Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90519 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Fikri Cahyadi
"Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong sebagai perhatian Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan persoalan di Wilayah Papua. Tetapi kebijakan pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah berdasarkan Undang-Undang tersebut batal dan pembentukaanya tidak terealisasi sampai saat ini. Penelitian ini bertujuan membahas faktor apa saja yang membatalkan kebijakan pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah. Penelitian ini menggunakan Teknik purposive untuk menentukan informan yang kompeten terhadap permasalahan, kemudian dilakukan pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan dokumentasi yang berkaitan dengan permasalahan. Penulis mencari dan mengumpulkan fakta-fakta dan data. Kemudian Penulis hubungkan dan kaitkan dengan teori-teori yang ada pada kerangka teori. Selanjutnya dilihat apakah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berkaitan dengan teori-teori dan pendapat para ahli. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang membatalkan pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah yaitu proses pembuatan kebijakan tidak sesuai prosedur, kesalahan Penjabat Gubernur yang ditunjuk, pertentangan elit di Papua, pembentukan tidak melibatkan masyarakat dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018/PUU-I/2003.

Kata Kunci: Otonomi Khusus, Papua Tengah, Pembentukan DOB, Timika


The Central Government together with the House of Representatives of the Republic of Indonesia have ratified Law Number 45 of 1999 concerning the Establishment of Central Irian Jaya Province, West Irian Jaya Province, Paniai Regency, Mimika Regency, Puncak Jaya Regency, and Sorong City as the attention of the Central Government to resolve problems in the region. Papua region. However, the policy for the formation of the new autonomous regions of the Province of Central Papua based on the law was canceled and its formation has not been realized to date. This study aims to discuss what factors invalidate the policy of establishing new autonomous regions in the province of Central Papua. This study uses a purposive technique to determine competent informants to the problem, then collect data with in-depth interviews and documentation related to the problem. The writer searches for and collects facts and data. Then the author connects and relates it to the existing theories in the theoretical framework. Furthermore, it is seen whether it is in accordance with the provisions of the legislation and is related to the theories and opinions of existing experts. The results of this study indicate that the factors that canceled the formation of the new autonomous regions of Central Papua Province, namely the policy-making process that was not in accordance with the procedures, the mistakes of the appointed Governor, elite conflicts in Papua, the formation did not involve the community and the Constitutional Court Decision Number 018/PUU-I/2003.

Key words: Special Autonomy, Central Papua, Establishment of new autonomous regions, Timika"

Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasta Budiratna
"Indonesia telah  menerapkan  kebijakan  desentralisasi,  tidak  saja  yang  berlaku  umum untuk seluruh wilayah di Indonesia, tapi juga sudah mengadopsi desentralisasi asimetris, utamanya untuk wilayah-wilayah tertentu seperti Aceh, Papua, dan Papua Barat. Kebijakan desentralisasi asimetris ini, melimpahkan kewenangan yang lebih besar untuk fungsi tertentu kepada wilayah terkait, yang juga didukung melalui alokasi dana transfer Otonomi Khusus dari pemerintah pusat. Transfer Dana Otonomi Khusus ini telah berjalan belasan tahun dan akan segera berakhir pada 2022 (untuk Papua dan Papua Barat) dan 2028  (untuk  Aceh).  Transfer  Dana  Otonomi  Khusus  diantaranya  digunakan  untuk membiayai  program-program  pengentasan  kemiskinan  dan  pendidikan.  Kedua  hal tersebut merupakan dua indikator penting dalam capaian pembangunan daerah, terutama dikaitkan  dengan  kondisi  capaian  pembangunan  yang  relatif  belum  baik  apabila dibandingkang  daerah  lain  di  Indonesia.  Angka  kemiskinan,  secara  rata-rata  untuk periode 2015-2018, di ketiga daerah tersebut masih berada di atas rata-rata nasional, termasuk juga untuk partisipasi pendidikan khususnya di Papua dan Papua Barat. Oleh sebab itu, studi ini bertujuan untuk mengetahui besaran pengaruh Dana Otonomi Khusus terhadap angka kemiskinan dan Angka Partisipasi Murni jenjang pendidikan SMP di Aceh, Papua, dan Papua Barat. Menggunakan regresi data panel, studi ini mencakup 23 kabupaten/kota di Aceh dan 11 kabupaten/kota di Papua Barat  pada tahun 2013-2018. Sedangkan Papua dilakukan pada 29 kabupaten/kota tahun 2015-2018. Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa Dana Otonomi Khusus pada kabupaten/kota di Papua Barat secara signifikan berkorelasi dengan penurunan  angka kemiskinan, dan  peningkatan angka Partisipasi Murni jenjang SMP, namun studi ini belum menemukan korelasi yang cukup  kuat  untuk  konteks  Dana  Otonomi  Khusus  yang  diterima  kabupaten/kota di Papua dan Aceh.


