Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92780 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ari Pratiwi
"Karakteristik anak usia sekolah dasar yang berusia 6 - 11 tahun antara lain adalah lebih menguasai kemampuan dasar seperti membaca, menulis dan matematika Santrock (2004: 20). Tugas perkembangan dan tuntutan belajar yang harus dilalui anak sekolah dasar, membuat anak hares dipersiapkan agar mampu menghadapi tugas perkembangan dan tuntutan di sekolah dasar. Kesiapan masuk sekolah adalah persyaratan keterampilan dan pengetahuan yang memungkinkan seorang peserta didik memanfaatkan semaksimal mungkin suatu jenjang pendidikan Kesiapan anak dilihat dari lima aspek, yaitu a) perkembangan fisik dan motorik b) perkembangan sosial dan emosional c) pendekatan terhadap pembelajaran d) perkembangan bahasa e) kognisi dan pengetahuan umum.
Masing-masing anak memiliki kesiapan sekolah yang berbeda-beda. Untuk anak-anak yang secara usia kronologis seharusnya sudah slap masuk sekolah dasar, namun temyata usia mentalnya belum mencapai kematangan atau kesiapan sekolah, maka diperlukan bantuan ekstra untuk mempersiapkan kesiapan sekolah anak tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai peningkatan kesiapan sekolah anak melalui intervensi program pembiasaan belajar.
Sesuai dengan definisi belajar yaitu perubahan perilaku yang teijadi secara permanen, yang terjadi sebagai hasil dari latihan atau pengalaman (Morgan,et al., 1986: 140), maka perilaku belajar dapat dibentuk melalui pembiasaan. Kebiasaan belajar yang balk (good study habits) akan membuat anak mencapai nilai baik, slap untuk mengikuti pelajaran dan bisa berpartisipasi di kelas (Peters, 2000: 13).
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif. Dalam penelitian ini, subyek penelitian adalah seorang anak berusia 6 tahun yang telah duduk di kelas I sekolah dasar sejak tahun ajaran 2005/2006. Selama duduk di kelas 1, dapat dikatakan subyek belum memiliki kesiapan sekolah yang dapat dilihat dari tidak memiliki minat belajar dan menolak untuk belajar terutama dalam hal menulis, membaca dan berhitung, baik di rumah maupun di sekolah. Pada akhirnya, subyek tidak dapat naik ke kelas 2 karena tidak ada nilai rapor yang bisa is peroleh selama kelas I.
Peneliti menggunakan kuesioner asesmen kesiapan sekolah yang diadaptasi dan dimodifikasi dari Assessment School Readiness Indicators yang digunakan di 3 negara bagian Amerika Serikat yang dikembangkan oleh SECPTAN (State Early Childhood Policy Technical Assistance Network). Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini lebih mengacu pada kuesioner yang dibuat negara bagian Missouri_ Kuesioner yang disusun peneliti terdiri dari 55 item yang dikelompokkan dalam 5 aspek kesiapan sekolah berserta indikator-indikatornya, ditambah dengan 1 aspek serba-serbi atau pemikiran matematika dan ilmiah. Herdasarkan hasil asesmen kesiapan sekolah, subyek belum memiliki kesiapan sekolah pada aspek pendekatan terhadap pembelajaran. Oleh karena itu, terdapat 5 perilaku yang diintervensi dalam penelitian ini yaitu perilaku mempertahankan perhatian pada tugas yang diberikan, menyelesaikan tugas yang diberikan, mampu mengatasi frustrasi dan kegagalan, memiliki kebiasaan belajar di rumah dan memiliki sikap belajar yang positif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui program pembiasaan belajar yang telah dilaksanakan sebanyak Sembilan kali pertemuan, memperlihatkan terjadinya peningkatan kesiapan sekolah pada subyek. Melalui rangkuman basil program pembiasaan belajar, dapat dilihat bahwa subyek mengalami peningkatan pada semua perilaku yang ingin ditingkatkan. Hanya saja, peningkatan perilaku-perilaku tersebut masih belum belum stabil. Perilaku yang masih perlu ditingkatkan adalah kemampuan subyek dalam menoleransi frustrasi dan kegagalan. Subyek masih mudah patah semangat dan merajuk apabila menemui kegagalan atau hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Selain itu subyek juga seringkali tampak ragu-ragu dalam memulai sesuatu yang baru."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18104
