Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180438 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ulfah Cahyameta Siswoyo
"HIV merupakan virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Pengobatan antiretroviral (ARV) merupakan bagian dari pengobatan HIV dan AIDS untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus dalam darah sampai tidak terdeteksi. Apoteker memiliki peran dalam pengobatan HIV. Selain itu, apoteker juga berperan dalam menjaga rasionalitas pengobatan seperti pemilihan regimen dan ketepatan dosis pengobatan ARV. Evaluasi penggunaan obat, ketepatan regimen, dan dosis terapi merupakan salah satu bentuk pemantauan terapi obat (PTO) yang merupakan salah satu tugas apoteker terkait pelayanan farmasi klinis. PTO pada pasien HIV penting karena penggunaan regimen ARV sangat menentukan kualitas hidup pasien. Jika terjadi kesalahan dalam pemilihan regimen dan dosis dapat berakibat terapi tidak optimal sehingga kualitas hidup pasien dapat menurun. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi penggunaan obat berdasarkan klasifikasi jenis kelamin dan usia, juga ketepatan regimen, dan dosis terapi antiretroviral pada periode bulan Maret - April 2023 di RSUP Fatmawati. Penelitian ini mendapatkan hasil, bahwa masih terdapat ketidaksesuaian obat ARV dalam hal regimen dan dosis dengan persentase kurang dari 1%.

HIV is a virus that causes Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Antiretroviral (ARV) treatment is part of HIV and AIDS treatment to reduce the risk of HIV transmission, prevent the worsening of opportunistic infections, improve the quality of life of HIV sufferers, and reduce the amount of virus in the blood until it is undetectable. Pharmacists have a role in HIV treatment. Apart from that, pharmacists also play a role in maintaining rationality of treatment, such as selecting regimens and accurate dosage of ARV treatment. Evaluation of drug use, accuracy of regimens and therapeutic doses is a form of drug therapy monitoring (PTO) which is one of the pharmacist's duties related to clinical pharmacy services. PTO in HIV patients is important because the use of ARV regimens greatly determines the patient's quality of life. If there is an error in choosing the regimen and dose, it can result in suboptimal therapy so that the patient's quality of life can decrease. The aim of this study is to evaluate drug use based on gender and age classification, as well as the accuracy of regimens and doses of antiretroviral therapy in the period March - April 2023 at Fatmawati General Hospital. This research found that there were still discrepancies in ARV drugs in terms of regimen and dosage with a percentage of less than 1%.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Della Aprilia
"HIV/AIDS adalah salah satu penyakit menular seksual yang paling umum di dunia, jumlah kasus di Indonesia cenderung fluktuatif namun terus meningkat dari tahun ke tahun. Sejauh ini, belum ditemukan obat yang dapat membunuh virus HIV, tetapi terapi antiretroviral (ART) yang sangat aktif, yang menggunakan kombinasi beberapa obat antiretroviral, merupakan lini pertama untuk menekan replikasi virus HIV. Terapi antiretroviral bertujuan untuk mengurangi laju penularan HIV di masyarakat, menurunkan morbiditas dan mortalitas, meningkatkan kualitas hidup mereka yang terinfeksi, memulihkan atau mempertahankan fungsi kekebalan tubuh, dan menghambat proliferasi virus. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi jumlah penggunaan obat antiretroviral berdasarkan jenisnya, prevalensi jenis kelamin dan usia, serta ketepatan dosis antiretroviral pasien rawat jalan HIV/AIDS di RSUP Fatmawati pada tahun 2022. Metodologi yang digunakan adalah mengumpulkan data pasien HIV/AIDS rawat jalan di RSUP Fatmawati dari Januari hingga Desember 2022 dan mengolahnya menggunakan diagram lingkaran dan batang. Dapat disimpulkan bahwa kombinasi obat antiretroviral dan obat non antiretroviral sesuai dengan dosis pengobatan tatalaksana HIV/AIDS. Pada tahun 2022, tenofovir + lamivudine + dolutegravir akan memiliki tingkat penggunaan obat antiretroviral tertinggi, terhitung 18,3%. Sebagian besar pasien yang menerima terapi antiretroviral adalah laki-laki (70%), dan distribusi usia tertinggi pada usia 35-45 tahun (43,5%)
