Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152882 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yustica Labora
"Pembatalan merek terdaftar merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk melindungi suatu merek dari tindakan curang oleh pihak lain. Alasan-alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan suatu pembatalan merek diatur di dalam Pasal 20 dan/atau Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016. Salah satu alasan yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah mengenai adanya iktikad tidak baik dengan meniru atau menjiplak suatu merek terkenal. Pembuktian adanya iktikad tidak baik merupakan hal yang tidak mudah karena harus mengaitkan dengan masalah persamaan pada merek serta merek terkenal. Mengenai persamaan pada merek, dapat dilihat dalam Pasal 21 ayat (1), sementara mengenai merek terkenal dapat meninjau Penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf b serta Pasal 18 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 67 Tahun 2016. Dalam penerapannya, itikad tidak baik masih sering terjadi sehingga perlu penegakan hukum terkait hal tersebut.

Cancellation of a registered trade mark is one of the efforts made to protect a trade mark from the fraudulent actions of other parties. The grounds that can be used to apply for a trade mark cancellation are regulated in Article 20 and/or Article 21 of Law Number 20 of 2016. One of the grounds stipulated in the provision is the existence of bad faith by imitating or plagiarizing a trade mark. Proving the existence of bad faith is not easy because it must relate to the issue of similarities in trade mark and well-known trade mark. Regarding the similarities of trade mark, it can be seen in Article 21 paragraph (1), while the well-known trade mark can be reviewed in the Explanation of Article 21 paragraph (1) letter b as well as the Article 18 of Minister of Law and Human Rights Regulation Number 67 of 2016. In practice, bad faith still often occurs, so law enforcement is needed in this regard."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fiona Ashari Salsabila
"Dalam beberapa dekade terakhir, fashion telah menjadi sesuatu yang terikat pada individu yang perilakunya bervariasi dalam budaya. Peran budaya (independen versus interdependen self- construals) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi niat beli konsumen terhadap produk fashion penting bagi merek fashion untuk bersaing di industri. Kredibilitas merek menciptakan kepercayaan dan keahlian dalam menghasilkan produk berkualitas lebih tinggi yang lebih disukai oleh konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana self-construal mempengaruhi niat beli produk fashion dari merek regular dan kredibel sekaligus mengontrol sikap terhadap iklan. Untuk menganalisis niat beli produk fashion merek regular dan kredibel, maka dibuatlah produk hipotesis jam tangan dengan iklan. Temuan dari 152 peserta dari Indonesia (interdependen) dan Belanda (independen) membuktikan bahwa interdependen self- construal lebih mungkin untuk terlibat dalam niat beli produk fashion dibandingkan dengan independent self-construal, dan sikap terhadap iklan secara signifikan mempengaruhi hubungan. Selain itu, kredibilitas merek memiliki pengaruh yang tidak signifikan dalam memoderasi hubungan antara konstruksi diri dan niat beli produk fashion. Namun demikian, kedua intensi untuk membeli produk fashion lebih tinggi ketika merek tersebut kredibel. Dasar pemikiran dari makalah ini adalah untuk berkontribusi pada kesenjangan penelitian mengenai konstruksi diri dan niat beli produk fashion dari merek fashion reguler dan kredibel, dan untuk memberikan wawasan kepada merek fashion untuk menciptakan strategi pemasaran yang tepat berdasarkan budaya konsumen yang berbeda.

