Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134303 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Josephine Maria Cristissa Windanti
"Pasangan hubungan jarak jauh semakin umum di Indonesia yang mana memiliki keterbatasan dalam bertemu dan berinteraksi secara fisik. Keterbatasan tersebut berdampak pada aktivitas seksual yang biasa dilakukan bersama pasangan sehingga dapat berpengaruh pada menurunnya kepuasan seksual. Namun seiring berkembangnya teknologi, aktivitas seksual dapat dilakukan secara daring yang salah satunya adalah sexting. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh perilaku sexting terhadap kepuasan seksual pada dewasa muda berusia 20 – 30 tahun (M = 22.04, SD = 1.833) yang menjalani hubungan jarak jauh. Penelitian ini dilakukan pada 411 partisipan (93.2% perempuan, 6.8% laki-laki) yang berpacaran selama minimal enam bulan (M = 28.38, SD = 24.34), menjalani hubungan jarak jauh, melakukan aktivitas seksual dan sexting dengan pasangan. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur perilaku sexting yang dikembangkan oleh Gordon-Messer et al. (2013) dan The Global Measure of Sexual Satisfaction (GMSEX). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku sexting berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kepuasan seksual (B = .219, t(411) = 5.905, p < .05) dengan rata-rata frekuensi menerima sext sebesar 10.06 (SD = 4.003) dan rata-rata frekuensi mengirimkan sext sebesar 10.61 (SD = 4.265) sepanjang menjalin hubungan pacaran dengan pasangan. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi para pasangan berpacaran jarak jauh untuk menjaga aspek seksual dalam hubungan dengan melakukan sexting.

Long-distance relationship couples are increasingly common in Indonesia and which has limitations in meeting and interacting physically. This limitation has an impact on sexual activity that is usually done with a partner so it can affect the decrease in sexual satisfaction. However, as technology develops, sexual activity can be carried out online, one of which is sexting. This study aims to see the effect of sexting behavior on sexual satisfaction among young adults who establish long-distance relationships. This research was conducted on 411 participants (93.2% female, 6.8% male) who had been dating for at least six months (M = 28.38, SD = 24.34), establish long distance relationship, had sexual activity and sexting with partner, which were obtained by convenience sampling. The measurement tool used in this research is the sexting behavior measurement tool developed by Gordon-Messer et al. (2013) and The Global Measure of Sexual Satisfaction (GMSEX). The results showed that sexting had a positive and significant effect on sexual satisfaction (B = .219, t(411) = 5.905, p < .05) with average frequency of receiving sext is 10.06 (SD = 4.003) and average frequency of sending sext is 10.61 (SD = 4.265) during the dating relationship. The result of this study can be a reference for long-distance dating couples to maintain sexual aspects in their relationship by doing sexting"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas ndonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dara Salsabila
"Beberapa tugas perkembangan yang harus dijalani individu pada usia dewasa muda yaitu melanjutkan pendidikan, bekerja, dan mencari pasangan, namun ada kalanya tuntutan pendidikan dan pekerjaan membuat individu harus berpisah jarak dengan pasangannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara trust dan kualitas hubungan romantis pada dewasa muda yang menjalani pacaran jarak jauh. Trust diukur menggunakan Trust dan kualitas hubungan romantis diukur menggunakan Partner Behaviors as Social dan Self Behaviors as Social Context. Sebanyak 127 orang yang terdiri dari 23 laki-laki dan 104 perempuan menjadi responden dalam penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara trust dan kualitas hubungan romantis pada dewasa muda yang menjalani pacaran jarak jauh, serta terdapat pula hubungan pada setiap dimensi trust dan kualitas hubungan romantis pada dewasa muda yang menjalani pacaran jarak jauh. Secara umum dapat disimpulkan bahwa trust dapat memprediksi kualitas hubungan romantis seseorang terhadap pasangannya. Hal ini dikarenakan trust merupakan komponen yang penting dalam sebuah hubungan, terutama pada hubungan pacaran jarak jauh.