HIV/AIDS remains a significant public health concern globally, and Indonesia has experienced a fluctuating yet persistent increase in HIV/AIDS cases. Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) is the mainstay treatment for HIV, composed of a combination of antiretroviral drugs that inhibit HIV replication. Antiretroviral therapy aims to reduce HIV transmission, decrease morbidity and mortality rates, enhance the quality of life for HIV patients, restore or maintain immune function, and suppress viral proliferation. This study aims to evaluate the utilization of antiretroviral drugs based on their types, assess the prevalence of gender and age distribution, and examine the adherence to antiretroviral dosages among HIV patients at RSUP Fatmawati in 2022. Data pertaining to HIV patients receiving treatment at RSUP Fatmawati during January to December 2022 were collected and analyzed using pie charts and bar graphs. Among the various antiretroviral drug combinations, Tenofovir + Lamivudine + Dolutegravir was the most extensively prescribed in 2022, accounting for 18.3% of cases. The majority of patients receiving antiretroviral therapy were male (70%), with the highest proportion falling within the age group of 35 to under 45 years (43.5%).This evaluation highlights a satisfactory adherence to prescribed antiretroviral drug regimens and emphasizes the prevalence of Tenofovir + Lamivudine + Dolutegravir as the primary therapeutic combination in 2022. Furthermore, it underscores the predominance of male patients receiving antiretroviral treatment and emphasizes the importance of addressing HIV/AIDS management in the age group between 35 and under 45 years."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nopita Eka Rizna
"Pelayanan farmasi yang dilakukan di rumah sakit seperti pengkajian dan pelayanan resep, pelayanan informasi obat (PIO), penelusuran riwayat obat (RPO), rekonsiliasi obat, dan pemantauan terapi obat (PTO).  Kegiatan PTO meliputi pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi, reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD), serta rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Penelitian ini melakukan PTO terhadap pasien sirosis hati dengan tujuan mengevaluasi terapi obat yang telah diberikan. Dari hasil pemantauan bahwa terapi obat yang telah diberikan kepada Tn.S telah sesuai dengan tatalaksana sirosis hati, asites, perdarahan varises esofagus (PVO) berdasarkan panduan praktik klinis yang ada di rumah sakit fatmawati. Obat yang telah diberikan kepada pasien antara lain laktulosa, sukralfat, lansoprazole, ceftriakson, propranolol, spironolakton, octreotide, furosemide, ondansetron, esomeprazole, vitamin k, insulin, octalbin 20%.

Pharmaceutical services carried out in hospitals include assessment and prescription services, drug information services (PIO), drug history tracking (RPO), drug reconciliation, and drug therapy monitoring (PTO). PTO activities include reviewing drug selection, dosage, method of drug administration, response to therapy, unwanted drug reactions (ROTD), as well as recommendations for changes or alternative therapy. This study conducted PTO on liver cirrhosis patients with the aim of evaluating the drug therapy that had been given. From the results of monitoring, the drug therapy given to Mr.S drugs that have been given to patients include lactulose, sucralfate, lansoprazole, ceftriaxone, propranolol, spironolactone, octreotide, furosemide, ondansetron, esomeprazole, vitamin k, insulin, octalbin 20%.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky
"Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) merupakan sistem pelayanan kesehatan terintegrasi yang dilakukan secara proaktif dan terintegrasi melibatkan peserta, fasilitas kesehatan, dan BPJS Kesehatan untuk pemeliharaan kesehatan bagi penderita penyakit kronis, sehingga dapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik dengan biaya yang efektif dan efisien. Pemantauan Terapi Obat (PTO) bertujuan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional dengan cara mengkaji pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD), dan merekomendasikan perubahan atau alternatif terapi. PTO dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan atau kegagalan terapi dapat diketahui. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, kriteria pasien yang mendapatkan pemantauan terapi obat adalah yang memiliki resep polifarmasi, kompleksitas penyakit, dan penggunaan obat serta respons pasien yang sangat individual yang meningkatkan munculnya masalah terkait obat (Kemenkes, 2016). Penelitian dilakukan di Puskesmas Kecamatan Kalideres pada bulan Maret-April 2023 dengan menggunakan metode studi deskriptif non-analitik. Data penelitian diambil dengan metode purposive sampling dari data rekam medis. Data dianalisis secara univariat dengan menganalisis profil pengobatan pasien sesuai dengan DRPs, kemudian disajikan dalam bentuk persentase yang memuat tabel, angka, dan narasi. Evaluasi dilakukan terhadap penggunaan obat pada pasien Prolanis. Dari hasil analisis pemantauan terapi obat pada pasien A, B, dan C, dapat disimpulkan bahwa terapi pengobatan yang diterima oleh pasien A sudah rasional. Namun, pada pasien B dan C masih terdapat beberapa penggunaan obat yang tidak rasional, khususnya beberapa jenis obat yang kemungkinan besar dapat menimbulkan interaksi satu sama lain apabila digunakan secara bersamaan.