In the past few decades, fashion has become something that is tied to individuals whose behaviour varies within culture. The role of culture (independent versus interdependent self- construals) explains the factors that influence consumers' purchase intentions for fashion products is important for fashion brands to compete in the industry. Brand credibility creates trustworthiness and expertise on producing higher quality products which are more preferred by consumers. This study aims to analyse to what extent does self-construal affect the purchase intention of fashion products from regular and credible brands while controlling for the attitudes towards advertisement. In order to analyse the purchase intention of fashion products of the regular and credible brand, hypothetical products of a watch with advertisements are created. Findings from 152 participants from Indonesia (interdependent) and The Netherlands (independent) proved that interdependent self-construals are more likely to engage in purchase intention of fashion products compared to independent self-construals, and attitudes towards advertisement significantly affect the relationship. In addition, brand credibility has an insignificant effect in moderating the relationship between self-construals and purchase intention of fashion products. Nevertheless, both self-construals intention to purchase fashion products are higher when the brand is credible. The rationale of this paper is to contribute to the research gap regarding self-construals and purchase intention of fashion products from a regular and credible fashion brand, and to provide insight to fashion brands to create appropriate marketing strategies based on different consumer cultures."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Morgan, Hal
New York: Viking, 1986
341.75873 Mor s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Dina Irawati
"Lisensi paten berkaitan erat dengan hukum anti monopoli. Hal ini dikarenakan kekhasan yang di miliki oleh hukum paten yaitu adanya sifat monopoli yang melekat pada hukum paten. Monopoli dalam paten bersifat terbatas yaitu mengecualikan pihak lain untuk membuat, menggunakan dan menjual penemuan sampai dengan jangka waktu tertentu. Monopoli dalam lisensi paten di satu sisi bertujuan untuk mendorong penemuan teknologi baru dan ilmu pengetahuan sekaligus memberikan penghargaan terhadap penemu/ inventor. Di sisi yang lain monopoli bila disalahgunakan dapat menyebabkan praktek monopoli yang dilarang oleh Hukum Antimonopoli.
Dampak praktek monopoli dalam lisensi paten harus dilarang dan dihindarkan. Pengaturan yang tegas dalam peraturan perundang-undangan sangat diperlukan agar monopoli terbatas dalam paten tidak disalahgunakan oleh pemegang hak untuk melakukan praktek-praktek perdagangan yang bersifat monopoli ataupun persaingan usaha yang tidak sehat.
Undang-Undang 14 tahun 2001 tentang paten, pada pasal 71 disebutkan bahwa lisensi paten dilarang apabila memuat ketentuan yang merugikan perekonomian Indonesia ataupun menghambat alih teknologi. Pelaksanaan pasal 71 ini perlu pengaturan lebih lanjut namun demikian sampai sekarang peraturan pelaksananya belum ada. Undang-undang Anti Monopoli yang diharapkan dapat melindungi kompetisi dan melarang praktek monopoli ternyata justru mengecualikan Hak Kekayaan Intelektual. Termasuk di dalamnya lisensi paten.
Hukum Internasional maupun hukum nasional negara lain tidak mengecualikan lisensi paten dalam hukum persaingannya. Seharusnya Indonesia dapat belajar dari negara-negara lain yang tidak mengecualikan lisensi paten dalam hukum persaingannya. Pengecualian ini dapat menjadi celah bagi para pelaku usaha untuk menyalahgunakan lisensi paten sebagai sarana mendapatkan atau mempertahankan monopoli melalui praktek-praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T19170
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Widiatno
"Tesis ini mengangkat kasus yang terjadi antara Pemberi Lisensi (Licensor) dengan Penerima Lisensi (Licensee) Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga. Gugatan pembatalan merek“Cap Badak” oleh Pemberi Lisensi dilatarbelakangi oleh Penerima Lisensi yang telah mendaftarkan kemasan produk produk (trade dress) produk larutan penyegar cap kaki tiga, berupa lukisan badak oleh Pemberi Lisensi. Aturan mengenai kemasan produk (trade dress) tidak ditemukan dalam UU Merek No.15 tahun 2001 dan belum merupakan unsur yang termasuk dalam merek, sehingga dapat menjadi pokok permasalah, apakah Penerima Lisensi diperbolehkan untuk mendaftarkan merek dagang yang ada persamaan pada kemasaan produk Pemberi Lisensi, faktor-faktor apa saja yang ikut berperan dalam mencetus sengketa merek ”Cap Badak” antara Pemberi Lisensi dengan Penerima Lisensi dan apakah putusan pengadilan sudah tepat terkait pembatalan merek “Cap Badak” Penerima Lisensi oleh Pemberi Lisensi. Metode penelitian yuridis normatif yang memiliki makna pencarian digunakan dalam mencari jawaban permasalah, dan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kegiatan penelitian kepustakaan dan mempelajari data sekunder. Hasil analisis berupa pendaftaran kemasan produk menjadi sebuah merek belum dapat dijangkau oleh perlindungan merek terkait itikad tidak baik, persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dan merek terkenal sebagaimana yang diatur dalam pasal 4, 5 dan 6 dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berlaku sampai saat ini. faktor pencetus dalam kasus ini adalah Perjanjian lisensi dilakukan sebelum permohonan pendaftaran merek meskipun saat itu masih menggunakan first to use system dan ketiadaan Peraturan Pelaksana Pendaftaran Perjanjian Lisensi hingga saat ini. Dan, Ketiga tingkat pengadilan niaga juga tidak menerapkan hukum perlindungan merek dan perjanjian internasional seperti yang diharapkan.