Indonesia has implemented a decentralization policy, not only which generally applies to all   regions   in   Indonesia,   but   also   has   implemented   asymmetric  decentralization, supporting certain  regions  such  as  Aceh,  Papua and  West  Papua.  This  asymmetrical decentralization policy delegates greater authority to certain configurations, which are also supported through the transfer of Special Autonomy funds from the central government. The transfer of the Special Autonomy Fund has been running for years and will soon end in 2022 (for Papua and  West Papua) and  2028 (for Aceh).  Transfers  of the Special Autonomy Fund are issued to finance poverty alleviation programs and education. Both of these are two important indicators in regional development, especially development with relatively unresolved development capabilities compared to other regions in Indonesia. The average for the 2015-2018 period in the three regions is still above the national average,  including  for  special  education  participation  in  Papua  and  West  Papua. Therefore, this study aims to estimate the differences in the Special Autonomy Fund against the poverty rate and the Pure Participation Rate for junior secondary education at Aceh, Papua and West Papua. Using the regression data panel, this study covered 23 districts / cities in Aceh and 11 districts / cities in West Papua in 2013-2018. While Papua was carried out in 29 districts / cities in 2015-2018. The results of this research indicate that the Special Autonomy Fund in districts / cities in West Papua has a significant correlation with poverty rates, and an increase in the Net Enrollment Rate for junior high schools, but this study has not found what drives the increase in the Special Autonomy Fund that receives districts / cities in Papua and Aceh."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Candrakirana
"Disertasi ini membahas mengenai Kewenangan Pemerintahan Daerah Di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Pada Era Reformasi Di Indonesia. Permasalahan mengenai kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan ini muncul dengan adanya perubahan kewenangan yang terdapat dalam Pasal 27 dan 28 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan kewenangan tersebut berimplikasi terhadap  kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan yang diserahkan kepada pemerintah Provinsi untuk dikelola. Sehingga pemerintah kabupaten/kota hanya memilki sebagian kecil kewenangan dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pasal 18 UUD Negara RI 1945 terkait otonomi daerah. Dampak ini terlihat pada kewenangan dan kelembagaan pengelolaan oleh pemerintah daerah dengan provinsi di wilayah laut dan provinsi berciri Kepulauan. Penulisan ini menggunakan penelitian hukum normatif yang dilengkapi dengan data primer dan data sekunder yang dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk menjawab pertanyaan mengenai : 1) bagaimanakah kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan di indonesia? 2) bagaimanakah pembagian kewenangan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota di bidang pengelolaan sumber daya perikanan dalam penyelenggaraan otonomi daerah pada era reformasi di indonesia? 3) bagaimanakah konsep kewenangan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota di bidang pengelolaan sumber daya perikanan dalam penyelenggaraan otonomi daerah di indonesia?. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan diperlukan peran kembali dari pemerintah kabupaten/kota dalam bentuk pemberian tugas pembantuan untuk melaksanakan tugas yang bersifat operasional dengan tujuan untuk mendekatkan pemerintah kepada masyakat yang berada di daerahnya (bringing the state closer to the people). Hal ini dapat diatur dalam peraturan pelaksana yang mengatur mengenai kewenangan provinsi di wilayah laut dan provinsi berciri kepulauan. Selanjutnya,diperlukan penguatan fungsi kelembagaan cabang dinas untuk melakukan tugas administrasi dan koordinasi dalam menjaga harmonisasi hubungan dengan pemerintah kabupaten/kota. Dalam optimalisasi peran masyarakat diperlukan adanya koperasi perikanan dan Program Community Based Coastal Resource Management (CB-CRM) khusus di bidang perikanan yang melibatkan masyarakat pesisir khususnya nelayan dan bekerja sama dengan pemerintah daerah, LSM, akademisi dan lembaga-lembaga penelitian