Chronic Disease Management Program (Prolanis) is an integrated healthcare service system proactively involving participants, healthcare facilities, and BPJS to maintain the health of chronic disease patients, thus improving their quality of life cost-effectively and efficiently. Therapeutic Drug Monitoring (TDM) aims to ensure safe, effective, and rational drug therapy by assessing drug selection, dosage, administration method, therapy response, adverse drug reactions (ADRs), and recommending therapy changes or alternatives. According to the Minister of Health Regulation No. 74 of 2016 regarding Pharmaceutical Service Standards at Community Health Centers, patients eligible for medication therapy monitoring are those with polypharmacy, disease complexity, and individual patient responses that increase the occurrence of drug-related problems (Ministry of Health, 2016). The research was conducted at Puskesmas Kecamatan Kalideres in March-April 2023 using a non-analytical descriptive study method. Research data were collected using purposive sampling method from medical record data. The data were analyzed univariately by analyzing the patient's medication profile according to DRPs then presented in the form of percentages containing tables, figures, and narratives. The evaluation was conducted on the use of drugs in Prolanis patients. From the analysis results of medication therapy monitoring in patients A, B, and C, it can be concluded that the treatment received by patient A is rational. However, in patients B and C, there are still some irrational drug uses, especially several types of drugs that are likely to interact with each other if used together.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sherly Violeta Lestari
"Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang pertama kali ditemukan pada tahun 1873 oleh G.H. Armauer Hansen dengan sumber penyebab berupa kuman atau basil Mycobacterium leprae. Penyakit menular kusta menimbulkan masalah yang sangat kompleks, tidak hanya dari segi medis tetapi meluas hingga masalah sosial, ekonomi, dan budaya. WHO pada tahun 1955 merekomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe Pausibasiler (PB) maupun Multibasiler (MB) dengan tujuan agar dapat memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi obat. Karakteristik pasien dan penggunaan obat Multi Drug Therapy (MDT) di RSUP Fatmawati terdiri dari kasus kusta tipe MB dengan persentase lebih tinggi yakni sebesar 88.92% dibandingkan dengan kusta tipe PB sebesar 11.08%. Persebaran kusta MB paling banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki, sedangkan pada kusta tipe PB paling banyak terjadi pada perempuan dengan persentase masing-masing sebesar 70.79% dan 73.68%. Berdasarkan kelompok usia, kasus kusta MB paling banyak terjadi pada kelompok usia 15 – 28 tahun sebanyak 91 kasus (27,88%), sedangkan pasien yang menderita kusta PB paling banyak terjadi pada kelompok usia 29 – 42 tahun. Terapi pengobatan yang paling banyak digunakan pasien kusta tipe berupa MBA sebanyak 270 pasien (72,97%), sedangkan pasien yang menderita kusta PB mendapatkan terapi pengobatan paling banyak berupa PBA sebanyak 38 pasien (10,27 %).