This thesis raised by the cases that occurred between the Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga Licensor and Licensee. Cancellation of a trademark lawsuit "Cap Badak" by the Licensor is motivated by the Licensee who have register the packaging or trade dress product larutan penyegar cap kaki tiga, a rhino painting registered as a trademark without Licensor’s permission. Rules about trade dress are not found in Indonesian Trademark Act, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001, so it can be problems for analysis about did the licensee is allowed to register a trade mark that there are similarities with the Licensor’s product packing , Has a court decision in a trademark dispute give the right decision to protect the weelknolwn mark, bad faith, and the similarities of larutan penyegar cap kaki tiga, and what are the factors that contributes to trigger this problems. The writer uses Normative research methods that have meaning used in the search for answers problems, and data collection was done by using research literature and study secondary data. Registration of product packaging as a brand can not be reached by the related trademark protection in wellknown mark, bad faith, and the similarities as provided in Article 4, 5 and 6 Indonesian Trademark Act. The factors in this case was conducted before the license agreement for registration of the brand even though it was still using the first to use system and until now, the implemention of recording License Agreement still absence until now. Last, three levels of court also did not implement trademark protection laws and international treaties as expected.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35909
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Suryadi Setiawan
"Kepailitan telah dikenal di Indonpsia sejak jaman kolonial Belanda, yang diatur dalaln Faillissements verordening stb 1905 217 jo stb 1906 348. dalam perkembangannya peraturan mengenai kepailitan ini terus berkembang dan terakhir diperbarui dengan Undang-undang No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan (UUK). Sebagaimana ketentuan dalam hukum perdata, bahwa prinsip dari kepailitan adalah sitaan umum atas harta si debitur pailit, baik benda bergerak ataupun tidak bergerak untuk dijadikan jaminan hutang bagi seluruh %reditur dengan mempertimbangkan asas berimbang menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditur. Sitaan umum tersebut dilakukan oleh Kurator melalui penetapan keputusan pailit. Menjadi persoalan adalah ketika dalam pelaksanaan sitaan umum tersebut terdapat hak merek yang merupakan salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual yang merupakan suatu konsep hak kebendaan (dapat dimiliki) dan termasuk kategori benda bergerak tidak berwujud / intangible moveable goods. Terlebih nilai ekonomis atas hak merek tersebut cenderung lebih ditentukan oleh faktor subyektivitas yang nilainya sulit di prediksikan oleh orang awam bahkan Kurator sekalipun. Oleh karena sifat subyektifnya inilah yang dalam beberapa kasus, menyebabkan Kurator tidak memasukkan hak merek ini kedalam budel pailit. Yang menarik dikaji dasar apakah yang memungkinkan hak merek ini dapat dimasukkan menjadi budel pailit sedangkan dalam pasal 20 UUK secara tegas mengecualikan hak cipta dalam budel pailit? Terkait dengan nilai subyektif tersebut, bagaimana perhitungan nilai ekonomis dan proses pencairan budel pailit dalam lingkup pembagian budel pailit kepada masing¬masing kreditumya berikut peralihan hak merek tersebut dan tanggung jawab kurator atas kelalaiannya bilamana tidak memasukkan hak merek tersebut sebagal budel pailit? Disamping itu akan dikaji pula akibat hukum dari suatu putusan pailit terhadap peijanjian lisensi yang telah diberikan oleh pemegang merek kepada penerima lisensi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T19172