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Swatika Wulan Pahlevi
"ABSTRAK
Borderline Intellectual Functioning adalah suatu kondisi taraf kecerdasan
individu dengan skor IQ berkisar antara 71 sampai 84, suatu tingkat yang berada
di bawah rata-rata normal, namun tidak termasuk sebagai keterbelakangan mental
(Sattler, 1987). Anak-anak pada taraf kecerdasan ini seringkali kurang
mendapatkan perhatian di dalam dunia pendidikan. Padahal anak-anak ini
memiliki banyak keterbatasan walaupun biasanya tidak tertampil secara nyata
seperti anak-anak dari golongan kecerdasan lain (retardasi mental). Shaw (2006)
menjelaskan bahwa individu dengan borderline intellectual functioning dapat
dimaksimalkan dengan cara meningkatkan waktu belajar yang lebih lama,
meningkatkan kemampuan self-instruction, pengajaran secara khusus dari guru,
serta pemberian instruksi secara khusus. Selain itu, kebiasaan belajar yang buruk
juga dapat menyebabkan kegagalan atau prestasi yang rendah di sekolah (Schaefer
& Millman, 1987). Oleh karena itu, intervensi harus dilakukan pada anak-anak ini.
Dengan adanya intervensi bagi anak-anak borderline maka diharapkan resiko
kegagalan di sekolah dapat diminimalkan. Salah satu intervensi yang bisa
dilakukan berupa bimbingan untuk mengembangkan kebiasaan belajar (Ninivaggi,
2001).
Perilaku belajar yang buruk bisa terjadi baik pada siswa dengan
kecerdfl-san rata-rata mupun di bawah rata-rata. Namun demikian, memang ada
kecenderungan bahwa anak-anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata (borderline) biasanya kurang dapat melakukan perencanaan. Selain itu, mereka
tidak mengetahui bagaimana caranya belajar (Bocsa, 2003) sehingga pada
akhirnya hal ini akan berimbas pada kemampuan untuk merencanakan kegiatan
belajar dan mengerjakan tugas.
Program intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah modifikasi
perilaku dengan menggunakan positif reinforeement dengan token ekonomi dan
fading untuk membantu subyek memulai belajar.
Subyek penelitian ini duduk di kelas VI sekolah dasar, akan mengikuti
ujian akhir sekolah dan berencana melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP. Subyek
berjenis kelamin perempuan berusia 12 tahun. Saat ini subyek belum memiliki
kebiasaan belajar yang teratur setiap harinya yang dapat mendukung subyek baik
saat ujian sekolah maupun untuk proses belajar di jenjang selanjutnya. Selain itu,
keluarga subyek juga tidak dapat menyediakan model yang dapat dijadikan
panutan bagi subyek untuk dapat belajar dengan teratur. Subyek belajar hanya jika
akan ulangan atau ada PR.
Berdasarkan intervensi yang dilakukan sebanyak 12 kali, didapatkan
kesimpulan bahwa program intervensi pembiasaan belajar terhadap anak
borderline ini dapat dikatakan berhasil. Subyek mulai terbiasa untuk belajar
dengan teratur dengan durasi waktu tertentu serta pada waktu-waktu tertentu
setiap harinya. Selain itu, durasi belajar subyek juga meningkat selama program
intervensi berlangsung. Sebagai tambahan, subyek mulai menguasai beberapa
materi pelajaran matematika seperti perkalian dan pembagian di bawah angka 10
serta konsep bilangan positif negatif dan pecahan yang sebelumnya belum ia
kuasai. Namun demikian sesuai dengan karakteristik anak borderline, subyek
membutuhkan waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat memahami
materi-materi tersebut."