Leprosy is a chronic infectious disease that was first discovered in 1873 by G.H. Armauer Hansen with the source of the cause being the germ or bacillus Mycobacterium leprae. The infectious disease leprosy creates very complex problems, not only from a medical perspective but extending to social, economic and cultural problems. WHO in 1955 recommended treating leprosy with Multi Drug Therapy (MDT) for the Pausibacillary (PB) and Multibacillary (MB) types with the aim of breaking the chain of transmission and preventing drug resistance. Patient characteristics and use of Multi Drug Therapy (MDT) drugs at Fatmawati General Hospital consist of MB type leprosy cases with a higher percentage, namely 88.92% compared to PB type leprosy cases of 11.08%. The distribution of MB leprosy is most common in men, while PB type leprosy is most common in women with respective percentages of 70.79% and 73.68%. Based on age group, the most cases of MB leprosy occurred in the 15 – 28 year age group with 91 cases (27.88%), while the most cases of MB leprosy occurred in the 29 – 42 year age group. The most common type of treatment used by leprosy patients was MBA as many as 270 patients (72.97%), while patients suffering from PB leprosy received the most treatment in the form of PBA as many as 38 patients (10.27%).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Irsandi Johan
"Penggunaan antibiotik dalam jumlah yang banyak dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat diduga sebagai penyebab utama tingginya jumlah patogen dan bakteri komensal resisten di seluruh dunia. Pengurangan jumlah kejadian penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan cara terbaik untuk melakukan kontrol terjadinya resistensi bakteri. Batas toleransi bagi masing-masing indikator untuk peresepan antibiotik pada penatalaksanaan ISPA non-pneumonia sebesar 20%, penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan diare non-spesifik 8%. Tujuan dari penyusunan laporan praktik kerja ini adalah untuk mengetahui peran apoteker dalam monitoring penggunaan obat rasional antibiotik pada pasien dengan diagnosis ISPA non-pneumonia dan diare non-spesifik di Puskesmas Kecamatan Kalideres bulan Juni 2023. Pelaksanaan dilakukan secara observasional deskriptif, data penelitian diperoleh secara retrospektif dengan mengambil data resep bulan Juni 2023 melalui sistem setelah dilakukan pelayanan terhadap pasien dengan diagnosis ISPA non-pneumonia dan diare non-spesifik. Dari monitoring yang telah dilakukan diketahui bahwa persentase penggunaan obat antibiotik pada pasien dengan diagnosis ISPA non-pneumonia dan diare non-spesifik di Puskesmas Kecamatan Kalideres bulan Juni 2023 dapat dikatakan rasional dan telah sesuai dengan kriteria POR Nasional yaitu ≤ 20% untuk kasus ISPA non-pneumonia dan ≤ 8% untuk kasus diare non-spesifik.

The excessive use of antibiotics and inappropriate antibiotic use are suspected as the main causes of the high prevalence of resistant pathogens and commensal bacteria worldwide. Reducing the incidence of inappropriate antibiotic use is the best way to control bacterial resistance. The tolerance limit for each indicator for antibiotic prescribing in the management of non-pneumonia acute respiratory infections (ARIs) is 20%, while for the management of non-specific diarrhea, it is 8%. The purpose of this internship report is to understand the role of pharmacists in monitoring rational antibiotic use in patients diagnosed with non-pneumonia ARIs and non-specific diarrhea at the Kalideres District Health Center in June 2023. The implementation was done descriptively through observational methods, with research data obtained retrospectively by collecting prescription data from June 2023 through the system after providing services to patients with non-pneumonia ARIs and non-specific diarrhea. From the monitoring conducted, it was found that the percentage of antibiotic drug use in patients diagnosed with non-pneumonia ARIs and non-specific diarrhea at the Kalideres District Health Center in June 2023 can be considered rational and has met the National POR criteria, which are ≤ 20% for non-pneumonia ARIs cases and ≤ 8% for non-specific diarrhea cases."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardhona Irani
"Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Teknis Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit, Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan kegiatan yang meliputi pemastian terapi pengobatan yang efektif, aman, dan rasional bagi pasien dan pencegahan terhadap kejadian reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) yang dilakukan oleh Apoteker di rumah sakit. Kegiatan ini dilakukan untuk pengobatan kasus penyakit yang memerlukan perhatian khusus dengan mengevaluasi masalah terkait obat. Stenosis mitral, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium dan insufisiensi trikuspid dengan komplikasi aki serta peningkatan transaminase merupakan salah satu kasus penyakit di RSUD Tarakan Jakarta. Metode analisis pemantauan terapi obat menggunakan kombinasi PCNE dan Hepler-Strand. Berdasarkan hasil analisis, masalah terkait obat yang diidentifikasi yaitu interaksi obat, efek samping, dan dosis obat berlebih. Masalah terkait obat yang muncul dapat direkomendasikan penyelesaian berupa pemberian obat yang sesuai, pemantauan efek terapi obat melalui hasil laboratorium dan gejala yang ditimbulkan, pemberian jeda konsumsi obat, dan penyesuaian dosis sesuai tatalaksana dan kondisi pasien.