This dissertation discusses the regional government authority on fishery resource management in the implementation of regional autonomy during the reform era in Indonesia. The issue of authority on fishery resource management has arisen from the change of authority stated in Articles 27 and 28 of Law Number 23 of 2014 Concerning Regional Government. The authority change has implications on the fishery resource management authority, which is handed over or delegated to the Regional (Provincial) Governments. As a result, the lower governments, city/regency governments, possess only a little portion of the fishery resource management authority. This contradicts the mandate contained in Chapter 18 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia regarding Regional Autonomy. The impacts of the change are shown in the fishery resource management authorities and institutions between the City/Regency Governments and the Regional Governments in marine areas and provinces characterized by islands. This study is normative legal research with primary and secondary data. It used a descriptive qualitative research method to answer the following questions: (1) how is the fishery resource management authority in Indonesia?; (2) how was the division of fishery resource management authority between the City/Regency Governments and the Regional Governments in the regional autonomy implementation during the reform era in Indonesia?; and 3) how is the concept of fishery resource management authority between the City/Regency Governments and the Regional Governments in the regional autonomy implementation during the reform era in Indonesia? The results of the research show that the role of the City/Regency Governments is essentially required through providing assistance tasks to execute operational tasks in an attempt to bring the state/the government (s) closer to the people. This can be included in the implementing regulations, which regulate the authority of the Regional Governments in marine areas and provinces characterized by islands. Furthermore, the institutional functions of regional branch offices to conduct administrative tasks and inter-coordination shall be strengthened to maintain the harmony of relations between the Regional Governments and the City/Regency Governments. In the community role optimization, fishery cooperatives and Community Based Coastal Resource Management (CB-CRM) programs, especially in the fishery sector that involves the coastal community, particularly fishermen, and cooperation with city/regency governments, non-governmental organizations, academicians, and research institutions are required."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shendy Ristandi
"ABSTRACT
Power relations yang sistemik menyebabkan pemaknaan anak children dan terhadap masa kanak-kanak childhood sebagai kelompok masyarakat hanya dilihat sebagai kelompok rentan. Implikasinya adalah perdebatan tentang pendefinisian anak itu sendiri, masalah representasi, dan praktik pemenuhan hak anak. Definisi anak dalam Convention on the Right of the Child 1989 merupakan definisi yang dangkal, padahal masa kanak-kanak lebih kompleks daripada sekadar itu. Dengan memetakan literatur kritis terhadap wacana anak dalam hubungan internasional, Tugas Karya Akhir ini mencoba melihat bagaimana diskursus power relations dalam sistem internasional memaknai anak. Tulisan ini bertujuan untuk melihat kesenjangan yang dirasakan dalam literatur yang ada dalam memaknai status dan identitas anak. Pada kesimpulannya, anak dalam hubungan internasional merupakan isu yang masih dikontestasikan secara politik dan sosial. Keberpihakan aktor internasional menjadi kuncinya. Diantara mereka, akademisi dan NGOs yang memiliki potensi besar terhadap pemberdayaan anak dalam hubungan internasional.