Certain developmental tasks that should be passed by a person at young adult age are continuing education, work, and looking for a partner, but occasionally education and job demand that person to undergo a long distance relationship. This research is aimed to find whether or not a correlation between trust and romantic relationship quality among young adult in long distance dating relationship. Trust was measured by Trust Scale, and romantic relationship quality was measured by Partner Behaviors as Social Context and Self Behaviors as Social Context. There are 127 people consist of 23 males and 104 females participated in this research.
The results showed that there was a positive significant correlation between trust and romantic relationship quality among young adult in long distance dating relationship, and there was also a positive significant correlation between the dimension of trust and romantic relationship quality among young adult in long distance dating relationship. In general, we can conclude that trust can predict someone?s romantic relationship quality to their partner. This was because trust is an important component in a relationship, especially in long distance dating relationship.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S66490
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Rizqi Safitri
"Sexting adalah suatu tindakan mengirim dan menerima pesan teks, foto, atau video seksual eksplisit dan vulgar yang dibuat sendiri dan dibagi melalui perangkat teknologi, seperti telepon genggam. Sexting kini merupakan salah satu cara yang digunakan pasangan kekasih untuk menjalin hubungan dan intimasi dengan pasangannya. Oleh karena itu, dilakukanlah penelitian ini yang bertujuan untuk menguji apakah dilakukannya sexting oleh pasangan kekasih ini dapat berkorelasi dengan kepuasan hubungan yang dirasakannya. Penelitian ini dilakukan kepada dewasa muda yang melakukan sexting terakhir kali dengan pacar atau suami/istrinya, di mana 28 diantaranya adalah perempuan dan 15 lainnya adalah laki-laki (N = 44). Sexting diukur dengan menggunakan 8-aitem Skala Sexting yang mengukur frekuensi mengirim dan menerima sext dalam wujud teks, gambar, foto, atau video. Sementara kepuasan hubungan romantis diukur dengan menggunakan Relationship Assessment Scale yang terdiri dari 7 aitem. Hasil analisis Pearsons Correlation menunjukkan bahwa sexting dan kepuasan hubungan romantis dapat berkorelasi secara positif dan signifikan (r(42)=0,303, p<0,05). Dari hasil ini, dapat disimpulkan bahwa dilakukannya sexting oleh partisipan dewasa muda dapat berkorelasi dengan kepuasan hubungan romantis yang dirasakannya.

Sexting is the act of sending and receiving self-produced sexual messages, images, photos, or videos through technology devices, such as mobile phone. Sexting nowadays could be considered as an option for romantic couples to get intimate with their partner. Therefore, this study was made to test out whether sexting is correlated to the level of satisfaction of their romantic relationship. This study involved young adults, 28 women and 15 men (N = 44), who most recently sexted their partner, either dating or married. Sexting was measured by an 8-item Sexting Scale that measures the frequency of sexts exchanged by partners in forms of text messages, pictures, photos, or videos. Meanwhile relationship satisfaction was measured by 7-item Relationship Assessment Scale. The result of Pearsons Correlation showed that sexting and romantic relationships satisfaction are positively and significantly correlated (r(42)=0,303, p<0,05). Therefore, it can be concluded that sexting can correlate to young adults romantic relationship satisfaction. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Magdalena Anastasia Hanipraja
"Integrasi teknologi dalam kehidupan membawa urgensi untuk mempelajari kegiatan virtual yang dilakukan dalam konteks hubungan romantis, dan salah satunya adalah sexting, atau pertukaran pesan sensual melalui teknologi komunikasi. Sebelumnya dipandang sebagai perilaku seksual yang berisiko, baru-baru ini para peneliti telah menemukan perspektif baru dalam memandang sexting sebagai aktivitas positif yang dilakukan dalam hubungan romantis, terutama dalam hubungannya dengan kepuasan seksual. Kepuasan seksual dapat ditingkatkan dengan sexting karena dapat berfungsi sebagai bentuk komunikasi seksual serta berbagai aktivitas seksual. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hubungan antara sexting dan kepuasan seksual, terutama dengan sexting sebagai prediktor kepuasan seksual. Untuk mengukur variabel, penelitian ini akan menggunakan skala sexting yang dikembangkan oleh Gordon-Messer, Bauermeister, Grodzinski, dan Zimmerman (2013) serta GMSEX untuk mengukur kepuasan seksual. Analisis regresi digunakan untuk menguji hipotesis dan hasilnya menunjukkan bahwa sexting secara signifikan memprediksi kepuasan seksual (F (1,70) = 8.602, p = 0,005, <0,01) dengan koefisien determinasi 0,109 yang dapat diartikan sebagai 10, Variasi 9% dari kepuasan seksual dijelaskan oleh sexting.

