Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169598 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Stephanie
"Penggunaan antibiotik yang tidak rasional menyebabkan resistensi antibiotik di seluruh dunia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah resistensi antibiotik. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi hubungan antara penggunaan antibiotik sesuai rekomendasi Pedoman Penggunaan Antibiotik (PPAB) dengan luaran klinis, luaran laboratorium, lama rawat dan luaran sekunder yang membaik pada anak dengan infeksi yang di rawat di ruang intensif anak. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif pada anak usia 1-18 tahun yang mendapat terapi antibiotik. Hasil penelitian, dari 85 anak, terdapat 126 penggunaan antibiotik, rerata usia 4,9 tahun, sebaran profil bakteri Gram negatif lebih banyak dibanding Gram positif, sebaran penggunaan antibiotik empiris sesuai rekomendasi PPAB (69,8%) menurut alur Gyssens merupakan kategori 0 (penggunaan antibiotik tepat). Berdasarkan analisis bivariat, variabel luaran klinis, luaran laboratorium, lama rawat dan luaran sekunder tidak  memiliki hubungan bermakna dengan penggunaan antibiotik sesuai PPAB (p>0,05). Sebagai saran, sosialisasi rutin oleh tim PPRA, evaluasi panduan PPAB terus diperbarui tiap 3-6 bulan sesuai data uji kepekaan antibiotik terbaru. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk evaluasi penggunaan antibiotik, secara prospektif dengan subyek yang lebih banyak, durasi lebih lama, kriteria inklusi yang lebih spesifik tanpa komorbid untuk memperkuat rekomendasi penggunaan antibiotik yang sesuai PPAB.

The irrational use of antibiotics causes antibiotic resistance worldwide. Various attempts have been made to prevent antibiotic resistance. This study aims to evaluate the relationship between the use of antibiotics according to PPAB recommendations and improved clinical outcomes, laboratory outcomes, length of stay and secondary outcomes in children with infections treated in the pediatric intensive care unit. This study used a retrospective cohort design in children aged 1-18 years who received antibiotic therapy. The results of the study, of 85 children, there are 126 antibiotic use, the mean age was 4,9 years, the distribution of Gram-negative bacteria profiles was more than Gram-positive, the distribution of empirical antibiotic use according to PPAB recommendations 69.8% according to the Gyssens flow is category 0 (appropriate use of antibiotics). Based on bivariate analysis, the clinical outcome variables, length of stay, laboratory outcomes and secondary outcomes had a p value > 0.05 which were statistically not significantly different to have a relationship with the use of antibiotics according to PPAB. As a suggestion, regular socialization by the PPRA team and evaluation of the PPAB guidelines are continuously updated every 6 months according to the latest antibiotic sensitivity test data. Further research is needed to evaluate the use of antibiotics, prospectively with more subjects, longer duration, more specific inclusion criteria without comorbidities to strengthen recommendations for the use of antibiotics according to PPAB."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Yuniar
"Anak yang dirawat di ICU cenderung mengalami malnutrisi sejak masuk atau selama perawatan yang dapat memperberat penyakit dasar, memperpanjang lama rawat serta meningkatkan mortalitas. Baik underfeeding atapun overfeeding dapat terjadi di ICU Anak selama perawatan. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, menggunakan data rekam medis. Selama 3 bulan penelitian. didapatkan 45 subjek penelitian. Dari 45 data pasien didapatkan 127 peresepan untuk menilai keseuaian peresepan dengan pemberian nutrisi pada pasien. Pemberian nutrisi pada pasien yang dirawat di ICU Anak merupakan hal yang sangat penting. Perlu perhitungan kebutuhan nutrisi yang cermat, pemberian nutrisi tepat yang sesuai kebutuhan pasien agar tidak terjadi malnutrisi yang lebih berat lagi.