ABSTRACT
The systemic power relations cause meaning of children and childhood as a community group that considered only as a vulnerable group. The implications shows the debates on defining the child it self, the issue of representation, and the practice of the fulfillment of the right of the child. The definition gives by the 1989 Convention on the Rights of the Child is a supercial understanding, whereas the children and the childhood are more complex. By mapping the literature on children rsquo s discourse in International Relations, these final paper have to looked at how power relations of discourse in the international system positioning the children and childhood. This paper aims to see where is in the literature gap that exists in interpreting the status and identity of children. In conclusion, international actors are the key. They are scholar and NGOs who could be potentially place children as empowered groups."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winantuningtyas Titiswasanany
"Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan salah satu instrumen bagi penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Permasalahannya banyak daerah yang tidak merasa puas dengan implementasi kebijakan yang dilaksanakan selama ini. Daerah masih menghadapi realitas pembangunan yang tidak merata, pembangunan ekonomi yang diskriminatif dan praktek korupsi yang merajalela. Ironinya, banyak elit daerah yang melihat jalan keluarnya secara sederhana dengan menuntut kebijakan pembentukan DOB. Tuntutan masyarakat untuk membentuk DOB ini mengalir deras dan sangat sulit dibendung. Diharapkan mendekatkan locus policy formulation di pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat, pelayanan publik menjadi efisien dan efektif untuk percepatan kesejahteraan rakyat dan daya saing.
Hasil studi menunjukkan sejumlah DOB mengalami kegagalan, utamanya pada 4 (empat) sektor pembangunan yaitu; kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Dari sejumlah 205 DOB (1999-2008),ternyata 70% gagal. (Kemendagri, 15 Desember 2012). Salah satunya disebabkan proses formulasi kebijakan pembentukan DOB belum transparan dan akuntabel. Daerah yang belum memiliki kesiapan dan kemampuan mandiri dibentuk menjadi DOB. Pada proses ini para perumus mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik-menarik di antara berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi. Pada tahap ini diidentifikasi berbagai problema yang terjadi, ditetapkan riil problem, memilih alternatif bagi kebijakan. Jika proses ini tidak tepat akan membawa dampak pada implementasinya. Rangkaian implikasi negatif yang timbul selama ini, menunjukkan pentingnya penelitian tentang proses formulasi kebijakan pembentukan DOB perspektif democratic governance.
Penelitian ini melalui dua tahapan. (1) peneliti mendiskripsikan potret proses formulasi kebijakan DOB selama ini; Institusi dan kualitas proses. Peneliti melakukan participant observation, wawancara dengan anggota Komisi II dan pejabat pemerintahan. Descriptive research dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan klarifikasi pentingnya democratic governance bagi proses kebijakan pembentukan DOB.(2) membangun model proses formulasi kebijakan pembentukan DOB. Peneliti melakukan pengumpulan data primer dengan mewawancara sekitar 40 (empat puluh) orang informan; melakukan Focus Group Discussion dan seminar. Untuk data sekunder dianalisis berbagai jenis referensi sebagai strategi untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang proses formulasi kebijakan pembentukan DOB dalam perspektif democratic governance. Hasil penelitian ini diharapkan obyektif, terstruktur, mendalam, faktual dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
Hasil penelitian tahap pertama dan kedua disampaikan sebagai berikut: Secara praktis proses formulasi kebijakan merupakan tahapan penting dan strategis dalam proses kebijakan secara keseluruhan. DPR dan Pemerintah berperan penting dalam proses ini, yang akhirnya menghasilkan kebijakan pembentukan DOB.
1) Mengenai Faktor-faktor pendorong usulan pembentukan DOB pada umumnya terkait masalah Administrasi dan Finansial, mengingat luasnya wilayah, penduduk yang menyebar, ketertinggalan pembangunan dan infrastruktur, masalah financial ini merupakan faktor yang cukup signifikan dan menentukan bagi DOB untuk survive. Umumnya daerah mengandalkan transfer dana dari pusat dan daerah merasa memiliki kekayaan alam yang cukup. Political: inisiatif usulan pembentukan DOB tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga dari elit yang lebih cenderung kepada tujuan bagi kepentingan politik.
2) Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan democratic governance adalah:
(a) Kepentingan Eksistensi Politik di Daerah; (b) Lemahnya penegakan hukum; (c)Kontrol yang Lemah; (d) Dorongan masyarakat; (e) Peran Kepemimpinan.
3) Faktor-faktor yang mendorong penerapan Democratic Governance adalah: (a) Tujuan yang dirumuskan secara jelas; (b) Pemerintah dalam penerapan unsureunsur Democratic Governance; (c) Akses Informasi bagi Pelayanan Publik; (d) Menyediakan dialog Publik.