2007
T38136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Supena
"Secara umum, penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh karakteristik keluarga terhadap kesiapan anak untuk belajar di sekolah dasar, khususnya kesiapan di bidang akademik. Secara operasional, penelitian ingin mengetahui pengaruh kepedulian orang tua terhadap kesiapan belajar anak. Lebih lanjut, penelitian juga ingin mengetahui variabel-variabel dalam lingkungan keluarga yang mempengaruhi kepedulian orang tua, baik secara langsung maupun tidak langsung. Variabel-variabel tersebut meliputi (1) sikap orang tua terhadap pendidikan, (2) aspirasi orang tua mengenai pendidikan anak, (3) status ekonomi keluarga, (4) tingkat pendidikan ibu, (5) tingkat pendidikan ayah.
Penelitian dilakukan pada akhir tahun akademik 1995/1996 (Mei, Juni, Juli 1996) di enam taman kanak-kanak yang berada di bawah organisasi Aisyiyah di Kota Madya Bekasi. Sampel penelitian berjurnlah 98 orang ( 50% dari seluruh populasi, yang diambil secara acak). Data mengenai kesiapan belajar dikumpulkan melalui tes kesiapan belajar "NST (Nymeegse Schoolbekwaamheids Test)" yang langsung diberikan kepada anak, sedangkan data mengenai sikap, aspirasi, status ekonomi dan tingkat pendidikan orang tua dikumpulkan melalui angket.
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis jalur (path analysis). Teknik ini dipilih karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu ingin menemukan pola-pola hubungan atau pengaruh yang bersifat langsung maupun tidak di antara variabelvariabel yang diteliti. Tujuan analisis adalah menguji hipotesis berupa suatu model hubungan sebab akibat yang didasarkan pada kajian teoritik. Analisis diawali dengan pencarian nilai koefisien korelasi di antara variabel-variabel (korelasi matrik). Dengan memanfaatkan data koefisien korelasi kemudian dicari angka koefisien jalur (p). Jalur yang mempunyai nilai koefisien jalur (p) di bawah angka 0,05 dihilangkan, karena dianggap tidak signifikan. Tahap berikutnya adalah menguji model dan menguji konsistensi model dengan data.
Penelitian menghasilkan lima belas kesimpulan, yang kemudian dapat dikelompokkan ke dalam lima bagian. Pertama, kepedulian orang tua dalam pendidikan berpengaruh secara langsung terhadap kesiapan anak untuk belajar di SD (p =-0,7419). Kedua, variabel-variabel dalam lingkungan keluarga yang berpengaruh secara langsung terhadap kepedulian adalah sikap orang tua terhadap pendidikan, aspirasi orang tua mengenai pendidikan anak, status ekonomi dan tingkat pendidikan ibu, masing-masing memiliki nilai koefisien jalur (p) 0,1172, 0,1003, 0,2239 dan 0,1920. Sedangkan tingkat pendidikan ayah diketahui tidak berpengaruh langsung terhadap kepedulian (p = -0,0045). Pendidikan ayah berpengaruh secara tidak langsung terhadap kepedulian orang tua, yaitu melalui korelasinya dengan tingkat pendidikan ibu, status ekonomi, dan aspirasinya mengenai pendidikan anak (nilai pengaruh tidak langsung total sebesar 0.2148). Ketiga, sikap orang tua terhadap pendidikan memiliki hubungan yang positif dengan aspirasinya mengenai pendidikan anak (r = 0,57). Faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap sikap orang ma adalah status ekonomi dan tingkat pendidikan ibu masing-masing memiliki nilai koefisien jalur (p) 0.1321 dan 0,1082, sedangkan tingkat pendidikan ayah diketahui tidak berpengaruh secara langsung (p = -0,1204). Tingkat pendidikan ayah berpengaruh secara tidak langsung terhadap sikap orang tua mengenai pendidikan, yaitu melalui korelasinya dengan tingkat pendidikan ibu, status ekonomi dan aspirasinya mengenai pendidikan anak (nilai pengaruh tidak langsung total sebesar 0,3069). Keempat, .aspirasi orang tua mengenai pendidikan anak dipengaruhi secara langsung oleh tingkat pendidikan ayah (p = 0,3793), sedangkan variabeI yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap aspirasi meliputi status ekonomi (p = 0,0274), dan tingkat pendidikan ibu (p = 0,0394 ), masing-masing memiliki nilai pengaruh tidak langsung total sebesar 0,3038 dan 0,2798. Tingkat pendidikan ibu berpengaruh secara tidak langsung terhadap aspirasi melalui korelasinya dengan tingkat pendidikan ayah, sedangkan status ekonomi berpengaruh terhadap aspirasi melalui korelasinya dengan variabel sikap terhadap pendidikan. Kelima, tingkat pendidikan ayah berpengaruh secara langsung terhadap status ekonomi keluarga (p = 0,3746), sedangkan tingkat pendidikan ibu berpengaruh secara tidak langsung (p = 0,0297), dengan pengaruh tidak langsung total sebesar 0,1348. Tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap status ekonomi melalui korelasinya dengan tingkat pendidikan ayah. Selain hasil-hasil tersebut, juga ditemukan bahwa tingkat pendidikan ayah ternyata berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan ibu (r = 0,3520).