Children admitted to the Pediatric Intensive Care Unit (PICU) are at risk for poor and potentially worsening nutritional status, a factor that further increases comorbidities and complications, prolongs the hospital stay, increases cost and increases mortality. Both underfeeding and overfeeding are prevalent in PICU and may result in large energy imbalance. This was cross sectional study design, with 3 month consecutive sampling in PICU which met 45 patients as the subject and 127 prescription of nutrition. Nutrition support therapies in PICU is very important .Adequate nutrition therapy is essential to improve nutrition outcomes in critically ill children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baltimore: Williams & WIlkims , 1996
618.92 TEX
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rozi Abdullah
"Infeksi merupakan komplikasi serius dan umum terjadi pada pasien di ruang rawat intensif rumah sakit. Pasien di ruang rawat intensif sering mengalami kondisi kritis dan imunosupresi yang membuat mereka rentan terhadap berbagai infeksi, termasuk yang disebabkan oleh patogen yang resisten terhadap antibiotik. Seringkali, penyebab infeksi tidak dapat langsung diidentifikasi, sehingga pemberian antibiotik empiris harus dilakukan, di mana antibiotik diberikan berdasarkan pengalaman klinis dan pengetahuan tentang patogen yang kemungkinan besar terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kuman dan kesesuaian pemberian antibiotik empiris dengan hasil uji sensitivitas kuman, serta menganalisis hubungan kesesuaian hasil uji sensitivitas kuman dengan perbaikan klinis pada pasien yang mendapatkan antibiotik empiris di ruang rawat intensif rumah sakit Cipto Mangunkusumo periode 2022. an observasional yang dilakukan secara potong lintang (cross-sectional) pada penggunaan antibiotik empiris pada pasien ruang rawat intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama periode 2022. Data yang diambil adalah data rekam medis pasien yang dirawat di ruang rawat intensif periode Januari- Desember 2022 yang terdiri dari ICU Dewasa (Kanigara) dan ICU IGD RSCM. Perbaikan klinis setelah pemberian terapi antibiotik empiris dinilai dari penurunan jumlah leukosit, penurunan kadar prokalsitonin, perbaikan skor National Early Warning Score (NEWS) pada 0-48 jam setelah antiobiotik empiris dihentikan. Analisis bivariat dilakukan dengan Uji Chi Square, dengan nilai p signifikansi <0,05. Analisis multivariat dilakukan pada faktor perancu dengan Uji Regresi Logistik.

            Pada penelitian ini didapatkan 107 penggunaan antibiotik empiris. Hasil uji sensitivitas kuman pada pasien yang mendapatkan antibiotik empiris menunjukkan bahwa Klebsiella pneumonia dan Acinetobacter sp. adalah kuman yang paling banyak ditemukan, dengan tingkat sensitivitas yang rendah terhadap antibiotik di bawah 40% pada sebagian besar hasil uji sensitivitas kuman. Didapatkan jumlah kesesuaian antibiotik empiris dengan hasil uji sensitivitas kuman lebih tinggi pada kategori tidak sesuai sebanyak 62,62% (n=67). Terdapat hubungan yang signifikan antara kesesuaian hasil uji sensitivitas kuman dengan perbaikan klinis pada pasien (p<0,05). Analisis multivariat menunjukkan kesesuaian penggunaan antibiotik empiris dengan hasil uji sensitivitas memiliki signifikansi secara statistik terhadap perbaikan klinis (OR 5,26 (1,46-18,95), p = 0,011).

            Penggunaan antibiotik empiris di ruang rawat intensif sebagian besar tidak sesuai dengan hasil uji sensitivitas kuman. Terdapat hubungan yang signifikan antara kesesuaian hasil uji sensitivitas kuman dengan perbaikan klinis pada pasien. Temuan ini menegaskan pentingnya pemilihan antibiotik empiris yang tepat berdasarkan pola kuman dan hasil uji sensitivitas kuman untuk meningkatkan efektivitas perawatan di ruang rawat intensif.


Infections are a serious and common complication in patients in hospital intensive care units. Patients in intensive care often experience critical conditions and immunosuppression, making them vulnerable to various infections, including those caused by antibiotic-resistant pathogens. Often, the cause of the infection cannot be immediately identified, necessitating the administration of empirical antibiotics, where antibiotics are given based on clinical experience and knowledge of the most likely involved pathogens. This study aims to determine the pattern of pathogens and the appropriateness of empirical antibiotic administration with the results of pathogen sensitivity tests, as well as to analyze the relationship between the appropriateness of pathogen sensitivity test results and clinical improvement in patients receiving empirical antibiotics in the intensive care unit of Cipto Mangunkusumo Hospital for the period of 2022.