4) Faktor-faktor pendorong persutujuan usulan kebijakan pembentukan DOB;
(a) Dorongan masyarakat dan tokoh daerah agar usulan mereka membentuk DOB diluluskan; (b) Hasil verifikasi dan klarifikasi data sudah memenuhi persyaratan; (c) Hasil penelitian Tim teknis dan evaluasi tim independen terhadap kelayakan usulan, serta rekomendasi DPOD; (d) Terdapat karakteristik masalah daerah yang harus dibantu. (e) Pada konteks yang berbeda, DPR dan Pemerintah dapat menginisiasi pembentukan DOB untuk kepentingan keamanan negara.
Implkasi teoritik, Penelitian dengan tema ini masih sangat sedikit dilakukan di kalangan ilmu administrasi. Dalam konteks proses formulasi kebijakan pembentukan DOB di Indonesia yang bersifat buttom-up, di mana lingkungan kebijakannya (civil society dan market) masih lemah, faktor strong leadership harus berperan aktif membangun masyarakat, agar mampu aktif dalam penerapan democratic governance. Perlu penelitian mengenai pola penghitungan insentif dan dis-insentif bagi daerah dan DOB. Implikasi Praktis, Penelitian ini dimaksudkan agar kedepan, baik DPR maupun Pemerintah mempersiapkan institusi dan sarana publik untuk membangun masyarakat agar memahami kebijakan secara komperhensif dan sekaligus membangun mental dan kultural masyarakat.
Rekomendasi penelitian ini meliputi:
(a) Konsepsi model proses formulasi kebijakan pembentukan DOB disebut integrated public policy democratic governance and resource-based capacities leadership. Konsep ini mengcover berbagai problema daerah, melibatkan peran dan kontribusi multi organisasi, mengkoordinasikan seluruh sumber daya, mengintegrasikan hasil dan seluruh potensi organisasi untuk satu tujuan; (b) Menggunakan metode kolaboratif dalam prosesnya; (c) Nilai-nilai democratic governance sudah given dalam pola manajemen pemerintahan. Institusi perumus kebijakan menerapkan democratic governance melalui business processnya; (d) Diberikan insentif bagi DOB yang ingin bergabung dan dis-insentif bagi calon DOB yang tidak memenuhi persyaratan;(e) Proses formulasi kebijakan pembentukan DOB dilakukan oleh Panitia khusus DPR dan dibahas satu per-satu (RUU); (f) Sistem pengelolaan PNS terbuka secara nasional, sehingga memungkinkan kebutuhan PNSD dipenuhi dari daerah lain atau dari PNS Pusat. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1397
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sualang, Keane Natalia Christy
"Penelitian ini membahas mengenai pembentukan produk hukum daerah di daerah otonomi baru di Provinsi Papua Tengah sebagai salah satu Provinsi baru di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif dengan melakukan penelusuran atau pendekatan terhadap Peraturan Perundang-undangan, studi pustaka dan untuk menunjang hal tersebut dilakukannya wawancara terhadap narasumber terkait. Daerah Otonomi Baru mempunyai kondisi yang berbeda dengan Daerah Otonomi yang sudah lama berdiri. Salah satu kondisi tersebut adalah tidak adanya lembaga pembentukan Produk Hukum Daerah yang berwenang. Dalam penelitian ini menjelaskan mengenai pembentukan daerah otonomi baru dan pembentukan produk hukum daerah secara khusus peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Provinsi Papua Tengah sebagai salah satu Provinsi baru di Indonesia mengalami permasalahan dalam pembentukan produk hukum daerah secara khusus peraturan daerah provinsi, peraturan daerah khusus dan peraturan gubernur. Hal ini dikarenakan kewenangan yang diberikan daripada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah. Kekosongan hukum merupakan salah satu permasalahan dalam penelitian ini. Hasil daripada wawancara yang dilakukan untuk penelitian ini adalah Kondisi Provinsi Papua Tengah tidak bisa disamakan dengan Provinsi yang sudah lama terbentuk. Untuk pembentukan produk hukum daerah, Provinsi Papua tengah berwenang membentuk produk hukum daerah selain yang diperintahkan Undang-Undang dengan bentuk produk hukum daerah yang lain. Tetapi hal ini tidak sesuai dengan Ilmu dan Teori Peraturan Perundang- undangan.