Hasil-hasil tersebut memberi implikasi bahwa kepedulian orang tua terhadap pendidikan merupakan faktor sangat penting dan utama sebagai bagian dari upaya untuk menumbuhkembangkan kesiapan anak untuk belajaran di sekolah dasar. Sedangkan karakteristik lain dari kehidupan keluarga yang perlu dikembangkan untuk menumbuhkan suasana peduli terhadap pendidikan adalah (1) sikap yang positif terhadap pendidikan, (2) aspirasi yang positif mengenai pendidikan anak, (3) status ekonomi yang mampu menyediakan fasilitas belajar optimal bagi anak, dan (4) pengalaman pendidikan orang tua.
Ada dua hal yang dianggap sebagai kelebihan dari penelitian ini. Pertama, variabel bebas (independent variable) yang dilibatkan dalam penelitian jumlahnya cukup banyak, sehingga banyak informasi hasil penelitian yang diperoleh. Kedua, penggunaan metode analisis jalur (path analysis), sehingga memungkinkan ditemukannya hubungan sebab akibat serta hubungan langsung dan tidak langsung di antara variabel-variabel yang diteliti. Sedangkan keterbatasan yang dirasakan dalam penelitian ini adalah (1) cakupan sasaran penelitian (populasi-sampel) yang relatif terbatas, dan (2) gambaran kesiapan belajar yang diteliti belum mencerminkan keadaan kesiapan belajar secara menyeluruh dari berbagai aspek perkembangan yang ada pada anak. Penelitian ini memfokuskan kajian pada kesiapan belajar bidang akademik."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Botutihe, Sukma Nurilawati
"Dalam upaya menangani perilaku yang tidak diharapkan dari anak, perlu dilakukan perubahan perilaku. Perubahan tersebut akan menjadi efektif dengan adanya kontrol dan keterlibatan orang tua. Oleh karena itu orang tua perlu diberikan pelatihan dalam mengupayakan teknik modifikasi perilaku pada anak (Schaefer & Briesmeister, 1989). Untuk itu disusun program intervensi yang diawali dengan pelatihan pada ibu Dj (ibu kandung), sehingga ibu Dj dapat menerima kondisi O dan kemudian menerapkan pengetahuan dan keterampilan melakukan modifikasi perilaku terhadap O. Program intervensi dengan teknik modifikasi perilaku melalui pemberian token ekonomi ini ditujukan untuk perubahan perilaku belajar O. O adalah seorang anak penyandang low vision yang berusia 7 tahun 9 bulan. Keberhasilan intervensi yang ditunjukkan dengan adanya perubahan perilaku belajar O, sangat dipengaruhi oleh penerimaan ibu Dj terhadap kondisi O."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T38102
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eunike Karina Nadine Matitaputty
"Underachievement merupakan kondisi dimana seseorang gagal mencapai potensinya. Fenomena ini relatif umum terjadi pada remaja terutama pada saat mereka memasuki masa transisi ke SMP. Hal ini dikarenakan mereka dituntut untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan baik internal maupun eksternal. Beberapa penelitian menemukan bahwa underachievement disebabkan oleh kurangnya kemampuan regulasi diri dalam belajar. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas The Self-Regulation Empowerment Program (SREP) (Cleary & Zimmerman, 2004) untuk membantu seorang peserta didik SMP underachiever meningkatkan kemampuan regulasi diri dalam belajar. Program ini berfokus pada peningkatan pengetahuan (domain kognitif) regulasi diri dalam belajar pada fase forethought melalui pemberian SREP. Analisis hasil dilakukan dengan melihat seberapa partisipan memenuhi indikator keberhasilan pada setiap sesi intervensi, perbandingan skor pre-test dan post-test, dan analisis kualitatif. Secara umum, partisipan berhasil memenuhi indikator keberhasilan sesi yang ditetapkan. Intervensi ini efektif dalam meningkatkan pengetahuan forethought regulasi diri dalam belajar pada aspek pemberdayaan dan penetapan tujuan, namun tidak pada aspek manajemen waktu. Prosedur dalam intervensi ini dapat diadaptasi oleh orang tua dan guru untuk membantu partisipan dalam melatih kemampuan regulasi diri dalam belajar.