            This study is an observational cross-sectional research on the use of empirical antibiotics in intensive care patients at Cipto Mangunkusumo Hospital during the 2022 period. The data collected were medical record data of patients treated in the intensive care unit from January to December 2022, consisting of the Adult ICU (Kanigara) and the Emergency Department ICU of RSCM. Clinical improvement after the administration of empirical antibiotic therapy was assessed from the decrease in leukocyte count, the decrease in procalcitonin levels, and the improvement of the National Early Warning Score (NEWS) within 0-48 hours after the empirical antibiotics were discontinued. Bivariate analysis was performed using the Chi-Square Test, with a significance value of p<0.05. Multivariate analysis was performed on confounding factors using Logistic Regression Test.

            In this study, 107 uses of empirical antibiotics were found. Pathogen sensitivity tests in patients receiving empirical antibiotics showed that Klebsiella pneumoniae and Acinetobacter sp. were the most commonly found pathogens, with a low level of sensitivity to antibiotics below 40% in most pathogen sensitivity test results. In addition, the number of appropriate empirical antibiotics with the results of pathogen sensitivity tests was higher in the inappropriate category by 62.62% (n=67). There was a significant relationship between the appropriateness of pathogen sensitivity test results and clinical improvement in patients (p<0.05). Multivariate analysis showed statistical significance (OR = 5,26 (1,46-18,95), p-value = 0.011).

            The use of empirical antibiotics in the intensive care unit was mostly not in accordance with the results of pathogen sensitivity tests. There was a significant relationship between the appropriateness of pathogen sensitivity test results and clinical improvement in patients. These findings affirm the importance of selecting the appropriate empirical antibiotics based on the pattern of pathogens and the results of pathogen sensitivity tests to enhance the effectiveness of care in the intensive care unit.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Baltimore: Williams & Wilkins , 1996
618.92 TEX
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Baltimore: Williams & Wilkins, 1988
610.736 5 NUR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Veronika Prescillia Hartanuh
"Latar Belakang: Delirium adalah perubahan status mental berupa gangguan atensi, kesadaran, dan kognisi yang akut dan fluktuatif. Referensi standar mendiagnosis delirium pada anak dan dewasa menggunakan kriteria DSM-5 atau ICD-10. Populasi anak memiliki tahap perkembangan dan gambaran gejala delirium yang berbeda dibandingkan dewasa sehingga diagnosis delirium anak mengalami keterbatasan dan membutuhkan kemampuan klinis dan kompetensi. Telah dikembangkan instrumen pCAM-ICU untuk membantu diagnosis delirium anak usia minimal lima tahun yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Saat ini pelayanan kesehatan anak di Indonesia belum memiliki instrumen membantu diagnosis delirium dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena tingginya kebutuhan pelayanan, maka dilakukan validitas isi dan reliabilitas konsistensi internal instrumen pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia Metode: Dilakukan proses forward translation dan back translation hingga didapatkan instrumen pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia. Uji validitas isi pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia melibatkan 10 orang ahli di Ilmu Kesehatan Jiwa dan Ilmu Kesehatan Anak yang pernah menangani kasus delirium pada anak dan remaja. Uji reliabilitas konsistensi internal dilakukan pada 30 pasien anak yang berusia 5 – 17 tahun di layanan RSCM. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan membandingkan pemeriksaan pCAM-ICU dengan kriteria DSM-5. Hasil: Instrumen pCAM-ICU versi bahasa Indonesia memiliki nilai I-CVI dan S-CVI sebesar 1,00 pada uji validitas isi dan Cronbach’s alpha keseluruhan 0,959 pada uji reliabilitas konsistensi internal. Instrumen pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia memiliki nilai sensitivitas 85% (95% CI, 68-100%) dan spesifisitas 96% (95% CI, 86-100%) Simpulan: Instrumen pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia dinilai valid dan reliabel dalam membantu penegakkan diagnosis delirium pada anak minimal usia lima tahun.