This research discusses the formation of regional legal products in the new autonomous region in Central Papua Province as one of the new provinces in Indonesia. This research is normative legal research by conducting searches or approaches to Legislative Regulations, literature studies and to support this, interviews with relevant sources are conducted. The New Autonomous Region has different conditions from the long-established Autonomous Region. One of these conditions is the absence of an authorized regional legal product formation institution. This research explains the formation of new autonomous regions and the formation of regional legal products, specifically regional regulations and regional head regulations. Central Papua Province as one of the new provinces in Indonesia is experiencing problems in the formation of regional legal products, specifically provincial regional regulations, special regional regulations and governor regulations. This is due to the authority given by Law Number 2 of 2021 concerning the Second Amendment to Law Number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for Papua Province and Law Number 15 of 2022 concerning the Establishment of Central Papua Province. Legal vacancy is one of the problems in this research. The results of interviews conducted for this research are that the conditions of Central Papua Province cannot be compared to provinces that have been established for a long time. For the formation of regional legal products, Papua Province has the authority to form regional legal products other than those ordered by law with other forms of regional legal products. But this is not in accordance with the Science and Theory of Legislation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Halim
"ABSTRAK
Dua puluh tahun pasca reformasi menyisakan pekerjaan rumah yang berat yakni pengelolaan pemerintahan daerah dalam hal ini penataan daerah. Penataan daerah salah satunya mencakup pengembangan DOB yang perlu dilakukan dalam rangka pendidikan politik masyarakat dan peningkatan kualitas pelayanan publik yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan amanat dari tujuan negara dalam konstitusi. Hasil penelitian menunjukkan banyaknya inisiatif dan usulan pembentukan DOB dianggap membebani keuangan negara namun pembentukan DOB provinsi merupakan jalan untuk mempersingkat rentang kendali span of control untuk mengoptimalkan pelayanan publik. Sampai dengan tahun 2014 terdapat 542 daerah otonom yang terdiri dari 34 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Dengan komposisi ini belum ideal mengingat provinsi sebagai daerah yang berperan melalukan pengawasan atas daerah kabupaten dan kota tidak memiliki jumlah yang ideal. Terdapat provinsi yang membawahi lebih dari 20 kabupaten/kota namun terdapat provinsi yang membawahi 5 daerah kabupaten/kota. Selain daerah provinsi berperan sebagai daerah yang menjalankan asas dekonsentrasi dan wakil pemerintah pusat juga terdapat pelayanan publik yang hanya terdapat pada daerah provinsi. Oleh karena itu, dalam penataan daerah sebagaimana amanat UU Pemda bahwa pemerintah harus menyusun grand strategy dan grand design penataan daerah. Salah satunya adalah dengan pengembangan atau pembentukan DOB provinsi. Namun, dengan alasan besarnya biaya ekonomi, polarisasi masyarakat dalam etnis dan pertimbangan banyak DOB tidak mampu mengoptimalkan pelayanan publik atau meningkatkan kesejahteraan rakyatnya sehingga pemerintah mengambil kebijakan penundaan pembentukan DOB. Pemerintah sejak tahun 2014 mengambil kebijakan moratorium DOB akan tetapi tidak memiliki bentuk peraturan perundang-undangan sebagai landasan sehingga bertentangan asas kepastian hukum. Dilain pihak, amanat UU No. 23 Tahun 2014, agar pemerintah membuat "desain besar penataan daerah" belum juga dikeluarkan. Padahal melalui desain itu, pemerintah bisa memberikan solusi atas banyaknya usulan pengembangan DOB yang tertunggak di DPR, DPD dan Mendagri.