Underachievement is a condition that/when someone fails to achieve his/her potential. This phenomenon predominantly occurs to adolescent, particularly during the transition to middle school. This is due to the fact that they are obligated to adapt to many internal and external changes. Several studies confirm that underachievement is caused by poor self-regulation skills in learning. To improve self-regulation skills in learning, Cleary and Zimmerman created The Self-Regulation Empowerment Program (SREP), that is specifically designed for adolescent. In this research, researcher adapted stated program to help a middle school student improve his self-regulation skills in learning. This program focuses on increasing the knowledge (cognitive domain) on self-regulation skills in learning at the forethought phase by means of SREP. The result analysis is performed by observing how well the participant achieve the success indicators, the comparison between pre-test and post-test score, and qualitative analysis. Overall, the participant was able to achieve all the success indicators in each session. This intervention program is effective in increasing knowledge on self-regulated learning at the forethought phase in empowerment and goal setting aspects. However, not in the time-management aspect. The procedures in this intervention can be adapted by parent and teachers to help participant in improving participants self-regulated learning ability."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryuni Novita Sari
"ABSTRAK
Anak yang mengalami keterbelakangan mental perlu mempersiapkan dirinya
untuk menghadapi usia dewasa (Wenar & Kerig, 2000). Mereka harus
mempelajari berbagai fungsi, seperti fungsi inteligensi, komunikasi, sosialisasi,
dan keterampilan hidup sehari-hari agar dapat hidup dengan lebih baik dalam
lingkungan sosial (Michael & McCormick, 2007). Oleh karenanya, program
terpenting bagi anak terbelakang mental adalah melatih mereka dalam
kemampuan hidup sehari-hari atau yang biasanya disebut dengan kemampuan
adaptif (Lucksasson, dkk., dalam Ormrod, 2006).
Berdasarkan hasil pemeriksaan psikologi dan data dasar yang diambir pada N,
anak yang mengalami keterbelakangan mental sedang dengan usia 14 tahun 3
bulan, diketahui bahwa ia belum dapat menguasai berbagai kemampuan adaptif
terutama keterampilan mandi dan berpakaian.
Program intervensi didasarkan pada pendekatan modifikasi perilaku dengan
teknik rantaian perilaku yaitu teknik rantaian perilaku total dengan pemberian
arahan secara bertahap. Tujuan dari penerapan program intervensi adalah
membantu N meningkatkan keterampilan mandi dan berpakaian. Program
intervensi ini diadakan dalam 10 kali pertemuan dan disusun dalam sebuah
rancangan program intervensi yang terdiri atas tiga bagian yaitu : 1) Data Dasar;
2) Program Intervensi; 3) Evaluasi Program.
Hasil intervensi secara umum menunjukkan bahwa program intervensi efektif
untuk meningkatkan keterampilan mandi dan berpakaian pada N. Beberapa
rantaian dalam perilaku mandi tidak dapat dilakukan N karena adanya
keterbatasan fisik.

