maka konsumen akan dapat membuat pertimbangan dan menentukan pilihan apakah akan mengkonsumsi, memakai -atau menggunakan barang, produk atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen terhadap kepemilikan kartu kredit juga harus mendapat perhatian, sebab seperti pada umumnya para pelaku usaha lainnya, maka pihak bank pun akan selalu mengejar keuntungan bagi lembaganya, sehingga kepentingan konsumen banyak diabaikan. Diperlukan peran UUPK dalam pengawasan yang Iebih ketat terhadap praktek-praktek seperti ini sehingga akan dapat diperoleh kedudukan yang setara antara konsumen dengan pelaku usaha."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T18746
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siska Elvandari
"Kemajuan teknologi dunia yang semakin pesat, ternyata menyangkut juga dalam sektor perdagangan khususnya perbankan. Hal ini terlihat dan terbukti adanya produkproduk perbankan yang lebih menjamin keamanan dan kepraktisan dalam lalulintas pembayaran khususnya kartu kredit.
Pada dasarnya, bentuk perjanjian penggunaan kartu kredit, pada dasarnya mengacu pada klausula baku, yang berarti substansi perjanjiannya telah ditentukan sepihak oleh pihak produsen yakni Bank, dimana Bank sebagai pihak yang dominan, maka konsekuensi dipihak konsumen, adalah :
a. Konsumen berada dipihak yang tidak dominan, konsumen hanya dapat menyepakati, yang berarti akan tunduk terhadap seluruh kewajiban dan persyaratan dalam perjanjian baku tersebut, tanpa punya kesempatan tawar menawar atau konsumen tidak menyepakati.
b. Pada perjanjian baku banyak terdapat klausula eksorerasi, yaitu syarat yang secara khusus membebaskan pihak yang dominant yaitu produser yakni pihak Bank dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan yang timbul dari pelaksanaan perjanjian baku.
Akan tetapi didalam pelaksanaannya, sering kita jumpai penyalahgunaan kartu kredit, oleh karena itu praktek penyalahgunaan kartu kredit meliputi aspek-aspek hukum yang terkait dalam penerbitan, penggunaan kartu kredit, dan secara perlindungan konsumen dapat dikaitkan dengan jenis perlindungan hukum yang diberikan kepada pengguna kartu kredit, serta kendala-kendala yang dihadapi dan upaya penyelesaiannya. Aspek-aspek tersebut diharapkan mampu meminimalisir terjadinya kasus penyalahgunaan kartu kredit dari waktu dan kewaktu."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18959
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>