ABSTRACT
Twenty years of post reform leaves a heavy homework i.e. management of local governance in this regional arrangement. The regional setup, one of which includes the development of DOB the new autonomous region that needs to be done in the framework of political education of the community and improving the quality of public services which in turn improves the welfare of society. This is a mandate of the destination country in the Constitution. The results showed the large number of initiatives and proposals for the establishment of the financial burden of the State considered the DOB but formation of DOB province is the way to shorten the control range span of control to optimize the public service. Up to the year 2014 there are 542 autonomies composed of 34 provincial, County and City 93 415. With this composition has not been ideal considering the province as areas that play a role placing oversight of County and city don 39 t have the ideal amount. There a province that includes more than 20 counties cities but there a province that includes 5 areas of counties cities. In addition to the provinces acted as areas that run basic deconcentration and the representative of the Central Government, there is also a public service which is only found in areas of the province. Therefore, in the area as local government act mandate that the Government should devise a grand strategy and grand design Setup area. One of them is with the development or establishment of the DOB of the province. However, by reason of the magnitude of the economic costs, the polarization of society in ethnic and consideration of many DOB is not capable of optimizing public services or improving the welfare of its people so that the Government took the policy of procrastination the formation of the DOB. The Government beginning in 2014 taking policy moratorium DOB but does not have the form of legislation as a foundation so that it goes against the principle of legal certainty. On the other hand, the mandate of law No. 23 of the year 2014, to allow the Government to make the "great design" Setup has not yet issued. Whereas through the design of it, the Government can provide solutions to the large number of proposals for the development of the DOB in DPR, DPD and Minister of the Interior.Keywords Formation of the Plan, the new autonomous region, provinces, moratorium DOB, the development of the regions."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50570
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Amrida Syahrani
"Skripsi ini membahas penilaian kapasitas fiskal dalam pembentukan daerah otonom baru berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah pada pembentukan Kabupaten Pangandaran serta kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalamnya. Kelayakan kapasitas fiskal menjadi faktor dominan dalam pembentukan daerah otonom berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 untuk menjamin kelangsungan hidup daerah. Penelitian ini dilakukan menggunakan post positivist melalui teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan studi dokumen. Teori yang digunakan dalam analisis penelitian ini diantaranya teori otonomi daerah, pembentukan daerah otonom, dan kapasitas fiskal daerah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penilaian kapasitas fiskal pembentukan Kabupaten Pangandaran dkategorikan kurang mampu, karena tidak memenuhi syarat minimum penilaian kemampuan keuangan. Namun dari segi kemampuan ekonomi, daerah induk dan calon kabupaten Pangandaran berada pada kategori mampu. Di samping itu, dalam penilaian kemampuan keuangan dan ekonomi pembentukan daerah otonom berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 terdapat beberapa ketentuan yang kurang jelas dan longgar.

This thesis is discusses the assessment of fiscal capacity in the establishment a new autonomous regions based on PP No. 78 Tahun 2007 about Procedure of Establishment, Abolition, and Unification Region that is used in the establish of Pangandaran Regency, as well as the weaknesses contained therein. The proper fiscal capacity became a dominant factor in establish a new autonomous region based on PP No. 78 Tahun 2007 to ensure the survival of the region. This research used the post-positivist approach through data collection techniques with in-depth interview and document study. The theory is used to analyze this research include regional autonomy, the establishment autonomous regions, and local fiscal capacity.
The results showed that the assessment of the fiscal capacity of the establishment the Pangandaran Regency categorized less capable, because it does not achieve the minimum level of financial capability assessment. But in terms of the ability of economy, main region and new region are capable. In addition, in the assessment of the financial and economic capability to the establishment autonomous regions based on PP 78 of 2007, there are several provisions that are less obvious and loose.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S61247
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Irawati
"Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang substansial di setiap negara, karena menimbulkan berbagai konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang yang mempengaruhi kehidupan penderitanya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor risiko paling dominan dan perbedaan proporsi kejadian bayi berat lahir rendah berdasarkan faktor janin, faktor ibu dan obstetri, dan faktor sosiodemografi pada balita di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan data Riskesdas 2018. Desain studi penelitian ini adalah cross sectional dengan analisis univariat, bivariat (chi-square), dan multivariat (uji regresi logistik ganda). Data penelitian menggunakan data Riskesdas 2018 dengan jumlah sampel sebesar 4255 balita yang bertempat tinggal di Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi BBLR di Jawa Tengah berdasarkan data Riskesdas, yaitu sebesar 5,8%. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan proporsi BBLR yang signifikan ditemukan pada variabel kehamilan ganda, paritas, komplikasi kehamilan, frekuensi kunjungan ANC, usia gestasi, dan status pendidikan ibu (p-value<0,05). Usia gestasi ditemukan sebagai faktor dominan terkait kejadian BBLR pada balita di Jawa Tengah (OR=15,50). Sosialisasi mengenai standar antenatal care yang dianjurkan dan penggalakan program-program, seperti kelas ibu hamil dapat dilakukan untuk membantu mencegah BBLR di Jawa Tengah.