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wienda Messabela
"Setiap individu tentu membutuhkan barang dan/atau jasa dalam kehidupan sehari-harinya. Keberadaan barang dan/atau jasa tersebut tentunya tidak terlepas dari aspek merek. Sebagai salah satu bidang dalam Hak Kekayaan Intelektual, merek, khususnya merek terkenal yang lebih ditekankan disini memiliki suatu nilai tersendiri yang bersifat komersil. Merek terkenal umumnya lebih diprioritaskan seseorang dalam menentukan pilihan, dan dengan sendirinya, menjadikan pemilik dari merek terkenal pada umumnya mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pemilik merek biasa.
Dengan tingginya nilai yang terkandung dalam merek terkenal, maka menimbulkan minat dari pihak lain untuk turut dapat menikmati keuntungan merek terkenal tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Cara yang dimaksud adalah dengan pemberian lisensi. Dinyatakan baik dalam ketentuan internasional melalui Paris Convention dan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) dan peraturan perundang-undangan nasional melalui Undang-undang Horror 15 tahun 2001 bahwa pemilik merek berhak dan dapat memberikan izin bagi pihak ketiga untuk dapat turut serta menggunakan nama merek yang dimilikinya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Apabila kita berbicara mengenai lisensi, tentunya berbicara mengenai sejumlah hak dan kewajiban baik bagi pemberi lisensi maupun penerima lisensi. Hal ini dikarenakan pada intinya setiap perjanjian menerbitkan prestasi dari pihak yang satu kepada pihak yang lain, serta salah satu pihak lainnya yang berhak akan prestasi tersebut. Mengingat begitu kompleksnya permasalahan hukum yang ada dalam lisensi, serta kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual maka umumnya pemilik merek mengkaji kualitas dari penerima lisensi terlebih dahulu sebelum memberikan lisensinya. Di sisi lain, penerima lisensi juga mengadakan pengkajian terlebih dahulu terhadap merek terkenal yang dimiliki pemberi lisensi. Hal inilah yang menyebabkan perjanjian lisensi dalam bidang merek umumnya terjadi terhadap merek terkenal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19886
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parlindungan, Andi
"Dalam praktek pergaulan internasional, HKI telah menjadi salah satu isu panting yang selalu diperhatikan oleh kalangan negara - negara maju di dalam melakukan hubungan perdagangan dan atau hubungan ekonomi lainnya, khusus dalam kaitannya dengan Amerika Serikat misalnya, hingga scat ini status Indonesia masih tetap sebagai negara dengan status 'Priority Watch List' (PWL)' sehingga memperlemah negosiasi, globalisasi yang sangat identik dengan free market, free competition dan transparansi memberikan dampak yang cukup besar terhadap perlindungan HKI di Indonesia dimana situasi ini memberikan tantangan kepada Indonesia karena diharuskan untuk dapat memberikan perlindungan yang memadai atas HKI sehingga menciptakan persaingan yang sehat yang tentu saja dapat memberikan kepercayaan kepada investor untuk berinvestasi di Indonesia karena dengan meningkatnya kegiatan investasi yang sedikit banyak melibatkan proses transfer teknologi yang dilindungi HKI-nya supaya dapat terlaksana dengan baik, apabila terdapat perlindungan yang memadai atas HKI itu sendiri di Indonesia.