The integration of technology in life brings urgency to study virtual activities carried out in the context of romantic relationships, and one of them is sexting, or exchanging sensual messages through communication technology. Previously seen as risky sexual behavior, recently researchers have found a new perspective in viewing sexting as a positive activity carried out in romantic relationships, especially in relation to sexual satisfaction. Sexual satisfaction can be improved by sexting because it can function as a form of sexual communication and various sexual activities. Therefore, this study aims to prove the relationship between sexting and sexual satisfaction, especially with sexting as a predictor of sexual satisfaction. To measure variables, this study will use a sexting scale developed by Gordon-Messer, Bauermeister, Grodzinski, and Zimmerman (2013) and GMSEX to measure sexual satisfaction. Regression analysis was used to test the hypothesis and the results showed that sexting significantly predicted sexual satisfaction (F (1.70) = 8,602, p = 0.005, <0.01) with a coefficient of determination of 0.109 which could be interpreted as 10, 9% variation of satisfaction Sexually explained by sexting.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almira Zahwa Wiyanpi
"Semakin canggihnya perkembangan teknologi di Indonesia, semakin berkembang pula cara untuk melakukan kegiatan seksual melalui teknologi tersebut. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan bercakap dan mengirimkan hal bersifat seksual dan eksplisit (sexting) melalui internet. Penelitian mengenai sexting lebih banyak dikaitkan kepada perilaku seksual berisiko dan kekerasan seksual yang terjadi di dalamnya, namun belum terdapat penelitian di Indonesia mengenai standar ganda seksual yang dapat memengaruhi dinamika melakukan sexting antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh perbedaan peran seksual dan pendekatan terhadap seksualitas. Oleh karena itu, penelitian ini mengeksplorasi gambaran perbedaan standar ganda seksual dalam perilaku sexting yang dilakukan laki-laki dan perempuan dewasa muda di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif menggunakan wawancara terfokus pada total enam partisipan yang di antaranya merupakan tiga partisipan perempuan dan tiga partisipan laki-laki dalam rentang usia dewasa muda yang pernah melakukan sexting. Standar ganda seksual dilaporkan muncul dalam sexting melalui beberapa hal. Beberapa hal tersebut yaitu pelabelan negatif yang dilakukan terhadap perempuan yang menampilkan keinginan seksual, partisipan perempuan yang melaporkan kecenderungan merasa takut setelah melakukan sexting karena adanya kemungkinan revenge porn dibandingkan dengan partisipan laki-laki, dan juga partisipan perempuan yang cenderung mendapatkan pelecehan seksual berupa mendapatkan foto eksplisit non-konsensual dan ancaman revenge porn yang tidak ditemukan pada partisipan laki-laki.

The more advanced technological developments in Indonesia, the more developed ways to engage in sexual activity through this technology. One of the ways to do this is by chatting and sending things of sexual and explicit content (sexting) via the internet. Research on sexting is primarily focused on risky sexual behavior and sexual violence that occurs in it, but there hasn't been any research in Indonesia on the sexual double standard that can influence the dynamics of sexting between male and female due to disparities in sexual roles and approaches to sexuality. Therefore, this study explores the overview of differences in sexual double standards in sexting behavior between young adult male and female in Indonesia. This research was conducted with a qualitative method using focused interviews with a total of six participants, including three female participants and three male participants in the young adult age range who had sexted. Sexual double standards are reported to emerge in sexting in a variety of ways. Some of these include the negative labels given to female who express sexual desire, female participants reported a tendency to feel more afraid of revenge porn after sexting than male participants, and also female participants were more likely to experience sexual harassment in the form of receiving explicit non-consensual photos and threats of revenge porn."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sanidya Prabaswara
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan fear of being single dan desakan menikah pada dewasa muda. Fear of being single pada penelitian ini diukur dengan menggunakan Fear of Being Single Scale dan desakan menikah diukur dengan Skala Desakan Menikah. Penelitian ini dilakukan pada 212 orang berusia 20 ? 40 tahun, belum menikah, dan berorientasi seksual heteroseksual di kawasan Jabodetabek. Analisis melalui teknik statistik korelasi dilakukan dan didapati bahwa fear of being single memiliki hubungan positif dengan desakan menikah.