ABSTRACT
Mentally retarded children have to prepare theirselver for adulthood (Wenar &
Kerig, 2000). They have to learn various skills such as thinking, communication,
socialization and everyday life skills in order to live better in their social
environment (Michael & Mccormick, 2007). Thus, in giving program for children
with mentally retarded children is the most important thing is to train their
everyday life skill or usually called as adaptation skill (Lucksasson et al., in
Ormrod, 2006).
Based on psychological examination and baseline data taken at N who is
moderately mentally retarded and 14 years and 3 months old, it is shown that she
hasn’t master a number of adaptive skills, especially that of bathing and dressing
skill.
The intervention program is based on behaviour modification technique which
will be used in chaining of behaviour which is total task presentation chaining
with gradually prompt The aim of the intervention program is to help N improve
her bathing and dressing skill. The intervention program is conducted 10 times
and consist of three parts, namely: 1) Baseline data; 2) Intervention program 3)
Evaluation program.
The result of the intervention program in general shows that intervention program
is effective to improving her bathing and dressing skill. A few chain of bathing
skill can’t be done by N becaused of limited physical ability."
2008
T37630
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vitriani Sumarlis
"ABSTRAK
Menumt Erikson (dalam Hamner & Turner, 1990) krisis perkembangan yang
dialami anak pada masa usia sekolah adalah industry vs inferiority. Keberhasilan
anak mengatasi krisis in! akan menimbulkan rasa industri yang akan membentuk
konsep diri yang posltif. Rasa industri seorang anak pada masa ini sangat
ditentukan oleh prestasi belajamya di sekolah (Erikson dalam Hjelle & Ziegler
1991).
Prestasi belajar anak di sekolah ditentukan oleh banyak faktor, salah
satunya adalah keluarga karena dalam perkembangan seorang anak tidak ada
pengalaman lain yang bisa mempengaruhi anak sebanyak pengaruh hubungan
orangtua dan anak (Turner & Helms, 1991). Orangtua melalui interaksinya dengan
anak dalam proses pengasuhan dapat berperan dalam upaya pencapaian prestasi'
belajar anak.
Berkaitan dengan peran orangtua, secara tradisional pengasuhan dalam arti
mendidik dan membesarkan anak lebih dibebankan kepada ibu. Peran ayah lebih
dikaitkan dengan peran sebagai pendukung ekonomi yang membutuhkan
keterampilan dan kemampuan intelektual (Signer, 1994; Hamner & Turner, 1990;
Parsons & Bales dalam Signer 1994; Phares, 1996) sehingga keterllbatan ayah
dalam pengasuhan anak tidak mendalam. Namun jaman berkembang dan jumlah
wanita yang bekerja meningkat. Ayah pun mulai dituntut untuk terlibat dalam
pengasuhan anak.
Beberapa basil penelitian menunjukkan bahwa ayah memiliki kemampuan
yang sama dengan Ibu dalam mengasuh anak. Penelitian lain pun menunjukkan
bahwa keteriibatan ayah dalam pengasuhan dapat berpengaruh terhadap
keseluruhan perkembangan sosial, emoslonal dan Intelektual anak (Crouter &
Jenkins 1987)^ Khususnya bag! anak usia sekolah pengaruh ayah lebih
ditekankan pada perkembangan intelektual anak dalam kaltannya dalam pencapaian prestasi belajar. Karakteristik-karakteristik tertentu yang ditampilkan
ayah selama proses pengasuhan -hangat atau kontrol- akan berpengaruh bagi
pencapaian prestasi belajar anak. Dari beberapa peneiitian yang dilakukan oieh
Radin (1981) terhadap ayah anak prasekolah menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang positif antara kehangatan yang diberikan ayah dengan fungsi
intelektual dan prestasi belajar anak. Sedangkan kontrol ayah berhubungan negatif
dengan prestasi belajar anak. Di Indonesia, peneiitian Yusuf (1996) menunjukkan
bahwa kebanyakan orangtua siswa yang berprestasi unggul memiliki pengasuhan
yang cenderung demokratis maupun tidak demokratis. Oleh karena itu, peneiitian
ini akan melihat bagaimanakah karakteristik pengasuhan ayah anak usia sekolah
yang berprestasi belajar tinggi dan rendah.