Mengingat hal-hal tersebut diatas maka tanpa usaha sosialisasi di berbagai lapisan masyarakat kesadaran akan keberhargaan HKI tidak akan tercipta. Sosialisasi HKI hams dilakukan pads semua kalangan terkait seperti aparat penegak hukum, pelajar, masyarakat pemakai, para pencipta dan yang tak kalah pentingnya adalah kalangan pars karena dengan kekuatan tinta kalangan jumalis upaya kesadaran akan pentingnya HKI akan relatif lebih mudah terwujud karena selama ini berbagai usaha untuk mensosialisasikan tersebut tampaknya belum cukup berhasil.
Salah satu komponen HKI yang sangat diperlukan perlindungan adalah merek karena mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi sehingga bila terjadi penyalahgunaan maupun pemalsuan terhadap merek suatu produk yang sudah terdaftar akan menyebabkan kerugian secara ekonomi bagi pemilik merek tersebut.
Hak atas merek merupakan hak yang konstitutif dimana siapa yang mereknya terdapat dalam Daftar Umum Kantor Merek dialah yang berhak terhadap merek tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 UU No 15 tahun 2001 tentang merek yang menyatakan bahwa : "Hak atas merek adalah hak khusus atau ekslusif yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang secara beramai-ramai atau badan hukum untuk menggunakannya."
Merk mempunyai suatu ciri khas yang menjadi daya pembeda dari produk atau jasa yang dihasilkan oleh suatu produsen tertentu dengan produk atau jasa yang lainnya sehingga konsumen atau masyarakat dapat mengingat serta menggunakannya selain itu dapat juga menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa basil usahanya waktu diperdagangkan dan digunakan oleh konsumen Namun diantara para pengusaha yang mempunyai jenis usaha yang sama banyak sekali terjadi persaingan yang dilakukan baik secara sehat maupun secara tidak sehat dimana salah satu bentuknya dengan menjual barang atau produk mereka dengan meniru merek dari produk yang telah didaflarkan dan dipasarkan serta mempunyai daya jual besar dan telah banyak digunakan oleh konsumen.
Karena pads dasarnya setiap orang adalah konsumen3 dimana manusia sebagai konsumen tidak dapat dilepaskan dari kemajuan teknologi4 dan sepanjang sejarah manusia, manusia selalu menciptakan teknologi untuk keperluan hidupnya dan teknologi yang diciptakan manusia berkembang seiring dengan kebutuhan manusia untuk memudahkan hidup manusia dari yang sebelumnya5 sehingga menyebabkan produsen saling berlomba dan bersaing untuk menyediakan kebutuhan - kebutuhan tersebut.
Dengan adanya persaingan yang dilakukan oleh para pengusaha yang dilakukan dengan berbagai macam cara dimana salah satunya dengan melakukan peniruan terhadap merek Dari suatu produk terdapatlah pelanggaran terhadap merek sehingga peneliti tertarik mewujudkan permasalahan tersebut dalam judul: "Aspek Hukum Perlindungan Merek Terdaftar Menurut Undang-Undang No 15 Tahun 2001 Tentang Merek: Studi Kasus Merek Extra Joss"."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T18904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, Indra Jaya
"Maraknya permasalahan hukum dalam perdagangan khususnya tentang pelanggaran merek, mendorong Pemerinlah untuk melakukan pengaturan merek dalam hubungannya dengan penegakan hukum di Indonesia. Salah satu upaya Pemerinlah tersebut dituangkan dalam Undang-Undang RI Nomor.15 tahun 2001 tentang Merek. Undang - Undang RI Nomor.15 tahun 2001 tentang Merek, ini diperlukan sebagai pengaturan yang memadai tentang merek guna memberikan perlindungan bagi pemegang merek dagang maupun merek jasa.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ; kriteria apakah yang dipakai untuk menentukan terjadinya penggunaan merek tanpa hak/pemalsuan merek, bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh Dit.Jen Hak Kekayaan Intektual Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Merek terhadap merek terkenal, bagaimana proses pembuktian terjadinya penggunaan merek tanpa hak di Indonesia.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, dan pendekatan deskTiptif kualitatif. Pendekatan yuridif normati dipergunakan dalam usaha menganalisis data dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat.dalam Persetujuan TRIPs, Konvensi Paris khususnya yang berkaitan dengan merek atau trademark dan Peraturan Undang-undang tentang Merek yang berlaku di Indonesia yang dimulai sejak lahimya Undang-Undang RI Nomor.21 tahun 1961 sampai dengan Undang-Undang RI Nomor.I5 tahun 2001, dokumen lainnya seperti buku, majalah, jurnal dan basil penelitian lain dengan pembaca dan mengkaji literature yang relevan dengan materi penelitian.