Background: Delirium is defined as an acute and fluctuating altered mental status in the form disruption of attention, consciousness, and cognition. DSM-5 and ICD-10 criteria are used as a standardized reference to diagnose delirium. Pediatric population has a different developmental stage and clinical manifestation compared to adult population, hence diagnosing delirium in pediatric population is limited and requires further clinical skill and competence. pCAM-ICU has been developed to help diagnosing delirium for children at least 5 years old with high sensitivity and specificity. Pediatric healthcare service in Indonesia does not have an instrument to help diagnosing delirium in Bahasa Indonesia. Due to the need of such instruments, content validation and internal consistency reliability test for Indonesian version of pCAM-ICU is carried out.
Methods: Forward translation and back translation is carried out to obtain the Indonesian version of pCAM-ICU. Content validity of Indonesian pCAM-ICU involves 10 experts in Psychiatry and Pediatric who have managed delirium cases in children and adolescent. Internal consistency reliability test is done to 30 pediatric populations from the age of 5-17 years old in RSCM. This research is a cross sectional research which compares pCAM-ICU with DSM-5 criteria.
Results: Indonesian version of pCAM-ICU has I-CVI and S-CVI score of 1,00 at content validity test and overall Cronbach’s alpha of 0,959 for internal consistency reliability test. Indonesian version of pCAM-ICU has 85% (95% CI, 68-100%) sensitivity and 96% (95% CI, 86-100%) specificity.
Conclusion: Indonesian version of pCAM-ICU is considered valid and reliable to held diagnosing delirium in children of at least 5 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Fatkhur Rohman
"Penggunaan antibiotik yang tinggi pada pasien sepsis dapat memicu penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Upaya untuk memaksimalkan penggunaan antibiotik yang rasional merupakan salah satu tanggung jawab apoteker. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas dan kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien sepsis di ruang rawat Intensive care unit (ICU) dengan metode Gyssens dan ATC/DDD dan mengevaluasi pengaruh intervensi apoteker dalam meningkatkan kualitas penggunaan antibiotik dan outcome terapi. Penelitian dilakukan secara prospektif selama periode Agustus-November 2018 dengan menggunakan rancangan studi pra eksperimen one grup pretest-posttest. Rekomendasi diberikan kepada penulis resep terhadap masalah ketidaktepatan penggunaan antibiotik yang ditemukan. Evaluasi kualitatif dengan metode Gyssens diperoleh hasil bahwa penggunaan antibiotik pada pasien sepsis yang rasional sebesar 85,09 % dan yang tidak rasional sebesar 14,91 %. Jenis antibiotik, jenis terapi antibiotik, jumlah antibiotik  dan lama penggunaan antibiotik berpengaruh terhadap kualitas penggunaan antibiotik. Intervensi meningkatkan ketepatan penggunaan antibiotik (0 % menjadi 64,71 %), menurunkan masalah pemilihan antibiotik (88,24 % menjadi 32,35 %), masalah lama pemberian antibiotik (5,88 % menjadi 0 %) dan masalah rute pemberian obat (5,88 % menjadi 0 %). Kualitas penggunaan antibiotik yang rasional dan yang tidak rasional berpengaruh terhadap hasil terapi. Kuantitas penggunaan antibiotik sebesar 63,84 DDD/patient-day dengan nilai terbesar pada antibiotik meropenem yaitu 32,91 DDD/patient-day.

High use of antibiotics in sepsis patients can lead to irrational use of antibiotics. Pharmacist has responsibility to improve appropriate antibiotics usage. This study was proposed to evaluate quality and quantity of antibiotics usage in sepsis patients in the Intensive care unit (ICU) ward with the Gyssens and ATC/DDD methods and evaluate whether intervention of pharmacy can improve quality of antibiotics usage and therapy outcome. The study was conducted prospectively during the period August - November 2018 using pre experiment one grup pretest-posttest design. Recommendations were given to prescribers to solve the problems of inappropriate antibiotics usage. Qualitative evaluation using that about 85.09 % antibiotic prescriptions were appropriate, and 14.91 % were inappropriate. Type of antibiotics, type of antibiotic therapy, total and duration antibiotics used by patients have effect on quality and quantity antibiotics usage. Intervention of pharmacist improve appropriateness of antibiotics (0% to 64.71 %), decrease drug choice problems (88.24 % to 32.35 %), duration problems (5.88 % to 0 %) and route of administration problems (5.88 % to 0 %). Appropriate used of antibiotics had significant different effect to outcome therapy compare with inappropriate used of antibiotics. The quantity of antibiotic use is 63.84 DDD/patient-day with the greatest value on meropenem antibiotics is 32.91 DDD/patient-day."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T53678
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Pramudita
"Latar Belakang: Resusitasi cairan merupakan terapi yang sering diberikan pada ruang rawat intensif untuk mengembalikan perfusi jaringan. Namun, seringkali terapi resusitasi cairan menyebabkan kelebihan cairan yang memiliki efek buruk terhadap pasien termasuk kematian.
Tujuan: Penelitian retrospektif ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara mortalitas dengan durasi kelebihan cairan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo.
Metode: Sebanyak 194 pasien yang mengalami kelebihan cairan dan berada di ruang rawat intensif selama 7 hari atau lebih, diperoleh melalui teknik consecutive sampling, dievaluasi. Durasi kelebihan cairan dan kematian 28 hari dicatat. Sampel yang diperoleh dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasien yang mengalami kelebihan cairan kurang dari sama dengan 4 hari dan pasien yang mengalami kelebihan cairan lebih dari 4 hari. Sampel kemudian dianalisis menggunakan uji bivariat Chi square untuk diketahui hubungannya dengan kematian.
Hasil: Terdapat hubungan antara kematian dengan durasi kelebihan cairan dengan nilai P.