Peneiitian ini menggunakan pendekatan deskriptif untuk memperoleh
gambaran mengenai dua kelompok sampel yaitu para ayah yang memiliki anak
usia sekolah berprestasi belajar tinggi dan rendah. Subjek peneiitian ini adalah 65
orang ayah. Mereka memiliki anak yang duduk di kelas Vl sekolah dasar dan
tergolong siswa yang berprestasi belajar tinggi dan rendah. Pengambilan sampel
akan dilakukan dengan menggunakan metode purposive. Mat pengumpul data
yang digunakan adalah kuesioner yang diberikan kepada para ayah dari kedua
kelompok ayah tersebut.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kebanyakan ayah dalam
peneiitian ini memiliki tingkat kehangatan dan kontrol yang tinggi dalam
pengasuhan. Saran bagi peneiitian yang akan datang adalah menyeimbangkan
jumlah item pengasuhan ayah yang hangat dan kontrol serta membandingkan
tingkat pendidikan, tingkat pendidikan yang diharapkan maupun yang diharuskan
ayah dan ibu. Untuk peneiitian serupa, diharapkan dapat memperbesar jumlah
sampel sehingga dapat diperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang variabelvariabel
yang berkaitan dengan pengasuhan ayah seperti faktor budaya,
pengalaman bersama ayah atau karakteristik kepribadian ayah."
1997
S2743
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Afia Fitriani
"Komunikasi pada Anak yang Mengalami Autistic Disorder Anak yang mengalami Autistic Disorder memiliki hambatan dalam tiga ranah utama yaitu, interaksi sosial timbal balik, komunikasi, dan pola tingkah Iaku repelitif (Ginanjar, 200_8). Tanpa kemampuan berkomunikasi yang baik anak autis al-can mudah Bustrasi dan menunjukkan gangguan perilaku karena kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi (Mangunsong, 2009). Picture Exchange Communication .Slystam (PECS) rnerupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengajarkan cara berkomunikasi yang praktis kepada individu gang memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dengan menggunakan kartu-ka11u bergambar (Bondy & Frost, 2001).
Program intervensi dalam tugns akhir ini diberikan pada D, anak laki-Iaki dcngan Autistic Disorder yang berusia 7 tahun. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan komunikasi D me-lalui modilikasi perilaku dengan metode Pictu:-e lnlwlzange Cotmuunication System (PECS) sampai fase kedua dari enam fase PECS. I-lasil menunjukkan bahwa berdasarkan perbandingan data dasar dan evaluasi, kemampuan komunikasi D dengan menggunakan PECS menunjukkan peningkatan kcberhasilan sebesar 30%. Hasil ini didukung oleh prosedur intervensi yang terstruktur, jelas, dilaksanakan secara intensifl serta pembexian prompt yang membantu pemahaman instruksi. Kcndala pelaksanaan program antara lain, pilihan benda yang digunakan dalam intervensi, keadaan ruangan, kondisi D yang belum pcrnah mendapatkan intervensi, serta usia D. Sccara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa program intervensi ini cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi D.

Children with Autistic Disorder have deficits in three major domains, which are social interaction reciprocity, communication, and repetitive and stereotyped patterns of behavior (Ginanjar, 2008). Without fine communication skills, autistic children may easily frustrated and then show disturbing behavior because their needs are not understood (Mangunsong, 2009). Picture Exchange Communication System (PECS) is an alternative method using picture cards to teach a practical way to communicate for individuals with speech and language limitations (Bondy & Frost, 2001).
Intervention program in this final project is given to D, a 7 years old child with Autistic Disorder. The purpose is to improve D’s communication skills by behavior mcdilication using Picture Exchange Communication System (PECS) method up to the second phase from total six phase. Results shows that based on the comparision between baseline and evaluation data, D’s communication skills using PECS indicates 30% increase of success. Supportive factors of this result were clear and structured intervention procedure, carried out intensively, and additional prompt to aid instruction understandings Unfortunately, choices of items used in the intervention, room settings, D’s age and not ever received any intervention before became the hindrance factors. Overall, this intervention program is quite effective to improve D’s communication skills.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T34137
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rismawati Syahnawi
1977
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>