Penelitian kualitatif yaitu melakukan penelitian langsung ke obyek yang dapat memberikan informasi dan data, dengan mewawancarai respon dart masyarakat yang meliputi unsur Penyidik POLRI; Penitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan HAM RI, dalam hal ini Direktorat Merek.
Berdasarkan pembahasan dapat diperoleh basil sebagai berikut:
1. Kriteria terjadinya penggunaan merek tanpa hal/pemalsuan karena adanya unsur
a. Dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak Iain untuk barang dan/jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan.
b. Dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang danlatau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan.
2. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal dilakukan dengan penerapan Undang-Undang RI Nomor.i5 Tahun 2001 tentang Merek yang menyalakan bahwa merek tidak dapat terdaftar pada Direktorat Merek apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur :
a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum.
b. Tidak memiliki daya pembeda
c. Teiah menjadi milik umum
d. Merupakan kelerangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
3. Proses pembuktian terjadinya penggunaan merek tanpa hak didasarkan pada ketentuan Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dalam hal ini Pasal 90, dan 91, yakni Pasal 90 mengatur tentang pelanggaran penggunaan merek tanpa hak pada keseluruhannya dan Pasal 91 mengatur tentang penggunaan merek tanpa hak pada pokoknya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T19188
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Rasmita Juliana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai Tumpang Tindih Pemberian Izin Usaha Perkebunan dalam Surat Keputusan (SK) Izin Lokasi, yang dikeluarkan oleh Bupati Kabupaten Mandailing Natal. Sejak tahun 1993 PT. Magna Mintara Jaya telah melaksanakan serangkaian prosedur perizinan untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Muara Batang Gadis. Agar dapat menguasai tanah tersebut, PT. Magna Mintara Jaya harus memiliki Surat Keputusan Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Agustus 2004 PT. Magna Mintara Jaya telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan menindaklanjuti hal tersebut dengan mengajukan permohonan HGU perkebunan kepada BPN Pusat. Pada tahun yang sama Bupati Mandailing Natal mengeluarkan Surat Keputusan Izin Lokasi kepada PT. Anugerah Langkat Makmur diatas lokasi tanah tersebut. Pemberian SK Izin Lokasi tersebut bertentangan dengan IUP PT. Magna Mintara Jaya, sehingga menyebabkan terhambatnya proses permohonan HGU atas tanah tersebut.

ABSTRACT
This thesis discusses the overlap of granting of licenses plantation’s business on mentioned in the locate permit degree issued by the Head of the Regency Mandailing Natal. Since 1993, PT. Magna Mintara Jaya has taken a series of processes of licensing for conducting land clearing for the coconut palm plantation in Muara Batang Gadis subdistrict. To be able to possess the land, PT. Magna Mintara Jaya should have degree of granting HGU issued by the National Land Instituition (BPN). In August 2004, PT. Magna Mintara Jaya has obtained plantation business permit and followed by applying in saved to obtained HGU to BPN. At the same year, PT. Magna Mintara Jaya obtained location permit issued by the head of the regency of Mandailing Natal on the same location. The granting decree of location permit is contrary to this business license of PT. Magna Mintara Jaya then comes true delay of this process of obtaining HGU above the land."
2013
T35977
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>