This study examined the correlation of fear of being single and mate urgency in young adulthood. In this study, fear of being single was measured by using Fear of Being Single Scale and mate urgency was measured by using Skala Desakan Menikah. The participants in this study were 212 people living in Jabodetabek, within the age range 20 ? 40, unmarried, and heterosexual. By using correlation techniques, it was found that fear of being single and mate urgency were positively correlated.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59047
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Welan Mauli Angguna
"Dewasa muda adalah kelompok masyarakat yang menikmati kemudahan teknologi, sehingga rentan untuk memiliki aktivitas fisik yang cenderung rendah. Aktivitas fisik yang rendah di usia muda merupakan faktor risiko penyebab kematian akibat penyakit degeneratif di masa depan. Masyarakat Indonesia termasuk negara dengan aktivitas fisik yang rendah, sehingga diperlukan promosi kesehatan yang tepat sasaran dengan memperhatikan faktor psikologis. Trait kepribadian dianggap sebagai faktor psikologis kuat dalam identifikasi aktivitas fisik, khususnya trait extraversion, conscientiousness, dan openness. Namun demikian, hubungan ketiga trait ini terhadap aktivitas fisik masih belum konsisten, hal ini memungkinkan adanya variabel lain yang memediasi hubungan tersebut. Untuk mempertahankan konsistensi tingkah laku dibutuhkan otonomi yang tinggi, begitu juga konsistensi untuk aktif melakukan aktivitas fisik. Otonomi merupakan derajat yang menunjukkan seberapa individu memiliki determinasi diri untuk termotivasi melakukan tingkah laku tertentu, dan motivasi yang berasal dari dalam diri merujuk pada otonomi yang lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji mekanisme hubungan ketiga trait dengan aktivitas fisik melalui mediasi otonomi. Penelitian dilakukan melalui lapor diri pada 59 laki-laki dan 144 perempuan dewasa muda berusia 20-40 tahun. Melalui analisa process mediasi (Hayes) ditemukan adanya mediasi sempurna antara trait extraversi dengan aktivitas fisik melalui otonomi, dan mediasi sebagian antara trait openness dan aktivitas fisik melalui otonomi. Conscientiousness tidak signifikan memengaruhi aktivitas fisik baik secara langsung maupun tidak langsung. Trait conscientiousness disarankan untuk diuji mediasi melalui presentasi diri terhadap aktivitas fisik.

Young adults are a group of community who enjoy technology, so it made them tend to have low physical activity. Low physical activity is a risk factor of degenerative diseases that cause death. Indonesia was a country that have lowest physical activity, so it's necessary to promote active physical activity to young adults by considering psychological factors. Personality was considered as a strong psychological factor that could predicted physical activity, especially extraversion, conscientiousness, and openness. However, their effects were still inconsistent, it allowed other variable to mediate their relationships. In order to maintain the consistency of behavior like physical activity, it required high autonomy. Autonomy is a degree to indicate how individual have self-determination to be motivated to perform certain behaviors, and the motivation was derived from inner-self that show high autonomy. This study aimed to examine the mechanisms of the trait effects to physical activity through the mediation of autonomy. The study was conducted by requiring data from self-report on 59 men and 144 young adult women aged 20-40 years. We analyzed the data by using mediation PROCESS (Hayes), and it was found a perfect mediation between extraversion and physical activity mediated by autonomy, and partially mediated of autonomy to the effects of openness and physical activity. However, conscientiousness did not significantly influence physical activity directly nor indirectly. Considering the communal culture of participants, we recommended to examine the effect of conscientiousness to physical activity through the mediation of self-presentation in future research."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T50360
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosydinda Deselia
"Penelitian ini bertujuan untuk menggali bagaimana pengalaman perempuan yang melakukan sexting, pengaruh relasi gender dalam pertimbangan melakukan sexting, dan cara perempuan bernegosiasi dengan risiko sexting sehingga mampu membangu otonomi atas tubuh dan seksualitasnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan metode wawancara mendalam terhadap lima subjek perempuan yang pernah dan sedang aktif melakukan aktivitas sexting. Hasil wawancara dan temuan kemudian dianalisis menggunakan pisau analisis Teori Otonomi Relasional oleh Catriona Mackenzie dan Natalie Stoljar serta Teori Edgework Feminist yang dikemukakan oleh Staci Newmahr. Hasil penelitian menunjukkan pengalaman perempuan melakukan sexting sangat beragam, termasuk adanya implikasi positif dan pengalaman negatif. Proses pertimbangan perempuan memutuskan melakukan sexting adalah proses yang dipengaruhi oleh relasi gendernya dengan pasangan, internalisasi nilai-nilai patriarkis yang mengopresi, serta pembentukan kompetensi diri dan relasi sosialnya dengan lingkungan sosial. Hasil penelitian juga semakin menguatkan pemahaman tentang kompleksitas seksualitas perempuan di mana pada satu sisi perempuan menantang risiko untuk memperoleh kontrol atas seksualitasnya, namun di sisi lainnya perempuan dalam aktivitas sexting juga mengalami kerentanan seksual dan teknologi. Dalam hal negosiasi risiko, perempuan melakukan berbagai upaya teknis dan emosional, berkolaborasi dengan pasangan, dan menetapkan batasan untuk terhindar dari risiko sexting dan untuk tidak jatuh pada total chaos.