In the Regulation of the Minister of Health Number 72 of 2016 concerning Technical Standards for Pharmaceutical Services in Hospitals, Drug Therapy Monitoring is an activity that includes ensuring effective, safe and rational medication therapy for patients and prevention of unwanted drug reaction performed by pharmacists in hospitals. This activity is carried out for the treatment of disease cases that require special attention by evaluating drug-related problems. Mitral stenosis, congestive heart failure, atrial fibrillation and tricuspid insufficiency with battery complications and increased transaminases are one of the cases of disease in Tarakan Hospital, Jakarta. The analytical method for monitoring drug therapy uses a combination of PCNE and Hepler-Strand. Based on the results of the analysis, drug-related problems were identified, namely drug interactions, side effects, and drug overdosage. Drug-related problems that arise can be recommended for solutions in the form of administering appropriate drugs, monitoring the effects of drug therapy through laboratory results and the symptoms caused, giving pauses in drug consumption, and adjusting doses according to the management and condition of the patient."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Heni Asnah Nurjannah
"Hipertensi adalah penyakit kronis yang menjadi salah satu masalah kesehatan baik secara nasional maupun global. Penyakit ini bersifat progresif dan tidak memiliki gejala sehingga efeknya pada kesehatan pasien dapat terjadi setelah bertahun-tahun. Dengan sifat asimtomatik penyakit ini menyebabkan kepatuhan pengobatan pasien hipertensi menjadi aspek penting dalam mencapai keberhasilan terapi pengobatan berupa tekanan darah yang terkontrol. Apoteker sebagai tenaga kesehatan bertugas memberikan pelayanan farmasi klinik untuk mencapai keberhasilan terapi pasien. Penelitian ini dilakukan dengan metode Literature Review dengan tujuan untuk mengetahui pemantauan terapi obat pasien hipertensi di fasilitas apotek. Pemantauan terapi pengobatan hipertensi dilakukan untuk memastikan pasien menerima pengobatan hipertensi yang aman, efektif dan rasional untuk mencapai tekanan darah yang terkontrol. Proses kegiatan ini merupakan proses yang komprehensif dimulai dari seleksi pasien, pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi terapi, rencana pemantauan sampai dengan tindak lanjut atau komunikasi. Pada tahap perencanaan pemantauan, apoteker juga harus menetapkan interval pemantauan, pemantauan fungsi ginjal dan hati, dan target terapi hipertensi. Selama proses pelaksanaan, apoteker harus memiliki pemahaman menyeluruh tentang pengobatan dimulai dari informasi kontraindikasi obat, interaksi obat, hingga efek samping yang dapat muncul dari obat-obat terapi antihipertensi serta manajemen yang harus dilakukan. Kepatuhan pasien hipertensi perlu dinilai, dipantau dan dianalisis untuk mencapai tujuan pengobatan. Penilaian dapat dilakukan melalui metode pelaporan mandiri atau kuesioner, wawancara atau menghitung jumlah pil sisa. Implementasi pelayanan telefarmasi hipertensi di apotek sesuai standar pelayanan kefarmasian juga dapat dilakukan untuk memantau dan meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien hipertensi.

Hypertension is a chronic disease that is a health problem both nationally and globally. It is a progressive disease and has no symptoms so its effects on the patient's health can occur after many years. With the asymptomatic nature of this disease, compliance with treatment for hypertensive patients becomes an important aspect in achieving successful treatment therapy in the form of controlled blood pressure. Pharmacists as health workers are tasked with providing clinical pharmacy services to achieve successful patient therapy. This research was conducted using the Literature Review method with the aim of knowing the monitoring of drug therapy for hypertensive patients in pharmacy facilities. Hypertension treatment therapy monitoring is carried out to ensure patients receive safe, effective and rational hypertension treatment to achieve controlled blood pressure. This activity process is a comprehensive process starting from patient selection, patient data collection, identification of drug-related problems, therapy recommendations, monitoring plans to follow-up or communication. At the monitoring planning stage, pharmacists must also determine monitoring intervals, monitoring kidney and liver function, and hypertension therapy targets. During the implementation process, pharmacists must have a comprehensive understanding of medication starting from information on drug contraindications, drug interactions, to side effects that can arise from antihypertensive therapy drugs and the management that must be carried out. Hypertensive patient compliance needs to be assessed, monitored and analyzed to achieve treatment goals. Assessment can be carried out through self-reporting methods or questionnaires, interviews or counting the number of remaining pills. Implementation of hypertension telepharmacy services in pharmacies according to pharmaceutical service standards can also be carried out to monitor and improve medication compliance for hypertension patients.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tasya Adinda Rahmania
"Pelayanan kefarmasian oleh seorang apoteker yang beriorientasi pada pasien di rumah sakit lebih dikhususkan pada pemberian pelayanan farmasi klink dengan tujuan untuk meminimalkan terjadinya permasalahan terkait obat atau Drug Related Problems (DRPs). Salah satu kegiatan pelayanan farmasi klinis yang tertuang dalam PMK No. 72 Tahun 2016, yaitu Pemantauan Terapi Obat (PTO). Kegiatan PTO mencakup pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak diinginkan, serta rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk melakukan kegiatan Pemantauan Terapi Obat (PTO) pada pasien rawat inap di RSUD Tarakan selama 29 September – 24 Oktober 2023. Metode penelitian dengan observasi dan studi literatur, kegiatan observasi dilakukan dalam bentuk visite kepada pasien, kemudian pengambilan data dilakukan berdasarkan data rekam medis pasien, pemantauan terapi yang diberikan dari awal masuk RS hingga obat pulang, catatan perkembangan pasien, dan hasil laboratorium. Hasil penelitian yang diperoleh Pemilihan terapi tidak tepat yaitu pada pemberian cetirizine, tidak tepat dosis yaitu pada pemberian terapi rifampisin dosis yang diberikan kurang dan sucralfate diberikan dengan dosis yang lebih, dan potensi interaksi obat yaitu pada ceftriaxone dan ca glukonat, bicnat dan rifampisin, bicnat dan isoniazid. RSUD Tarakan sudah menerapkan pelayanan farmasi klinis sesuai dengan Peraturan Meteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016 dengan baik dan tepat.