Background: Fluid resuscitation is a common therapy given at the Intensive Care Unit ICU to maintain tissue perfusions. However, this therapy usually results in fluid overload that has adverse outcome including death.
Objective: This retrospective study aimed to assess the association between mortality and fluid overload duration in Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital's.
Methods: A total of 194 ICU patients with fluid overload and stayed for 7 days or more that obtained by consecutive sampling, were evaluated. Fluid overload duration and 28 days mortality were recorded. Samples were divided into two groups, patients with fluid overload less than or equal to 4 days and patients with fluid overload more than 4 days. A bivariate analysis Chi square were perform to assess the association of mortality and fluid overload duration.
Results: Mortality and fluid overload duration were significantly associated P.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lara Aristya
"Latar Belakang: Sepsis merupakan salah satu penyebab utama kematian di unit perawatan intensif. Dalam kasus infeksi, pemberian cairan intravena dan agen vasoaktif sangat direkomendasikan sebagai salah satu tatalaksana pasien sepsis. Namun, banyak studi yang belum dapat menunjukkan temuan positif sesuai dengan studi orisinil EGDT.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara mortalitas pasien sepsis dengan waktu pemberian vasoaktif selama proses resusitasi cairan di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode: Studi ini menggunakan metode cohort retrospective dengan 188 subjek yang didapatkan melalui pemenuhan kriteria penelitian dari rekam medis pasien. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasien sepsis yang mendapatkan terapi vasoaktif dalam enam jam pertama dan setelah enam jam.
Hasil: Terdapat karateristik sosiodemografi dari subjek, antara lain jenis kelamin, usia, total cairan rerata, status transfusi, jenis cairan, jenis vasoaktif, penyakit penyerta, dan lama rawat di unit perawatan intensif. Dari hasil uji Chi-square didapatkan waktu pemberian vasoaktif terhadap mortalitas, bernilai P=0.282 dengan RR 1.060 95 CI 0.974-1.153.
Diskusi: Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan mortalitas dengan perbedaan waktu pemberian terapi vasoaktif tersebut.

Background: Sepsis is the leading cause of death in intensive care unit. In case of infection, intravenous resuscitation and vasoactive agent are very recommended as one of the treatment for septic patient. However, many studies not yet able to show the positive findings in accordance with the EGDT original study.
Objectives: This study aims to find out the association between septic patient rsquo s mortality and the time of vasoactive administration during fluid resuscitation in Intensive Care Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: This is a cohort retrospective study with 188 subject which meet the criteria from medical record. The subjects are divided into two groups septic patients that are given vasoactive therapy within six hours and after six hours during fluid resuscitation.
Results: This study shows sociodemographic characteristics of the subjects, such as gender, age, total fluid average, transfusion status, type of fluid, type of vasoactive, comorbidities, and length of stay in ICU. Based on Chi Square test, relationship between mortality and timing of vasoactive administration, sequentially P 0.282 with RR 1.060 95 CI 0.974 1.153.
Discussion: No association between septic patient rsquo s mortality and time difference in administrating the vasoactive therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>