This study aims to explore the experiences of women who practise sexting, how gender relations affect women's considerations of sexting, and how women negotiate the risks of sexting so that they are able to build autonomy over their body and sexuality. To achieve this goal, this study used a case study approach with in-depth interviews with five female subjects who had and/or are currently actively engaging in sexting activities. The interview results and findings were then analysed using the Relational Autonomy Theory by Catriona Mackenzie and Natalie Stoljar and the Edgework Feminist Theory by Staci Newmahr. The results of the study show that women's experiences of sexting vary widely, including both positive and negative implications. Furthermore, the consideration process of women deciding to have sexting is a long process, which is influenced by her gender relations with her partner, internalisation of oppressive patriarchal values, formation of self-competence and social relations with family and friends. The results of the study also strengthen the understanding of the complexity of women's sexuality where on the one hand women challenge risks to gain control over their sexuality, but women in sexting activities also experience sexual and technological vulnerabilities. Then, in terms of risk negotiation, women make various technical and emotional efforts, collaborate with partners, and set limits to avoid the risk of sexting and not to fall into total chaos."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisya Salsabila
"Penelitian bertujuan untuk mengetahui pemahaman mengenai persetujuan seksual pada laki-laki dan perempuan dewasa muda Indonesia menggunakan metode penelitian kualitatif. Partisipan merupakan dewasa muda berusia 18 – 40 tahun yang pernah atau sedang menjalin hubungan romantis/seksual, serta pernah mendapat pendidikan seksual secara formal/informal. Enam partisipan yang terdiri dari tiga laki-laki dan tiga perempuan diwawancara, kemudian hasilnya dianalisis secara tematik. Hasil penelitian menemukan bahwa perjalanan memproses dan memahami persetujuan seksual dipengaruhi oleh beberapa hal: minimnya pendidikan seksual formal yang didapat ketika sekolah, sulitnya membuka pembicaraan mengenai seksualitas dengan orang tua, kesadaran diri setelah terpapar pengetahuan seksual yang bersumber dari internet, serta pengalaman yang didapat dari menjalin hubungan romantis atau seksual.

The study aims to observe how young Indonesian male and female adults comprehend sexual consent using qualitative research methods. Participants are young adults between 18 – 40 years old who have been or are in a romantic/sexual relationship and have received formal or informal sexual education. Six participants consisting of three men and women were interviewed, and the results were analyzed using thematic analysis. The results of the study found that the journey of processing and understanding the concept of sexual consent was influenced by several things: the lack of formal sexual education obtained at school, the difficulty of talking about sexuality with parents, self-awareness after being exposed to sexual knowledge from the internet, and their romantic or sexual relationship history."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Melina Santoso
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara gaya humor dan kualitas hubungan romantis. Responden dalam penelitian ini merupakan emerging adult yang sedang menjalin hubungan romantis berjumlah 317 orang berusia 18 sampai 25 tahun. Gaya humor diukur dengan menggunakan Daily Humor Styles Questionnaire DHSQ yang dimodifikasi oleh Caird dan Martin 2014, sedangkan kualitas hubungan romantis diukur dengan menggunakan Partner Behavior as Social Context PBSC yang disusun oleh Ducat dan Zimmer-Gembeck 2010.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara positif antara gaya humor affiliative r = 0,387, p < 0.05 dan gaya humor self-enhancing r = 0,244, p < 0.05 dengan kualitas hubungan romantis. Selain itu, terdapat hubungan yang signifikan secara negatif antara gaya humor self-defeating r = -0,118, p < 0.05 dan gaya humor aggressive r = -0,381, p < 0.05 dengan kualitas hubungan romantis.

This study was conducted to examine the correlation between humor styles and romantic relationship quality among emerging adult. Respondents in this study were 317 emerging adults, aged 18 to 25 currently in a romantic relationship. Humor styles was measured by Daily Humor Scale Questionnaire DHSQ modified by Caird and Martin 2014, and romantic relationship quality was measured by Partner Behavior as Social Context PBSC made by Ducat and Zimmer Gembeck 2010.
The result indicated there was significant positive correlation between affiliative humor style r 0,387, p 0.05 and self enhancing humor style r 0,244, p 0.05, and romantic relationship quality. Then, there was significant negative correlation between self defeating humor style r 0,118, p 0.05 and aggressive humor style r 0,381, p 0.05, and romantic relationship quality.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S69097
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>