Low birth weight (LBW) is a major public health challenge worldwide, with significant short-term and long-term consequences for individuals and societies. This study aims to examine the most dominant risk and variations in the proportion of LBW based on fetal factors, maternal and obstetric factors, and sociodemographic factors among toddlers in Central Java Province, utilizing the 2018 Riskesdas data. The research design employed in this study is cross-sectional, utilizing univariate, bivariate (chi-square), and multivariate analysis (multiple logistic regression). The dataset utilized for the research comprises 4255 toddlers residing in Central Java, derived from the 2018 Riskesdas data. The findings indicate that the prevalence of LBW in Central Java, as indicated by the Riskesdas data, stands at 5.8%. The analysis reveals significant disparities in the proportion of LBW concerning variables such as multiple pregnancies, parity, pregnancy complications, frequency of antenatal care visits, gestational age, and the mother's educational status (p-value <0.05). Gestational age was found to be the dominant factor related to the incidence of LBW in toddlers in Central Java (OR=15,50). Socialization regarding recommended ANC standards and promotion of programs, such as classes for pregnant women can be carried out to help prevent LBW in Central Java."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Indrawati
"Daerah otonom baru dibentuk sebagai perwujudan aspirasi masyarakat dalam rangka mendekatkan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan peningkatan daya saing daerah. Daerah otonom baru yang dibentuk harus memenuhi sejumlah prakondisi yang sudah diatur dalam peraturan pemerintah. Prakondisi tersebut merupakan sumber bagi daerah otonom untuk dapat mencapai tujuannya yang salah satunya adalah daya saing daerah. Kabupaten Bandung Barat sebagai salah satu daerah otonom baru, dalam perjalanannya menunjukkan peningkatan investasi yang signifikan dalam tiga tahun terakhir.
Bertolak dari hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran prakondisi pembentukan daerah otonom baru tersebut dan daya saing investasi kabupaten Bandung Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengumpulan data secara kuantitatif dan kualitatif. Adapun teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif-analitik pada variabel prakondisi dan variabel daya saing investasi.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa elemen prakondisi Kabupaten Bandung Barat sudah memadai dilihat dari jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan indeks pembangunan manusia. Sedangkan dari segi produk regional domestik bruto (PDRB) dan pendapatan daerah sendiri (PDS) masih kurang. Hasil daya saing investasi kabupaten Bandung Barat termasuk tinggi dilihat dari peningkatan investasi setiap tahunnya.

Newly established autonomous regions as a manifestation of the aspirations of the community in order to bring public services, improved public welfare, and increase regional competitiveness. Newly established autonomous regions must meet a number of preconditions set out in government regulations. Precondition is a source for the autonomous region to be able to achieve its objectives, one of which is the region's competitiveness. West Bandung regency as one of the new autonomous region, along the way showed a significant increase in investment in the last three years.
Departing from this, the purpose of this study was to describe the preconditions formation of new autonomous regions and investment competitiveness of West Bandung regency. This study uses a quantitative approach to data collection techniques in quantitative and qualitative. The techniques of data analysis using descriptive-analytic analysis of the preconditions of variables and variable investment competitiveness.
The results of this study indicate that the element precondition West Bandung regency had seen enough of the population, economic growth and human development index. In terms of regional gross domestic product (GDP) and its own revenues (PDS) is still lacking. The results of the competitiveness of the West Bandung regency investments include high seen from an increase in investment each year.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>