Pharmaceutical services provided by a patient-oriented pharmacist in hospitals are specifically aimed at delivering clinical pharmacy services with the goal of minimizing Drug Related Problems (DRPs). One of the clinical pharmacy activities outlined in Regulation No. 72 of 2016 is Drug Therapy Monitoring (DTM). DTM activities include assessing drug selection, dosage, administration methods, therapy response, adverse drug reactions, and recommendations for therapy changes or alternatives. This research aims to conduct Drug Therapy Monitoring (DTM) activities for inpatients at Tarakan Regional General Hospital from September 29 to October 24, 2023. The research method involves observation and literature review. Observation activities consist of patient visits, followed by data collection based on patient medical records, monitoring therapy from admission to discharge, patient progress notes, and laboratory results. The research findings indicate inappropriate therapy selection, such as the administration of cetirizine, incorrect dosages, such as under-dosing rifampicin and over-dosing sucralfate, and potential drug interactions involving ceftriaxone with calcium gluconate, bicarbonate with rifampicin, and bicarbonate with isoniazid. Tarakan Regional General Hospital has effectively implemented clinical pharmacy services in accordance with Regulation No. 72 of 2016."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diva Ratna Shabrina
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah kegiatan yang memastikan pengobatan yang diberikan kepada pasien efektif, aman, dan rasional. Pemantauan terapi obat bertujuan untuk meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD), meminimalkan biaya pengobatan dan menghormati pilihan pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis drug related problems (DRPs) yang terjadi pada pengobatan pasien dan memberikan rekomendasi tindak lanjut menggunakan metode SOAP. Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan observasi langsung, pengambilan data, dan studi literatur. Kesimpulan Drug Related Problems (DRPs) yang ditemukan pada pasien Tn. BJP adalah Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD) dan interaksi obat. ROTD yang dialami pasien adalah hipokalemia yang dapat disebabkan karena penggunaan diuretik (furosemide dan spironolactone) yang berkepanjangan sehingga menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit pada pasien. Terdapat tiga obat yang memiliki resiko interaksi obat, yaitu: Spironolactone + Valsartan (Kategori interaksi: major); Phenytoin + Amlodipine (Kategori interaksi: major); dan Aspirin + Clopidogrel (Kategori interaksi: moderate).

Monitoring (PTO) is an activity that ensures the treatment given to patients is effective, safe, and rational. Drug therapy monitoring aims to improve the effectiveness of therapy and minimize the risk of Unwanted Drug Reactions (ROTs), minimize treatment costs and respect patient choice. The purpose of this study is to analyze drug related problems (DRPs) that occur in the treatment of patients and provide follow-up recommendations using the SOAP method. The data collection method used in this study is by direct observation, data collection, and literature study. Conclusion Drug Related Problems (DRPs) found in Mr. BJP's patients are Unwanted Drug Reactions (ROTDs) and drug interactions. The ROTD experienced by patients is hypokalemia which can be caused due to prolonged use of diuretics (furosemide and spironolactone) that causes electrolyte imbalance in the patient. There are three drugs that have a risk of drug interactions, namely: Spironolactone + Valsartan (Interaction category: major); Phenytoin + Amlodipine (Interaction category: major); and Aspirin + Clopidogrel (Interaction category: moderate).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>